2.1 Tinjauan pustaka
2.1.1 Budaya Organisasi
Suatu budaya organisasi yang kuat memberikan kepada para karyawan suatu pemahaman yang jelas tentang “cara menyelesaikan masalah disini.” Budaya memberikan stabilitas pada suatu organisasi, tapi sebagaimana terbukti pada MAZDA (perusahaan mobil internasional), budaya ini juga dapat menjadi hambatan utama terhadap perusahaan.(Stephen R, 2003)
Gagasan memandang organisasi sebagai budaya dimana ada suatu system yang dianut bersama di kalangan para anggota merupakan fenomena yang relatif baru. Sampai pada pertengahan tahun 1980-an, organisasi – organisasi, sebagian besarnya semata – mata dibayangkan sebagai alat yang rasional untuk mengkoordinasi dan mengendalikan sekelompok orang, dimana didalamnya terdapat tingkat – tingkat vertikal, departemen, hubungan wewenang, dan sebagainya. Namun sebenarnya organisasi juga memiliki kepribadian, persis seperti individu ; bisa kaku atau fleksibel, tidak ramah mendukung, inovatif atau konservatif. (Stephen R, 2003)
Bila suatu organisasi menjadi lembaga, maka organisasi tersebut memiliki kehidupan sendiri, terlepas dari para pendirinya atau siapapun anggotanya. Disamping itu, bila suatu organisasi menjadi lembaga, organisasi
itu dihargai untuk dirinya, tidak sekedar untuk barang atau jasa yang dihasilkannya. Jika tujuan utama tidak relevan, organisasi itu tidak gulung tikar, malah mendefinisikan ulang dirinya, sebagai contoh, ketika permintaan akan arloji Timex merosot, perusahaan sekedar mengarahkan kembali dirinya kedalam bisnis elektronika rumah tangga dengan membuat , disamping arloji, jam, komputer dan produk perawatan kesehatan seperti thermometer digital dan piranti pengukur tekanan darah. Timex meneruskan eksistensinya yang melampaui misi aslinya untuk memanufaktur arloji mekanis biaya rendah.
Budaya organisasi mengacu ke suatu system makna bersama yang dianut oleh anggota – anggota yang membedakan organisasi – organisasi itu dari organisasi – organisasi lain (Stephen P.Robbins). Hirarki dari budaya suatu organisasi manurut Stephen P.Robbins :
1. Inovasi dan pengambilan resiko : sejauh mana para karyawan didorong untuk
inovatif dan mengambil resiko
2. Perhatian ke rincian : sejauh mana karyawan diharapkan memperhatikan
kecermatan, analisis, dan perhatian kepada rincian
3. Orientasi hasil : sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil
bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu
4. Orientasi orang : sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
hasil – hasil pada orang – orang di dalam organisasi itu
5. Orientasi tim : sejauh mana kegiatan kerja diorganisasilan sekitar tim – tim,
6. Keagresifan : sejauh mana orang – orang itu agresif dan kompetitif dan
bukannya santai – santai
7. Kemantapan : sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo daripada pertumbuhan
Setiap karakteristik ini berlangsung pada suatu satu kesatuan dari rendah ke tinggi, maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan 7 karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan didalamnya, dan cara para anggota diharapkan berprilaku.
Proses sosialisasi Hasil
Gambar 2.1 Model sosialisasi
(periode pembelajaran dimana proses sosialisasi dilakukan sebelum karyawan yang baru bergabung.) (Stephen P.Robbins)
prakedatangan Perjumpaan metamorfosis
perputaran komitmen Produktifitas
Tahap prakedatangan secara eksplisit mengakui bahwa setiap individu tiba dengan seperangkat nilai, sikap, dan harapan. Ini mencakup baik kerja yang harus dilakukan maupun organisasi itu. Misalnya, dalam banyak pekerjaan, terutama kerja profesional, anggota baru akan menjalankan tingkat sosialisasi awal yang baik dalam pelatihan.
Tahap perjumpaan, disini individu menghadapi persimpangan yang mungkin antara harapannya mengenai pekerjaan, rekan sekerja, atasan, dan organisasi secara umumdan kenyataan.
Tahap metamorfosis, anggota baru harus menyelesaikan setiap masalah yang dijumpai dalam tahap perjumpaan, ini dapat berarti melewati perubahan – perubahan yang terdapat dalam perusahaan.
Adapun 4 tipe budaya menurut Stephen P.Robbins:
1. Budaya Jaringan (tinggi pada sosiabilitas; rendah pada
solidaritas), memandang anggota sebagai keluarga dan sahabat. Orang saling mengenal dan senang satu sama lain, aspek negatif yang besar diasosiasikan dengan budaya ini adalah bahwa fokus pada persahabatan dapat menimbulkan rasa toleransi terhadap orang – orang yang berkinerja jelek dan penciptaan klik – klik politik
2. Budaya Upahan ( rendah pada sosiabilitas; tinggi pada
solidaritas), organisasi ini fokus pada tujuan, orang sangat bersemangat dan ditetapkan untuk mencapai tujuan. Mereka mempunyai semangat untuk melakukan segala sesuatu secara cepat dan sangat peka terhadap tujuan.
Budaya upahan tidak hanya sekedar menang; mereka juga menghancurkan musuh. Fokus pada tujuan dan objektifitas juga mengarah ke satu tingkat politik yang minimal. Sisi bawah dari budaya ini adalah bahwa ia dapat mengarahkan ke suatu perlakuan yang hampir tidak manusiawi terhadap orang yang dipahami sebagai orang yang berkinerja rendah.
3. Budaya Fragmen (rendah pada sosiabilitas; rendah pada solidaritas), organisasi ini terdiri dari kaum individualis. Komitmen adalah yang pertama dan terutama bagi anggota individu dan tugas - tugas jabatan mereka. Tidak ada atau hanya sedikit ada identifikasi dengan organisasi. Dalam budaya ini, karyawan dinilai hanya berdasarkan produktifitas dan mutu kerja mreka. Hal – hal negative yang besar dalam budaya ini adalah kritik yang besar terhadap orang lain dan tidak adanya kolegialitas.
4. Budaya Komunal (tinggi pada sosiabilitas; rendah pada solidaritas), menghargai baik persahabatan maupun kinerja. Pemimpin dari budaya ini cenderung inspirasional dan karismatik, dengan satu visi yang jelas tentang masa dpan organisasi. Sisi bawah dari organisasi ini adalah bahwa mereka sering mengkonsumsi keseluruhan kehidupan seseorang. Para pemimpin sering berupaya menciptakan murid dan bukan pengikut, menghasilkan satu iklim kerja yang hamper menyerupai kultus.
Tinggi
sosiabilitas
Rendah
Rendah Tinggi
Solidaritas
Gambar 2.2 Empat tipe budaya
Budaya organisasi itu berkaitan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu organisasi, bukannya dengan apakah mereka menyukai budaya tersebut atau tidak (Stephen P.Robbins). Artinya, budaya merupakan suatu istilah deskriptif. Ini penting karena hal ini membedakan konsep ini dengan konsep kepuasan kerja.
Riset mengenai budaya organisasi telah berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasinya: Apakah organisasi itu mendorong kerja Tim? Apakah organisasi itu menghargai Inovasi? Apakah melumpuhkan prakarsa?
Sebaliknya, kepuasan kerja berupaya mengukur respons terhadap lingkungan kerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan bagaimana perasaan
Jaringan
Fragmen Upahan
karyawan menyangkut harapan organisasi itu, praktik imbalan, dan yang serupa. Meskipun tidak diragukan kedua istilah itu mempunyai karakteristik yang tumpang tindih, hendaknya diingat bahwa istilah budaya organisasi adalah deskriptif sedangkan kepuasan kerja adalah evaluatif. (Stephen P.Robbins)
2.1.2 Kecerdasan emosional karyawan
Kepribadian seorang individu merupakan hasil dari faktor keturunan yang dibawa sejak lahir, pengaruh interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya, juga merupakan pengaruh dari situasi tempatnya melakukan aktifitas. Kecerdasan yang dimaksud disini bukanlah kecerdasan dalam artian kepintaran seseorang, tapi lebih kepada kemampuan seseorang untuk menangani dirinya sendiri sehingga dianggap mampu menghadapi segala situasi yang terjadi dilingkungannya.
Seseorang dianggap cerdas sisi emosionalnya apabila dapat menahan marah pada saat orang marah, dapat memberikan senyum pada saat orang lain merasa tegang, juga dapat marah dalam keadaan terkendali pada saat orang berbuat kesalahan yang tidak semestinya. Orang dengan ciri – ciri seperti inilah yang banyak dibutuhkan perusahaan pada masa sekarang, dimana segala situasi yang terjadi tidak terkendali dan sukar ditebak sehingga banyak memicu emosi karyawan yang tidak menentu arahnya.
Ketidak mampuan untuk mengendalikan diri ini cenderung membawa kita kearah yang negatif. Misalnya karena marah pada perusahaan kita melakukan demo yang diakhiri dengan pengrusakan fasilitas kantor yang kemudian tanpa disadari akibatnya akan dirasakan oleh kita sendiri, atau contoh mudahnya marah pada pemuda yang menyukai kekasih kita cenderung menyebabkan kita gelap mata dan tega menghabisi nyawa orang lain, dan masih banyak lagi contoh karena kurang mampunya kita untuk
mengendalikan kecerdasnya emosional kita. Dengan kemampuan kita untuk mengendalikan diri inilah maka hal – hal negatif diatas dapat mulai kita kurangi sedikit demi sedikit. Berikut ini akan ditampilkan tabel yang berisikan dimensi kemampuan intelaktual dari seseorang.
Sebuah organisasi yang berjalan baik adalah organisasi yang berhasil meniadakan frustasi, takut, marah, cinta, benci, gembira, sedih, dan perasaan serupa. Emosi – emosi tersebut adalah antithesis dari rasionalisme. Dengan demikian walaupun manajer tahu bahwa emosi adalah satu bagian yang tidak terlepas dari kehidupan sehari – hari, mereka berupaya untuk menciptakan organisasi yang bebas dari emosi. Tentu saja itu tidak mungkin. Bila emosi dipertimbangkan, pembahasan berfokus pada emosi negatif yang kuat, khususnya kemarahan yang dicampuri dengan kemampuan karyawan untuk melakukan pekerjaan secara efektif. Emosi – emosi jarang dilihat sebagai konstrukif atau merangsang perilaku yang meningkatkan kinerja. Orang yang mengetahui emosi mereka sendiri dan bisa dengan baik membaca emosi orang lain bisa menjadi lebih efektif dalam pekerjaan mereka.
Klasifikasi atas 3 istilah yang sangat erat terjalin satu sama lain, yaitu pengaruh (affect), emosi, dan suasana hati (mood).
1. pengaruh : istilah umum yang meliputi kisaran luas perasaan yang dialami seseorang
2. emosi : reaksi terhadap suatu obyek, bukan suatu sifat
3. suasana hati : emosi dapat berubah menjadi suasana hati ketika anda kehilangan fokus pada objek yang kontekstual
Emotional Intelligence (EI) merujuk kepada satu keanekaragaman
ketrampilan, kapabilitas, dan kompetensi nonkognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan ((Daniel Goleman). Terdiri atas 5 dimensi :
1. Kesadaran diri : kemampuan untuk sadar akan apa yang anda rasakan 2. Mengelola diri : kemampuan untuk mengelola emosi dan rangsangan sendiri 3. Motivasi diri : kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kemunduran
dan kegagalan
4. Empati : kemampuan untuk merasakan bagaimana yang lain merasakan 5. Ketrampilan sosial : kemampuan untuk menangani emosi orang lain
Tabel 2.1 Dimensi Kemampuan Intelektual manurut Stephen P.Robbins Dimensi Kemampuan Intelektual
Dimensi Gambaran Contoh Pekerjaan
Kecerdasan numeris Pemahaman verbal Kecepatan perceptual Penalaran induktif Penalaran deduktif Visualisasi ruang Ingatan
Kemampuan untuk berhitung dengan cepat dan tepat
Kemampuan memahami apa yang dibaca atau didengar serta hubungan kata satu sama lain.
Kemampuan mengenali kemiripan dan beda visual dengan cepat dan tepat
Kemampuan mengenali suatu urutan logis dalam suatu masalah dan kemudian memecahkan masalah itu
Kemampuan menggunakan logika dan menilai implikasi dari suatu argumen Kemampuan membayangkan bagaimana suatu obyek dan tampak seandainya posisinya dalam ruang diubah
Kemampuan menahan dan mengenang kembali pengalaman masa lalu
Akuntan : Menghitung pajak penjualan pada seperangkat barang
Manajer Pabrik : mengikuti kebijakan perusahaan
Penyidik kebakaran : mengenali petunjuk – petunjuk untuk mendukung tuduhan arson
Peneliti pasar : meramalkan permintaan akan suatu produk dalam kurun waktu berikutnya
Penyelia : memilih antara 2 saran yang berlainan yang dikemukakan karyawan Dekorator interior : mendekorasi suatu kantor
Juru jual : mengingat nama – nama pelanggan
2.1.3 Efektifitas organisasi
Suatu organiasi dikatakan efektif apabila semua elemen yang terkait didalamnya sudah merasakan dampak kesuksesan perusahaan atas sumbangan tenaga yang telah mereka berikan selama ini. Adapun realisasinya dapat berupa :
1. Semakin meningkatnya pelayanan atas konsumen 2. Terpenuhinya segala keinginan konsumen
3. Saran dan kritik yang diberikan konsumen dapat menjadi pemicu semangat perusahaan untuk maju
4. Kehidupan karyawan perusahaan dalam taraf yang seimbang 5. Sedikit sekali keluhan yang diminta karyawan atas perusahaan 6. Karyawan loyal terhadap perusahaan, dan lain sebagainya
Seorang pemimpin yang baik haruslah dapat memotivasi kerja bawahannya dengan baik. Adapun kunci untuk memotivasi orang ada 2 karakteristik :
1. Pemimpin berpegang pada sesuatu ide, nilai yang dihormati orang lain
2. Pemimpin mendefinisikan realitas untuk orang – orang yang bekerja untuknya (mengutip Max De Pree,mantan pemimpin produsen furnitur Herman Miller )
Jika seorang pemimpin tidak mempunyai sifat – sifat umum, mereka mempunyai kesamaan karakteristik, yang secara total, mendefinisikan pekerjaan mereka. Ciri – ciri pemimpin menurut Walter J.Wadsworth:
1. mempunyai kemauan untuk memimpin bukan mengelola 2. memelihara moral yang tinggi diantara pekerja mereka 3. menginspirasikan komitmen dan kerjasama tim
4. menunjukkan, pada saat yang sama, energi, gairah dan antusiasme 5. terfokus dan mampu memfokuskan orang yang mereka pimpin 6. memandang masa depan dengan harapan dan optimisme 7. mengambil resiko secara hati – hati
8. jujur pada diri mereka sendiri
9. terus berjalan walaupun banyak hambatan
10. mengetahui bidang dan pekerjaan mereka secara mendalam 11. bekerja untuk menanamkan nilai pada orang – orang mereka 12. mengorientasikan diri mereka sendiri terhadap konsumen 13. mengambil perspektif jangka panjang
14. mengundang input 15. mentoleransi kekeliruan 16. menetapkan standar dan tujuan 17. tetap tenang saat diserang kritik
18. memastikan orang mempunyai sumber daya untuk melakukan suatu pekerjaan 19. percaya pada diri sendiri dan orang – orang disekitarnya
20. memulai perubahan daripada bereaksi terhadap perubahan 21. mengambil tanggung jawab
22. tidak takut untuk bekerja berdampingan dngan orang – orang baik yang ambisius
23. menginginkan masa depan yang lebih baik 24. tidak menyalahkan orang lain
25. mempunyai sikap mengambil alih kesalahan 26. ingin untuk menang
27. penuh ingin tahu dan fleksibel 28. menguji asumsi secara konstan 29. tidak mengontrol secara berlebihan
30. memberi bawahan kebebasan untuk bertindak
31. mentoleransi, walaupun tidak mengundang, perbedaan pendapat 32. percaya mereka bisa mengubah dunia ke arah yang lebih baik 33. melihat kesempatan dalam tantangan
34. membuat keputusan instingtif berdasarkan pengalaman
35. meluangkan waktu untuk mengajarkan pada orang sudut pandang mereka Tidak seorang pun akan mempunyai semua karakteristik ini. Namun pemimpin yang baik biasanya sering menunjukkan kebanyakan diantaranya.
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengarkan keluhan dari bawahannya, sehingga terjalin komunikasi yang baik antara bawahan dengan atasan. Hal ini tidak dimaksudkan untuk memanjakan bawahan, tapi lebih kepada agar pemimpin dapat terus memonitor keadaan luar secara nyata yang dihadapi karyawan.
Dalam menghadapi keluhan, setelah menjadi pendengar yang baik, adalah menelusuri fakta, menyepakati masalah dan mencari jalan keluarnya. Namun, mengeksplorasi ketiganya tidaklah mudah. Beberapa langkah strategis untuk menghadapi keluhan karyawan adalah :
Mengajak karyawan untuk mendefinisikan masalah yang dikeluhkan
Persilahkan bawahan anda untuk berbicara secara bebas tanpa rasa takut. Perlu disadari bahwa apa yang dikeluhkan belum tentu merupakan masalah, bisa saja keluhan tersebut hanyalah unek – unek yang ingin disampaikan. Dengarkan dengan penuh perhatian apa yang mereka keluhkan
Lemparkan pertanyaan – pertanyaan yang merangsangnya untuk mengeluarkan isi hati dan apa yang dipikirkannya. Pastikan anda memahami maksud dan alasan keluhan mereka.
Ketika anda mendengarkan keluhannya, amatilah tingkah lakunya mulai dari sikap tubuh, prilaku, nada suara, dan bagaimana mereka memberikan respon atas pertanyaan anda.
Jangan berdebat dan adu argumentasi dengan intensif. Tenanglah, dengarkan dengan seksama serta berikan tanggapan yang perlahan namun menusuk
kepermasalahan yang dikeluhkan. Jika anda menghendaki, sangkallah dengan pertanyaan yang halus namun tidak mematahkan keluhan tersebut.
Jangan meremehkan dan menolak untuk mendengarkannya, sekalipun keluhan tersebut tidak mendasar. Gunakan pendekatan agar bawahan dapat berkonsentrasi pada fakta – fakta., kembangkan ruang dialog dengan fakta – fakta yang diutarakan.
Jika telah mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang apa yang dikeluhkan, mintalah kepadanya untuk menyimpulkan (menceritakan kembali dengan singkat) masalah mreka dan ajak untukm mencari penyelesaiannya. Jika anda telah puas dengan keluhan dan masalah yang diutarakan bawahan
serta anda merasa perlu menyelesaikannya, maka diskusikanlah dengannya tentang pelaksanaan saran dengan tujuan mendapat kesepakatan yang boleh dan tidak boleh.
Jika telah bersepakat, maka tentukanlah kesepakatan apa yang mesti dilaksanakan, siapa yang akan melaksanakan kesepakatan, dan kapan dilaksanakan. Pastikan bawahan anda memahami apa yang akan terjadi dengan kesepakatan tersebut dan merasa puas dengan hal tersebut.
Catatlah semua kesepakatan dan pertemuan serta hasil – hasilnya.
2.2 Kerangka Pemikiran
Variabel – variabel dari budaya organisasi adalah (Stephen P.Robbins) :
1. Sosialisasi : Lebih mengarah kepada bagaimana suatu individu dalam perusahaan tersebut menjalin hubungan atau berinteraksi dengan rekan kerja lainnya, adapun faktor–faktor yang berpengaruh adalah :
Interaksi Rasa percaya
2. Bahasa : Mengarah kepada penggunaan bahasa yang digunakan pada saat berinteraksi sehingga tidak terjadi salah pengertian dalam berkomunikasi yang akan mengakibatkan terjadinya perselisihan dengan sesame rekan kerja, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
Rasa hormat Kesatuan bahasa
3. Seleksi : Mengarah kepada penyeleksian karyawan yang akan di pekerjakan, sehingga semua karyawan yang bekerja tepat pada tempatnya dengan kapasitas yang tepat pula, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
Pengetahuan Ketrampilan
Variabel – variabel dari kecerdasan emosional karyawan adalah :
1. Motivasi : Mengarah kepada motivasi saja apa yang mendasari kaputusan karyawan tersebut untuk memutuskan tetap bekerja pada perusahaan tersebut, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
Intensitas Tujuan
2. Kebutuhan : Mengarah kepada kebutuhan apa saja yang diinginkan karyawan sehingga mereka merasa nyaman tetap bekerja pada perusahaan tersebut, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah: Sosial
Penghargaan Aktualisasi diri
Variabel – variabel dari efektifitas organisasi adalah :
Ketrampilan : Mengarah kepada ketrampilan apa yang dimiliki karyawan yang sebaiknya dikembangkan sehingga dapat menjadi sumbangan yang berarti dalam pengembangan perusahaan
Keinginan : Mengarah kapada hal-hal apa yang diinginkan karyawan dari perusahaan
Tanggung jawab : Mengarah kepada hal-hal apa yang menjadi tanggung jawab masing – masing pihak agar tujuan perusahaan dapat tercapai
Jiwa kepemimpinan : Mengarah kepada pribadi pemimpin perusahaan dalam menjalankan tugasnya
Otoritas : Mengarah kepada hak-hak masing – masing pihak untuk menjalankan tugasnya
Latihan dan Pengembangan : Mengarah kepada latihan yang diberikan perusahaan kepada karyawan, sehingga potensi yang dimiliki dapat berkembang dengan tepat
2.3 Hipotesis
Gambar 2.3 Model Proses Metodologi Penelitian
Landasan Teori Tujuan Penelitian
Efektifitas Dimensi Iklim Budaya Organisasi Emotional Intelegency Studi Pendahuluan
Identifikasi data yang diperlukan Jenis data
Penentuan sampel
Pengumpulan Data Data primer dan asal data Data sekunder dan asal data
Pengolahan Data Dengan metoda : multi regresi, analisis factor dan uji validitas dan relabilitas
Penarikan kesimpulan dan pemberian saran
Analisis Data Identifikasi variabel penelitian
Jenis variabel Hipotesis
Hipotesis awal yang penulis diajukan dalam penelitian ini adalah :
Ho : Semakin tinggi Budaya Organisasi, maka akan semakin tinggi juga efektifitas organisasi, demikian pula sebaliknya
H1: Semakin besar Kecerdasan Emosional karyawan, maka akan semakin besar juga efektifitas organisasi, demikian juga berlaku untuk keadaan sebaliknya
H2 :Efektifitas Organisasi tidak terpengaruh oleh Budaya organisasi maupun Kecerdasan emosional karyawan