SISTEM PERLADANGAN “UMO” SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN DI DUSUN RANTAU
TIPU KECAMATAN LIMBUR LUBUK MENGKUANG KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI
Hendri Marta1, Nilda Elfemi2 , Salman Assahry2 1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP PGRI Sumatera Barat 2
Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP PGRI Sumatera Barat
ABSTRACT
This shifting cultivation system is called "Umo" by the local community and is selected within the forest with an average distance of 2 - 5 km from the settlement and the place will be processed again in the next 7-10 years cycle. The purpose of this study is to describe the "Umo" cultivation system as local wisdom and "Umo" cultivation as local wisdom can be used as one of the forms of environmental sustainability. To explain the problem of this research, the theory used is Marx's ecological theory, namely the elaboration of the idea of the relationship between nature and humans. The research used qualitative approach and descriptive type. The technique of selecting informants by purposive sampling. Informants amounted to 13 people. Data collection through observation, interview and document study. Data analysis used interactive model analysis from Milles Huberman. The results showed: 1) The "Umo" cultivation system as local wisdom is seen from the selection of the location used as Umo, ie a somewhat flat place so as not to cause erosion. 2) The cultivation of "Umo" as local wisdom can be used as environmental preservation, seen from the way of cultivation of "Umo" cultivation of traditional cultivation and maintenance in a simple way and does not use pesticide 3) Umo cultivation is done by arranging time according to certain cycle, so fertility the ground is well preserved.
Keywords: “Umo”, Local Wisdom, Forest Preservation
PENDAHULUAN
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu di antara yang menerapkan teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Menurut Lahajir (2001:54), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem
perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Sistem perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur ekosistem alami (Geertz, 1976:14). Perladangan berpindah merupakan bentuk
pertanian yang bersifat tradisional. Dalam praktiknya lahan dibuka melalui upaya tebas, tebang, dikeringkan dan dibakar. Setelah cukup hujan tanah selanjutnya ditanami dengan tanaman pangan seperti padi ladang, sayur-sayuran, serta tanaman-tanaman lainnya.
Pada dasarnya perladangan berpindah yang dilakukan di tengah hutan atau belukar tidaklah merusak ekosistem secara dahsyat karena lingkungan sekelilingnya belum terganggu, kalaupun lahan bekas perladangan itu ditinggalkan, namum pemulihan lahan itu akan berlangsung dengan baik dan biasanya akan kembali dibuka setelah puluhan tahun yang akan datang (20-30 tahun). Pada saat pembukaan lahan seperti ini kesuburan tanah telah pulih walaupun jauh dari keadaan hutan primer (Rahim, 2006:21-22).
Perladangan berpindah sebagai sistem pertanian dengan lahan bukaan sementara yang ditanami selama beberapa tahun kemudian dibiarkan untuk waktu yang lebih lama dari pada waktu ditanami. Teknik pembukaan lahan yang umum dilakukan adalah dengan
menebas hutan dan membakar biomasa hasil penebasan tersebut sehingga perladangan berpindah juga sering disebut sebagai perladangan tebas bakar. Perladangan bepindah dipraktikkan oleh berbagai kelompok masyarakat tradisional di seluruh daerah tropis, termasuk Indonesia. Karakteristik dasar perladangan berpindah adalah subsistensi dan rendahnya input ke dalam sistem (Talaohu, 2013: 59).
Tujuan utama perladangan berpindah adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga petani peladang. Input dari petani peladang hanya tenaga kerja yang berasal dari keluarga mereka sendiri, sedang pemeliharaan kesuburan tanah sebagai faktor produksi utama diserahkan kepada mekanisme alamiah. Namun, keadaan itu tidak dapat dipertahankan terus-menerus karena kebutuhan akan lahan selalu mendesak, akhirnya hutan dibuka dijadikan lahan pertanian (Jumin, 2008:173). Jangka waktu pembukaan kembali lahan-lahan bekas perladangan itu lama kelamaan semakin pendek, yakni dari puluhan tahun berubah menjadi beberapa tahun (3-5 tahun). Keadaan seperti
ini mengakibatkan tidak saja terjadi pemubaziran kayu di lahan itu tetapi juga menyebabkan berlangsungnya kemunduran produktivitas lahan, sehingga kerusakan lahan tidak terelakkan lagi (Rahim, 2006:22).
Kelestarian hutan tropis bukan hanya menjadi kepentingan bangsa Indonesia sendiri, melainkan juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Artinya pengelolaan hutan di Indonesia harus menjamin pemeliharaan keamanan dari keseluruhan flora dan fauna yang ada di dalam kawasan hutan negara. Hal ini ditujukan agar sumber daya hutan mampu memberikan daya dukung lingkungan secara menyeluruh dan berkelanjutan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan umat manusia yang mencakup batasan lintas generasi maupun lintas teritori. Arti penting sumber daya hutan yang teramat luas bagi kelangsungan hidup umat manusia secara lintas teritori tersebut menjadi kewajiban bersama seluruh umat manusia di dunia untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian fungsi sumber daya hutan (Supriadi, 2008:60).
Dusun Rantau Tipu merupakan salah satu dusun di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang. Luas Dusun Rantau Tipu sebesar 221,95 km2 atau 23,8% dari wilayah Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang. Kawasan hutan di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang mencapai 359, 27 km2 atau 38,5% dari luas wilayah Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang. Dusun Rantau Tipu sendiri memiliki luas hutan sebesar 102,39 km2, terdiri dari hutan produksi dan TNKS (Sumber: Badan Pelaksana Penyuluh, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bungo, 2017). Kawasan hutan di Dusun Rantau Tipu cenderung mengalami pengurangan setiap tahunnya, terutama hutan produksi. Berkurangnya kawasan hutan ini salah satunya disebabkan sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Rantau Tipu.
Hasil observasi yang dilakukan tanggal 25 Januari 2017, petani di Dusun Rantau Tipu terdiri dari petani/pekebun dan perladangan. Jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani/pekebun sebanyak 294 orang dari 2.255 orang
masyarakat yang ada (Sumber: Kantor Dusun Rantau Tipu, 2017). Jumlah masyarakat yang melakukan perladangan “Umo” adalah 597 jiwa yang terdiri dari 241 KK dan bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Hal ini diperkuat dengan wawancara dengan dengan Bapak Hayat (60 tahun) bahwa adanya perladangan “Umo” di sekitar hutan tidak lepas dari letak Dusun Rantau Tipu yang berbatasan langsung dengan hutan. Lahan yang ada di hutan merupakan lahan yang subur karena belum pernah diolah menjadi lahan pertanian. Alasan lain penduduk melakukan perladangan
“Umo” adalah kemiskinan. Adanya
perladangan “Umo” dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan terhadap pangan, karena tanaman pada perladangan “Umo” umumnya tanaman untuk memenuhi kebutuhan, seperti padi, ubi dan cabe.
Lokasi untuk melakukan perladangan “Umo” dipilih di dalam hutan dengan jarak rata-rata 2 – 5 km dari permukiman, yaitu sesuai dengan peraturan adat yang berlaku di Dusun Rantau Tipu. Peraturan lainnya tentang perladangan “Umo”,
apabila suatu tempat telah dijadikan
“Umo”, maka tempat tersebut akan
diolah lagi pada siklus 7-10 tahun yang akan datang dan masyarakat memilih mencari lahan baru yang lebih subur. Lahan yang pernah dijadikan “Umo” dibiarkan kembali menjadi hutan. “Umo” yang dibuat oleh masyarakat umunya tidak merusak hutan, karena masyarakat membuat “Umo” tanpa menebang kayu yang ada dan masyarakat tidak membuat “Umo” pada daerah sumber air. Dalam pembuatan
“Umo” ini umumnya masyarakat
melakukannya secara berkelompok dan bekerjasama dalam mengolah
“Umo” yaitu dengan sistem barter
tenaga.
Pemilihan lahan ini dimusyawarahkan terlebih dahulu bersama-sama, yaitu menentukan tempat yang akan dijadikan “Umo” dan tanaman yang akan ditanam. Selama ini ada kesepakatan pada masyarakat Dusun Rantau Tipu, yaitu masyarakat diperbolehkan membuat “Umo” masing-masing 1 buah untuk satu keluarga. Sistem perladangan “Umo” di Dusun Rantau Tipu ini dilakukan oleh seluruh masyarakat dan tidak ada
larangan sama sekali untuk melakukan sistem perladangan
“Umo” ini. Selama ini, “Umo” di
Dusun Rantau Tipu ini ditanami dengan tanaman palawija dan berumur pendek lainnya, sehingga lahan yang digunakan sebagai ladang paling lama 1 tahun. Dalam “Umo” yang dibuat oleh masyarakat Dusun Rantau Tipu, tanaman yang dibudidayakan umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti padi ladang, cabe dan sayuran. Kesuburan tanah “Umo” ini umumnya baik sehingga tidak perlu mengeluarkan pupuk untuk kesuburan tanah dan hasil panen juga baik sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan.
Berdasarkan fakta tersebut penting untuk dilakukan penelitian tentang “Sistem Perladangan “Umo” sebagai Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi”.
Tujuan penelitian yaitu: 1) Mendeskripsikan sistem perladangan
“Umo” sebagai kearifan lokal dan 2)
Mendeskripsikan perladangan
“Umo” sebagai kearifan lokal bisa
digunakan sebagai salah satu bentuk kelestarian lingkungan.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha mengungkapkan dan memahami realitas yang ada di lapangan sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2013:3). Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Tujuan menggunakan metode kualitatif adalah untuk mendeskripsikan bagaimana Sistem Perladangan “Umo” sebagai Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.
Informan penelitian berjumlah 13 orang yaitu 5 orang tokoh masyarakat yang terdiri dari ninik mamak dan ketua lembaga adat serta 8 orang masyarakat yang membuka perladangan “Umo”
Data primer berupa sistem perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk
Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Data sekunder yaitu data literatur berbentuk buku-buku relevan data dari masyarakat dan Kantor Rio Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dengan cara mengamati secara akurat bagaimana Sistem Perladangan “Umo” sebagai Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Pengumpulan melalui wawancara yaitu untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan lebih dalam, jelas serta dapat menjawab rumusan masalah mengenai sistem perladangan
“Umo” sebagai kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Studi dokumen berupa arsip-arsip mengenai Dusun Rantau Tipu, yaitu kondisi geografis, letak, luas dan kependudukan. Dokumen yang peneliti peroleh di lapangan terdiri dari kondisi geografis, letak, luas dan kependudukan Dusun Rantau Tipu.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah kelompok yang terkait dengan sistem perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.
Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan yaitu tentang “Umo” yang ada di Dusun Rantau Tipu, jumlah penduduk yang melakukan perladangan “Umo” dan letak
“Umo”. Selanjutnya data tentang
Umo” sebagai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.
Reduksi data yang peneliti lakukan yaitu mengelompokkan data tentang sistem Perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal dan perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal bisa digunakan sebagai salah satu bentuk kelestarian lingkungan di Dusun Rantau Tipu. Penyajian data yang peneliti lakukan berupa tabel pengelompokan hasil wawancara dengan informan penelitian. Kesimpulan data adalah merupakan
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada, (Sugiyono, 2012: 99). Verifikasi data dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus sepanjang penelitian berlangsung, sejak awal memasuki lapangan atau selama proses pengumpulan data.
Penelitian ini dilakukan di Dusun Rantau Tipu, Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang, Kabupaten Bungo. Alasan penulis memilih lokasi ini karena di Dusun Rantau Tipu ini sebagian besar petani melakukan sistem perladangan
“Umo” di hutan yang ada di Dusun
tersebut Sistem perladangan “Umo” ini dilakukan masyarakat di sekitar hutan yang ada di dusun, tetapi masyarakat tidak menebang kayu yang ada di hutan tersebut. Sedangkan di dusun lainnya sudah diganti dengan perkebunan yang mayoritasnya adalah perkebunan kelapa sawit.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sistem Perladangan Berpindah
di Dusun Rantau Tipu
Sistem perladangan berpindah yang disebut “Umo” dalam masyarakat Dusun Rantau Tipu merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal dalam melestarikan hutan.
1. Pemilihan Lokasi dan Cara Perladangan “Umo”
Pemilihan tempat untuk
pembukaan “Umo”
mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya aturan tentang lokasi atau tempat yang boleh dijadikan
“Umo”, kesuburan tanah, jarak dari
permukiman dan kondisi topografi yaitu tinggi rendahnya suatu tempat. Penentuan lokasi seperti daerah datar, subur dan mudah terjangkau dan biasanya masyarakat mengolah lagi “Umo” yang pernah dibuat sebelumnya.
Masyarakat Dusun Rantau Tipu umumnya membuka perladangan
“Umo” dengan cara melanjutkan “Umo” yang pernah dibuat dan
sudah ditinggalkan beberapa tahun. Lokasi “Umo” bervariasi, yaitu datar dan lereng. Lokasi yang dipilih umumnya telah ditentukan oleh pemuka masyarakat atau pemuka adat. Jarak paling jauh berkisar 3 – 10 km dan pada “Umo” harus didirikan rumah kecil dengan tujuan dapat memelihara “Umo” yang dibuat tersebut.
2. Kerjasama dalam Melakukan Perladangan “Umo”
Kerjasama masyarakat dalam perladangan “Umo” adalah dengan masyarakat yang melakukan perladangan “Umo”, jumlah masyarakat yang saling bekerjasama biasanya sampai 15 orang dan juga serta melibatkan anggota keluarga yang belum memiliki keluarga. Kerjasama yang dilakukan masyarakat dalam melakukan perladangan “Umo” adalah dalam membuka perladangan “Umo”.
Sebelum melakukan kerjasama terlebih dahulu melakukan musyawarah dan yang diajak berkerjasama umumnya memiliki ladang di tempat yang sama dan saling berdampingan.
3. Musim Melakukan Perladangan “Umo”
Pembukaan lahan dilakukan pada musim kemarau yaitu pada bulan April sampai dengan bulan September. Pemilihan musim kemarau ini didasari adanya pemahaman bahwa penebasan dan penebangan yang dilakukan di musim kemarau lebih memudahkan dalam pengerjaan, pengeringan,
pembakaran serta pembersihan lahan yang dilakukan.
Musim yang dipilih untuk membuka “Umo” adalah musim kemarau dan untuk penanaman musim hujan. Pada musim penghujan para petani tidak ada melakukan penebasan atau penebangan. Mereka beranggapan pembukaan lahan di musim ini tidak mendukung dengan kondisi alam karena lahan yang sudah ditebas dan ditebang tidak dapat dibakar dan dibersihkan, kemudian apabila musim penghujan berlangsung dalam jangka waktu lama, maka lahan yang sudah ditebas/ditebang akan kembali ditumbuhi semak belukar sehingga tidak jadi ditanami.
4. Alasan Melakukan Perladangan “Umo”
Masyarakat Dusun Rantau Tipu melakukan perladangan “Umo” karena disebabkan beberapa faktor dalam sistem pengelolaan hutan yang menjadi tempat mereka tinggal. Masyarakat Dusun Rantau Tipu melakukan perladangan “Umo” dengan alasan ekonomi. Dengan melakukan perladangan berpindah, masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan hidup dan berbagai biaya yang dibutuhkan.
Masyarakat Dusun Rantau Tipu alasan masyarakat melakukan perladangan “Umo” karena banyak masyarakat yang melakukan perladangan “Umo”. Alasan masyarakat Dusun Rantau Tipu melakukan perladangan “Umo” diantaranya untuk mata pencaharian, alasan ekonomi dan kebiasaan masyarakat yang sudah berlangsung lama.
5. Jenis Tanaman dan Gangguan dalam Perladangan “Umo”
Jenis tanaman pada perladangan
“Umo” oleh masyarakat Dusun
Rantau Tipu umumnya tanaman untuk kebutuhan harian untuk dimakan. Tanaman tersebut yaitu padi, jagung dan sayuran. Selain itu, masyarakat juga menanam cabe di
“Umo”. Sedangkan gangguan pada “Umo” yaitu burung dan hama.
Tanaman pada perladangan “Umo” umumnya seragam dan untuk dikomsumsi sendiri.
Tanaman yang ditanam pada
“Umo” oleh masyarakat Dusun
Rantau Tipu yaitu padi ladang dan cabe. Gangguan yang dialami oleh masyarakat pada “Umo” umumnya
tidak ada. Masyarakat Dusun Rantau Tipu menanam jenis tanaman yang seragam, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan sebagian kecil ada yang dijual.
5.2 Perladangan “Umo” sebagai Kearifan Lokal
Sistem Perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal terlihat dari penentuan lokasi mengambarkan adanya suatu pemahaman konsep yang bagus mengenai lokasi pertanian. Seperti kondisi topografi yang datar dapat memudahkan dalam proses pengerjaan lahan dan humus tanah tidak cepat hilang. Kemudian tanah yang subur biasannya diketahui dari pengamatan mereka terhadap tanaman yang ditanam. Tanaman yang pertumbuhannya bagus menunjukkan kondisi tanah yang subur, sementara tanaman yang
pertumbuhannya lambat
diidentifikasikan sebagai tanah yang kurang subur.
1. Cara Pengolahan Lahan dan Pemeliharaan Tanaman Perladangan “Umo”
Cara masyarakat Dusun Rantau Tipu mengolah lahan untuk perladangan “Umo” dengan cara ditebang dan dibakar, sesudah itu
baru ditanam. Masyarakat juga membuat rumah kecil di “Umo” untuk menunggui tanaman mereka.
Masyarakat juga melakukan pembersihan jika tanaman sudah ditumbuhi rumput. Cara pengolahan lahan perladangan “Umo” salah satunya adalah memelihara isi hutan di sekitar “Umo” seperti kayu dan binatang yang ada di sekitar “Umo”. Cara membuka lahan untuk perladangan “Umo” umumnya dilakukan dengan cara tradisional yaitu menebas dan membakar. Selanjutnya lahan tersebut ditanam. Dalam pemeliharaan, petani umumnya membersihkan “Umo” yang mereka miliki.
2. Jumlah dan Luas Perladangan “Umo”
Masyarakat Dusun Rantau Tipu umumnya memiliki 1 “Umo” dan sudah melakukan perladangan
“Umo” sebanyak 4 kali. Masyarakat
membuat 1 “Umo” ini sesuai dengan kesanggupan mereka untuk mengelola “Umo” tersebut serta ditempat yang sudah pernah dijadikan “Umo”. Masyarakat membuat “Umo” setelah 1 – 3 tahun, dibiarkan dulu menjadi hutan.
Masyarakat Dusun Rantau Tipu umumnya membuat “Umo” di tempat yang masin kosong. Dari wasil wawancara juga terihat ada masyarakat yang memiliki lebih dari 1 “Umo” dan sudah melakukan perladangan “Umo” sejak tahun 1980 dan puluhan lokasi. Masyarakat Dusun Rantau Tipu umumnya memiliki “Umo” mencapai 2 Ha dalam satu tahun.
3. Tanggapan Masyarakat terhadap perladangan “Umo”
Perladangan “Umo” bagi masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai lahan yang akan memberikan hasil utama padi yang nasinya sangat enak dan beraroma harum. Lebih dari itu, ladang juga punya sisi-sisi lain, yang tidak ditemukan pada lahan basah, yaitu dari segi waktu pengolahan dan biaya pengolahan. Masyarakat Dusun Rantau Tipu memilih lokasi untuk perladangan
“Umo” umumnya setuju dengan
sistem perladangan “Umo” dengan alasan untuk menyambung hidup dan lebih untuk memenuhi kebutuan hidup. Masyarakat Dusun Rantau Tipu umumnya melakukan perladangan “Umo” sehingga menjadi kebiasaan. Hasil panen dari
Umo ini umumnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dan ada yang bisa dijual.
4. Penggunaan Hasil Perladangan “Umo”
Masyarakat Dusun Rantau Tipu menggunakan hasil “Umo” untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu padi ladang. Sayur dan cabe juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu dikonsumsi sehari-hari. Masyarakat Dusun Rantau Tipu menggunakan hasil “Umo” untuk dipakai dan dimakan sendiri dan kelebihan konsumsi ada yang dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
5. Larangan dan Pihak yang Mengawasi Perladangan “Umo” Larangan yang berlaku dalam perladangan “Umo” biasanya sudah diketahui oleh masyarakat. Larangan ini intinya adalah menjaga kelestarian hutan. Bentuk larangan diantaranya membuat “Umo” pada tempat yang sama dalam jarak waktu yang pendek. Apabila ada masyarakat yang melakukan pelanggaran, maka akan menimbulkan penyakit bagi pelakunya.
Adanya larangan yang berlaku bagi masyarakat dalam perladangan
“Umo”. Adanya larangan dalam
perladangan “Umo” di Dusun Rantau Tipu ini intinya adalah memelihara kelestarian hutan, karena masyarakat menganggap hutan merupakan tempat peradaban dan bukan sekedar tepat untuk berladang. 6. Siklus melakukan Perladangan
“Umo”
Siklus perladangan “Umo” yang biasa dilakukan oleh masyarakat umumnya 6 bulan. Sedangkan untuk waktu agar “Umo” dapat diolah kembali paling cepat 3 tahun. Penetapan waktu 3 tahun dini merupakan aturan adat yang berlaku di Dusun Rantau Tipu dan jika dilanggar akan mengalami sakit. Lahan yang digunakan untuk ladang berpindah terus digunakan hingga waktu yang sangat lama. Lahan yang digunakan menjadi ladang, dalam waktu 2 hingga 3 tahun akan ditinggalkan, karena lahan sudah tidak produktif. Ketika lahan pertama yang telah ditinggalkan kembali subur, lahan kembali dibuka menjadi ladang, dan lahan kedua akan ditinggalkan.
Penjelasan Marx mengenai „keretakan metabolisme‟ ini dimulai dengan kritiknya terhadap teori populasi-lebihnya (overpopulation) Thomas Malthus. Teori Malthus, bagi Marx, sangat problematik dari dua sisi. Sisi pertama, teori itu tidak lebih sebagai ekspresi brutal dari kepentingan modal. Namun lebih dari pada itu, Mathus menganggap masalah populasi-lebih terjadi di semua epos masyarakat.
Sistem perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal terlihat dari pemilihan lokasi yang dijadikan Umo, yaitu tempat yang agak datar sehingga tidak menimbulkan erosi. Dalam membuka lahan untuk Umo, masyarakat melibatkan anggota keluarga serta masyarakat lain dan dikerjakan pada musim kemarau. Masyarakat umumnya membuat perladangan “Umo” karena faktor kebiasaan dan memilih tanaman untuk keperluan sehari.
Marx mempertanyakan penolakan Malthus untuk melihat perbedaan spesifik yang ia anggap ada dalam formasi sosial yang berbeda yang terjadi di tiap fase berbeda perkembangan sejarah. Marx menekankan pentingnya
memperhatikan perbedaan modus produksi sosial yang mendeterminasi perkembangan masyarakat yang kemudian mengondisikan fenomena populasi-lebih (Foster, 2000: 143).
Perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal bisa digunakan sebagai salah satu bentuk kelestarian lingkungan, terlihat dari cara pengolahan tanaman yaitu cara tradisional dan pemeliharaan dengan cara sederhana dan tidak memanfaatkan pestisida. Perladangan “Umo” juga digunakan pada waktu siklus tertentu, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga.
Marx tentang metabolisme justru ekspresi atas gagasan alienasi terhadap alam yang berhubungan erat dengan alienasi atas kerja. Menurut Tim Hayward yang dikutip oleh Foster, gagasan metabolisme sosio-ekologis Marx menangkap aspek fundamental keberadaan manusia sebagai makhluk alam sekaligus sosial, dimana metabolisme diatur dari dari sisi alam melalui hukum alam yang melingkupi berbagai proses fisik, dan dari sisi masyarakat melalui insititusionalisasi norma yang mengatur pembagian kerja dan
distribusi kekayaan (Foster, 2000: 159).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Marx tentang konsep „keretakan metabolisme‟ yang diajukan Marx tentang „tanah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar pada hukum komersial yang berlaku‟ (Foster, 2000:156). Secara spesifik Marx memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antagonistik antara desa dengan kota, dimana tanah-tanah subur di pedesaan „dirampok‟ dalam rangka mendukung industrialisasi. Sistem perladangan “Umo” dilakukan oleh
masyarakat dengan
mempertimbangkan kesuburan tanah dengan cara membiarkan tanah yang telah diolah beberapa untuk menjadi subur kembali melalui cara alami KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan judul sistem perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian hutan di Dusun Rantau Tipu Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, dapat diambil
kesimpulan, yaitu: 1) Sistem perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal terlihat dari pemilihan lokasi yang dijadikan Umo, yaitu tempat yang agak datar sehingga tidak menimbulkan erosi, membuka lahan dengan melibatkan anggota keluarga dan masyarakat lain dan dikerjakan pada musim kemarau. Masyarakat membuat perladangan “Umo” karena faktor kebiasaan dan memilih tanaman untuk keperluan sehari dan 2) Perladangan “Umo” sebagai kearifan lokal bisa digunakan sebagai salah satu bentuk kelestarian lingkungan, terlihat dari cara pengolahan lahan dan pemeliharaan tanaman perladangan “Umo” yaitu cara tradisional dan pemeliharaan umumnya dengan cara sederhana dan tidak memanfaatkan pestisida. Perladangan “Umo” juga digunakan pada waktu siklus tertentu, sehingga kesuburan tanah tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Foster, John Bellamy. 2000. Ekologi
Marx, Materialisme dan Alam.
Terjemahan Pius Ginting. Jakarta: Aliansi Muga Progresuf
Geertz, Clifford. 1976. Involusi
Pertanian (Proses Perubahan
Ekologi di Indonesia). Jakarta:
Jumin, H.B. 2008. Dasar-dasar
Agronomi. Jakarta: PT. Radja
Grafindo
Lahajir, Y. dan H.S.Ahimsa-Putra. 2001. “Etnoekologi Perladangan Berpindah Orang Dayak Tonyooy-Rentenukng di Dataran Tinggi Tunjung, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur”. Sosiohumanika 13 (2): 245-261.
Moleong J, Lexy. 2013. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Moch.Nazir. 2003. Metode
Penelitian. Jakarta: Salemba
Empat
Rahim, Supli Effendi. 2006.
Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta : PT Bumi Aksara
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Ifabeta: CV.
Alvabeta.
Supriadi, 2008. Hukum Kehutanan
dan Hukum Perkebunan di
Indonesi. Jakarta: Sinar Grafika
Talaohu, Moda. 2013 Perladangan Berpindah: Antara Masalah Lingkungan dan Masalah Sosial. Populis, Volume 7 No 1 Maret 2013, ISSN 1907-9893