Hilangnya
Kebajikan Kita
Mengapa Gereja Harus
Menemukan Kembali Visi Moralnya
David F. Wells
Penerbit Momentum
2005
HILANGNYA KEBAJIKAN KITA:
Mengapa Gereja Harus Menemukan Kembali Visi Moralnya
(Losing Our Virtue: Why the Church Must Recover Its Moral Vision) Oleh: David F. Wells
Penerjemah: Peter Suwadi Wong Editor: Irwan Tjulianto
Pengoreksi: Jessy Siswanto dan Irenaeus Herwindo Tata Letak: Djeffry
Desain Sampul: Ricky Setiawan Editor Umum: Solomon Yo
Copyright © 1998 by Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 255 Jefferson Ave. S.E., Grand Rapids, Michigan 49503
Published jointly in the United States by Wm. B. Eerdmans Publishing Co. and in the U. K. by Inter-Varsity Press
38 De Montfort Street, Leicester LE1 7GP, England All rights reserved.
Hak cipta terbitan bahasa Indonesia © 2002 pada
Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature)
Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275
e-mail: [email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Wells, David F.
Hilangnya kebajikan kita: mengapa gereja harus menemukan kembali visi moralnya / David F. Wells, terj. Peter Suwadi Wong – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2005.
x + 296 hlm.; 15,5 cm. ISBN 979-8131-82-7
1. Kekristenan dan Kebudayaan – Amerika Serikat. 2. Amerika Serikat – Kondisi Moral.
3. Kekristenan – Amerika Serikat – Abad ke-20. 4. Etika Kristen.
2005 241’.0973 – dc21
Cetakan pertama: Oktober 2005
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Prakata
PADA TAHUN 1989, saya menerima sumbangan dana yang murah hati dari Pew Charitable Trusts. Tujuan sumbangan itu adalah untuk mem-berikan peluang bagi Mark Noll, Neal Plantinga, dan saya untuk meng-gali alasan-alasan kerusakan pada pemikiran Injili, terutama dalam hal theologi. Kontribusi saya sendiri untuk usaha itu, No Place For Truth [edisi bahasa Indonesia, Tiada Tempat bagi Kebenaran], memulai serentetan penyelidikan yang terus berlanjut sampai buku ini. Saya te-tap berterima kasih atas sumbangan tersebut dan juga setengah masa sabatikal yang telah diberikan kepada saya untuk tujuan penulisan buku ini.
Karena buku ini berusaha menjelajahi kawasan yang umumnya jarang dilalui oleh para theolog, saya khususnya berterima kasih atas bantuan yang telah saya terima dari sejumlah orang. Pada awalnya saya mencari bimbingan dari Kaye Cook tentang psikologi pascamodern dan dari Paul Kennedy tentang riset sosiologis mutakhir tentang Evange-likalisme. Selanjutnya, bagian-bagian dari naskah ini dibaca oleh Greg Beale, Os Guinness, Ray Pendleton, Dick Keyes, dan Richard Lints. Kemudian, saya bertemu dengan Dead Theologians Society, yang ter-diri dari para pendeta pasca-D.Min., yang menawarkan banyak saran yang menolong untuk satu bab yang telah saya edarkan. Saya berterima kasih atas bantuan yang saya terima dalam berbagai cara ini, tetapi, ten-tu saja, saya sendiri yang bertanggung jawab atas kesalahan dan cacat cela apa saja yang mungkin masih ada.
Selama penulisan buku ini, saya telah berkesempatan untuk me-nyampaikan bahan-bahan yang sedang saya kerjakan ketika itu dalam bentuk kuliah. Merupakan kehormatan bagi saya untuk memberi kuliah pada Pedersen Lectures di Lutheran Brethren Schools, Centennial Lectures di Trinity Evangelical Divinity School, menjadi Pinecrest Lecturer di South Florida Center for Theological Studies, dan menjadi pembicara dalam pertemuan tahunan konferensi New England Refor-med Fellowship. Semua interaksi dengan bahan saya ini sangat meno-long.
Sebagian dari bab 2 pernah diterbitkan dengan judul “Our Dying Culture” (Kebudayaan Kita yang Sekarat) di dalam James Montgo-mery Boice dan Ben Sasse, ed., Here We Stand: A Call from
Confess-ing Evangelicals (Grand Rapids: Baker, 1996), 25-42. Diterbitkan di
sini dengan izin.
Akhirnya, saya hendak mengekspresikan rasa terima kasih saya kepada seluruh pembaca yang serius; tanpa mereka, saya tidak akan mempunyai audiensi."
Pendahuluan
Cara-cara kepercayaan lama kita sedangsekarat di dalam jutaan akal budi.
–WALTER TRUETT ANDERSON –
BUKU INI MEMBICARAKAN TENTANG KEBUDAYAAN yang sedang mengalami disintegrasi dalam masyarakat Amerika dan apa maknanya bagi gereja saat ini. Disintegrasi ini adalah tema yang sudah begitu sering dibahas, baik sebagai topik pada tajuk rencana, buku-buku, mau-pun komentar-komentar di televisi. Disintegrasi ini membuat banyak orang merasa prihatin dan telah berpengaruh terhadap banyak sikap po-litik. Pernyataan-pernyataan tentang hal ini dapat dengan mudah dilon-tarkan. Juga lebih mudah untuk mengeksploitasi keprihatinan nasional ini demi keuntungan pribadi, tetapi jauh lebih sukar dan jauh lebih pen-ting untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tanpa pe-mahaman ini, tidak akan dihasilkan solusi-solusi yang bisa bertahan lama. Juga tidak akan ada kehadiran Kekristenan yang mampu mempe-ngaruhi masyarakat.
Dalam buku ini, saya bukan hanya mencoba untuk memahami, te-tapi lebih dari itu, saya juga mencoba memikirkan pertentangan antara iman Kristen dan kebudayaan kita yang sedang mengalami disintegrasi moral. Apa akibat keruntuhan ini terhadap pemahaman kita tentang diri kita sebagai makhluk-makhluk moral? Sebab, jika pemahaman ini hi-lang, dan saya percaya saat ini memang demikian, maka sangat besar
konsekuensinya bagi iman Kristen dalam hal bagaimana iman Kristen itu dilihat dan bagaimana ia perlu memikirkan tentang dirinya sendiri dan tanggung jawabnya dalam masyarakat.
Saya harus mengatakan dengan terus terang bahwa apa yang telah saya lakukan dalam buku ini akan menyinggung perasaan orang-orang yang tidak mau mendengar kebenaran theologis, dan terdapat banyak orang seperti ini dalam dunia Injili. Mereka tidak lagi memedulikan kebenaran theologis. Meskipun saya tidak bermaksud melambai-lam-baikan kain merah di hadapan banteng-banteng dan membuat mereka yang sudah merasa tersinggung setelah membaca buku-buku saya yang terdahulu menjadi lebih marah lagi, faktanya adalah bahwa enkulturasi dunia Injili dan pengkhianatan terhadap dirinya sendiri melalui iman yang telah dikosongkan dari isi theologisnya merupakan alasan meng-apa gereja tidak mempunyai jawaban bagi krisis karakter yang melanda seluruh bangsa. Enkulturasi ini juga merupakan alasan mengapa dunia pascamodern tidak mendengarkan Firman Allah pada saat ia seharus-nya mendengarkan. Inilah theologi. Saya memahami theologi sebagai membawa kebenaran Firman Allah ke dalam pertemuan yang hidup de-ngan kehidupan gereja, sebagaimana gereja itu berada dalam kebudaya-annya sendiri, dengan keinginan untuk melihat pemahaman, karakter, danperilaku Kristen menjadi lebih autentik. Theologi juga merupakan usaha untuk menyiapkan gereja agar bisa berbicara secara efektif dan relevan kepada dunia itu. Sungguhpun maksud-maksud saya dengan buku ini adalah benar dan sudah teruji waktu, gereja Injili hari ini tidak begitu berminat terhadap hal-hal seperti ini. Dan saya berkeyakinan bahwa sikap demikian merupakan sebuah kesalahan. Dalam generasi mendatang, kaum Injili akan mengetahui betapa mahalnya harga yang harus mereka bayar untuk kesalahan ini, sebab sekarang ini sedang dita-burkan begitu banyak benih yang darinya liberalisme baru sedang bang-kit, dan liberalisme ini akan sedestruktif liberalisme lama.
Kondisi yang Terus Berubah
Dua puluh lima tahun yang lalu, saya cukup yakin bahwa saya dapat dengan gembira memakai kata theologi tanpa rasa was-was. Sebab saat itu saya adalah seorang profesor muda, seperti sebatang pohon muda
dalam dunia Injili yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar. Saat itu, kepercayaan Injili lebih pasti daripada sekarang, theologi merupakan kata yang cukup terhormat dan di dalamnya terdapat suatu perasaan misi yang menular.1 Itulah masa di mana pohon-pohon besar tersebut dapat menjulang begitu tinggi dalam dunia ini karena keyakinan theo-logis mereka dan bukan oleh uang mereka, ukuran gereja mereka, atau mahalnya organisasi mereka. Pada waktu itu, para pemimpin dalam Evangelikalisme sering kali adalah para pendeta dan para pakar Alkitab dari kalangan mereka sendiri; tetapi hari ini, yang menjadi pemimpin adalah para pengusaha dan para manajer, dan para pendetanya yang jumlahnya terus meningkat sering kali tidak dapat dibedakan dengan orang-orang bisnis yang kemampuannya untuk menemukan pasar telah terasah begitu tajam.2 Pada tahun 1996, Christianity Today memuat artikel tentang para pemimpin Injili yang paling menonjol yang berusia di bawah empat puluh tahun. Para pendeta, para pakar Alkitab, para theolog, dan pakar-pakar lainnya jumlahnya kurang dari sepertiga dari
–––––––– 1
Dalam tahun-tahun awalnya, National Association of Evangelicals (NAE), yang mengangkat suara terhadap gerakan yang sedang muncul tersebut, tidak sepenuhnya mewakili mereka yang belakangan mengidentifikasi diri dengannya. Waktu itu, asosiasi tersebut didominasi oleh kaum fundamentalis, tetapi kredonya, “Kerja sama tanpa kompromi,” menyatakan suatu kesediaan untuk pergi melampaui pandangan-pandangan fundamentalis yang lebih sempit. Kerja sama akhirnya terjadi dalam tahun-tahun ter-kemudian, meskipun kerja sama ini juga dibatasi oleh fragmentasi yang terjadi di dalam, sejumlah skandal, dan kepemimpinan yang melampaui butir-butir inti agenda Injili. Kompromi yang disebutkan di sini secara sadar tidak begitu dilanggar, tetapi justru secara tidak sadar terjadi barter dengan kebudayaan. Pembahasan tentang bebe-rapa hal dari isu-isu dalam NAE ini dapat dibaca dalam karya John Stackhouse, “The National Association of Evangelicals, the Evangelical Fellowship of Canada, and the Limits of Cooperation,” Christian Scholars Review 25, no. 2 (Desember 1995), 157-79.
2
Perubahan dalam gaya dan tipe kepemimpinan ini harus dijelaskan bahwa itu dise-babkan oleh menyusutnya karakter teologis dalam dunia Injili dan bertumbuhnya pro-fesionalisasi terhadap para pendetanya. Lih. buku saya, No Place for Truth; or, Whatever Happened to Evangelical Theology? (Grand Rapids: Eerdmans, 1993), 218-57. (Edisi bahasa Indonesia, Tiada Tempat bagi Kebenaran, atau, Apa yang telah Terjadi pada Teologi Injili? [Surabaya: Momentum, 2004], 253-98.) Perubahan ini juga merupakan bagian dari transisi yang harus dijalani oleh gerakan-gerakan, khususnya ketika mereka bergerak dari “karisma” para pendiri mereka kepada “struktur” yang ter-diri dari mereka yang mengikuti ketika gerakan tersebut melembaga (memakai analisis Max Weber).
kumpulan pemimpin Injili tersebut, tetapi hanya empat puluh dua per-sennya yang menjadi pemimpin organisasi.3
Tetapi, merupakan suatu kesalahan jika kita berpikir bahwa zaman keemasan telah berlalu, atau bahwa alur dari peristiwa-peristiwa terse-but semata-mata sedang menurun. Jika kita dapat melihat lebih jauh lagi ke belakang, pada masa awal pascaperang, dan membandingkan masa kini dengan masa dulu, maka kita dapat segera menemukan bah-wa kaum Injili masa kini sesungguhnya menikmati banyak buah-buah keberhasilan. Kaum Injili masa kini lebih baik daripada kaum Injili pada masa pascaperang dalam banyak hal. Gereja-gereja Injili telah bertumbuh dalam hal jumlah dan ukuran, pelayanan-pelayanan yang sebelumnya tidak ada sekarang sudah dikembangkan, para pakar ber-limpah, perpustakaan berkembang, jumlah seminari begitu banyak, ge-reja-gereja Injili menjadi perhatian para politikus, dan liberalisme theo-logis yang dulunya terlihat menakutkan sekarang terlihat menyedihkan. Namun seiring dengan pertumbuhan yang memukau ini – yang sesung-guhnya dapat kita katakan sebagai kemenangan – telah terjadi pengo-songan dalam keyakinan Injili, hilangnya Firman alkitabiah dalam fungsinya yang otoritatif, dan erosi karakter yang terjadi sedemikian rupa sehingga hari ini tidak ada perbedaan etis antara mereka yang menyatakan diri telah lahir baru dan orang-orang sekuler. Pada tahun-tahun pascaperang, kaum Injili yang jumlahnya kecil tampak memiliki sosok yang besar, tetapi sekarang, dengan jumlah yang bertambah besar, sosoknya malah tampak menyusut. Sudah pasti keberhasilan me-miliki harga yang harus dibayar, dan keadaan yang mengejutkan ini seharusnya membuat kita sadar. Bahkan dalam masa para rasul, ada orang-orang yang berkata, “Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa.” Tetapi realitasnya adalah bahwa mereka itu “melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang” (Why. 3:17). Dengan keadaan yang suam-suam kuku ini, mereka tidak menyadari keadaan rohani mereka sendiri karena keberhasilan yang mereka capai dalam hal-hal eksternal, sehingga mereka dimuntahkan dari mulut Kristus.
–––––––– 3
“Up & Comers: Fifty Evangelical Leaders 40 and Under,” Christianity Today 40, no. 13 (11 November 1996), 20-30.
Dari Augustinus sampai Pascamodernitas
Pada tahun 1993, saya menerbitkan No Place for Truth [edisi bahasa Indonesia, Tiada Tempat bagi Kebenaran]. Dalam buku itu, saya men-coba memperlihatkan bagaimana asumsi-asumsi modernitas telah me-nerobos masuk ke dalam gereja-gereja Injili. Di sana saya menyatakan bahwa hilangnya pemikiran theologis di bangku-bangku gereja, dan juga di mimbar, jelas merupakan akibat dari pengaruh modernitas yang membuat kita mengalihkan fokus kepentingan-kepentingan kita, yaitu menggantikan yang moral dengan yang terapeutik, yang ilahi dengan yang manusiawi, kebenaran dengan intuisi, dan keyakinan dengan tek-nik. Akibatnya, kita tidak hanya mendapati humanisme sekuler dalam masyarakat kita tetapi juga Evangelikalisme sekuler. Dalam buku ber-ikutnya yang terbit pada tahun 1994, God in the Wasteland: The Reality
of Truth in a World of Fading Dreams [edisi bahasa Indonesia, Allah di Lahan Terbengkalai: Realitas Kebenaran dalam Dunia dengan Mimpi-mimpinya yang Memudar], saya berusaha memperlihatkan bahwa apa
yang hari ini kita kenal sebagai modernitas, dalam banyak seginya merupakan ekspresi kontemporer dari apa yang disebut oleh Perjanjian Baru secara peyoratif sebagai “dunia.” Keduniawian adalah sistem nilai dalam setiap zaman yang berpusat pada perspektif manusia yang ber-dosa, yang menyingkirkan Allah dan kebenaran-Nya dari dunia, dan yang menjadikan dosa tampak wajar dan kebenaran tampak aneh. Dengan demikian, keduniawian membuat suatu hal yang salah secara moral menjadi sesuatu yang sangat masuk akal, dan dengan demikian, menjadikan suatu kesalahan tampak wajar. Realitas spiritual inilah yang merajalela dalam modernitas, dan ini telah menyebabkan dunia Injili tersandung sampai begitu parahnya. Saya telah menyimpulkan bahwa apa yang paling terancam dan apa yang paling perlu dipulihkan dalam kaitannya dengan Allah adalah pemahaman kita tentang natur moral Allah dan kedaulatan providensi-Nya. Tanpa pemulihan ini, iman Injili akan kehilangan – itu pun jika saat ini belum hilang – ketajaman moral-nya dan autentisitas spiritualmoral-nya.
Dalam kedua buku di atas, dan juga dalam buku ini, sudut pandang saya berbeda dari tulisan-tulisantheologis konvensional. Meskipun se-tiap buku saya mempercayai prinsip sola Scriptura Reformasi, saya
juga bersikeras bahwa sebagian dari tugas theologis adalah harus selalu bertanya apa artinya mempunyai Firman di dalam dunia pada saat ini. Satu-satunya jalan untuk menjawab pertanyaan itu adalah dengan mengadakan analisis yang kokoh, mantap, dan teliti atas kebudayaan yang bersangkutan.
Saya telah berusaha untuk melakukan hal ini sementara mengikuti urutan theologis tradisional dalam studi-studi ini.4 Dalam kebanyakan theologi sistematika (dengan mengecualikan theologi sistematika Karl Barth) pembahasan khususnya dimulai dengan bagian prolegomena. Ini berfungsi sebagai pendahuluan bagi tubuh theologi selanjutnya. Prole-gomena menjelaskan mengenai pengetahuan ini, hubungannya dengan filsafat, peran yang dimainkan oleh rasio, tempat yang seharusnya bagi pengalaman, dan sebagainya. Prolegomena yang telah saya tulis adalah
No Place for Truth [edisi bahasa Indonesia, Tiada Tempat bagi Kebe-naran]. Buku itu tentu saja bukan prolegomena tradisional, melainkan
prolegomena kultural. Saya tidak menanyakan tentang asumsi-asumsi rasional yang dipakai untuk bertheologi, tetapi kondisi-kondisinya, dengan memperhatikan natur dari kebudayaan yang khusus ini, yang paling mendukung diterapkannya theologi dengan memungkinkannya untuk berakar secara mendalam di kehidupan gereja. Pertanyaan saya bukanlah apa yang harus kita pahami tentang pokok tersebut apabila
–––––––– 4
Pada pergantian abad, James Orr berbicara tentang sebuah masalah yang dulu dirasa lebih menyakitkan daripada yang sekarang, meskipun masalah tersebut tidak begitu serius pada saat itu dibandingkan dengan konteks pascamodern kita sekarang ini. “Apa yang paling dibutuhkan oleh zaman kita,” katanya, “di tengah-tengah kekacauan-kekacauan yang menimpanya, adalah membawa doktrin-doktrin theologis ke dalam pengujian yang lebih tinggi daripada hanya ke dalam penilaian individual” (James Orr, The Progress of Dogma: Being the Elliot Lectures, Delivered at Western Theological Seminary [London: Hodder and Stoughton, 1901], 14). Ini justru adalah isu yang dibicarakan oleh Newman dalam bukunya, The Development of Doctrine. Dan seperti Newman, Orr mengembangkan beberapa pengujian untuk menilai autentisitas doktrinal. Bukunya sebagian besar berisi diskusi tentang paralel yang dilihatnya antara urutan sis-tematika tradisional – prolegomena, Allah, antropologi, Kristologi, soteriologi objektif, soteriologi subjektif, eklesiologi, dan eskatologi – dan cara bagaimana gereja telah ber-konsentrasi dalam topik-topik ini dalam urutan ini dan kemudian bergerak ketika for-mulasi definitif telah diberikan. Saya tidak berurusan dengan nilai-nilai baik argumen ini di sini, saya hanya ingin mengambil observasi Orr bahwa ada urutan wajar di mana topik-topik theologis harus disampaikan, sebuah urutan yang telah saya pilih untuk ikut di sini.
kita hendak bertheologi, tetapi apa yang harus kita pahami tentang diri kita sendiri agar theologi itu dilibatkan dalam kehidupan kita.
Dalam theologi-theologi tradisional, prolegomena biasanya diikuti oleh doktrin Allah. Di sini dibicarakan natur-Nya sebagai Trinitas, demikian juga atribut-atribut-Nya, karakter kasih-Nya yang kudus, dan karya penciptaan dan providensi-Nya. Buku kedua saya, God in the
Wasteland [edisi bahasa Indonesia, Allah di Lahan Terbengkalai],
mengikuti prolegomena kultural saya dengan cara yang sama seperti sistematika yang tradisional, berisi beberapa tema yang sama yang dibi-carakan dalam doktrin Allah. Namun, buku itu jauh dari memadai seba-gai doktrin Allah yang lengkap, sebab, sekali lagi, saya tidak menanya-kan tentang pengajaran alkitabiah apa yang harus dipercaya, tetapi bagaimana pengajaran tersebut kini diletakkan pada posisi yang ter-ancam oleh modernitas, dan apa yang perlu kita pahami tentang diri kita sendiri agar pengajaran tersebut bisa berakar dalam pusat kehi-dupan kita dan benar-benar membentuk cara hidup kita dalam dunia ini.
Doktrin Allah, dalam theologi konvensional biasanya diikuti oleh Kristologi atau antropologi. Demikian juga buku saya, God in the
Wasteland, kini diikuti oleh studi tentang manusia atau pribadi
kontem-porer. Dengan demikian, saya mengikuti urutan tradisional tanpa meru-muskan theologi tradisional.
Tanggung jawab saya barangkali akan menjadi lebih ringan apabila saya menulis sebuah theologi yang tradisional. Selama lebih dari dua ribu tahun terakhir ini, gereja telah mewariskan karya-karya theologi yang luar biasa kayanya. Setiap orang yang masuk ke dalam bidang ini pada saat ini akan memperoleh keuntungan dari fakta bahwa lahan ter-sebut telah diolah secara mendalam dan teliti. Jadi, banyak karya theo-logi sistematika tradisional merupakan hasil penggalian kembali dari apa yang telah menjadi milik tradisi Kristen, bahkan ketika kepemilikan itu berada di dalam keadaan-keadaan modernitas kita.
Lahan yang sedang saya masuki ini sama sekali belum tergambar dengan jelas sebab modernitas dan pascamodernitas masih terlalu baru. Terlalu banyak sisinya dan terlalu rumit untuk menghasilkan konsensus yang jelas tentang apa yang telah terjadi. Ketika seseorang memasuki dunia analisis kultural ini, ia sedang memasuki sebuah tanah rawa yang
kabur, yang mengenainya hanya sedikit sekali yang telah diketahui dan banyak yang belumterselidiki dan belum dapat dijelaskan.
Oleh sebab itu, model yang ada di dalam karya saya agak berbeda dengan karya-karya theologi konvensional. Tidak satu pun dari buku-buku saya ini yang membahas berbagai untaian doktrin-doktrin Kristen secara sistematis dan lengkap. Biarlah orang-orang lain yang mengerja-kannya, sebab saya mempunyai tujuan khusus yang harus saya tuntas-kan, dan untuk itu saya memiliki model yang berbeda dalam pikiran saya.
Pokok perhatian saya adalah gereja. Erosi pada karakter theologis-nya, keduniawiannya yang tak disadaritheologis-nya, ketidakmampuannya untuk berpikir jelas dan tajam tentang kebudayaan, dan kebudayaan yang se-makin bertumbuh menjadi barbarisme ini, semua itu mengingatkan saya pada masa dulu. Pada masa itu, Augustinus menulis City of God ketika menghadapi malapetaka yang menimpa Roma pada tahun 410. Orang-orang barbar yang menyerbu Eropa menggilas semua yang mereka lewati menjadi reruntuhan, sampai akhirnya mereka mengepung pintu-pintu gerbang Roma, Kota Kekal itu. Ini adalah keadaan yang sungguh tak terbayangkan, paling tidak oleh orang-orang kafir. Mereka telah menghibur diri mereka sendiri bahwa Roma tidak akan pernah ditakluk-kan, bahwa Roma akan selalu dilindungi oleh dewa-dewa mereka. Tak seorang pun yang dapat menduga apa yang telah menimpa masyarakat yang bejat tersebut selama tiga hari penyerbuan dan penjarahan yang dipimpin oleh Raja Alaric.
Reaksi terhadap penaklukan atas Roma segera terasa. Orang-orang kafir menuding orang-orang Kristen bahwa keberadaan mereka menye-babkan Roma ditinggalkan oleh dewa-dewa. Dewa-dewa ini nyata se-kali tidak suka bahwa masyarakat Roma menoleransi kehadiran orang-orang Kristen. Bukan hanya demikian, doktrin-doktrin Kristen, kata orang-orang kafir itu, menuntut agar mereka menyangkali dunia. Itu berarti bahwa orang-orang Kristen tidak dapat menjadi warga-warga yang baik karena mereka harus melepaskan diri mereka dari masyara-kat. Jadi, apakah mengejutkan apabila Roma yang telah sedemikian ditinggalkan oleh begitu banyak orang, akhirnya jatuh ke tangan orang-orang barbar? Orang-orang-orang Kristen tampaknya tidak dapat
menerang-kan bagaimana tragedi ini bisa terjadi, suatu keadaan yang tidak dapat dipahami, dan mereka juga tidak yakin bagaimana menangkis tuduhan-tuduhan orang kafir tersebut tentang kewargaan mereka. Mereka meng-rim utusan-utusan kepada Augustinus di Afrika Utara, meminta ban-tuannya untuk menolong mereka memahami apa yang telah terjadi berdasarkan kerangka kerja Kristen. Dan selama lebih dari dua puluh tahun berikutnya, Augustinus merumuskan jawabannya. Ia membalik-kan tuduhan orang-orang kafir ke atas diri mereka sendiri dengan me-ngatakan bahwa Roma runtuh bukan karena moralitas Kristen, melain-kan karena imoralitas kafir orang Roma sendiri. Bagaimana orang-orang kafir dapat menolak keinginan orang-orang Kristen akan penebusan dari kejahatan yang laten dalam natur manusia? Dua belas buku terakhir karya Augustinus bergerak dari tragedi khusus ini kepada pemikiran yang lebih umum tentang adanya dua kota, Kota Allah dan Kota Manu-sia, dalam segala sejarah manusia. Dari sana ia sampai pada perumusan pemahamannya tentang providensi, dan tentang hubungan antara Kris-tus dan kebudayaan, yang menjadi kerangka bagi semua kehidupan. Baginya, tragedi kultural inilah yang berseru meminta jawaban dan yang merangsang pemikirannya tentang hubungan antara Allah dan dunia serta gereja. Sekarang, setelah banyak abad berselang, saya sen-diri merasakan kebutuhan untuk melakukan hal yang sama meskipun dengan lingkup yang jelas lebih kecil, karena memperhatikan konse-kuensi-konsekuensi dari modernitas yang sangat menggoyahkan ini. Namun jelas ada perbedaan-perbedaan yang besar.
Agenda saya jelas lebih sederhana. Dalam buku-buku ini, saya ter-utama berusaha untuk menggali kembali, memelihara, dan mengklaim kembali kekayaan spiritualitas klasik yang khususnya terancam akan sirna. Tugas saya adalah mendukung usaha utama untuk mengembang-kan theologi untuk masa ini. Saya telah bekerja dengan cara yang terbatas dan sedikit demi sedikit, dan tidak secara komprehensif seba-gaimana yang dituntut oleh urgensi waktu kita dan yang harus disele-saikan oleh orang-orang lain nantinya.
Karya Augustinus adalah sebuah studi kasus yang bertujuan untuk mengajar, refleksi seseorang tentang kebudayaannya sendiri, tetapi Roma kuno juga menawarkan sebuah studi kasus yang sama
menarik-nya tentang keruntuhan kultural secara umum. Penaklukan Roma selalu menjadi hal yang membingungkan para sejarawan, sebab jika dilihat dari permukaannya, Roma seharusnya tidak runtuh dengan begitu mu-dahnya di tangan orang-orang barbar tersebut. Hal ini telah membang-kitkan sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara pasti tetapi yang tetap menggelitik untuk terus dipikirkan. Apa peran dari keruntuh-an karakter Roma ykeruntuh-ang telah terjadi secara perlahkeruntuh-an namun pasti di dalam kekalahan ini? Benarkah jika menduga bahwa, dalam beberapa segi, Roma bukan dikalahkan oleh orang-orang luar, melainkan oleh ta-ngannya sendiri? Dan jika dugaan ini sah, tidakkah seharusnya kita me-mandang dengan rasa takut terhadap penyakit-penyakit sosial kita yang sangat destruktif dan pembusukan karakter nasional kita? Amerika tam-pak begitu kuat, begitu tak terkalahkan ketika malang melintang di du-nia, teknologinya tak tersaingi, sistem ekonominya kokoh dan dinamis, pemerintahannya stabil, dan validitas hukumnya tak tertandingi.
Na-mun, Roma dulunya juga mempunyai posisi yang sebanding dalam
dunia kuno, tetapi di luar perhitungan dan dugaan manusia mana pun, Roma runtuh. Sesungguhnya, ketika orang-orang barbar tersebut tiba di luar pintu-pintu gerbang Roma, rambut mereka berbau anyir mentega, nafas mereka berbau bawang putih, dan lidah mereka terjulur dan mengeluarkan bunyi-bunyian yang primitif, dan mereka tidak menda-pati seorang pun ada di rumah. Mereka begitu saja masuk ke dalam kota dan memulai penaklukannya. Nasib yang tak terbayangkan ini bu-kannya tidak bisa terulang lagi, bahkan bagi Amerika sekalipun, jika bangsa Amerika tidak dapat menegur kehidupannya sendiri yang se-dang mengalami disintegrasi, sebab tidak ada peradaban yang akan ber-tahan untuk selamanya.5
–––––––– 5
Dalam studinya yang panjang lebar tentang peradaban-peradaban, Arnold Toyn-bee memberikan banyak pemikiran tentang mengapa peradaban-peradaban berdisin-tegrasi. Apa tanda-tanda keruntuhan mereka? Khususnya dalam hal peradaban Barat sekarang, ia membahas tentang “pecahnya jiwa.” Ia melihat dalam disintegrasi kebuda-yaan-kebudayaan munculnya pola-pola perilaku yang sama tetapi mempunyai ekspresi-ekspresi yang sangat berbeda, bergantung pada apakah bentuk itu aktif atau pasif, meskipun bentuk yang terakhir yang kita lihat lebih menonjol pada hari ini, dalam ben-tuk pasifnya, kematian kultural diawali dengan pembusukan moral, pengabaian hukum di mana “antinomianisme diterima – secara sadar maupun tidak sadar, dalam teori mau-pun dalam praktik – sebagai substitusi bagi kekreatifan” (Arnold Toynbee, A Study of History, [12 vol.; London: Oxford University Press, 1934-61], 5:399). Hal ini diiringi
Bahkan sebagian orang melihat bahwa proses keruntuhan akhir ini sudah dimulai. Kritikus seni, Robert Hughes, misalnya, menarik paralel langsung antara Roma pada tahap-tahap terakhir keruntuhannya dan Amerika pada tahun 1980-an dan 1990-an. Pada waktu itu, seperti juga sekarang, banyak orang merasa skeptis terhadap otoritas dan menjadi korban yang empuk bagi takhayul. Bahasa politik mulai mengalami dis-integrasi, sama seperti pada hari ini, meskipun dalam kasus kita, salah satu penyebab utamanya adalah bahwa bahasa politik ini harus memi-kul beban kesalehan yang palsu, yang justru menjadi keharusan politis saat ini. Hughes berbicara tentang “kerusakan dan sikap bertele-tele para senatornya,” tentang kaisar-kaisar tua yang bodoh dengan istri-istri mereka yang boros yang sering berkonsultasi dengan para astrolog, ten-tang ketergantungan Roma kepada angsa-angsanya untuk melindungi-nya dari musuh-musuh yang tak terlihat, angsa-angsa itu sekarang telah diperankan oleh para penyelenggara jajak pendapat. Permainan-per-mainan gladiator, yang digelar sebagai pengalih perhatian rakyat yang semakin hari semakin resah, sekarang digantikan dengan pertumpahan darah dalam film-film di bioskop dan televisi.6
Irving Kristol, seorang anggota (fellow) di American Enterprise Institute, juga telah melihat sebuah paralel antara Roma dalam tahun-tahun kemerosotannya dan Amerika, meskipun ia mengerjakan paralel ini dari sudut politik yang konservatif. Kemiripan yang dilihatnya terle-tak dalam dekadensi yang terjadi pada masa itu dan yang kini juga terli-hat di mana-mana, sebuah tema yang akan saya bahas dalam bab 2.
––––––––
dengan keinginan untuk memisahkan diri dari struktur-struktur yang ada, oleh suatu perasaan terhanyut, yang merupakan “perasaan kehilangan yang pasif dalam hal keya-kinan tentang pertumbuhan” (ibid., 5:412). Kehanyutan ini “mempunyai dampak candu yang memasukkan secara perlahan dan diam-diam ke dalam jiwa sesuatu yang jahat yang dipercaya tinggal dalam keadaan-keadaan eksternal di luar kendali si korban” (ibid., 5:432). Hal ini juga diiringi dengan semacam percampuran yang ”berdampak praktis dalam tindakan penyerahan diri kedalam kuali yang melumerkan” (ibid., 5:439), dengan ini Toynbee memaksudkan konsensus spiritual dan moral yang sedang merosot, bukannya kuali kesukuan yang melumerkan. Tidak sulit mendengar gambaran seperti ini disuarakan dalam banyak hal dalam kehidupan kontemporer di Amerika. Baca juga diskusi yang bermanfaat dalam buku Jim Nelson Black, When Nations Die: America on the Brink: Ten Warning Signs of a Culture in Crisis (Wheaton, Ill.: Tyndale House, 1994).
6
Robert Hughes, Culture of Complaint: The Fraying of America (New York: Oxford University Press, 1993), 4-5.
Lima puluh tahun yang lalu, Kristol berpendapat, negara sejahtera diciptakan di Amerika untuk memberikan jaminan seumur hidup. Kese-jahteraan ini diharapkan dapat menghilangkan penyakit-penyakit sosial yang telah menjadi begitu destruktif pada era kita ini, misalnya keja-hatan dengan tindak kekerasan, obat-obatan terlarang, dan rusaknya lembaga pernikahan. Pertukaran telah dilakukan secara sembunyi-sem-bunyi. Tanggung jawab atas banyak bagian kehidupan telah dilimpah-kan kepada pemerintah, dan kehidupan pribadi didominasi oleh keper-cayaan bahwa setiap warga negara mempunyai hak tanpa syarat atas otonomi individu (sebuah tema yang akan saya gali dalam bab 2 dan 3). “Pemindahan area-area tanggung jawab utama kepada negara yang sejahtera,” tulis Kristol, “digabung dengan toleransi bagi tiadanya tang-gung jawab moral di antara para warga negara merupakan penjelasan yang gamblang bagi dekadensi nasional yang dapat dibayangkan oleh seseorang.”7 Dan dekadensi ini telah menyeberang dan masuk ke dalam agama kita, yang sebagian besar telah menjadi urusan internal dan pri-badi yang dipisahkan dari kehidupan publik. “Tetapi agama yang hanya sekadar urusan pribadi,” sanggahnya, “baru dikenal pada masa kita, te-tapi tidak dikenal dalam sejarah umat manusia…. Agama seperti itu de-ngan cepat akan mengecil menjadi acara hiburan dalam ruade-ngan, men-jadi semacam hobi seseorang atau beberapa orang, seperti membaca buku atau menonton televisi.”8 Di balik runtuhnya Roma terdapat kega-galan spiritual, dan Kristol melihat kegakega-galan yang sebanding, meski disebabkan oleh sarana yang berbeda, terjadi di Amerika. Jika kita me-ninggalkan kewajiban-kewajiban moral kita dan menikmati “hak” kita untuk melakukan dan mengatakan apa pun yang kita sukai, kita akhir-nya hidup dalam masyarakat yang tidak bermakna, kosong, dan sema-kin bertambah berbahaya dan tidak ramah.
Alasdair MacIntyre, seorang filsuf dan pakar etika, juga menyaran-kan bahwa kita telah mencapai “titik perputaran” yang sebanding antara apa yang telah terjadi di Roma dan apa yang terjadi hari ini, di tengah-tengah disintegrasi moral masyarakat kita, kita harus memulai
“pem-–––––––– 7
Irving Kristol, “The Welfare State’s Spiritual Crisis,” The Wall Street Journal 229, no. 23 (3 Februari 1997), A6.
8
bangunan bentuk-bentuk lokal dari komunitas yang di dalamnya keso-panan dan kehidupan moral dan intelektual dapat dilangsungkan mela-lui zaman-zaman kegelapan baru yang telah berada di atas kita.”9 Itu barangkali merupakan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup di masa yang akan datang, tetapi haruskah kita dengan begitu mudahnya me-nyerahkan kawasan ini sekarang? Mungkinkah kekacauan kultural itu sendiri, yang begitu menyakitkan dan membingungkan, menjadi tanah yang subur untuk penanaman iman kembali? Dapatkah iman Injili, yang sekali lagi diperhatikan dengan serius, sekali lagi mempunyai kebenaran alkitabiah dan jaringan moral, dapat melayani Amerika hari ini seperti dulu melayani Inggris pada abad kedelapan belas, ketika perbudakan dimusnahkan dan bangsa itu berpaling dari barbarisme?
Saya percaya bahwa ini seharusnya terus menjadi perhatian serius dari para theolog dan para pemimpin gereja. Salah satu perkembangan yang mengejutkan hari ini adalah terjadinya renaisans dalam penulisan theologi-theologi sistematika justru pada saat gereja, baik yang Injili maupun bukan, telah melepaskan dirinya dari substansi theologis. Jadi apa makna dari perkembangan tersebut? Perkembangan ini justru me-nunjukkan realitas bahwa apa yang memenuhi pikiran para theolog be-gitu jauh bagi kebanyakan orang dalam gereja. Sebagian alasannya ada-lah karena para theolog cenderung menjadi semakin intelek sedangkan kebanyakan orang di gereja justru sebaliknya. Lebih penting lagi, ketika menulis mengenai theologi sistematika, para theolog ini cenderung le-bih suka mendedikasikannya bagi lingkungan akademis daripada bagi kehidupan gereja dan bagi kebudayaan kita. Jika ada manfaat yang didapat oleh gereja dari buku-buku ini, itu kebanyakan hanyalah remah-remah yang jatuh dari meja lingkungan akademis. Buku-buku ini keba-nyakan ditulis oleh para profesor kepada para mahasiswa mereka; de-ngan sedikit sekali perkecualian, buku-buku ini tidak ditulis oleh me-reka yang ingin memperlengkapi gereja ketika gereja hidup dalam dunia pascamodern. Tugas ini menuntut pemahaman theologis terhadap kehidupan gereja dan cara hidup dunia pascamodern, dan bukan hanya mengorientasikan dirinya untuk asyik bermain di dalam lingkungan
–––––––– 9
Alasdair Maclntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 245.
akademis. Namun, mereka yang telah berusaha mengorientasikan diri mereka kepada kebudayaan juga telah menemui kesulitan untuk ber-tahan tanpa kehilangan arah-arah theologis mereka. Itulah yang sering terjadi. Theologi macam ini, tulis Jeffrey Stout, seorang pakar filsafat moral, “sering kali bukan menyuarakan suaranya sendiri melainkan hanya mengulangi apa yang beredar dalam lingkungan kaum intelektual sekuler dengan gaya bahasa yang jelas-jelas figuratif.” Tetapi adakah alternatif lain? Mereka yang memiliki sesuatu yang berbeda untuk dika-takan – dan, paling tidak, sesuatu yang khas Kristen untuk dikadika-takan – menurut Stout, cenderung “berbicara kepada diri mereka sendiri – atau, paling-paling, kepada para theolog lain yang sejenis.”10
Karena itu, tanggung jawab untuk membentuk pikiran gereja telah ditinggalkan bagi para penganjur dan pembuat theologi populer. Mem-populerkan theologi – yaitu, menjadikan kebenarannya dapat dipahami oleh orang banyak – adalah usaha yang terhormat. Apa yang ada dalam pikiran ketika perkataan theologi populer terdengar biasanya berlainan. Theologi populer adalah sebuah persilangan di mana apa yang populer sering kali menutupi apa yang theologis, sebab apa yang populer khu-susnya lebih cenderung kepada kebiasaan dan mental modernitas dari-pada kedari-pada kebenaran alkitabiah. Hasilnya adalah bahwa gereja Injili, yang seleranya terhadap hal yang populer tampaknya tidak pernah ter-puaskan, berada dalam bahaya menjadi goyah dan tertawan secara kul-tural oleh sejumlah “pemikir” populernya, atau juga tertawan secara akademis oleh sejumlah pakarnya.
Mereka yang melupakan masa lalu akan cenderung mengulangi kesalahan-kesalahannya. Dalam kasus ini, denominasi-denominasi arus utama dan para theolog mereka baru saja melewati jalan akomodasi kultural yang membawa konsekuensi-konsekuensi yang mencelakakan. Sejarawan Douglas Sloan telah menjelaskan bagaimana para theolog arus utama berusaha menembus universitas. Tiga di antaranya yang pa-ling terkemuka dalam tahun-tahun pascaperang adalah Reinhold dan H. Richard Niebuhr, dan Paul Tillich. Di satu pihak, mereka berusaha menjelaskan dan membatasi cara di mana pengetahuan berkembang
da-–––––––– 10
Jeffrey Stout, Ethics after Babel: The Languages of Morals and Their Dis-contents (Boston: Beacon Press, 1988), 163.
lam dunia akademis, dan di lain pihak, mereka menyarankan penting-nya iman sebagai cara untuk mengetahui realitas yang lebih dalam dan lebih luas daripada cara-cara sekuler untuk memperoleh pengetahuan. Karya-karya mereka sangat berpengaruh dan, di luar dugaan, studi theologi maupun agama mendapat penghargaan di kampus-kampus.
Tetapi kemenangan ini tidak bertahan lama sebab “renaisans theo-logis Protestan abad kedua puluh gagal menembus pusat kognitif uni-versitas modern.” Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, menurut Sloan, adalah karena para pendukung iman ini membayangkan “bahwa orang bisa mempertahankan komitmen iman tapi sekaligus menjadi be-nar-benar modern.”11 Ketika dasar pijakan kognitif disesuaikan dengan para nabi dan para pendukung modernitas, iman Kristen tidak lagi memiliki dasar pijaknya. Hal ini akan mempercepat keruntuhannya.
Sepanjang abad ini, denominasi-denominasi arus utama telah cen-derung bermain mata dengan kebudayaan tinggi, dan dalam hal khusus ini, sebagian telah berbunga dalam dunia akademis. Sepanjang abad ini pula, iman Injili telah cenderung bermain mata dengan kebudayaan po-puler. Keduanya ini barangkali tampak sangat berbeda pada permuka-annya, sebab yang satu bersifat elitis sedangkan yang lain tidak. Namun mereka sebenarnya tidak berbeda dalam hal bermain mata, sebab mo-dernitas mempunyai ekspresi-ekspresi kultural tinggi maupun populer. Dan karena kaum Injili minum dari kolam modernitas yang sama dari sisi populer, mau tidak mau juga akan runtuh secepat mereka yang mi-num dari kolam yang sama dari sisi kebudayaan tinggi. Mereka yang serius mempertahankan theologi alkitabiah yang autentik “harus sepa-kat dengan wawasan, dampak, dan signifikansi theologi populer,” de-mikian tulis Quentin Shultze, seorang profesor komunikasi di Calvin College, sebab “hal ini akan semakin meneguhkan konteks kultural bagi komunitas-komunitas religius yang dilayani oleh para theolog aka-demis.”12
Saat ini, kebudayaan kita berada dalam kesukaran, dan kelemahan gereja Injili, pengosongan karakter theologisnya, menjadikannya
sema-–––––––– 11
Douglas Sloan, Faith and Knowledge: Mainline Protestantism and American Higher Education (Louisville: Westminster/John Knox Press, 1994), 212.
12
Quentin J. Schultze, “Civil Sin: Evil and Purgation in the Media,” Theology To-day 50, no. 2 (Juli 1993), 233.
kin bermasalah. Bagaimana gereja bisa menjawab pertanyaan-pertanya-an besar ypertanyaan-pertanya-ang telah timbul mengenai makna kehiduppertanyaan-pertanya-an kita? Pertpertanyaan-pertanya-anya- Pertanya-an-pertanyaan ini mempunyai banyak titik fokus di samping masalah aborsi dan eutanasia. Salah satu tanda yang jelas bagi masalah kita, mi-salnya, adalah bahwa kita agak canggung dalam menangani perihal pe-naklukan kita atas dunia. Sementara kita bersukaria atas berkat-berkat modernitas, menikmati kemampuan-kemampuan yang diperbesar se-cara luar biasa yang telah dihasilkan oleh teknologi bagi kita, menghu-bungkan kita dengan setiap orang di mana saja dalam sekejap mata, dan sementara kita dihujani dengan buah-buah yang berlimpah dari sistem ekonomi kita, dan sementara bangsa Amerika membanggakan dirinya sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di dunia, dan meskipun penak-lukan yang kita lakukan bukanlah dengan cara yang ganas, dan meski-pun kita mengetahui (hampir) segala sesuatu dan berada di mana saja (setidaknya secara psikologis), kita telah menjadi semakin tidak mema-hami diri kita sendiri. Dan inti dari misteri internal ini adalah bahwa kita sedang kehilangan imajinasi moral kita, kapasitas kita untuk meli-hat diri kita sebagai makhluk-makhluk moral. Kita sedang kehilangan arah-arah moral kita.
Konsekuensi-konsekuensi dari kesemuanya inilah yang sekarang begitu menekan sehingga kita harus mencari pemahaman diri yang be-gitu jauh jangkauannya, suatu keadaan yang belum pernah terjadi sebe-lumnya di Barat. Pencarian pemahaman diri tentu saja bukan hal yang baru. Kebutuhan akan pemahaman diri merupakan bagian yang pasti dari pengalaman manusia, dan setiap generasi mempunyai bahasanya sendiri untuk pencarian ini. Namun hari ini, semua model-model pema-haman yang lama ditumpuk di atas rak, dan model-model baru, yang banyak di antaranya dibebani oleh konsekuensi-konsekuensi radikal, sedang diujicobakan. Satu abad silam, jawaban untuk pertanyaan, “Siapakah kita?” akan mempunyai satu pengertian, tetapi hari ini, ja-waban atas pertanyaan tersebut bisa sama sekali berlainan. “Saya ada-lah gen saya,” kata orang-orang yang menyerahkan diri mereka kepada nasib biologis mereka. “Saya adalah masa lalu saya,” “saya adalah citra diri saya,” “saya adalah jenis kelamin saya,” “saya adalah apa yang saya miliki,” “saya adalah apa yang saya kerjakan,” “saya adalah apa
yang saya ketahui,” “saya adalah orientasi seksual saya,” kata orang-orang lain yang berpikir bahwa ada jenis-jenis nasib yang lain atau bah-wa identitas adalah sesuatu yang kita lakukan atau sesuatu yang dapat kita bangun. Dan apa yang dulunya akan kita katakan – “Saya adalah seorang yang diciptakan menurut gambar Allah” – sama sekali tidak diterjemahkan ke dalam bahasa modernitas.13 Hari ini, kosakata kita berada dalam krisis. Inilah tepatnya di mana para theolog seharusnya didengar dan di mana gereja seharusnya menempatkan dirinya.
Dari Kebajikan kepada Nilai
Bahasa yang kita pakai untuk memahami diri kita dan dunia kita bukan terdiri dari kata-kata saja. Bahasa ini merupakan hasil dari interaksi-interaksi banyak faktor lain: bagaimana kita memahami dunia; tekanan-tekanan sosial tertentu yang menundukkan kita; pola-pola perilaku yang telah terbentuk di dalam kita; bagaimana kehidupan kolektif kita diben-tuk secara politis; bagaimana kecemasan dan kebingungan yang paling mendalam yang kita rasakan dapat dipahami; bagaimana kita mema-hami perbedaan-perbedaan kesukuan dan gender kita; bagaimana kita berhubungan dengan milik kita, dengan masa lalu, dengan diri kita sen-diri, dan, yang paling fundamental, dengan Allah. Dalam pengertian ini, bahasa kita sehari-hari merupakan hasil dari keterlibatan kita dengan kehidupan pada level-level yang sangat dalam, kompleks, dan kadang-kadang menyakitkan.
Keterlibatan inilah yang sekarang menjadi kerangka kehidupan de-ngan cara sedemikian rupa sehingga bagian yang terpenting dari pema-haman diri – bahwa kita adalah makhluk-makhluk moral – telah dising-kirkan dari persamaan. Tesis inilah, yang pada permukaannya tampak sederhana, yang akan saya bahas: secara fungsional, kita bukannya ti-dak memiliki keterkaitan moral, hanyut, atau diasingkan; melainkan se-cara moral kita telah dihapus. Kita, dalam praktiknya, bukan hanya buta moral; kita sesungguhnya telah menjadi kosong secara moral.
Mac-–––––––– 13
Saya berutang dalam hal cara mengatakan hal ini kepada komentar-komentar Elaine Storkey di sebuah konferensi tentang modernitas yang diadakan di Uppsala, Swedia, pada tahun 1993.
Intyre mengemukakan tesis ini dengan merujuk kepada masyarakat, dan saya akan mendengarkan gema-gemanya di dalam gereja.
Selama lebih dari dua puluh lima tahun terakhir ini, sedikit sekali pokok-pokok masalah yang menerima lebih banyak perhatian daripada masalah meningkatnya kebutaan moral dalam masyarakat kita. Dalam sekolah-sekolah kita telah terjadi pergeseran dari mengajarkan pem-bentukan karakter kepada klarifikasi nilai-nilai, sungguhpun tidak di-sangsikan bahwa itu terjadi karena niat-niat yang baik. Sekarang kita telah pindah kepada agenda-agenda baru yang membingungkan karena jumlahnya yang begitu banyak, dan kita sungguh menjadi bingung ka-rena semua konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Anak-anak kita bukan hanya menjadi lebih liar di sekolah, terbukti dari meningkatnya kejahat-an secara mengejutkkejahat-an, tetapi juga terlalu sering kita melihat tidak ada-nya kesadaran moral berkenaan dengan tindakan-tindakan mereka. Dan ini tidak akan mudah untuk dipulihkan, sebab seperti yang dikatakan oleh William Kilpatrick, seorang spesialis pendidikan, “Tanpa pengerti-an ypengerti-ang menjadikpengerti-an hidup masuk akal, segala motif lain bagi perilaku yang bajik kehilangan kekuatan moral mereka.”14 Kehidupan dalam du-nia pascamodern menjadi tidak masuk akal, dan sebagai akibatnya, pe-mulihan kebajikan tidak akan pernah berhasil dilakukan.
Keprihatinan kita bahwa masyarakat dengan cepat sedang kehi-langan sikap moral jauh melampaui keprihatinan kita tentang sekolah-sekolah. Terbukti dalam berbagai profesi, banyak di antaranya telah bersusah payah memperkenalkan mata kuliah etika di universitas-uni-versitas, dan terbukti dalam keprihatinan kita tentang struktur-struktur yang hancur di sekitar kita, mulai dari keluarga sampai pusat kota. Masalahnya bukan karena kita tidak dapat mendiskusikan teori moral, meskipun moral sedang menghilang dengan cepat, dan yang pasti juga bukan karena kita tidak peduli tentang keadaan-keadaan kultural kita. Masalahnya adalah bahwa pembicaraan kita sekarang ini kosong.
Selama lebih dari dua ribu tahun, perilaku moral didiskusikan di dalam bahasa kebajikan. Pertama-tama Plato, kemudian Aristoteles, berbicara tentang kebajikan-kebajikan utama atau kebajikan-kebajikan
–––––––– 14
William K. Kilpatrick, Why Johnny Can't Tell Right from Wrong (New York: Simon and Schuster, 1992), 27.
mendasar. Kebajikan-kebajikan ini adalah keadilan (atau kelurusan), hikmat, keberanian (atau keteguhan), dan kesederhanaan (atau pengen-dalian diri). Kemudian daftar-daftar lainnya dibuat, dan diskusi tentang kebajikan dilakukan dengan berbagai cara. Namun penting bagi kita untuk memahami bahwa perubahan dalam bahasa kita ini merefleksi-kan perubahan-perubahan dalam pemahaman kita tentang apa sebenar-nya kehidupan moral itu. Dan ini, pada level yang lebih dalam, mere-fleksikan perubahan-perubahan dalam pemikiran tentang siapa kita ini.
Pentingnya pandangan klasik tentang kebajikan adalah bahwa peri-laku moral dipandang sebagai hasil dari karakter dan menganggap pe-misahan antara realitas moral dalam batin dan perbuatan yang dilaku-kan dalam masyarakat atau dalam komunitas di mana orang tersebut hidup sebagai usaha yang sia-sia. Seiring waktu, pembahasan tentang kebajikan-kebajikan utama tersebut bergeser ke dalam Katolikisme di mana pembahasan dimasukkan ke dalam struktur-struktur pemikiran yang di dalamnya kebajikan-kebajikan ini dilihat sebagai basis untuk, dan yang akhirnya direalisasikan dalam, kebajikan-kebajikan theologis tentang iman, pengharapan, dan kasih. Luther, tentu saja, tidak cukup sabar dengan alur berpikir seperti ini, sebab Aristoteles, katanya, telah memperkenalkan ke dalam gereja sebuah teori tentang kebajikan na-tural yang tidak cukup untuk menjelaskan tentang dosa.15 Teori ini membuat para penganutnya menjadikan perbuatan-perbuatan moral dan pembentukan karakter sebagai dasar untuk mengklaim keselamatan dari
–––––––– 15
Pada tahun 1517, sebelum Luther meluncur ke dalam peran sebagai seorang tokoh Reformasi melalui Sembilan Puluh Lima Tesisnya, ia telah menyerang gagasan-gagasan Abad Pertengahan tentang kesalehan dan moralitas. Gagasan-gagasan-gagasan ini diketahuinya didasarkan secara menyolok pada Aristoteles. Pandangan Luther adalah bahwa “tidak ada yang mendahului anugerah kecuali ketidaksediaan dan bahkan pem-berontakan melawan anugerah” (Martin Luther, Luther's Works, ed. Jaroslav Pelikan dan Helmut T. Lehman [55 vol.; St. Louis: Concordia Publishing House, 1955-86], 31:11). Manusia, katanya, “secara alamiah tidak mempunyai ajaran yang benar maupun kehendak yang baik” (ibid.). Tabiat manusia “bermegah dan bangga dalam setiap pe-kerjaan yang di luar tampaknya baik (ibid.). Perbedaan yang sangat penting antara apa yang ia percaya dan apa yang dipertahankan oleh Aristoteles adalah ini: “Kita tidak menjadi benar karena melakukan perbuatan baik tetapi, setelah dibenarkan, kita mela-kukan perbuatan baik” (ibid., 12). Hasilnya adalah bahwa “seluruh Ethics Aristoteles adalah musuh yang terburuk dari anugerah” (ibid.). “Singkatnya, seluruh pandangan Aristoteles bila dibandingkan theologi bagaikan gelap dibandingkan dengan terang” (ibid.).
Allah. Sebab itu, di pihak Protestan, masalah-masalah prinsip tentang moral dibahas secara berlainan. Hal-hal moral ini dipandang sebagai hasil dari pengetahuan tentang Allah, yang diberikan tanpa memper-hitungkan prestasi moral, melalui Firman dan melalui Roh Kudus. Kesalehan, menurut ajaran Protestan, memadukan keyakinan-keyakinan yang benar tentang Allah dan Kristus-Nya (2Tim. 3:16), sikap yang hormat di hadapan-Nya (2Tim. 3:5; 2Ptr. 1:3), dan suatu perasaan ten-tang kewajiban untuk hidup dengan baik di hadapan keluarga (1Tim. 5:4), Gereja, dan dalam masyarakat. Tekstur dari diskusi tersebut ber-beda, tetapi ketika Protestan dan Katolik berbicara tentang perilaku mo-ral, keduanya berakar dalam realitas spiritual internal yang harus dila-kukan dalam hubungan-hubungan eksternal.
Dalam masyarakat yang lebih luas pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, kebajikan-kebajikan klasik diserang oleh ideologi Pencerahan, kebajikan-kebajikan Kristen secara khusus dihantam habis-habisan, dan secara perlahan-lahan bahasa kita mulai berubah.
Kebajikan-kebajikan klasik ini selalu dipikirkan dalam hubungan-nya dengan komunitas di mana seseorang hidup. Bertindak dengan be-nar bukan hanya merupakan sikap internal, tetapi merupakan praktik dari apa yang benar dalam suatu konteks di mana kebajikan moral itu telah diuji. Ketika kita masuk ke dalam periode modern, dan ketika komunitas-komunitas mulai menghilang, kebajikan-kebajikan tersebut berdiri sendiri di luar konteks sosial di mana mereka dulunya dipahami.
Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan oleh MacIntyre,16
kebajikan kehormatan semakin dipahami dalam kaitannya dengan status sosial, yang diberikan bukan karena kelayakan moral, melainkan didapatkan melalui kekayaan atau garis keluarga. Ketika kebajikan-kebajikan diprivatisasikan sedemikian rupa, ketika mereka dilepaskan dari kehidupan publik, maka kehidupan bukan lagi diatur oleh moralitas, melainkan oleh aturan-aturan sosial yang telah menjadi etiket. Aturan-aturan inilah yang menggantikan kebajikan-kebajikan, dan aturan ini sekarang telah digantikan tempatnya oleh aturan-aturan pemerintah dan tindakan-tindakan hukum, satu poin yang akan saya kembangkan dengan lebih lengkap dalam bab 2.
–––––––– 16
Menjelang akhir abad kesembilan belas, kebajikan-kebajikan (ja-mak) tersebut telah diperas menjadi kebajikan (tunggal). Dan kebajikan menjadi suatu hal yang semakin tipis dan semakin kabur, kebajikan se-makin disusutkan sehingga hanya menyangkut masalah seksual. Ketika seorang perempuan dikatakan telah kehilangan kebajikannya, ini tidak lagi berarti bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kebiasaan berbo-hong, atau bahwa ia telah sering kali bertindak pengecut atau tidak ter-hormat. Kalimat itu berarti bahwa perempuan itu telah kehilangan ke-perawanannya. Sejumlah asosiasi-asosiasi masa Victorian yang sengaja dibentuk dengan perhatian utama kepada tindak asusila, seperti Society for the Suppression of Vice, tidak mempunyai minat untuk menekan keserakahan dan ketidakadilan. Fokus mereka adalah pada pelacuran. Dalam transisi dari Aristoteles kepada dunia pascamodern kita, bahasa yang telah kita gunakan untuk berbicara tentang masalah-masalah mo-ral memperlihatkan betapa menyusutnya pemahaman kita sekarang.
Pada pergantian abad ini, melalui rute yang berbeda, Nietzsche me-melopori apa yang dianut dalam kebudayaan populer pada hari ini. Gertrude Himmelfarb, seorang ahli mengenai Inggris pada masa Vic-torian, telah mengamati bahwa moralitas telah menjadi begitu direla-tifkan dan disubjekdirela-tifkan sehingga kebajikan-kebajikan tidak lagi men-jadi kebajikan. Mereka telah menmen-jadi “nilai-nilai.”17 Dalam Nietzsche, transisi ini merupakan hasil yang sudah pasti dari keyakinannya tentang kematian dari segala kebenaran dan moralitas. Kebajikan harus diganti-kan oleh nilai-nilai. Lebih beladiganti-kangan lagi, ketika kebiasaan berpikir ini telah memasuki kebudayaan yang lebih luas, perubahan tersebut tam-pak lebih kurang disadari dan tidak disengaja. Namun jelas, seperti yang dicatat oleh Himmelfarb, bahwa nilai-nilai hari ini mungkin tidak lebih dari preferensi, kepercayaan, perasaan, kebiasaan, atau adat – yaitu “apa pun yang kebetulan dianggap sebagai nilai oleh individu, kelompok, atau masyarakat apa saja, pada waktu kapan saja, untuk alasan apa saja.”18 Dengan demikian, nilai-nilai kita, dengan cara yang aneh, telah menjadi “bebas dari nilai.” Itu tampaknya bukan merupakan
–––––––– 17
Gertrude Himinelfarb, The De-moralization of Society. From Victorian Virtues to Modern Values (New York: Alfred A. Knopf, 1995), 9.
18
sebuah kejutan, sebab nilai-nilai tidak mempunyai nilai universal apa-bila kebenaran telah mati.
Masyarakat kita berbicara tentang nilai-nilai dengan cara seperti ini karena relativisme telah menang dan karena gesekan yang terjadi terus-menerus secara hampir tak terelakkan dengan kehidupan pascamodern telah mengosongkan kita dalam hal moral. Karena kita telah kehilangan kebajikan kita, maka kita sekarang berbicara tentang nilai-nilai. Dan terdapat paralel yang menarik di dalam gereja. Jika benar bahwa nilai-nilai yang dipisahkan dari karakter menjadi kosong dalam masyarakat, maka akan demikian juga halnya di dalam gereja. Karakter yang kita bicarakan di sini bukan hanya pengolahan kebajikan alamiah, tetapi merupakan perasaan kesadaran akan hidup secara bermoral di hadapan Allah. Tanpa perasaan ini, yang dibangun di dalam karakter, perilaku moral kita akan terdisintegrasi. Itulah yang terjadi pada hari ini. Kita sering kali mempunyai sedikit sekali pengertian tentang Dia Yang Kudus sebagai Dia Yang Lain yang mendesak kita dan menuntut agar kita memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada desakan ter-sebut. Sebagai akibatnya, pencarian lama akan autentisitas spiritual dan kesalehan telah ditinggalkan dan digantikan oleh pencarian-pencarian yang lebih baru akan keutuhan psikologis. Transisi ini tampaknya ba-gus, sebab hasilnya, yaitu seorang pribadi yang lebih utuh secara psiko-logis, tampak bagi kita lebih responsif terhadap bahaya dunia di mana kita hidup daripada pribadi dengan perhatian-perhatian lama kepada ke-salehan. Dan suatu atmosfer yang lebih santai dan lebih menyenangkan di gereja tampaknya seperti sebuah kompensasi yang lebih baik bagi apa yang kita temukan dalam dunia daripada kesalehan lama yang me-nuntut keseriusan dan pemeriksaan diri dalam terang Firman Allah.
Meskipun terjadi gempa seperti ini, pergerakan lempeng-lempeng di bawah permukaan dunia moral kita – dan gerakan yang dihasilkan-nya di dalam gereja – Amerika tetap memperlihatkan kebajikan sosial tertentu. Bangsa Amerika tentunya lebih ramah dan tidak begitu kejam jika dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain yang telah ada. Amerika tetap bermurah hati dalam begitu banyak segi, dan pengaruh-nya dilaksanakan dengan cara yang luar biasa lunakpengaruh-nya jika dibanding-kan dengan cara kekuasaan-kekuasaan dominan lainnya menjalandibanding-kan
kekuasaan mereka pada masa yang lampau. Pada saat yang sama, Ame-rika barangkali agak kurang jujur jika dibandingkan dengan banyak masyarakat-masyarakat lainnya, dan tidak diragukan, lebih banyak mencari kesenangan diri. Tetapi dalam satu hal, Amerika berdiri hampir sendirian, seperti bagian-bagian lain dari dunia Barat. Inilah pertama kalinya sebuah peradaban yang pernah ada, sampai batas tertentu, tidak percaya kepada kebenaran dan kesalahan objektif. Kita sedang berjalan dalam kebutaan karena tidak mempunyai kompas moral. Dan hal ini benar, bukan hanya dalam masyarakat, tetapi justru semakin bertambah di dalam gereja juga.
Situasi ini telah menyusupi kita secara diam-diam sehingga natur-nya yang sebenarnatur-nya sangat dikaburkan. Saya percaya bahwa apa yang telah dikatakan oleh Camille Paglia mengenai kebudayaan pop kita me-mang benar. Kita sedang menyaksikan, ia menegaskan, “sebuah letusan paganisme Barat yang belum pernah terkalahkan.”19 Tesisnya, yang te-lah dikembangkannya secara mendetail dalam bukunya Sexual
Per-sonae, adalah bahwa dalam kebudayaan selalu ada dua prinsip yang
se-dang bekerja – Apollonian dan Dionisian – yang satu mendesak untuk memperoleh keleluasaan sedangkan yang lainnya bertugas membatasi, yang satu meniadakan bentuk dan yang lain menuntut definisi. Apa yang sekarang sedang bekerja, apa yang dipercaya olehnya telah
–––––––– 19
Camille Paglia, Sex, Art, and American Culture (New York: Vintage Books, 1992), vii. “Bagi saya,” katanya di salah satu bagian, “kekuatan terakhir dalam alam semesta adalah alam, bukan Allah, yang eksistensi-Nya dapat saya pahami hanya sebagai energi yang tak berkepribadian” (Camille Paglia, Vamps and Tramps: New Essays [New York: Vintage Books, 1994], 20). Dengan menentang banyak simbol-simbol perjuangan kaum feminis, ia kemudian mulai dengan cerdas menjelaskan apa artinya menjadi kafir pada hari ini, dan dia jauh lebih mewakili arus utama daripada banyak kritikus feminis. Pornografi, misalnya, ia menganggapnya baik. “Mimpi-mimpi porno tentang api keinginan yang kekal, tanpa keletihan, inkapasitas, penuaan, atau kematian. Apa yang dicela oleh kaum feminis sebagai merendahkan perempuan perihal masuk secara total ke dalam pornografi sesungguhnya adalah peninggiannya sebagai imam besar wanita dari taman Firdaus kafir, di mana tubuh telah menjadi sebuah pohon buah yang berlimpah dan di mana pertumbuhan dan penuaian (demikian dikatakannya) terjadi bersama-sama.” Ia menambahkan bahwa “‘kotoran’ adalah kontaminasi bagi orang Kristen tetapi tanah yang subur bagi orang kafir” (ibid., 66). Paglia memotong jalannya sendiri dalam dunia dengan kecongkakan yang menyesatkan, tetapi banyak asumsi-asumsinya, yang dengan tepat disebutnya sebagai kafir, dipegang secara luas. Lukisan yang menyala tentang Amerika yang bebas secara seksual yang ia tawarkan sesungguhnya bertentangan dengan hasil-hasilnya. Baca Katie Roiphe, Last Night in Paradise: Sex and Morals at the Century’s End (Boston: Little, Brown, 1997).
dipulihkan pada tahun 1960-an, adalah dorongan keinginan kafir akan keleluasaan, sebuah dorongan keinginan yang biasanya kita temui ter-bungkus dalam hal yang duniawi dan sensual. Dorongan keinginan ini membebaskan kita dari apa yang ditabukan masyarakat, satu keadaan yang Paglia pikir sangat menyenangkan. Sesungguhnya apa yang dila-kukan dorongan keinginan itu adalah mengosongkan pengertian moral kita, yang mengakibatkan terjebaknya seluruh masyarakat kita sekarang di dalam pertentangan yang fatal: Akankah kebebasan moral kita di-biarkan menang, atau akankah kita dapat menyelamatkan diri kita sen-diri dari konsekuensi-konsekuensinya dengan semakin kembali kepada hukum dan tindakan hukum setiap harinya? Kita sekarang sedang me-niti di antara dorongan-dorongan keinginan ini, yang satu menghendaki perluasan keleluasaan tanpa batas, sedangkan yang lain terpanggil un-tuk mengadakan pembatasan yang lebih ketat. Masyarakat kita tidak akan dapat bertahan dalam konflik ini. Inilah sebuah tema yang akan saya gali lebih lanjut dalam bab 2.
Jadi, buku ini adalah tentang perubahan topografi spiritual pada masa ini dan tentang tempat gereja Injili di dalamnya. Dapatkah gereja memulihkan karakter moralnya agar cukup bisa membuat perbedaan dalam masyarakat yang jaringannya kini banyak yang koyak?
Dalam bab 1 saya berbicara tentang adanya dua jenis spiritualitas dalam gereja Injili; apa yang membedakan mereka bukan ajaran doktrin yang berbeda, tetapi signifikansi moral yang berbeda dari masing-masing spiritualitas tersebut. Dalam suatu spiritualitas, hal-hal yang bersifat moral memiliki bobot, sementara dalam spiritualitas yang lain-nya tidak. Konsekuensi yang tak terelakkan dari hal ini adalah bahwa spiritualitas yang satu mempunyai kapasitas untuk menjadi perlawanan terhadap kebudayaan, sementara spiritualitas yang lain tidak. Dalam bab 2 saya melihat masyarakat kontemporer dan menggali dinamika ganjil yang sedang bekerja di antara kebenaran dan hukum, yang kor-ban utamanya adalah kehidupan moral. Dalam bab 3 saya menggam-barkan cara-cara sekuler yang di dalamnya keselamatan sekuler sedang muncul melalui sarana seperti gaya, konsumsi, kebugaran, dan psiko-terapi, menghasilkan suatu bentuk spiritualitas yang dikosongkan dari pengertian moral. Ini memimpin saya, dalam bab 4, kepada inti
per-kembangan kontemporer ini, yaitu cara diri dipahami. Saya mengkaji bagaimana rasa malu kini telah muncul sebagai masalah emosi yang paling menyusahkan. Saya mengemukakan bahwa rasa bersalah telah lenyap dan bahwa tempatnya telah digantikan oleh perasaan malu yang khas modern, yang jauh lebih bersifat psikologis daripada moral. Saya mengatakan bahwa ini sebenarnya merupakan sebuah indikasi lain dari bagaimana kehidupan moral kita telah tersekularisasikan setelah dilema-dilema yang mengganggu di dalam diri kita kini telah dianggap diselesaikan secara internal maupun secara relasional. Bab 5 menggali kontradiksi antara kita sebagai ciptaan dan bagaimana kita melihat diri kita di tengah-tengah kebudayaan. Saya berpendapat bahwa wahyu Al-kitab menentang banyak sekali asumsi-asumsi kultural, yang kebanyak-an adalah tentkebanyak-ang kehormatkebanyak-an dkebanyak-an rasa malu. Dalam bab terakhir saya menyatakan bahwa terdapat sebuah apologetika yang sangat cocok de-ngan keadaan-keadaan dunia pascamodern. Apologetika itu muncul dari pengalaman kita tentang diri kita sebagai agen-agen moral yang kontradiksi-kontradiksi internalnya diselesaikan hanya di kayu salib, dan bukan di tempat lain mana pun. Saya menyimpulkan dengan kembali kepada tema bab pertama. Bagaimana kita dapat memperoleh kembali spiritualitas kita dan bobot moralnya? Saya menyatakan bahwa di sinilah pengharapan gereja terletak jika gereja ingin memiliki penga-ruh dalam dunia pascamodern ini. Bagaimana gereja dapat memperoleh kembali keutamaannya sehingga, seperti mereka yang hidup pada abad pertama yang juga berada “di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini,” anggota-anggotanya juga akan dapat “cahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil ber-pegang pada firman kehidupan” (Flp. 2:15-16)?
Momen Kita
Bab-bab ini ditulis dari keyakinan bahwa tidak ada masa dalam abad ini yang lebih matang dengan peluang bagi iman Kristen. Untuk pertama kalinya dalam abad ini, iman Kristen kini tidak memiliki lawan sekuler yang serius, jika dilihat bahwa pascamodernitas sekarang begitu hebat dengan sinismenya sendiri sehingga rasanya tidak akan dapat bertahan lama. Pesaing religius utama Kekristenan yang menjangkau seluruh
du-nia barangkali adalah Islam. Iman Islam di Amerika kini mempunyai lebih banyak penganut daripada Episcopal Church, United Church of Christ, Assemblies of God, atau Presbyterian Church (AS). Namun meskipun serbuan ini nyata, ia masih belum bersifat massal. Islam ha-nya terlokalisasi di dalam komunitas kulit hitam, di mana ia telah men-jadi suara amukan mereka dan, sebagai desakan kontrakulturalnya, satu suara pengharapan di tengah pondok-pondok kumuh reruntuhan nilai-nilai modern.
Di luar komunitas kulit hitam, Islam tidak berkembang. Di antara agama-agama yang lebih berkembang khususnya adalah gerakan Zaman Baru, yang akar-akarnya adalah pramodern dan juga kafir, sede-mikian terjalin erat dengan relativisme pascamodern sehingga kadang-kadang sulit membedakannya. Karena baik Zaman Baru maupun rela-tivisme pascamodern tidak memiliki visi moral, tak satu pun dari keduanya yang merupakan alternatif yang nyata bagi iman Kristen, meskipun keduanya tetap adalah pesaing-pesaing.
Kritik-kritik terhadap iman Kristen biasanya menempatkan diri mereka dalam oposisi terhadapnya dengan argumentasi dasar bahwa ajaran ini atau itu tidak dapat dipercaya. Hari ini, kritik-kritik pascamo-dern menentang Kekristenan bukan karena kekhususan-kekhususan Kekristenan, tetapi hanya karena Kekristenan mengklaim dirinya seba-gai yang benar. Situasi ini secara radikal berbeda dari apa yang domi-nan bahkan dalam tiga atau empat dekade yang lalu, tetapi tidak ada pe-saing utama yang menawarkan alternatif lain tentang visi kehidupan yang berpusatkan pada apa yang benar. Dan pada saat ini, ketika Tem-bok Berlin telah runtuh, pada saat gereja secara umum melihat ada di hadapannya orang-orang yang telah meninggalkan Marxisme dan ideo-logi-ideologi Pencerahan dan tidak ada tempat lain ke mana mereka harus pergi, gereja kehilangan suaranya. Gereja seharusnya berbicara dengan kuat tentang kehancuran kehidupan dalam dunia pascamodern ini dan mengoleskan balsem kebenaran ke atas luka-luka yang baru dan menganga, tetapi ia tidak melakukannya. Gereja terhanyut.
Jadi, buku ini berusaha untuk mengenali natur kebudayaan kon-temporer bukan demi kebudayaan itu sendiri, tetapi demi signifikansi-nya bagi gereja. Apa yang perlu dipahami oleh gereja tentang
kebuda-yaan, secara spesifik, cara berpikirnya tentang pribadi, agar gereja bisa memenuhi mandat misinya? Mandat itu memanggilnya bukan untuk mengirim para misionaris ke tempat-tempat yang jauh, tetapi juga un-tuk memahami situasi lintas budayanya sendiri dan unun-tuk berpikir de-ngan cara-cara lintas budaya. Jika Gereja tidak melakukan hal ini, gere-ja tidak akan dapat mengere-jadi lebih efektif daripada seorang misionaris yang pergi ke luar negeri tetapi tidak mempelajari bahasa dan adat ke-biasaan negeri tersebut sebelum ia menawarkan kesaksian Kristen. Itu-lah tantangan kita pada hari ini."