Nama : Dewi Adithyanti Pramitha
Alamat : Jl. Gagak Gg. Sadang Saip III No. 121 RT 5 RW 10 Kelurahan Sadang Serang, Kecamatan Coblong, Bandung 14033
Tempat/Tanggal Lahir : Banjarmasin, 8 September 1992
Nama Universitas : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung Alamat Universitas : Jl. Dipati Ukur No. 35, 40132, Indonesia
OTONOMI DAERAH DAN PENGENTASAN ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA
Problematika mengenai kemiskinan
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang adalah masalah kemiskinan. Bank dunia mencatat bahwa setengah dari populasi dunia, hidup dengan pendapatan di bawah rata-rata yaitu di bawah US$ 2 per hari. Bank Dunia (2010) juga mendefinisikan ulang kemiskinan sebagai berikut: “Poverty is pronounced deprivation in well-being, and comprises many dimensions. It includes low income and the inability to acquire the basic goods and services necessary for survival with dignity. Poverty also encompasses low level of health and education, poor access to clean water and sanitation, inadequate physical security, lack of voice and insufficient capacity and opportunity to better one’s life”.
Indonesia sebagai salah satu dari negara berkembang, sebenarnya sudah menunjukkan kemajuan dalam rangka mengurangi kuantitas angka kemiskinan. Angka kemiskinan di Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan 2011 terus menurun. Berdasarkan Worldfactbook, BPS, dan World Bank, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat bila dibandingkan dengan negara lain. Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa krisis multidimensional yang terjadi pada periode 1997-1998 telah membalikkan trend penurunan kemiskinan dan menyebabkan angka kemiskinan melonjak hingga mencapai 49,50 juta jiwa (atau 24,23%) pada tahun 1998.
Sebagaimana terlihat dalam Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia (1996-2012), secara bertahap angka kemiskinan terus menurun menjadi 35,10 juta atau 15,97% (2005), 32,53 juta atau 14,15% (2009), dan padabulan September 2012 menjadi 28,59 juta jiwa atau 11,66% dari populasi penduduk. Angka kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menggunakan nilai garis kemiskinan, dimana penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori/kapita/hari dan non makanan, yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia (1996-2012)
jumlah penduduk miskin pada periode 2007-2009 berkurang di atas 2 juta jiwa setiap tahunnya (atau di atas 1% per tahun). Namun demikian pada periode 2010-2012 tingkat penurunan jumlah penduduk miskin berkurang menjadi antara 1,1-1,5 juta jiwa per tahun (atau berkisar 0,7-0,9% per tahun).
Tabel II : Persebaran dan Perubahan Angka Kemiskinan di Indonesia (1996-2012)
Otonomi daerah dan pengentasan angka kemiskinan
Salah satu dasar pemikiran diberlakukannya otonomi daerah menurut Penjelasan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah, pemberitahuan otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Jadi pada dasarnya otonomi daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
atas kebijakan pemerintah daerah. Dalam era otonomi luas ini menuntut jajaran pemerintah daerah dapat mengambil peran yang lebih besar dalam upaya mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan peran yang lebih besar pada pemerintah daerah ini maka peran pemerintah pusat makin bergeser pada hal-hal yang bersifat konsepsional.
Paradigma penanggulangan kemiskinan melalui sistem otonomi daerah adalah bahwa kebijakan atau program untuk mengurangi kemiskinan akan berhasil apabila “kaum miskin” menjadi faktor utama dalam perang melawan kemiskinan. Untuk membantu “kaum miskin” keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi dan kebijakan yang tepat dari pemerintah khususnya pemerintah daerah. Namun, selama ini pemerintah dianggap gagal melakukan program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat, karena kebijakan yang diambil sifatnya sentralistik.
Optimalisasi Otonomi Daerah
Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah maka diperlukan reorientasi peran, baik pemerintahan pusat maupun daerah dalam program-program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dalam sistem otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pengawas, dan pendampingan bagi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan saja.
memandirikan masyarakat akan lebih daripada memanjakan masyarakat melalui bantuan uang.
Kemiskinan merupakan meta masalah (masalah di atas segala masalah), sehingga untuk mengatasinya harus terlebih dahulu menyelesaikan seluruh masalah pada tingkat di bawahnya (low level problem), seperti masalah kesehatan, pendidikan, ketersediaan pangan dan nutrisi, air bersih dan sanitasi, akses permodalan, ketersediaan infrastuktur, dampak perubahan cuaca dan bencana alam, konflik dan kekerasan, stabilitas keamanan, korupsi, bad governance yang mengakibatkan misalokasi sumber daya alam dan ketidak-adilan sosial, kepemilikan aset produksi, nilai tukar petani/nelayan, angka kelahiran yang tinggi, pengelolaan fiskal dan moneter, hingga bad corporate governance yang menyebabkan bubble economy dan krisis keuangan. Anatomi kemiskinan di Indonesia secara komprehensif dapat terlihat pada Diagram berikut ini:
Kompleksitas anatomi kemiskinan tersebut menyebabkan permasalahan kemiskinan tidak hanya dapat diatasi dengan pendekatan ekonomi semata, namun sangat terkait dengan dinamika sosial, politik dan budaya yang melekat dalam suatu komunitas, sehingga pengentasan kemiskinan bersifat multi-dimensi dan memerlukan sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antar Sektor dan antar Regional.
aspirasi masyarakat, kebutuhan dan cita-cita masyarakat. Otonomi daerah mempunyai tujuan yaitu untuk efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pembangunan seluruh aspek kehidupan di masyarakat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perlu kita ingat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan lagi negara yang menerapkan sistem pemerintahanan yang sentralistik seperti masa orde baru dimana pemerintah pusat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk “menyetir” setiap kebijakan pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah tidak punya taring untuk membuat kebijakan yang akan memajukan daerahnya. Otonomi daerah adalah sebuah konsep yang mengarahkan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang mampu mensejahterakan masyarakatnya karena pemerintah daerah diharapkan lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerahnya dan lebih mengetahui potensi di daerahnya.
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Penanggulangan Kemiskinan
Dengan adanya otonomi daerah maka diharapkan terdapat peningkatan efisiensi, efektivitas, serta akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat serta mengembangkan sumber daya produktif daerah (Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).
Melalui otonomi daerah, diharapkan terdapat keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang optimal dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi aktif dari masyarakat, karena pada dasarnya terkandung misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, antara lain:
1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penngelolaan sumber daya daerah. 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Seperti pendapat dari Amartya Sen diatas yang mengungkapkan bahwa seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan kemampuan (capabilities), kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms). Ketiga hal inilah yang mencerminkan bahwa sebenarnya kemiskinan bukan terletak pada keterbatasan ekonomi saja namun juga keterbatasan kemampuan, kesempatan dan kebebasan manusia untuk keluar dari garis kemiskinan. Selama ini kita selalu melihat kemiskinan sebagai sebuah objek yang sangat penting sehingga harus ditanggulangi, namun pernahkah terpikir bahwa seharusnya yang ditanggulangi itu adalah subjek dari kemiskinan tersebut. Mensejahterakan “kaum miskin”, mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan akan lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat dari Amartya Sen, dapatlah kita menarik sebuah kesimpulan bahwasanya memberantas kemiskinan dapat dilakukan dengan cara
1. Meningkatkan kemampuan masyarakat baik untuk rakyat miskin sebagai langkah represif dan masyarakat yang “hampir miskin” sebagai langkah preventif untuk bisa berjuang keluar dari garis kemiskinan.
2. Memberikan kesempatan untuk mereka agar dapat mengembangkan kemampuan serta keahlian meraka dan turut berpartisipasi untuk menanggulangi kemiskinan.
3. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri, menciptakan pribadi yang mandiri dengan usaha dan keahlian yang mereka miliki.
Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan dan memberikan ketiga hal ini antara lain dengan cara :
1. Membuat variable-variabel data masyarakat yang bertujuan untuk melihat hal-hal yang paling dibutuhkan masyarakat sehingga pemerintah daerah dapat memberikan fasilitas-fasilitas yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat.
3. Pendataan mengenai potensi-potensi setiap daerah oleh pemerintah daerah dengan akurat dan sistematik, kemudian memperdayakan masyarakat daerah untuk memaksimalkan potensi tersebut.
4. Menyediakan tenaga-tenaga ahli untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang kemudian akan berguna untuk masyarakat dalam memperjuangkan dirinya keluar dan tidak terjebak dalam garis kemiskinan. Sehingga pelatihan inilah yang akan meningkatkan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia yang mandiri untuk memaksimalkan potensi-potensi dearah mereka.
Selama ini pemerintah telah membuat strategi dalam mengurangi kemiskinan yang dibagi menjadi 3 klaster, antara lain :
1. Klaster 1 :
Program bantuan perlindungan sosial terpadu berbasis keluarga, yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin, dan perbaikan kulaitas hidup keluarga miskin. Program utamanya adalah Beras Miskin, Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, Bantuan Operasional Sekolah, dan Bantuan Siswa Miskin.
2. Klaster Kedua
Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat melalui program PNPM Mandiri yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat melalui usaha dan bekerja bersama untuk mencapai keberdayaan dan kemandirian dengan sasaran kelompok masyarakat/kecamatan miskin.
3. Klaster ketiga
memberikan akses permodalan dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Dapat kita lihat bahwa strategi pemerintah pada klaster kedua merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat. Namun, dalam strategi pemberdayaan ini jika dicermati upaya-upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia sangatlah kurang, karena strategi-strategi ini hanya sebatas memberikan kesempatan dan kebebasan, namun untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia masih dilihat sangat kurang. Meningkatkan kemampuan seperti keahlian dan memberikan pelatihan akan lebih efektif, sehingga dengan ini mereka dapat berjuang untuk keluar dari jebakan kemiskinan secara mandiri.
Maka Pemerintah Daerahlah yang seharusnya berdiri sebagai garda pertama dan utama, berdiri di barisan depan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerahnya sehingga tujuan untuk mengentaskan kemiskinan akan terwujud. Perlu kita ingat kembali bahwasanya semangat otonomi daerah untuk mengentas kemiskinan dengan latar belakang dan kenyataan bahwa “daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing-masing”. Oleh karena itulah pemerintah daerah memegang peranan utama agar semangat ini dapat terwujud.
Kita tidak mungkin melihat masyarakat yang miskin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tidak mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak karena keterbatasan ekonomi, kita juga tidak mungkin hanya menyediakan bantuan uang yang bersifat habis pakai sementara subjek dari kemiskinan tersebut tidak dimandirikan. Keterbatasan ekonomi memang merupakan penyebab kemiskinan, namun akar dari itu semua adalah ketidakmampuan seseorang dan keterbatasan kesempatan kebutuhan dan keinginannya.
Kesimpulan
kemiskinan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, serta akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Melalui otonomi daerah yang menerapkan prinsip-prinsip good governance yang diterapkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), diharapkan pemerintah daerah akan lebih mampu membuat kebijakan-kebijakan yang akan menampung semua aspirasi, kebutuhan dan cita-cita masyarakat serta memperhatikan kepentingan masyarakat.
Dengan peran yang lebih besar pada pemerintah daerah ini maka peran pemerintah pusat makin bergeser dari yang sebelumnya sangat dominan, berubah pada hal-hal yang bersifat konsepsional dan menjadi sekedar pemberi fasilitas, pengawas, dan pendampingan bagi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan saja. Sudah saatnya, pemerintah mengembalikan lagi arah kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan melibatkan daerah secara penuh.