• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN PENELITIAN, PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN DALAM DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETERKAITAN PENELITIAN, PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN DALAM DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN PENELITIAN, PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN

DALAM DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN

Linkage among Research, Education, Training, and Extension in the Dissemination of Agricultural Technological Innovation

Kurnia Suci Indraningsih

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jln. A. Yani No. 70, Bogor 16161

E-mail: kurniasuci@yahoo.com ABSTRACT

Some problems in agricultural sector, among others, are gap between the needs of community and the development of innovation done by researchers, and between innovation produced by research institution and university and the accessibility of agricultural community. This study aimed to analyze linkages among research, education, training, and agricultural extension activities in the implementation of agricultural innovation dissemination. Research locations covered Banten, West Java, East Nusa Tenggara which were selected purposively with 166 respondents consisted of leaders of research institutions and education/training/extension, policy makers, service agencies related to the field of research from the center to regions; (2) key informants; (3) farmer groups; (4) extension workers, (5) trainers: and (6) researchers. Data were analyzed descriptive qualitatively. The results showed that the linkage among research institutions, educational and training institutions, extension institutions, and the directorate general of Ministry of Agriculture at central level still focused on the program of four successes in the Strategic Plan of Ministry of Agriculture. Integration of synergy and coordination among these institutions was still unseen. Weakness in the linkages among institutions is lack of clarity of working relationship between institutional system of technical, research and development, and agricultural extension. Cyber extension supported by Spectrum Dissemination Multi Channel as a forum for actual dissemination, has not been supported by dynamization, actualization of information and innovation, as well as interactive and convergent communication among stakeholders. Regulation of the Minister of Agriculture governing inter-institutional working relationship needs to be accompanied by technical guidelines for operations in the field equipped with rewards and punishments.

Keywords: linkage, research, education and training, extension, dissemination

ABSTRAK

Permasalahan di sektor pertanian antara lain berupa kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan pengembangan inovasi yang dilakukan oleh peneliti, kesenjangan antara inovasi hasil penelitian Litbang dan perguruan tinggi dengan aksesibilitas masyarakat pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanian dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian. Lokasi penelitian mencakup Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan responden, yaitu 1) pimpinan lembaga penelitian, pendidikan/pelatihan dan penyuluhan, penentu kebijakan, lembaga pelayanan yang terkait dengan bidang penelitian dari pusat sampai daerah; 2) informan kunci; 3) kelompok tani; 4) penyuluh; 5) widyaiswara; serta (6) peneliti dengan jumlah responden 166 orang. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterkaitan antara lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga penyuluhan, dan direktorat jenderal teknis lingkup Kementan di tingkat pusat masih berorientasi pada program empat sukses pada Renstra Strategis Kementan. Sinergitas dan koordinasi antarlembaga tersebut belum terlihat keterpaduannya. Informasi dan teknologi yang dihasilkan lembaga penelitian tidak selalu diacu lembaga pendidikan dan pelatihan maupun lembaga penyuluhan. Kelemahan dalam keterkaitan antarlembaga adalah belum adanya kejelasan tata hubungan kerja antarkelembagaan teknis, penelitian, dan pengembangan, serta penyuluhan pertanian. Ego subsektoral masih sangat kuat dan kurang produktif. Cyber extension yang didukung Spektrum Diseminasi Multi Channel (SDMC) sebagai wadah kelembagaan diseminasi yang aktual masih berjalan di masing-masing, belum didukung dengan dinamisasi, aktualisasi informasi dan inovasi, maupun komunikasi yang interaktif dan konvergen antarpihak terkait. Permentan yang mengatur hubungan kerja antarkelembagaan perlu disertai pedoman teknis operasional di lapangan yang dilengkapi dengan penghargaan dan sanksi.

(2)

PENDAHULUAN

Diseminasi inovasi hasil penelitian/pengkajian pertanian merupakan aktivitas komunikasi yang penting dalam mendorong terjadinya proses penerapan dan penyebaran teknologi dalam suatu sistem sosial perdesaan. Hasil penelitian/pengkajian akan memberikan manfaat bagi masyarakat petani apabila komponen teknologi yang dihasilkan diterapkan petani dalam pengelolaan usaha taninya. Untuk itu, informasi hasil penelitian/pengkajian perlu disebarluaskan, baik kepada pengguna antara maupun pengguna akhir, melalui berbagai metode penyuluhan maupun media informasi yang akan dijadikan pendukung kegiatan penyuluhan pertanian di daerah dan pada akhirnya membantu petani meningkatkan efisiensi dalam mengelola usaha tani.

Hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) cenderung lambat, bahkan menurun. Teknologi baru yang dihasilkan Balitbangtan memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk diketahui oleh Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) sebanyak 50%. Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut di tingkat petani tentu diperlukan waktu lebih lama lagi. Kesenjangan antara subsistem penyampaian dan subsistem penerimaan inovasi merupakan penyebab lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi (Balitbangtan 2004).

Tantangan penyuluhan pertanian dalam penyampaian inovasi pertanian ke depan adalah bagaimana senantiasa mampu mengembangkan inovasi pertanian yang tepat guna, partisipatif, dan berkelanjutan? Tantangan semacam ini semakin sulit dijawab dengan sistem penyuluhan yang tersubordinasi oleh kepentingan sempit proyek-proyek dinas yang lebih berorientasi hanya pada pembelanjaan anggaran dibanding menjawab kebutuhan petani (Sumardjo 2012). Tantangan tersebut sebenarnya dapat dijawab dengan terjadinya keterpaduan (interface) antara peran-peran 1) lembaga penyuluhan; 2) lembaga penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks); 3) lembaga pendidikan dan pelatihan (Perguruan Tinggi dan Diklat Pertanian); 4) lembaga pengaturan (penentu kebijakan), dunia bisnis (swasta); dan 5) lembaga pelayanan (dinas dan instansi terkait); serta 6) kebutuhan petani dan usaha tani.

Keterpaduan tersebut setidaknya harus fokus mengarah pada terjadinya keterpaduan peran antarlembaga terkait dalam sistem agribisnis yang mengarah pada potensi, permasalahan, dan kebutuhan riil petani dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya pertanian. Substansi yang diteliti oleh lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) dan perguruan tinggi adalah permasalahan dan kebutuhan riil petani, kelompok tani, dan komunitas petani. Materi penyuluhan merupakan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga Litbang/perguruan tinggi yang benar-benar tepat guna bagi upaya menjawab kebutuhan petani (Sumardjo 2012). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanian dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani.

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Peran lembaga penelitian, Balitbangtan, dalam sistem inovasi pertanian nasional adalah 1) menemukan atau menciptakan inovasi pertanian maju dan strategis; 2) mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi; dan 3) menginformasikan dan menyediakan materi dasar inovasi/teknologi (Balitbangtan 2004). Adapun yang menjadi tugas pokok dan fungsi Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, yaitu 1) mengembangkan sistem penyuluhan pertanian yang komprehensif dan terpadu; (2) mengembangkan sistem pelatihan pertanian yang berbasis kompetensi kerja; dan 3) mengembangkan pendidikan, standarisasi, dan sertifikasi profesi SDM pertanian yang kredibel. Keterkaitan antara lembaga penelitian dan lembaga pendidikan/pelatihan dan penyuluhan ditampilkan pada Gambar 1.

(3)

Sumber: diadaptasi dari Slamet (2001)

Gambar 1. Kerangka keterkaitan antarlembaga dalam diseminasi inovasi pertanian

Data dan Metode Analisis

Data primer terdiri atas data kuantitatif (jawaban pertanyaan semiterstruktur dalam kuesioner) dan data kualitatif (data penjelas dari fenomena yang diamati, baik yang diperoleh dari lembaga penelitian, lembaga pendidikan/pelatihan dan penyuluhan, lembaga penentu kebijakan, dan lembaga pelayanan di dinas lingkup pertanian provinsi, kabupaten, kecamatan, maupun desa (kelompok tani sebagai penerima inovasi).

Data sekunder diperoleh dari instansi, seperti Badan Litbang Pertanian, Puslit/Puslitbang atau Balit, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Pusat Penyuluhan Pertanian, Pusat Pedidikan dan Pelatihan Pertanian, Bakorluh, Bapeluh, dan Dinas Pertanian yang terkait. Di samping itu, data sekunder juga dapat diperoleh dari media, baik cetak maupun elektronik.

Lokasi penelitian mencakup wilayah Provinsi Jawa Barat, Banten, dan Nusa Tenggara Timur. Pemilihan provinsi dan kabupaten dilakukan secara sengaja (purposive) yang dinilai representatif untuk dilakukan penelitian keterkaitan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian.

Responden dalam kegiatan penelitian ini adalah 1) pimpinan lembaga penelitian, lembaga pendidikan/pelatihan dan penyuluhan, lembaga penentu kebijakan, lembaga pelayanan yang terkait dengan aspek penelitian dari pusat sampai daerah (pusat, provinsi, dan kabupaten); 2) informan kunci (kontak tani, aparat pemerintah, penyuluh swasta, dan lain-lain); 3) kelompok tani; 4) penyuluh; 5) widyaiswara; serta 6) peneliti dengan jumlah responden sebanyak 166 orang. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keterkaitan di Tingkat Pusat

Pengertian keterkaitan antara lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga penyuluhan, dan direktorat jenderal teknis lingkup Kementerian Pertanian di tingkat pusat masih berorientasi pada program empat sukses yang tercantum pada Rencana Strategis Kementerian Pertanian (Kementan 2010). Sinergitas dan koordinasi antarlembaga tersebut dalam upaya pencapaian tujuan program masih belum terlihat keterpaduannya, masih berjalan masing-masing. Informasi dan teknologi yang dihasilkan lembaga penelitian tidak selalu diacu lembaga pendidikan dan pelatihan maupun lembaga penyuluhan.

KELEMBAGAAN/ ORGANISASI PETANI

DISEMINASI INOVASI KELEMBAGAAN

INDUSTRIALISASI PERTANIAN PERDESAAN SUMBER INFORMASI LEMBAGA PENDIDIKAN/ PELATIHAN LEMBAGA PENELITIAN LEMBAGA PENYULUHAN LEMBAGA PENDUKUNG - Lembaga penentu kebijakan - Lembaga pelayanan

(4)

Keterkaitan pusat pendidikan, standardisasi, dan sertifikasi pertanian dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui hasil-hasil penelitian belum seperti yang diharapkan. Hal ini karena hasil penelitian yang disampaikan ke BPPSDMP berupa publikasi seperti jurnal ataupun prosiding, padahal kajian SDM tentang profil/kualitas SDM yang spesifik dan kinerja SDM pertanian, terkait dengan dampak mengikuti pendidikan dan pelatihan sangat dibutuhkan. Keterkaitan antara dua lembaga dapat memungkinkan terjadi apabila ada program nasional yang ditargetkan Kementan seperti Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang melibatkan Balitbangtan maupun BPPSDMP. Sistem sertifikasi yang selama ini dibangun oleh Pusat Pendidikan semestinya melibatkan Balitbangtan dalam proses penilaiannya. Pendidikan yang dikelola oleh Pusat Pendidikan, Standardisasi, dan Sertifikasi Pertanian meliputi pendidikan tinggi, yakni enam Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) dan pendidikan menengah, yakni Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan (SMKPP). Pembinaan teknis STPP dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sedangkan SMKPP oleh Pusat Pendidikan, Kementan.

Pusat Pelatihan Pertanian (Puslatan) diharapkan menjadi “Pusat Pelatihan Pertanian yang andal dalam memantapkan sistem pelatihan untuk menghasilkan SDM pertanian profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global”. Tugas Puslatan adalah merumuskan kebijakan dan program pengembangan SDM aparatur dan nonaparatur melalui pelatihan. Dalam melaksanakan tugas tersebut Puslatan menyelenggarakan fungsi, yaitu 1) penyusunan program dan kerja sama, 2) penyelenggaraan pelatihan, dan 3) kelembagaan dan ketenagaan pelatihan. Puslatan didukung dengan tenaga fungsional widyaiswara yang menyebar di sepuluh lokasi Balai Pelatihan, yakni 1) Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian, Ciawi; 2) Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan Cinagara, Bogor; 3) Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang; 4) Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan, Malang; 5) Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu, Malang; 6) Balai Besar Pelatihan Pertanian Batangkaluku, Makasar; 7) Balai Besar Pelatihan Pertanian Binuang, Kalimantan Selatan; 8) Balai Besar Pelatihan Peternakan Kupang; 9) Balai Besar Pelatihan Pertanian, Jambi; dan 10) Balai Besar Pelatihan Pertanian Lampung. Materi pelatihan yang disampaikan widyaiswara kepada peserta pelatihan, baik aparatur maun nonaparatur seyogianya diacu dari hasil-hasil penelitian lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi.

Keterkaitan Puslatan dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam hal peningkatan kompetensi SDM widyaiswara melalui kegiatan magang ataupun pelatihan sesuai substansi yang dibutuhkan. Pusat maupun Balit komoditas lingkup Balitbangtan dan Institut Pertanian Bogor menjadi tempat magang atau pelatihan bagi widyaiswara. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa materi pelatihan yang disampaikan para widyaiswara secara keseluruhan telah mengacu hasil-hasil penelitian. Kegiatan magang ataupun pelatihan yang dirancang Puslatan bersifat insidentil, tidak secara reguler dilaksanakan, dan tergantung ketersediaan anggaran.

Keterkaitan Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan) dengan Balitbangtan, Ditjen Tanaman Pangan, dan Ditjen Peternakan dalam hal pengawalan program nasional P2BN dan Program Peningkatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) melalui penyuluh yang tersebar di Posko Koordinasi Kegiatan atau Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K). Peran Balitbangtan dalam penyediaan inovasi pertanian. Pada tahun 2014, anggaran untuk masing-masing BP3K sebesar Rp48 juta yang berasal dari dana dekonsentrasi (APBN) dan jumlah BP3K di Indonesia mencapai 1.047. Anggaran tersebut dialokasikan untuk kegiatan demplot, farmer field day, latihan dan kunjungan (Laku), rembug tani, dan penyusunan materi penyuluhan. Pusluhtan menyediakan cyber extension yang merupakan sistem informasi penyuluhan pertanian melalui media internet yang mendukung penyediaan materi dan informasi penyuluhan bagi penyuluh sebagai bahan untuk memfasilitasi proses pembelajaran petani dan kelompok tani agar usaha taninya lebih produktif dan efisien (Indraningsih et al. 2014).

Program P2BN yang digulirkan oleh Ditjen Tanaman Pangan terkait dengan kebijakan pangan untuk meningkatkan produktivitas pangan dengan menggunakan varietas unggul baru (VUB). Subsidi benih masih menggunakan varietas yang sudah beredar, seperti benih padi Ciherang. Untuk benih jagung bersubsidi penyerapannya rendah. Pemerintah menyediakan varietas jagung yang di pasaran harganya murah. Kebijakan Pemerintah pada tahun 2012 masih berupa Program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), sedangkan mulai tahun 2013−2014 kebijakannya diubah menjadi benih bersubsidi. Alasan perubahan kebijakan dikarenakan bantuan benih gratis tidak mendorong petani untuk mandiri sehingga petani perlu memberikan kontribusi terhadap pembayaran benih, serta BLBU anggaran Kementan dilakukan melalui pelelangan, sistem ini tidak mudah sehingga anggaran subsidi terdapat perubahan penganggaran diubah menjadi belanja anggaran 999,07. Menteri Keuangan

(5)

dapat menugaskan BUMN, penyiapan dokumen lebih mudah daripada sistem pelelangan. Pada tahun 2013, penyerapan benih bersubsidi hanya mencapai 30% karena dokumen administrasi pelaksanaan baru selesai bulan Juli. Penyerapan benih bersubsidi sampai bulan Mei 2014 baru mencapai 7%.

Hasil penelitian Swastika (2012) menunjukkan bahwa untuk mempercepat adopsi teknologi maju pascapanen diperlukan beberapa alternatif kebijakan strategis, antara lain mengintensifkan introduksi promosi dan demonstrasi alat, serta mesin pascapanen melalui penyuluhan dan pelatihan di tingkat kelompok tani, memperbaiki harga pembelian gabah dan beras untuk memberi insentif bagi petani dan pedagang yang melakukan pengeringan, serta penyediaan kredit lunak dengan administrasi sederhana bagi perorangan atau perusahaan penyewaan alat dan mesin pascapanen.

Keterkaitan antara lembaga penelitian pemerintah, baik lingkup Kementan maupun di luar Kementan, lembaga penelitian swasta, dan perguruan tinggi dalam melepas varietas harus melalui Tim Penilai dan Pelepasan Varietas (TP2V) di bawah Badan Benih Nasional (nonstruktural di bawah Menteri Pertanian). Pelepasan varietas agar legal untuk dilepas dan diakui keunggulannya oleh Pemerintah perlu mengacu pada UU No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, PP No. 44/1995 tentang Perbenihan Tanaman, serta Permentan No. 61/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas. Perlindungan varietas dari aspek genetis untuk mendapatkan HAKI agar tidak ditiru atau dibajak perlu mencermati UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Tata hubungan kerja antarkelembagaan teknis, penelitian dan pengembangan, dan penyuluhan pertanian dalam mendukung Program P2BN diatur dalam Permentan No. 45/Permentan/OT.140/8/2011. Penetapan mekanisme dan tata hubungan kerja ini bertujuan untuk 1) meningkatkan koordinasi dan sinergitas program dan kegiatan antara Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Teknis Terkait, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, serta Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian di tingkat pusat; 2) meningkatkan koordinasi dan sinergitas program dan kegiatan antara Dinas Teknis Pertanian yang membidangi Tanaman Pangan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dan Kelembagaan Penyuluhan di tingkat provinsi; 3) meningkatkan koordinasi dan sinergitas program dan kegiatan antara Dinas Teknis Pertanian yang membidangi Tanaman Pangan, Peneliti Pendamping, dan Kelembagaan Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota; 4) meningkatkan kerja sama antara Kepala UPT/UPTD Pertanian, petugas POPT, dan penyuluh di tingkat kecamatan dalam pelaksanaan pengawasan saprotan, pengawalan teknologi, pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, dan penurunan kehilangan hasil panen; dan 5) meningkatkan koordinasi dan sinergitas antara kelembagaan terkait di tingkat pusat dan kelembagaan terkait di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

Tugas dari masing-masing Eselon I terkait dalam pelaksanaan Program P2BN telah dirinci secara jelas. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mempunyai tugas, yaitu 1) merumuskan, merencanakan, dan menetapkan target produksi padi tingkat nasional; 2) merencanakan dan mengusulkan kebutuhan sarana produksi dan prasarana pertanian untuk mencapai target produksi padi tingkat nasional; 3) melakukan pengawasan dan memberikan jaminan ketersediaan benih berbantuan sesuai prinsip 6 Tepat pada sentra produksi padi; 4) menetapkan sentra produksi padi berdasarkan luas areal, luas tanam dan luas panen; 5) mengusulkan kebutuhan teknologi untuk mendukung P2BN; 6) mengusulkan kebutuhan penyuluh pada lokasi SL-PTT dan sentra produksi padi; 7) merumuskan dan menetapkan calon petani/calon lokasi SL-PTT yang diusulkan daerah; dan 8) mengusulkan kebutuhan anggaran khusus eselon I dalam mendukung Program P2BN.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mempunyai tugas, yaitu 1) menyediakan rekomendasi teknologi spesifik lokasi sesuai usulan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan; 2) menyediakan kalender dan pola tanam menurut lokasi; 3) menyediakan informasi dan teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim; 4) menyediakan benih dasar dan merekomendasikan varietas unggul baru dalam spesifik lokalita; 5) merumuskan dan merencanakan kebutuhan tenaga peneliti dalam mendukung P2BN; dan 6) menyediakan publikasi dan teknologi tepat guna kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian sebagai bahan materi penyuluhan.

Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian mempunyai tugas, yaitu 1) menyusun programa penyuluhan tingkat nasional untuk mendukung pencapaian target produksi padi yang ditetapkan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan; 2) menyusun dan menyebarluaskan informasi teknologi tepat guna dan teknologi spesifik lokasi yang direkomendasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 3) merumuskan dan melaksanakan penyuluhan melalui media cetak dan media elektronik; 4) meningkatkan kompetensi penyuluh melalui pendidikan, pelatihan, dan

(6)

permagangan dalam bidang teknis dan kewirausahaan agribisnis padi; 5) merumuskan dan merencanakan kebutuhan tenaga penyuluh dan anggaran penyuluhan dalam mendukung peningkatan produksi padi; 6) memfasilitasi pemberian penghargaan kepada penyuluh dan petani berprestasi yang berhasil dalam peningkatan produksi padi tingkat nasional; dan 7) merumuskan perencanaan penyelenggaraan pelatihan pemandu lapang 1 (provinsi), pemandu lapang 2 (kabupaten/kota), dan pemandu lapang di unit SL-PTT.

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian mempunyai tugas, yaitu 1) menyediakan penambahan luas baku lahan padi melalui cetak sawah dan meningkatkan optimalisasi lahan; 2) menyediakan data iklim termasuk data banjir dan kekeringan, serta informasi ketersediaan air; 3) meningkatkan indeks pertanaman (IP) padi melalui pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi (JITUT/JIDES), tata air mikro (TAM), embung, dan pompanisasi, serta pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A); 4) memfasilitasi pengawasan dan jaminan ketersediaan pupuk berbantuan dan pestisida sesuai prinsip 6 Tepat (jumlah, waktu, dosis, harga, lokasi, dan mutu) pada sentra produksi padi; 5) menyediakan sarana produksi pupuk organik untuk rehabilitasi lahan sawah; dan 6) fasilitasi aksesibilitas pembiayaan untuk usaha tani padi.

Lembaga penelitian di luar Kementerian Pertanian antara lain Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang riset dan teknologi (Kemenristek) melalui Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2013. BATAN melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, dan pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BATAN mempunyai keterkaitan dengan Kementan dalam hal perannya mendukung pencapaian swasembada dan swasembada bekelanjutan untuk memenuhi surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014.

BATAN mengembangkan varietas padi unggul yang tahan hama, produktivitas tinggi, dan rasanya enak melalui teknik mutasi radiasi dan persilangan. Padi yang diradiasi bersifat aman, tidak ada unsur radioaktif yang tertinggal. BATAN saat ini telah melepas 20 varietas unggul padi dan telah disertifikasi oleh Kementan. BATAN juga menerapkan teknik mutasi radiasi pada tanaman palawija khususnya untuk mendapatkan varietas unggul kedelai. Pemuliaan mutasi radiasi kedelai dimulai tahun 1977 dan sampai saat ini telah dihasilkan enam varietas unggul kedelai. Hasil dari kegiatan litbangyasa di bidang kacang-kacangan agak lambat karena penelitian lebih difokuskan pada varietas padi yang merupakan bahan pangan utama dan lebih memerlukan perhatian untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian dalam satu kesatuan sistem Pemerintahan RI yang melaksanakan tugas pemerintahan/pelayanan publik melalui kerekayasaan teknologi. Fungsi BPPT yaitu melakukan 1) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengkajian dan penerapan teknologi; 2) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPPT; 3) pemantauan, pembinaan, dan pelayanan terhadap kegiatan instansi pemerintah dan swasta di bidang pengkajian dan penerapan teknologi dalam rangka inovasi, difusi, dan pengembangan kapasitas, serta membina alih teknologi; 4) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.

BPPT tidak memiliki keterkaitan khusus dengan UK/lembaga Eselon I lingkup Kementan. Salah satu peran BPPT dalam intermediasi teknologi, yaitu memfasilitasi hubungan, keterkaitan, jejaring, kemitraan antara dua pihak atau lebih dalam rangka pemanfaatan hasil perekayasaan teknologi, serta memberikan akses bagi industri, instansi pusat/Pemerintah Daerah, dan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya iptek dari BPPT atau lembaga iptek lainnya dari dalam dan luar negeri. Hal ini yang memungkinkan BPPT di lapangan bekerja sama dengan Pemda seperti Provinsi Banten dalam program penguatan SIDA, serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten terlibat di dalamnya.

BPPT telah bekerja sama dengan mitra-mitra daerah dalam Implementasi Penguatan Sistem Inovasi ini dengan tujuan menumbuhkembangkan contoh-contoh sukses di daerah otonom melalui lima pilar strategis, yaitu 1) Pilar Penguatan Sistem Inovasi Daerah, agar ekosistem inovasi di daerah meningkat; 2) Pilar Pengembangan Klaster Industri, agar industri inovatif/berdaya saing yang berbasis potensi terbaik setempat berkembang; 3) Pilar Pengembangan Jaringan Inovasi, agar kemitraan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (iptekin), serta kapasitas inovatif menguat; 4) Pilar

(7)

Pengembangan Teknoprener, agar perusahaan (bisnis-bisnis) inovatif tumbuh; dan 5) Pilar Pengembangan Tematik, agar kebutuhan dasar rakyat (seperti air bersih, listrik, dan sebagainya) terpenuhi secara adil.

Keterkaitan di Tingkat Daerah

Beberapa lembaga yang terkait dengan koordinasi penelitian di tingkat daerah seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), Dewan Riset Daerah (DRD), dan Komisi Teknologi Pertanian perlu dilihat eksistensinya sehingga diharapkan mampu memberikan pemahaman yang sama kepada semua pemangku kepentingan akan pentingnya peran Litbang dalam merumuskan kebijakan pembangunan (research-based policies), khususnya di bidang pertanian untuk keefektifan dan efisiennya pembangunan di daerah. Komisi Teknologi Pertanian menjembatani antara kebijakan pembangunan pertanian nasional dengan daerah (Witjaksono 2011).

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah seperti Balai Penelitian (Balit) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang berada di 33 provinsi berperan terhadap keberhasilan program strategis Kementerian Pertanian. Program tersebut antara lain seperti Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), dalam implementasinya berupa Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) pada komoditas padi, jagung, dan kedelai, Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Gernas Nasional Kakao, Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS), dan Pengembangan Kawasan Hortikultura. Peranan tersebut berupa penyediaan teknologi (benih/bibit/varietas dan pupuk), serta penyediaan dan pendampingan inovasi teknologi. Kesiapan dan sinergi yang kuat dari Balit dan BPTP merupakan suatu keharusan.

Sinergi Balit dan BPTP dimaksud adalah terintegrasinya perencanaan dan implementasi penyediaan inovasi dan diseminasi teknologi sehingga muatan teknologi dalam program strategis Kementerian Pertanian menjadi lebih nyata. Hubungan sinergi itu dilakukan dalam bentuk padu padan Balit-BPTP dalam penyediaan inovasi dan diseminasi teknologi; melakukan kunjungan kerja lapang; pembinaan SDM dan program; pengelolaan Kebun Percobaan (KP). Pembentukan BPTP bertujuan untuk desentralisasi dalam bidang penelitian dan pengembangan teknologi pertanian. Di samping itu juga, sebagai media akselerasi adopsi teknologi dalam mendukung pembangunan pertanian serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pertanian wilayah, melalui 1) akselerasi adopsi teknologi; 2) pendekatan pelayanan pengkajian kepada masyarakat; dan 3) menjaga kesinambungan penelitian, pengkajian, dan penyuluhan sesuai tugas pokok dan fungsi BPTP. Balit berkewajiban mendukung program strategis Kementerian Pertanian sesuai mandat institusinya. Di tingkat nasional mendukung program Direktorat Jenderal teknis terkait. Operasionalisasi kerja Balit dalam menghasilkan iptek diwujudkan dalam penajaman dan penetapan komoditas/bidang masalah unggulan pada setiap Balit. Penetapan prioritas komoditas/bidang masalah ditujukan untuk mengoptimalkan kinerja UK/UPT lingkup Badan Litbang Pertanian dalam mendukung program strategis Kementerian Pertanian.

Keterkaitan antara BPTP dengan Balit/Puslit berkembang sejalan dengan munculnya uji adaptasi dan uji multilokasi untuk teknologi yang dihasilkan Balit/Puslit. Uji multilokasi lebih ditujukan sebagai bagian dari kegiatan penelitian di Balit untuk menguji keandalan suatu inovasi pada beragam agroekologi dan wilayah pengembangan. Sementara, uji adaptasi lebih pada upaya melihat kecocokan suatu inovasi di suatu wilayah sebelum direkomendasikan sebagai inovasi spesifik lokasi di suatu wilayah. Keterkaitan penelitian dengan penyuluhan diwujudkan oleh BPTP dalam proses membangun inovasi spesifik lokasi. Research-extension linkage (REL) menjadi prinsip kerja dalam proses tersebut di mana konsep strategis tersebut tidak dimiliki oleh lembaga penelitian meskipun lembaga tersebut akan mendiseminasikan hasil-hasil penelitiannya. Hal ini sekaligus merupakan posisi strategis BPTP untuk lebih mengefektifkan kegiatan diseminasi, seiring dengan proses perakitan inovasi melalui pengkajian (assessment). Kedekatan BPTP dengan pengguna (users) terutama petani merupakan modal besar untk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan proses diseminasi (Sarwani et al. 2011).

Keterkaitan antarlembaga, selain tergantung pada aspek kebijakan juga tergantung pada kualitas dan kuantitas SDM seperti peneliti, widyaiswara, dan penyuluh. Penyuluh dalam menyusun materi penyuluhan telah mengacu pada hasil penelitian Badan Litbang Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM melalui cyber extension (bentuk aplikasi), dan Ditjen Peternakan berupa Pedoman Teknis. Cara penyuluh menelusuri kebutuhan inovasi petani untuk merumuskan materi

(8)

penyuluhan melalui kegiatan musrenbang. Kaji terap bisa dilakukan di lahan petani atau kebun percobaan, tidak ada batasan luasan lahan, sedangkan untuk kegiatan demplot minimum pada lahan seluas 1.000 m2. Pembinaan untuk penyuluh dilakukan melalui temu teknis di tingkat kabupaten/kota, pertemuan pelatihan di BPP, dan monitoring. Materi diperoleh penyuluh dari BPTP, internet (cyber extension). Dalam bimbingan teknis, penyuluh diajarkan bagaimana mengelola kegiatan demplot, denfarm, dan kawasan.

Kendala kegiatan penyuluhan dari aspek manajemen penyuluh tidak ditugasi sebagaimana mestinya, tetapi mengerjakan tugas-tugas struktural. Seharusnya, penyuluh fokus pada peningkatan SDM petani, pemberdayaan petani, dan kelembagaannya. Skill dan kemampuan penyuluh di lapangan masih rendah, yang berpengaruh terhadap mindset. Karakter petani saat ini adalah ketergantungan terhadap bantuan pemerintah, belum mandiri, dan selesai program petani tidak lagi menerapkan teknologi yang dianjurkan sehingga program atau kegiatan tidak berlanjut. Petani akan lanjut adopsi setelah memahami manfaat dari teknologi yang dianjurkan.

Hasil penelitian Ramli (2012) menunjukkan bahwa penerapan inovasi teknologi yang tidak tuntas oleh petani subsektor tanaman pangan karena tiga subsistem, yakni penciptaan inovasi teknologi, diseminasi inovasi teknologi, dan pengguna inovasi teknologi tidak berada pada kinerja yang optimal. Produktivitas komoditas tanaman pangan secara umum tidak mencapai pada tingkat produktivitas hasil pengkajian apalagi tingkat produktivitas potensinya karena tidak tuntasnya penerapan inovasi teknologi. Peningkatan penerapan inovasi teknologi masih mempunyai peluang ditingkatkan dengan upaya yang komprehensif dan terpadu.

Kompetensi peneliti, widyaiswara, dan penyuluh responden dapat ditingkatkan melalui pendidikan, baik pendidikan jangka panjang seperti peningkatan dari diploma ke jenjang sarjana, dari sarjana ke jenjang magister sains, maupun pendidikan jangka pendek seperti pelatihan. Pada Tabel 1, 2, dan 3 terlihat bahwa kesempatan aparatur (peneliti, widyaiswara, dan penyuluh) mengikuti diklat fungsional maupun nonfungsional selama tiga tahun terakhir relatif terbatas. Sebagai gambaran, Balai Besar Pelatihan Peternakan Kupang yang membawahi 11 provinsi pada tahun 2013 telah melatih 1.311 aparatur (penyuluh dan petugas dari dinas teknis) melalui diklat dalam bidang teknis dan kewirausahaan peternakan. Pada tahun 2014, ditargetkan 960 aparatur yang mengikuti diklat teknis peternakan atau mengalami penurunan sekitar 26,8%.

Tabel 1. Orientasi peneliti responden di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014

Lokasi penelitian Uraian

Banten Jawa Barat NTT

1. Sebelum menjadi peneliti telah mengikuti diklat fungsional peneliti (%)

a. Ya 33,3 40,0 66,7

b. Tidak 66,7 60,0 33,3

2. Frekuensi mengikuti diklat fungsional dalam tiga tahun terakhir (kali)

a. Dalam negeri 1,0 1,0 1,0

b. Luar negeri

3. Frekuensi mengikuti diklat lain (nonfungsional) dalam tiga

tahun terakhir (kali) 1,0 1,0 2,0

4. Orientasi hasil penelitian (%)

a. Menerbitkan publikasi 20,4 17,4 18,0

b. Memperoleh angka kredit 13,6 14,5 15,4

c. Memenuhi pesanan kegiatan penelitian 40,8 15,4 18,0

d. Merespon isu-isu aktual 10,2 20,1 21,6

e. Mengemas sebagai inovasi tepat guna yang disajikan

dlm bentuk teknologi informasi 8,2 21,8 18,0

(9)

Persyaratan bagi calon peneliti untuk mengikuti diklat fungsional peneliti sebelum memangku jabatan fungsional peneliti relatif baru dibandingkan widyaiswara maupun penyuluh. Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa peneliti responden di BTTP Banten relatif lebih dahulu memangku jabatan fungsional dibandingkan peneliti di BPTP NTT sehingga persentase yang telah mengikuti diklat fungsional di BPTP Banten relatif lebih rendah. Persentase widyaiswara dan penyuluh di Banten dan NTT yang telah mengikuti persyaratan diklat fungsional relatif lebih tinggi dibandingkan yang tidak ataupun belum mengikuti. Hal ini disebabkan ketentuan mengikuti diklat fungsional lebih dulu diberlakukan bagi widyaiswara dan penyuluh.

Tabel 2. Frekuensi widyaiswara responden dalam mengikuti diklat di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014

Lokasi penelitian Uraian

Banten Jawa Barat NTT 1. Sebelum menjadi widyaiswara telah mengikuti diklat fungsional

calon widyaiswara (%)

a. Ya 80,0 100,0 100,0

b. Tidak 20,0 -

2. Frekuensi mengikuti diklat fungsional dalam tiga tahun terakhir (kali)

a. Dalam negeri 2,0 1,4 2,0

b. Luar negeri 1,0 1,0 1,5

3. Frekuensi mengikuti diklat lain (nonfungsional) dalam tiga tahun

terakhir (kali) 0,0 0,0 2,0

Tabel 3. Frekuensi penyuluh responden dalam mengikuti diklat di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014 Lokasi penelitian

Uraian

Banten Jawa Barat NTT 1. Sebelum menjadi penyuluh telah mengikuti diklat fungsional

penyuluh (%)

a. Ya 73,9 82,4 66,7

b. Tidak 26,1 17,6 33,3

2. Frekuensi mengikuti diklat fungsional dalam tiga tahun terakhir (kali)

a. Dalam negeri 2,5 1,6 1,4

b. Luar negeri 1,0 0,0 1,0

3. Frekuensi mengikuti diklat lain (nonfungsional) dalam tiga tahun

terakhir (kali) 1,8 2,7 1,8

Pada Tabel 4 tampak bahwa peneliti di Banten, Jawa Barat, dan NTT telah berorientasi pada kebutuhan petani melalui forum komunikasi, seperti seminar, lokakarya, saresehan, dan juga melalui baseline study. Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa orientasi utama widyaiswara masih untuk memenuhi pesanan paket kegiatan pelatihan yang bertujuan memperoleh angka kredit. Namun demikian, widyaiswara yang berperan sebagai penghubung antara peneliti dengan penyuluh telah menyiapkan teknologi informasi berupa inovasi yang tepat guna. Sementara, penyuluh yang langsung kontak dengan petani dalam menyampaikan inovasi teknologi pertanian, telah memperhatikan kebutuhan petani, baik pada kegiatan forum komunikasi (seperti gelar teknologi, field day), kaji terap, maupun demplot (Tabel 6).

Secara keseluruhan keterkaitan antarlembaga lingkup Kementerian Pertanian dapat dicermati dari aspek regulasi, yakni lemahnya sinkronisasi dan keterpaduan antarkebijakan sehingga satu sama lain tidak terjadi sinergi dan keselarasan. Sebagai contoh, istilah petani pada UU No. 16 Tahun 2006 adalah pelaku utama, dan pelaku usaha adalah pihak yang berperan dalam sistem tata niaga dan sistem usaha agribisnis (pengusaha), sedangkan pada UU No. 19 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah turunannya yang terkait dengan hortikultura, yang dimaksud dengan petani adalah pelaku usaha. Dengan demikian, ada kelemahan dalam memperkuat beneficieries dalam kebijakan

(10)

pemerintah dan produk turunannya tersebut. Payung hukum diseminasi inovasi belum banyak disadari keberadaannya oleh banyak pihak terkait, yaitu UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini mengakibatkan belum berkembangnya dinamika sinergi dalam kolaborasi pengelolaan.

Permentan No. 25/Permentan/OT.140/5/2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian, disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan. Keterpaduan mengandung maksud bahwa programa penyuluhan pertanian disusun dengan memperhatikan programa pertanian penyuluhan tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat nasional, dengan berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Kesinergian ialah bahwa programa penyuluhan pertanian pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang bersifat saling mendukung. Dengan demikian, semua programa penyuluhan pertanian selaras dan tidak bertentangan antara programa penyuluhan pertanian dalam berbagai tingkatan.

Tabel 4. Kegiatan peneliti dalam diseminasi inovasi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014 Lokasi penelitian Uraian

Banten Jawa Barat NTT

1. Penelitian berorientasi pada kebutuhan riil petani (%)

a. Ya 100,0 100,0 100,0

b. Tidak - - -

2. Cara peneliti menelusuri kebutuhan inovasi petani (%)  Melalui forum komunikasi

a. Ya 66,7 80,0 50,0

b. Tidak 33,3 20,0 50,0

 Melakukan baseline study

a. Ya 100,0 80,0 100,0

b. Tidak 0,0 20,0 0,0

3. Diseminasi yang dilakukan peneliti (%)  Khalayak sasaran diseminasi

a. Sesama peneliti 22,0 25,0 13,0 b. Ditjen/dinas teknis 22,0 15,0 25,0 c. Widyaiswara 7,0 18,0 15,0 d. Penyuluh 24,0 22,0 30,0 e. Petani 26,0 20,0 18,0  Forum komunikasi a. Seminar 50,0 75,0 80,0 b. Lokakarya 0,0 15,0 15,0 c. Saresehan 50,0 10,0 5,0  Publikasi tercetak a. Jurnal 8,0 23,0 35,0 b. Prosiding 55,0 35,0 28,0 c. Buku 10,0 13,0 13,0 d. Newsletter 15,0 8,0 13,0 e. Leaflet 13,0 23,0 13,0  Publikasi elektronik a. Radio 72,5 75,0 75,0 b. TV 27,5 25,0 25,0

Berbagai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan programa penyuluhan pertanian antara lain sebagai berikut: 1) belum tertibnya penyusunan programa penyuluhan pertanian di semua tingkatan; 2) naskah programa penyuluhan pertanian belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian; 3) keberadaan penyuluh pertanian tersebar pada beberapa dinas/instansi, baik di provinsi maupun kabupaten/kota; 4) programa penyuluhan pertanian kurang mendapat dukungan dari dinas/instansi terkait; dan 5) penyusunan programa penyuluhan

(11)

pertanian masih didominasi oleh petugas (kurang partisipatif). Dalam menyusun programa disesuaikan dengan program pembangunan pertanian, perlu mengidentifikasi kebutuhan di tingkat petani, dilakukan diskusi kelompok terfokus (FGD) dan semua stakeholders hadir, yakni KTNA, HKTI, Dinas Pertanian Kabupaten, Penyuluh Kabupaten, Perhiptani, Penyuluh Swadaya, dan Penyuluh Swasta. Koordinasi antara BP4K dengan Dinas Teknis diawali dari penyusunan programa di tingkat kecamatan, koordinator BP3K mengundang semua UPT. Penyuluh sebagai pendamping petani/kelompok tani dan fasilitator antara petani dengan pedagang.

Tabel 5. Orientasi utama widyaiswara dalam penyusunan materi pelatihan di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014

Lokasi penelitian Uraian

Banten Jawa Barat NTT

1. Memenuhi pesanan paket kegiatan pelatihan (%)

a. Ya 100,0 100,0 100,0

b. Tidak 0,0 0,0 0,0

2. Memperoleh angka kredit (%)

a. Ya 100,0 100,0 100,0

b. Tidak 0,0 0,0 0,0

3. Untuk publikasi (%)

a. Ya 40,0 60,0 60,0

b. Tidak 60,0 40,0 40,0

4. Mendapatkan hak paten (%)

a. Ya 0,0 0,0 0,0

b. Tidak 100,0 100,0 100,0

5. Untuk dikemas sebagai inovasi tepat guna yang disajikan dalam bentuk teknologi informasi (%)

a. Ya 100,0 80,0 100,0

b. Tidak 0,0 20,0 0,0

Tabel 6. Kegiatan penyuluh dalam diseminasi inovasi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014 Lokasi penelitian Uraian

Banten Jawa Barat NTT

1. Penyuluh dalam menyusun materi penyuluhan telah berorientasi pada kebutuhan riil petani dengan mengacu pada hasil penelitian (%)

a. Ya 79,2 88,9 100,0

b. Tidak 20,8 11,1 0,0

2. Penyuluh dalam menyusun materi penyuluhan telah menelusuri kebutuhan inovasi petani melalui (%)

1) Forum komunikasi a. Ya 91,7 100,0 100,0 b. Tidak 8,3 0,0 0,0 2) Kaji terap a. Ya 75,0 77,8 66,7 b. Tidak 25,0 22,2 33,3 3) Demplot a. Ya 100,0 88,9 91,7 b. Tidak 0,0 11,1 8,3

(12)

Dalam proses diseminasi inovasi, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian telah mengembangkan cyber extension yang terinspirasi oleh paradigma kafetaria penyuluhan adalah wujud nyata pengembangan penyampaian suatu inovasi teknologi melalui Spektrum Diseminasi Multi Channel (SDMC) yang diperkenalkan oleh Badan Litbang Pertanian sehingga kegiatan diseminasi inovasi tidak lagi didominasi oleh penyuluh, tetapi juga para pejabat (terutama di daerah), pemuka masyarakat, dan pemuka agama.

Kelompok tani di Indonesia mempunyai peran yang sangat vital dalam penerapan atau adopsi teknologi. Diseminasi teknologi yang dilakukan baik oleh peneliti dan penyuluh di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) maupun penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) hampir seluruhnya melalui kelompok. Kinerja kelompok tani menjadi barometer keberhasilan penyaluran inovasi teknologi dari lembaga penelitian kepada petani (Nuryanti dan Swastika 2011).

Hasil penelitian Margono dan Sugimoto (2011) tentang hambatan penyuluh pertanian dalam mendiseminasikan informasi pertanian ke petani menunjukkan bahwa pembuat kebijakan perlu memberikan perhatian terhadap kendala penyuluh, antara lain meningkatkan akses penyuluh terhadap teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi lapang. Hal ini mengingat kondisi ekologi yang beragam, tidak bisa menjadi “satu ukuran cocok untuk semua strategi.” Kendala yang muncul antara kebijakan Pemerintah dengan penyuluh antara lain adalah 1) kurangnya anggaran; 2) keterkaitan antara sumber daya manusia; 3) informasi; 4) infrastruktur, dan 5) desentralisasi.

Sumardjo et al. (2012) dalam penelitiannya tentang sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis teknologi informasi untuk meningkatkan keberdayaan petani sayuran mendapatkan hasil bahwa model diseminasi inovasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan memanfaatkan penyuluh dan kelembagaan lokal merupakan model ideal dengan beberapa penyempurnaan peran dari masing-masing pelaku diseminasi sesuai dengan lingkungan strategis. Strategi implementasi sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis TIK dapat dilaksanakan dengan mengoptimalkan kelembagaan formal (penyuluh) bersinergi dengan kelembagaan lokal serta didukung dengan revitalisasi kelembagaan informal di tingkat lokal. Masing-masing kelembagaan memiliki peran yang saling bersinergi untuk memantapkan sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis TIK dengan mewujudkan one stop shop untuk pengembangan ekonomi perdesaan yang komprehensif.

Kendala yang dihadapi dalam proses diseminasi inovasi adalah lemahnya koordinasi dan komitmen antarpengelola pembangunan di daerah (seperti dinas-dinas teknis), walaupun secara struktural berada di bawah kendali Kepala Daerah (Gubernur ataupun Bupati). Para pengelola pembangunan tersebut kebanyakan masih berorientasi administrasi pertanggungjawaban proyek, belum berorientasi dan berkomitmen terhadap proses penguatan implementasi program dan hasil program. Persoalan tersebut tampaknya perlu ada kebijakan ataupun ketentuan yang mengikat dengan prestasi pimpinan daerah, seperti kinerja jabatan pimpinan daerah dapat menjadi media pemberian penghargaan (reward) ataupun sanksi (punishment). Hubungan antara kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten (BKP5K, BP4K) dengan dinas-dinas teknis akan berjalan harmonis jika BKP5K, BP4K mempunyai dana untuk membiayai penyuluh, seperti yang terjadi di Kabupaten Bogor, Kuningan, dan Bekasi. Hubungan antarunit kerja seringkali tergantung pada hubungan personal.

Pemerintah Daerah NTT merupakan salah satu contoh yang telah melakukan kerja sama antarlembaga dalam implementasi diseminasi inovasi. Dinas Pertanian Provinsi, BPTP NTT, dan Universitas Nusa Cendana telah melakukan kajian paket teknologi, pemurnian varietas, pelepasan varietas, dan penyebaran varietas. Benih sumber varietas lokal, seperti jagung pit kuning, padi lokal pare wangi, kacang hijau lokal fore beli, kacang merah lokal ine ria, dilepas untuk menjadi varietas nasional. Pengembangan varietas jagung untuk label putih di tingkat penangkar, sedangkan varietas padi label kuning di tingkat pemulia. Teknologi berasal dari Balit komoditas, sedangkan pengkajian dan penerapan teknologi spesifik lokasi dilakukan oleh BPTP NTT. Sebaliknya, di Provinsi Banten pendampingan kegiatan SL-PTT di lapangan yang melibatkan penyuluh dan Mantri Tani atau Kepala UPTD memerlukan upaya peningkatan koordinasi antara Dinas Pertanian dan Peternakan dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten. Peran Balitbangda Provinsi Banten belum terlihat walaupun telah memperkenalkan SIDa dengan konsep academic, business, dan government (ABG) yang didukung kebijakan dalam memacu keterkaitan tiga hal yakni petani, pengusaha, dan pasar. Tujuan SIDa untuk membuat inovasi bermanfaat bagi masyarakat agar terjadi peningkatan ekonomi daerah, tampaknya belum terwujud.

(13)

Hasil penelitian Fatonah dan Afifi (2008) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan mulai tidak dominannya peran pemerintah dalam proses difusi inovasi dan menguatnya peran masyarakat, LSM, dan perguruan tinggi, di satu sisi patut disambut gembira. Di sisi lain, peran pemerintah tetap diharapkan, tetapi dengan pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan yang lebih dialogis dan aktual mengikuti perkembangan jaman dan teknologi. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dalam proses difusi inovasi yang lebih mandiri yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Berbagai komponen masyarakat (seniman/budayawan, perguruan tinggi, dan LSM) disarankan untuk terus mengkampanyekan budaya inovatif di kalangan masyarakat pengusaha. Termasuk dengan mengadakan kegiatan-kegiatan seperti pelatihan penggunaan internet bagi pengusaha/pengrajin dan pembuatan alat-alat pemasaran. Sikap terbuka masyarakat akan hal-hal baru perlu terus dijaga dengan menyuplai keingintahuan mereka itu dengan berbagai inovasi yang bermanfaat bagi pengembangan usaha mereka.

Kelemahan dalam keterkaitan antara penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanian, serta lembaga pelayanan dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian adalah belum adanya kejelasan tata hubungan kerja antarkelembagaan teknis, penelitian, dan pengembangan, serta penyuluhan pertanian. Kelembagaan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan belum ditempatkan secara optimal yang didukung oleh keterpaduan kepentingan penelitian dan pengembangan, serta dinas teknis/instansi sektoral, ego sektoral yang masih sangat kuat dan menjadi kurang produktif. Cyber extension yang didukung oleh SDMC sebagai wadah kelembagaan diseminasi yang aktual, masih berjalan di masing-masing lembaga penggagas, belum didukung dengan dinamisasi, aktualisasi informasi, dan inovasi, maupun bentuk-bentuk komunikasi yang interaktif dan konvergen antarpihak terkait.

KESIMPULAN DAN SARAN

Keterkaitan antara lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga penyuluhan, dan direktorat jenderal teknis lingkup Kementerian Pertanian di tingkat pusat masih berorientasi pada program empat sukses yang tercantum pada Rencana Strategis Kementerian Pertanian (Kementan). Sinergitas dan koordinasi antarlembaga tersebut dalam upaya pencapaian tujuan program masih belum terlihat keterpaduannya, masih berjalan masing-masing. Informasi dan teknologi yang dihasilkan lembaga penelitian tidak selalu diacu lembaga pendidikan dan pelatihan, maupun lembaga penyuluhan. Kelemahan dalam keterkaitan antara penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pertanian, serta lembaga pelayanan dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian adalah belum adanya kejelasan tata hubungan kerja antarkelembagaan teknis, penelitian, dan pengembangan, serta penyuluhan pertanian. Kelembagaan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan belum ditempatkan secara optimal yang didukung oleh keterpaduan kepentingan penelitian dan pengembangan serta dinas teknis/instansi sektoral, ego sektoral yang masih sangat kuat dan menjadi kurang produktif. Cyber extension yang didukung oleh SDMC sebagai wadah kelembagaan diseminasi yang aktual, masih berjalan di masing-masing lembaga penggagas, belum didukung dengan dinamisasi, aktualisasi informasi dan inovasi, maupun bentuk-bentuk komunikasi yang interaktif dan konvergen antarpihak terkait.

Tata hubungan kerja antarkelembagaan teknis, penelitian dan pengembangan, dan penyuluhan pertanian dalam mendukung Program P2BN yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 45/Pementan/OT.140/8/2011 perlu disertai pedoman teknis operasional di lapangan yang dilengkapi dengan penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) sehingga keterkaitan antarlembaga dapat berjalan baik dan sinergis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti PSEKP: Ir. Wahyuning Kusuma Sejati, M.S., Ir. Roosgandha Elizabeth, M.Si., A. Makky Ar-rozi, S.Sos., dan Sri Suharyono, S.Sos. yang telah membantu melakukan enumerasi pada kegiatan survei di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

[Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Rancangan dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Fatonah S, Afifi S. 2008. Difusi Inovasi teknologi tepat guna di kalangan wanita pengusaha di Desa Kasongan Yogyakarta. JIK [Internet]. [diunduh 2016 Jan 21]; 6(2):42−59. Tersedia dari: jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/download/ 39/43.

Indraningsih KS, Sejati WK, Elizabeth R, Ar-Rozy AM, Suharyono S, Djojopoespito S. 2014. Kajian kebijakan dan implementasi diseminasi inovasi pertanian. Laporan Akhir. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Rencana strategis Kementerian Pertanian 2010−2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.

Margono T, Sugimoto S. 2011. The barriers of the Indonesian extension workers in disseminate agricultural information to farmers. IJBAS-IJENS. 11(2):80−87.

Nuryanti S, Swastika DKS. 2011. Peran kelompok tani dalam penerapan teknologi pertanian. FAE. 29(2):115−128.

Ramli R. 2012. Beberapa faktor sosial ekonomi penyebab tidak tuntasnya penerapan inovasi teknologi oleh petani tanaman pangan di Kalimantan Tengah. Dalam: Suradisastra K, Hutabarat B, Sadra DKS, editors. Prosiding Seminar Nasional Petani dan Pembangunan Pertanian; 2011 Okt 22; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. hlm. 86–93.

Sarwani M, Jamal E, Subagyono K, Sirnawati E, Hanifah VW. 2011. Diseminasi di BPTP: pemikiran inovatif transfer teknologi spesifik lokasi. AKP. 9(1):73−89.

Slamet M. 2001. Menata sistem penyuluhan di era otonomi daerah [Internet]. [diunduh 2013 Mar 12]. Tersedia dari: http://margonoipb.files.wordpress.com.

Sumardjo. 2012. Review dan refleksi model penyuluhan dan inovasi penyuluhan masa depan. [Internet]. [diunduh 2015 Feb 19]. Tersedia dari: http://cyber.pertanian.go.id/fi;es/attachn/review dan refleksi model penyuluhan dan inovasi penyuluh.pdf.

Sumardjo RSH, Mulyandari D, Prawiranegara, Darmawan L. 2012. Sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis teknologi informasi untuk meningkatkan keberdayaan petani sayuran dalam proses pengambilan keputusan usaha tani [Internet]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. [diunduh 2014 Feb 24]. Tersedia dari: http://web.ipb.ac.id/ppm/ ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&status=buka&id_haslit=KKP3N/018.12/SUM/s.

Swastika DKS. 2012. Teknologi panen dan pascapanen padi: kendala adopsi dan kebijakan strategi pengembangan. AKP. 10(4):331−346.

Witjaksono J. 2011. Koordinasi penelitian dan pengkajian teknologi pertanian di tingkat provinsi: antisipasi perbaikan kinerja komisi teknologi pertanian. AKP. 9(3):275−287.

Gambar

Gambar 1. Kerangka keterkaitan antarlembaga dalam diseminasi inovasi pertanian
Tabel 1. Orientasi peneliti responden di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT,  2014
Tabel 3.  Frekuensi penyuluh responden dalam mengikuti diklat di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT,  2014  Lokasi penelitian
Tabel 4.  Kegiatan peneliti dalam diseminasi inovasi di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan NTT, 2014  Lokasi penelitian  Uraian
+2

Referensi

Dokumen terkait

2) Penentuan kunci publik oleh pemilik pesan. 3) Pembangkitan tanda tangan digital dengan menggunakan algoritma SHA-1. 4) Tanda tangan digital tersebut kemudian diubah ke dalam

sambungan nozzle yang terhubung dengan jalur perpipaan sedangkan flange check dengan metode pressure equivalen menggunakan software CAESAR II.. Hasil dari desain ini

Fraleigh Make distinction for the others and also obtain the first to progression for A First Course In Abstract Algebra (6th Edition) By John B.. Fraleigh Here

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Aspek proses pembelajaran pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter anak usia dini di TK PKK Sosrowijayan, komplek Pasar

Pada dasarnya makanan olahraga$an tidak jauh berbeda dengan makanan bukan olahraga$an, kecuali hanya jumlah karbohidrat dan air yang lebih besar. Tak ada makanan khusus

8 pemilihan pengurus partai politik atau dalam proses seleksi calon atau pasangan calon untuk pemilu, melaporkan setiap bentuk penyimpangan dalam proses

Dan untuk sahabat, teman, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu terselesaikannya tigas akhir ini, saya ucapkan banyak terima

(4) Melaporkan pelaksanaan tugas antara lain : realisasi jumlah distribusi beras, setoran HPB dan BAST di wilayah kerjanya kepada Kadivre/Kasubdivre/ Kakansilog Perum BULOG