•
Pemanfaatan perangkat branding untuk membangun citra positif brand
tempat telah dipilih menjadi strategi pembangunan lokal mengatasi
hambatan pemasaran produk dan jasa
• Program OVOP yang diinisiasi pedesaan di Jepang memanfaatkan protokol tersebut mengatasi hambatan daya saing produk pedesaan untuk menembus pasar nasional dan global.
•
Dalam konteks branding desa yang baru pada tahap awal, protokol branding
dapat dimanfaatkan sedini mungkin :
• sebagai perencanaan pembangunan desa secara (brand desa);
•
Branding tempat adalah pendekatan pembangunan endogenus :
•
Pembangunan endogenus mendorong pembangunan pedesaan
melalui aktivitas berorientasi komunitas memanfaatkan sumber daya
dan pengetahuan lokal.
•
Pembangunan Pedesaan Endogenus sebagai berikut :
•
diversifikasi, kelentingan, berkelanjutan;
•
determinasi lokal;
•
kontrol lokal;
•
penyimpanan keuntungan secara lokal;
•
sumber daya lokal (alam, manusia dan budaya);
•
penetapan harga terhadap “lokal” dan “tempat”;
•
pasca produktivitas;
•
Desa dalam konteks undang – undang (6/2014) desa adalah
“tempat”. Karenanya, desa dapat menjadi objek praktek
branding tempat :
•
Dalam konteks branding tempat, desa dapat saja menjadi brand
payung (umbrella brand) atau brand produk (product brand).
•
Atau, sebagai brand payung desa diisi oleh beragam brand
produk.
•
Brand korporat adalah brand yang diaplikasikan untuk produk
dan jasa dalam kerangka kerja organisasi korporat. Brand
tempat adalah aplikasi brand untuk produk dan jasa dalam
kerangka kerja politik/geografi.
Brand Korporat Brand Tempat
Komponen tunggal produk/jasa Banyak komponen produk/jasa Hubungan kohesif dengan pemangku
kepentingan
Hubungan terfragmentasi dengan pemangku kepentingan
Kompleksitas organisasi rendah Kompleksitas organisasi tinggi Fungsional Eksperensial/Hedonis
Orientasi individual Orientasi kolektif
Koheren dengan subbrand Ketidakseimbangan dan persaingan dengan subbrand
Perusahaan swasta Kemitraan publik dengan swasta Tanpa peran pemerintah Dengan peran pemerintah
Konsisten dengan atribut produk Atribut produk bersifat musiman
Fleksibel dalam penawaran produk Kurang fleksibel dalam penawaran produk
(Pike 2007 dalam Rausch, 2008: 139 – 140)
• Dimensi ekonomi tempat bentuk materinya : efisiensi, kemakmuran, kualitas, nilai dan lain – lain. Bentuk simboliknya adalah pusaka, reputasi, status, tradisi dan lain – lain.
• Dimensi masyarakat tempat bentuk materinya adalah sejarah, bahasa, tengeran,
demografi dan lain – lain. Bentuk simboliknya: memori, keajegan, reputasi, gaya, saling percaya dan lain – lain.
• Bentuk dimensi tempat politik adalah administrasi, institusi, kepemimpinan dan lain – lain. Bentuk simboliknya adalah kompetensi, kharisma, tradisi, visi dan lain – lain.
• Dimensi budaya tempat bentuk materinya : artefak (benda – benda), cerita rakyat, mitos, cerita – cerita, teks dan lain – lain. Bentuk simboliknya : ikon, identitas, reputasi, tradisi, penanda visual dan lain – lain.
• Dimensi ekologi tempat: karakteristik, lingkungan, lansekap dan lain – lain. Bentuk simboliknya: otentisitas, kualitas, keunikan, dan lain – lain.
• Dan dimensi geografi tempat: lokal, lokasi dalam ruang dan waktu, dan lain – lain. Bentuk simboliknya: kepemilikan, pusaka, sejarah, memori, sense terhadap tempat, dan lain – lain.
(Simon Anholt, 2007 : 4 – 7)
•
Brand adalah produk, jasa atau organisasi yang
dipertimbangkan apabila dikombinasikan dengan nama,
identitas, dan reputasi.
•
Branding adalah proses perancangan, perencanaan dan
pengomunikasian nama dan identitas dalam rangka
membangun atau mengelola reputasi.
•
Empat aspek dari brand, yaitu identitas brand (brand
identity), citra brand (brand image), maksud/tujuan brand
(brand purpose) dan ekuitas brand (brand equity).
• Desa yang memiliki identitas berdaya saing mengacu kepada:
• UU No 6/2014 dan peraturan turunannya; • Data Podes 2014;
• Dan Permendagri No 39 tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan
• Disusunlah Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014. IPD tersebut mencakup lima dimensi:
• (1) pelayanan dasar ; • (2) kondisi infrastruktur; • (3) aksesibilitas/transportasi;
• (4) pelayanan publik;
• dan (5) penyelenggaraan pemerintahan.
• Di samping kelima dimensi tersebut, perlu ditambahkan tiga dimensi lain untuk mengonstruksi desa sebagai brand tempat endogenus. Tiga dimensi tersebut :
• (6) produk; • (7) budaya;
• dan (8) destinasi.
• Tiga dimensi tambahan tersebut hanya mungkin terjadi jika lima dimensi sebelumnya bekerja. Jadi, tiga dimensi dapat saja dikatakan turunan /hasil yang emerge dari kinerja lima dimensi. Lima dimensi dan tiga dimensi menjadi identitas desa berdaya saing
(Vancaly, 2011 : 70-71)
Makanan khas daerah
Festival daerah Situs
terasosiasi dengan seniman Situs industri Minuman khas daerah
Situs arsitektur Situs
keagamaan
Situs sejarah Cerita rakyat Situs musik
(gedung pertujukan)
Situs olah raga Situs kriminal
Bahasa dan dialek daerah
Situs film Situs
politik/ideologi Situs indigenus/arke ologi Seni dan kerajinan daerah Situs kesusasteraan
Situs militer Situs
(Ray, 2001)
•
Aset budaya berbasis tempat tersebut sebagai penanda budaya
suatu teritori. Penanda budaya tersebut merentang dari:
•
makanan, bahasa dan dialek, kerajinan, cerita rakyat, seni visual,
drama, kesusasteraan, sejarah, situs – situs pra sejarah, lansekap
dan flora serta fauna yang terasosiasi.
•
Para pihak mengontrol ekonomi lokal dengan melakukan penilaian
ulang terhadap tempat melalui identitas budaya, yang dinamakan
dengan pendekatan pembangunan berbasiskan ekonomi budaya.
•
Ekonomi terkait dengan relasi sumber daya, produksi, dan
konsumsi di mana budaya mereorganisasikan ekonomi dalam skala
geografi, yaitu teritori budaya lokal.
(Ray, 2001)
•
Sumber ide ekonomi budaya ada 3 (tiga), yaitu perubahan keadaan
dari pasca industri kapitalis konsumen. Kapitalis konsumen
menciptakan kesamaan dalam produk dan jasa (McDonalisasi),
memberikan pilihan yang seragam. Ini menyebabkan lahirnya
tuntutan untuk memberikan pilihan atau diversifikasi terhadap
produk dan jasa.
•
Lintasan kebijakan rural EU. Lintasan kebijakan EU menunjukan
kecenderungan berpindah dari sektoral ke teritorial.
•
Pertumbuhan regionalisme sebagai gejala Eropa dan global. Ini
membuka peluang pembangunan ekonomi budaya di daerah rural.
Region – region juga sedang mencoba meningkatkan daya saing
dengan melakukan promosi terhadap region.
Empat Model Operasional
Ekonomi Budaya
(Ray, 2001)
• Model I adalah komodifikasi budaya lokal/regional. Esensinya adalah penciptaan dan penetapan nilai sumber daya – sumber daya yang memiliki identitas tempat dan dapat dipasarkan secara lansung atau menggunakan pemasaran teritori
• Model II terjadi sebagai konstruksi dan proyeksi identitas teritori (baru) kepada pihak luar. Model ini menekankan penggabungan sumber – sumber budaya kepada identitas korporat untuk tujuan promosi. Model ini lebih cocok sebagai inisiasi pengembangan teritorial baru dalam organisasi yang sudah eksis atau struktur kooperasi baru untuk terlihat menonjol dalam perdagangan yang lebih luas dan kebijakan lingkungan
• Model III masih menekankan kepada strategi teritorial tetapi lebih merupakan sebagai inisiatif baru teritorial terlibat dalam penjualan dirinya secara internal : kepada komunitas, bisnis, asosiasi dan badan – badan lokal.
• Model IV mendukung ekonomi lokal dengan membelokan sumber daya budaya hingga mampu membuka jalan untuk strategi pembangunan dalam berbagai cara, dan teritori dapat memilih salah satu atau beberapa opsi. Perhatian terhadap teritori dimulai dengan berpikir dalam terminologi mengolah repertoar pembangunan teritori itu sendiri. Repertoar adalah persediaan sumber daya atau teknik - teknik reguler yang digunakan. Pemilik