• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN BAKAR PADAT DARI BUMI INDONESIA UNTUK KEMANDIRIAN DAN KESEJAHTERAAN BANGSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHAN BAKAR PADAT DARI BUMI INDONESIA UNTUK KEMANDIRIAN DAN KESEJAHTERAAN BANGSA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK KEMANDIRIAN DAN

KESEJAHTERAAN BANGSA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Oleh:

(2)

UNTUK KEMANDIRIAN DAN

KESEJAHTERAAN BANGSA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

pada tanggal 31 Januari 2011 di Yogyakarta

Oleh:

(3)

Bismillaahirrahmaanirrahiim, Yang saya hormati

Pimpinan dan anggota Majelis Wali Amanat, Pimpinan dan anggota Majelis Guru Besar, Pimpinan dan anggota Senat Akademik,

Rektor, para Wakil Rektor Senior dan Wakil Rektor, Dekan dan para Wakil Dekan,

Segenap Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada,

Para tamu undangan dan hadirin serta sanak keluarga yang saya cintai

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Alhamdulillahi rabbil ’aalamiin, segala puji marilah kita panjatkan ke hadirat Allah swt atas rahmat-Nya sehingga kita dapat berkumpul dalam keadaan sehat dan aman untuk mengikuti Rapat Terbuka Majelis Guru Besar yang terhormat ini. Untuk memenuhi kewajiban akademik seorang guru besar, izinkan saya menyampaikan pidato pengukuhan berjudul

BAHAN BAKAR PADAT DARI BUMI INDONESIA UNTUK KEMANDIRIAN DAN KESEJAHTERAAN BANGSA

Indonesia adalah negeri yang dikaruniai Allah swt sumber daya alam yang sangat variatif dan melimpah. Salah satu di antara bermacam sumber daya alam adalah sumber daya energi primer sebagaimana tersedia dalam bentuk aslinya di alam. Sumber daya energi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu terbarukan, misalnya: angin, surya, air, biomassa, dan panas bumi, serta yang tidak terbarukan, misalnya: bahan bakar fosil dan nuklir. Pada kesempatan ini, sumber daya energi yang dibahas hanya sumber daya yang terkait dengan bahan bakar padat, yaitu batu bara dari kelompok energi tidak terbarukan dan biomassa dari kelompok energi terbarukan.

(4)

Hadirin yang saya muliakan,

1. Ketersediaan sumber daya energi tidak terbarukan

Fakta menunjukkan bahwa bahan bakar fosil, misalnya: gas alam, minyak bumi dan batu bara, adalah sumber energi yang paling banyak digunakan karena memiliki karakteristik pembakaran yang sangat baik, terutama nilai kalor dan laju reaksi yang tinggi. Hal ini membuat bahan bakar fosil menjadi komoditi yang walaupun berharga tinggi akan tetapi tetap dicari dan menjadi sumber kekuatan dan kesejahteraan suatu negara.

Pemerintah Indonesia nampaknya telah membuat kebijakan yang kurang tepat terkait bahan bakar fosil. Semenjak puluhan tahun yang lalu selalu ditumbuhkan mitos bahwa negara kita sangat kaya dengan sumber daya energi fosil dan dibangkitkan kebanggaan bahwa negara kita termasuk salah satu eksportir energi fosil terbesar di dunia. Harga ekspor di pasar internasional terlihat menarik dan sangat menjanjikan sebagai penyumbang devisa yang diperlukan untuk pembangunan dan kesejahteraan. Sebagai akibatnya negara kita tersanjung dan terbuai untuk selalu meningkatkan ekspor bahan bakar fosil, sampai akhirnya disadari bahwa cadangannya terbatas dan suatu saat pasti habis. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa sumber daya minyak bumi tercatat sebesar 56,6 miliar barrel dengan cadangan total (terbukti dan potensial) 7,99 miliar barrel, sedangkan sumber daya gas bumi ditaksir berjumlah sebanyak 334,5 TSCF (trillion standard cubic feet) dengan cadangan total (terbukti dan potensial) 159,63 TSCF, sementara sumber daya batu bara terindikasi 104,76 miliar ton dengan cadangan total (terbukti dan potensial) sebesar 20,99 miliar ton (Saleh, 2010). Seandainya semua kekayaan alam itu dieksploitasi dengan laju produksi per tahun sebagaimana pada tahun 2008, yaitu 0,36 miliar barrel minyak bumi, 2,89 TSCF gas bumi, serta 0,24 miliar ton batu bara, maka keberadaan minyak bumi hanya dapat diharapkan sampai 22 tahun mendatang, ketersediaan gas alam hanya sekitar 55 tahun lagi, dan batu bara masih dapat dinikmati sampai 87 tahun dari sekarang (Saptoadi, 2010-a). Perhitungan lain memberikan gambaran yang sedikit lebih baik, yaitu keberadaan minyak bumi masih sampai 24 tahun mendatang, ketersediaan gas alam sekitar 59 tahun lagi, dan

(5)

batu bara masih dapat dijumpai sampai 93 tahun dari sekarang (Kleine, 2009).

Di level dunia, cadangan batu bara Indonesia sesungguhnya hanya di peringkat 16 (sebanyak 4.328 juta ton), akan tetapi produksinya mencapai peringkat 8 (sebanyak 174,8 juta ton per tahun), sementara konsumsi domestiknya berada di peringkat 18 (KESDM, 2008). Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah terlalu bersemangat untuk menambang batu bara, padahal cadangannya relatif tidak banyak, sementara batu bara itu sendiri relatif sedikit yang digunakan untuk kebutuhan domestik, sedangkan porsi lebih besar justru diekspor. Sebagai bukti, untuk tahun 2010 pemerintah terpaksa menetapkan DMO (Domestic Market Obligation) untuk membatasi ekspor batu bara sejumlah 150 juta ton agar pasokan dalam negeri mampu mencapai 70 juta ton (Anonim, 2010-a).

2. Ketersediaan sumber daya energi terbarukan

Di sisi lain, meskipun potensi sumber daya energi terbarukan sangat berlimpah, akan tetapi pemanfaatannya secara riil sebagai pembangkit energi listrik masih sangat kecil. Potensi air (untuk PLTA) sebanyak 75.670 MWe akan tetapi kapasitas terpasang PLTA sejauh ini hanya sebesar 4.200 MW, berarti tereksploitasi hanya 5,55%. Sementara dari potensi air (untuk PLTM dan PLTMH) sebanyak 500 MWe hanya mampu menghasilkan 86,1 MW (sekitar 17,22%). Potensi total panas bumi memang luar biasa besarnya, yaitu sebanyak 28.170 MWe akan tetapi kapasitas terpasang PLTP sejauh ini baru sebesar 1.189 MW (termanfaatkan 4,22%). Potensi biomassa di Indonesia menempati urutan kedua setelah potensi air, yaitu 49.810 MWe, namun realisasinya sebagai pembangkit listrik hanya mencapai 445 MW atau sekitar 0,89%. Potensi angin sebanyak 9.290 MWe akan tetapi kapasitas terpasang PLTB sejauh ini hanya 1,1 MW (tereksploitasi hanya 0,01%). Terakhir, Indonesia memiliki potensi tenaga surya sebanyak4,8 kWh/m2/d, tetapi kapasitas terpasang PLTS baru sebesar 12,1 MW (Saleh, 2010).

Nampak jelas bahwa potensi sumber daya energi biomassa tidak boleh diabaikan, sebab telah terbukti mampu menyumbang 17,59% dari total pasokan energi nasional di tahun 2008, hanya kalah dari

(6)

minyak bumi (37,01%) dan batu bara (26,24%) (KESDM, 2009). Hal ini tidak mengherankan karena Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki curah hujan tinggi dan tanah yang subur, sehingga bermacam jenis biomassa selalu tersedia dalam jumlah sangat besar. Meskipun demikian, untuk menghindari konflik dengan sektor pangan, diusahakan agar biomassa yang digunakan sebagai sumber energi adalah yang non edible (misalnya: kayu dan jarak pagar) atau yang sudah berupa limbah (misalnya: sekam dan jerami padi, ampas tebu, tandan kosong sawit, tongkol jagung, sabut dan tempurung kelapa, dan kotoran hewan). Limbah biomassa ini harus diproses dan dimanfaatkan untuk mencegah pencemaran lingkungan, misalnya sebagai bahan baku untuk produk lain (bahan bangunan, produk kerajinan, dan lain-lain), sebagai pupuk kompos, atau sebagai bahan bakar padat. Biomassa yang paling potensial adalah limbah dari kegiatan yang terkait dengan industri perkayuan (sekitar 65%), berupa serpihan (tatal) kayu, serbuk gergajian dan kulit pohon, sedangkan sisanya (sekitar 33%) berupa limbah pertanian (Werther, 2000).

Hadirin yang berbahagia,

3. Pemanfaatan energi untuk kesejahteraan Indonesia

Sebagaimana amanat Pasal 33 UUD ’45 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka seharusnya seluruh sumber daya energi di Indonesia dimanfaatkan untuk kesejahteraan negara kita.

Energi merupakan salah satu faktor terpenting dalam pemba-ngunan setiap negara di dunia. Kepemilikan dan penguasaan energi mampu menjamin berputarnya roda perekonomian, di mana semakin mudah akses untuk memperoleh energi akan membuat aktivitas dan pertumbuhan perekonomian semakin meningkat. Dengan demikian, penggunaan energi merupakan ukuran tingkat kemakmuran suatu bangsa. Bangsa yang semakin maju dan semakin sejahtera akan meng-konsumsi energi per kapita yang semakin tinggi. Data menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki GDP (Gross Domestic Product) tinggi mengkonsumsi energi listrik per kapita yang tinggi pula.

(7)

Apabila dibandingkan dengan tiga negara maju di kawasan Asia Timur, konsumsi energi per tahun per kapita penduduk Indonesia adalah sebesar 0,55 TOE (Ton of Oil Equivalent), sementara di Jepang sebesar 4,04 TOE, Korea Selatan sebanyak 4,27 TOE dan Singapura mencapai 5,27 TOE. Sebaliknya, negara-negara tersebut memiliki GDP yang tinggi sehingga apabila konsumsi energi dinyatakan dalam Intensitas Energi (konsumsi energi untuk menghasilkan GDP 1 juta USD), maka Indonesia nampak masih boros karena memerlukan 702 TOE untuk menghasilkan GDP senilai 1 juta USD, sementara Korea Selatan membutuhkan 350 TOE, Singapura mengkonsumsi 240 TOE dan Jepang hanya 106 TOE (Nishikawa, 2006). Analisis terhadap konsumsi energi menyatakan bahwa di Indonesia pada umumnya sebagian besar energi digunakan untuk aktivitas nonproduktif (di sektor rumah tangga dan transportasi) yang hanya sedikit bernilai ekonomis, atau untuk menopang industri manufaktur yang boros energi namun menghasilkan komoditas berharga rendah. Sedangkan di negara maju energi digunakan secara efisien untuk aktivitas produktif yang menghasilkan komoditas berharga tinggi, atau negara tersebut pertumbuhan ekonominya ditopang oleh industri jasa (misalnya perbankan, pariwisata, dan lain-lain) yang bernilai ekonomis tinggi tapi lebih sedikit memerlukan energi. Data terbaru memang menun-jukkan gambaran yang membaik untuk Indonesia, yaitu konsumsi energi per kapita per tahun yang turun menjadi sebesar 0,467 TOE serta Intensitas Energi yang berkurang menjadi sebanyak 382 TOE (Saleh, 2010), namun usaha-usaha keras untuk efisiensi energi harus tetap dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.

4. Pasokan energi dari batu bara Indonesia

Dengan mempertimbangkan ketersediaan energi fosil, maka

keputusan pemerintah pada tahun 2007 untuk membangun berbagai

PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berbahan bakar batu bara lokal dengan daya total 10.000 MW sangatlah tepat. Meskipun sekitar 85% batu bara di Indonesia dikategorikan sebagai low rank coal, yaitu lignite dan sub-bituminous, akan tetapi batu bara semacam itulah yang tersedia indigenously secara murah, sehingga listrik yang dibangkitkan dari batu bara memerlukan biaya terendah (antara 5,5 sampai 6 sen

(8)

USD per kWh) dibandingkan dengan bahan bakar lain (Anonim, 2010-c). Sangat tidak rasional apabila mengekspor batu bara untuk kebutuhan asing, sementara mengimpor batu bara (atau jenis bahan bakar lain bagi PLTU) untuk keperluan domestik, sebab hal ini akan membuat kita semakin tidak mandiri, tergantung pada belas kasihan negara lain dan jelas sangat dirugikan (Saptoadi, 2010-b). Sebagai gambaran, batu bara diekspor dengan harga hanya 65,51 USD per ton FOB (Free on Board), tetapi bila mengimpor batu bara maka harganya sebesar 220,23 USD per ton CIF (Cost, Insurance and Freight) (KESDM, 2009). Seandainya batu bara lokal tidak digunakan dengan alasan pencemaran lingkungan (karena limbah fly ash dan bottom ash), maka negara lain pasti dengan senang hati akan memanfaatkan batu bara kita, karena teknologi telah tersedia untuk mengatasi problem abu sisa pembakaran, misalnya: fabric filter, cyclone separator, wet venturi scrubber, electrostatic precipitator, dan lain-lain. Data transaksi batu bara dunia antara tahun 2000 sampai 2008 menunjukkan bahwa harga batu bara telah meningkat tajam hingga 400% selama periode tersebut (Bloemendal, 2009). Ini merupakan bukti nyata bahwa batu bara sangat berharga dan dibutuh-kan di seluruh dunia, jadi mengapa tidak menggunadibutuh-kan batu bara kita sendiri?. Salah satu kunci kemandirian adalah pemanfaatan optimal potensi apapun yang ada di sekitar kita untuk mencapai kesejahteraan.

Setelah mempertimbangkan banyak aspek dan mengevaluasi program pembangunan 10.000 MW PLTU fase pertama, pemerintah memutuskan untuk menjalankan program fase kedua mulai tahun 2010 guna memperoleh tambahan pasokan listrik sebesar 10.670 MW. Meskipun demikian fase dua ini hanya terdiri dari 40,3% PLTU batu bara dengan daya total 4.294 MW, sedangkan sisanya adalah 33,6% PLTP (daya total 3.583 MW), 11% PLTA (total 1.174 MW) serta 15,3% PLTGU (total 1.626 MW ) (Anonim, 2010-d).

5. Pasokan energi dari biomassa Indonesia

Sejujurnya harus diakui bahwa biomassa tidak dapat diban-dingkan dengan batu bara. Siapapun sepakat bahwa batu bara adalah the real fuel, sedangkan biomassa agak sulit disebut sebagai bahan bakar, walaupun mampu terbakar karena kandungan combustibles

(9)

yang dimilikinya. Tidak terlalu mengherankan seandainya densitas energi dua jenis bahan bakar tersebut jauh berbeda, karena biomassa terbentuk hanya dalam orde tahunan sedangkan batu bara terbentuk setelah puluhan juta tahun.

Pada umumnya biomassa bersifat ignitable dan carbon neutral. Dengan mempertimbangkan isu pemanasan global dan perubahan iklim diharapkan biomassa dapat lebih berperan sebagai sumber

energi, mengingat bahwa emisi CO2 yang dihasilkannya lebih rendah,

sementara CO2 itu sendiri merupakan akumulasi CO2 yang diserap dan

disimpan selama bertahun-tahun masa pertumbuhannya. Seandainya biomassa tidak dibakar akan tetapi dibiarkan membusuk secara alamiah, maka proses pembusukan inipun akan menghasilkan sejumlah CO2 yang sama. Perhitungan menunjukkan adanya potensi

pengurangan emisi CO2 sebesar 236 g/kWh apabila biomassa

digunakan sebagai sumber energi termal menggantikan bahan bakar fosil (BWT, 2008). Kebetulan kandungan abu dan nitrogen pada biomassa relatif rendah sehingga emisi pencemar lainnya (NOx, SO2

and abu) juga rendah. Meskipun demikian, biomassa memiliki beberapa kekurangan seandainya digunakan secara langsung (tanpa pretreatment) sebagai bahan bakar padat, yaitu densitas energi yang rendah, kualitas bahan bakar dan nilai kalor yang tidak seragam, refueling yang terlalu sering akibat cepatnya pembakaran, pengangkutan dan penyimpanan yang sulit dan mahal (Werther, 2000). Penyebabnya terutama adalah bulk density yang sangat rendah, antara 100 kg/m3 (pada jerami padi) sampai 500 kg/m3 (pada kayu keras), bandingkan dengan batu bara yang bervariasi antara 1100 kg/m3 dan 2330 kg/m3 (Sami, 2001).

Sebagai solusinya, biomassa sebaiknya dimampatkan (densified) dalam bentuk briket atau pellet, sebelum digunakan sebagai bahan bakar. Terdapat dua alternatif bagi biomassa sebelum dimampatkan, yaitu tetap dalam bentuknya semula (mentah) atau dikarbonisasi (dipirolisis) terlebih dahulu, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Biomassa mentah tidak bagus untuk dibriketkan karena masih mengandung air dan volatile matter, memiliki nilai kalor dan bulk density yang rendah, dan cenderung mengembang lagi sesudah dilepas dari peralatan pembriket. Sebaliknya briket biomassa yang telah dipirolisis jelas memiliki sifat bahan bakar yang lebih baik,

(10)

akan tetapi diperlukan energi termal, peralatan khusus dan waktu tambahan untuk melakukan pirolisis, sehingga harus diupayakan agar input energi yang dibutuhkan untuk pirolisis (dihasilkan dari pembakaran sebagian biomassa mentah tersebut) masih lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan output energi briket terpirolisis.

Pada kasus biomassa mentah, telah dilakukan banyak sekali penelitian. Salah satunya adalah percobaan pembriketan serbuk kayu gergajian, di mana kayu yang digunakan adalah jati, mahoni, abasia dan kelapa. Pemadatan terbukti mampu meningkatkan laju reaksi pembakaran dan laju pelepasan kalor. Laju reaksi maksimum briket meningkat 3 kali (pada kayu terbaik, misalnya abasia dan kelapa) sampai 5 kali (pada kayu terjelek, misalnya jati), sementara laju reaksi rata-rata briket meningkat 2 kali (pada kayu terbaik) sampai 3 kali (pada kayu terjelek). Sedangkan laju pelepasan kalor pada briket naik 1,4 sampai 3,5 kali lipat dibandingkan dengan serbuk kayu tidak terpadatkan (Saptoadi, 2004-a). Selain itu dilakukan pula penelitian pembriketan limbah cangkang kakao (nilai kalor sekitar 17.000 kJ/kg) dan cangkang kemiri (nilai kalor sekitar 21.960 kJ/kg), di mana proses pembakaran yang dilakukan memberi hasil yang memuaskan sebab kedua limbah tersebut memiliki nilai kalor yang tinggi (Saptoadi, 2007).

Telah dilakukan juga puluhan penelitian terhadap biomassa yang dikarbonisasi sebelum dibriketkan, di antaranya dengan menggunakan limbah jarak pagar, tongkol jagung dan kulit ketela pohon. Proses pirolisis dilakukan selama sekitar 2 jam pada suhu 300oC sampai

380oC, kemudian arang yang diperoleh dihancurkan sampai berukuran

antara 30 dan 50 mesh untuk kemudian dibriketkan dengan bantuan bahan perekat tepung kanji (cassava starch). Pirolisis pada tongkol jagung memberi pengaruh paling signifikan, di mana nilai kalor meningkat hingga 68% dan kandungan karbon meningkat 200%, padahal pada kondisi mentah tiga macam limbah tersebut memiliki nilai kalor yang hampir sama (sekitar 4.000 cal/g). Pembakaran briket arang ini menunjukkan hasil yang memuaskan (Saptoadi, 2009 dan 2010-c).

Harus diakui bahwa implementasi nyata briket biomassa untuk pembangkitan listrik skala besar masih belum nampak di Indonesia sebab briket hanya cocok dibakar di grate stoker yang mampu

(11)

menghasilkan energi dalam jumlah relatif sedikit. Energi dalam jumlah sedikit ini tidak mampu menghasilkan uap bersuhu dan bertekanan tinggi dalam jumlah yang mencukupi untuk memutar turbin dan generator listrik, sehingga pemakaian yang umum untuk briket biomassa dan grate stoker ini adalah untuk penyediaan energi termal bagi proses-proses industri. Untuk pembangkitan energi skala besar lebih cocok digunakan pulverized (suspension) firing atau fluidized bed furnace, akan tetapi biomassa justru tidak dibriket sebelum masuk ke dapur pembakaran, melainkan dihancurkan sehingga berukuran relatif kecil.

Hadirin yang saya hormati,

6. Kesulitan dalam pemanfaatan batu bara di Indonesia

Beberapa kelompok masyarakat memprotes pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara dengan alasan lingkungan. Memang harus diakui bahwa batu bara adalah bahan bakar yang paling kotor di antara bahan bakar lainnya, terutama karena abu sisa pembakaran yang kasat mata, secara fisik mengganggu dan memerlukan tempat pembuangan khusus, sementara bahan bakar lain “hanya” mengeluar-kan zat pencemar berupa gas (misalnya SOx, dan NOx) yang tidak

nampak oleh mata dan tidak membutuhkan tempat pembuangan khusus karena langsung terlarut dalam udara atmosfir. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa batu bara adalah bahan bakar yang paling berbahaya (Saptoadi, 2010-b). Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa emisi gas rumah kaca CO2 per satuan energi yang dihasilkan

dari pembakaran batu bara juga paling tinggi dibandingkan bahan bakar fosil yang lain, apalagi dibandingkan dengan biomassa.

Negara-negara industri maju, yang sekarang cenderung menen-tang PLTU batu bara, sesungguhnya semenjak awal revolusi industri telah menikmati manfaat batu bara untuk memutar roda ekonomi dan mencapai kemakmuran. Kemudian setelah hidup sejahtera, mereka baru mulai peduli terhadap lingkungan hidup yang terlanjur rusak dan selama ini terabaikan akibat euphoria ”industrialisasi untuk kemak-muran”. Mereka bahkan meminta negara-negara berkembang untuk tidak mengulangi kesalahan mereka. Tentu saja negara-negara

(12)

berkembang tidak ingin mengulangi kesalahan dalam merusak lingkungan, akan tetapi sekadar mencontoh success story dalam mencapai kesejahteraan dengan dukungan ketersediaan energi yang memadai, dengan lebih mempertimbangkan aspek lingkungan (Saptoadi, 2010-b).

Perhitungan biaya pembangkitan listrik dengan memasukkan negative externalities (misalnya biaya kerusakan lingkungan, biaya pemulihan kesehatan, biaya sosial, dan lain-lain) semakin memperkuat kampanye anti batu bara. Selama ini produksi listrik dari batu bara memakan biaya minimal dikarenakan negative externalities memang

(sengaja) tidak diperhitungkan. Perhitungan terbaru menunjukkan

bahwa teknologi pembangkitan listrik termurah adalah Efisiensi Energi (Demand Side Management) sebesar 2,5 sen USD/kWh, selanjutnya adalah PLTB lepas pantai sebesar 3 sen USD/kWh, diikuti oleh PLTB tepi pantai sebesar 6 sen USD/kWh, dan seterusnya PLTP sebesar 7,1 sen USD/kWh. Pembangkitan listrik menggunakan pembakaran biomassa menempati urutan ke-8 dengan biaya 13,6 sen USD/kWh. Listrik dari PLTU terbaik yang menggunakan teknologi scrubbed coal memakan biaya 26,3 sen USD/kWh dan berada di urutan 15 (Sovacool, 2009). Fakta menarik dari data ini adalah bahwa teknologi renewable energy (kecuali tenaga surya) menempati peringkat 1 sampai 8, kemudian setelah itu baru diikuti oleh PLTN dan pembangkit berbahan bakar fosil. Listrik dari batu bara memer-lukan biaya hampir dua kali lipat dibanding listrik dari biomassa.

7. Kesulitan dalam pemanfaatan biomassa di Indonesia

Sebagaimana sudah disebutkan, salah satu kekurangan biomassa adalah densitas energinya yang rendah. Seandainya biomassa digunakan sebagai bahan bakar utama (tunggal) di suatu pembangkit listrik skala besar, maka laju volumetris input yang dibutuhkan pasti sangat besar. Sangat mungkin terjadi bahwa limbah di lokasi produksinya sama sekali tidak berharga, tetapi menjadi mahal bagi instalasi pembangkit listrik karena biaya pengumpulan dan pengang-kutannya yang tinggi, sehingga operasional pembangkit listrikpun menjadi tidak ekonomis.

(13)

Di sisi lain, pemakaian limbah biomassa pada pembangkit listrik skala kecil (lokal) membutuhkan biaya investasi spesifik yang tinggi, operator yang banyak dan memiliki efisiensi termal yang rendah. Kasus ini misalnya dijumpai di Austria dan membuatnya tidak ekonomis (Werther, 2000). Oleh karena itu akan sangat menguntungkan seandainya limbah biomassa sudah tersedia di suatu industri besar, misalnya pabrik pengolahan kayu, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, dan lain-lain, sehingga dapat langsung dimanfaatkan tanpa memerlukan transportasi dan pre-treatment, untuk membangkitkan energi (listrik dan termal) guna menutupi kebutuhan internal di pabrik tersebut.

Sejauh ini pembakaran limbah biomassa di Indonesia nampaknya lebih difokuskan sekadar untuk memusnahkan limbah yang mengganggu, bukan dalam rangka pemanfaatan energi termalnya untuk aktivitas yang bernilai ekonomis, kecuali misalnya ampas tebu di boiler pabrik gula dan sekam padi di industri batu bata dan genting tradisional (Werther, 2000).

Hadirin yang saya muliakan,

8. Usulan solusi yang ditawarkan

Dengan memperhatikan berbagai potensi dan hambatan sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditawarkan suatu solusi sebagai jalan keluar. Solusi itu adalah co-firing atau co-combustion yaitu pembakaran bersama antara batu bara dan biomassa di ruang bakar PLTU skala besar yang sudah ada. Akan lebih baik seandainya PLTU batu bara tersebut berlokasi dekat dengan sumber limbah biomassa (kurang dari 50 km sampai 80 km) sehingga biaya transportasi biomassa tidak terlalu tinggi. Seandainya jenis serta jumlah biomassa yang tersedia selalu berubah secara musiman, hal ini tidak akan terlalu mengganggu operasional PLTU tersebut. Kandungan karbon yang tinggi pada batu bara serta kandungan volatile matter yang tinggi pada biomassa dapat saling mengkompensasi dan justru menghasilkan proses pembakaran dan tingkat emisi yang lebih baik dibandingkan dengan pembakaran tunggal masing-masing bahan bakar (Werther, 2000). Co-firing ini lebih terasa bermanfaat bagi batu bara kualitas

(14)

rendah yang banyak terdapat di Indonesia (Naruse, 2001). Selain lebih ramah lingkungan, co-combustion terbukti lebih ekonomis untuk pembangkitan listrik (Sami, 2001). Kebetulan sistem pembakaran pada PLTU di Indonesia pada umumnya adalah suspension (pulverized) burning dan sistem ini cocok untuk co-firing bersama biomassa.

Salah satu alternatif solusi adalah penambahan grate stoker di bagian bawah dapur boiler pulverized coal yang sudah ada. Grate ini untuk membakar biomassa, di mana gas panas hasil pembakaran biomassa akan naik dan bergabung dengan proses pembakaran serbuk batu bara. Sebagai contoh adalah suatu PLTU batubara 124 MWe yang kemudian ditambah dengan grate untuk membakar kulit kayu sehingga memperoleh tambahan energi termal 10 MW (Werther, 2000). Satu kasus lain melibatkan pembakaran batu bara bersama serpihan (tatal) kayu sebanyak 10% sampai 22% (Sami, 2001).

Alternatif solusi yang lain adalah dengan menghaluskan biomassa sehingga berukuran sekecil mungkin. Sistem ini tidak memerlukan grate stoker akan tetapi justru memerlukan pulverizer yang mahal dan boros energi sehingga kurang begitu disukai (Werther, 2000). Biomassa, terutama yang berserat, sangat sulit untuk dihancurkan di pulverizer agar berukuran lembut sebagaimana halnya batu bara, sehingga direkomendasikan ukuran yang lebih realistis, yaitu 4 mm untuk jerami dan 6 mm untuk kayu. Terdapat tiga alternatif untuk memasukkan bahan bakar ke dapur boiler. Pertama, biomassa langsung dihembuskan masuk melalui saluran dan burner yang berbeda dengan batu bara. Kedua, digunakan dua saluran yang berbeda untuk masing-masing bahan bakar tersebut, akan tetapi kemudian keduanya melalui satu burner yang sama (di mana salah satu bahan bakar itu akan di-swirl untuk mempercepat mixing). Ketiga, batu bara dan biomassa sudah dicampur terlebih dahulu, kemudian dialirkan bersama melalui satu saluran dan satu burner (Sami, 2001).

Alternatif solusi lain yang juga termasuk dalam kategori co-combustion adalah biobriket, di mana biomassa dicampur dengan batu bara kemudian dimampatkan menjadi briket. Biobriket memiliki kelebihan dibanding briket batu bara yaitu suhu penyalaan yang lebih rendah, emisi abu yang lebih sedikit dan periode pembakaran yang

(15)

lebih singkat. Bahkan apabila ditambahkan batu kapur atau kulit kerang atau kalsium hidroksida pada biobriket maka emisi SOx dapat

dikurangi. Penambahan pulp black liquor pada biobriket juga dapat

mengurangi emisi NOx (Naruse, 1999). Contoh biobriket di Indonesia

adalah briket yang terdiri dari serbuk gergajian kayu dan lignite sebagaimana telah diteliti beberapa saat yang lalu. Hasil penelitian atas berbagai variasi komposisi biomassa dan batu bara menunjukkan bahwa campuran 25% lignite dan 75% serbuk kayu menunjukkan performance terbaik dalam menghasilkan energi termal (Saptoadi, 2004-b). Terbukti juga bahwa ukuran biobriket terkecil justru akan menghasilkan energi termal terbesar, karena luas permukaan spesifik yang tersedia untuk bereaksi akan maksimal (Saptoadi, 2008). Sistem pembakaran biobriket yang umum dijumpai adalah grate stoker, baik yang fixed maupun traveling. Grate stoker bisa terdiri dari beberapa zone pembakaran yang dapat dioperasikan secara independen satu sama lain, misalnya dalam hal debit pasokan udara pembakaran dan kecepatan gerak perpindahan biobriket di atas rangka bakar. Dengan pengaturan yang optimal dapat diperoleh proses pembakaran briket biomassa yang berlangsung secepat mungkin, yang berarti laju pelepasan energi termal maksimum. Meskipun demikian sistem ini lebih sesuai untuk menghasilkan energi termal dibandingkan dengan energi listrik, karena kalor yang dilepaskannya relatif sedikit.

Hadirin yang berbahagia,

Mengakhiri pidato ini, izinkan saya mengucapkan puji dan syukur terutama ke hadirat Allah swt. yang dengan ijin dan kuasa-Nya telah membuat saya mencapai jabatan guru besar ini. Terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah menganugerah-kan jabatan ini kepada saya. Terima kasih juga saya sampaimenganugerah-kan kepada Rektor dan Pimpinan Universitas, Pimpinan dan anggota Majelis Guru Besar dan Senat Akademik, Pimpinan Fakultas Teknik, serta Pimpinan Jurusan Teknik Mesin dan Industri yang telah mengusulkan, memproses dan menyetujui permohonan saya. Dengan segala kerendahan hati saya mohon doa restu semoga tetap istiqamah dalam pengabdian kepada Allah swt, bangsa dan masyarakat Indonesia melalui institusi Universitas Gadjah Mada yang saya cintai ini.

(16)

Ucapan terima kasih dan hormat saya sampaikan kepada guru-guru saya di SD Kebondalem 2, SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1, semuanya di Pemalang, yang telah membekali saya dengan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri saya.

Kepada seluruh dosen saya di UGM, almarhum Ir. Dharmawan Tjipto Harijono dan almarhum Ir. Tjahjana Adi, MSME, serta Bapak – Ibu dosen lain yang tidak mampu saya sebut satu per satu, saya haturkan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga besarnya. Kepada Prof. Lady, Prof. Yang serta Prof. Arpaci, di University of Michigan yang telah membangkitkan fanatisme saya di bidang Thermal Engineering. Berikutnya saya sampaikan terima kasih atas bimbingan dan kesabaran promotor saya di Technische Universität Clausthal yaitu Prof. Scholz dan Prof. Jeschar. Berkat interaksi dengan mereka, akhirnya saya tidak dapat terlepas lagi dari bidang Energi dan Pembakaran yang sangat menarik ini.

Tidak lupa saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Naruse di Toyohashi University of Technology (sekarang di Nagoya University) yang telah mengajak saya bergabung ke collaborative research dengan sponsor NEDO selama tahun 2002 sampai 2005. Bersamaan dengan itu, program AUN/SEED-Net baru saja dimulai dengan memberi saya competitive research grant (untuk pertama dan sekaligus terakhir kalinya). Berbagai kegiatan penelitian bersama para kolega Jepang tersebut membuat saya ”terperangkap“ dalam kewajiban untuk publikasi. Kebetulan, AUN/SEED-Net selalu menyediakan fasilitas dan bantuan untuk field wise seminars dan regional conferences.

Demikian juga dengan para kolega saya di Sustainable Energy and Environment Forum di bawah pimpinan Prof. Yoshikawa dari Kyoto University. Interaksi dengan Prof. Ishihara, Prof. Ohgaki, Prof. Fungtammasan, Prof. Hadi, dan lain-lain, semakin memperdalam keterlibatan saya di bidang energi tanpa mengabaikan aspek ling-kungan hidup.

Ucapan terima kasih kepada teman, kolega dan saudara saya di berbagai kelompok, misalnya Alumni M-77, Pengajian Rombongan 1 Jamaah Haji Multazam 2005, BTC, BPTIY, dan Yayasan Salman al Farisi berikut seluruh KB-TKIT-SDIT-nya, atas dorongan semangat, inspirasi, pencerahan dan selingan kegiatan untuk saya. Saya mohon

(17)

maaf seandainya selama ini waktu, pikiran, dan energi saya masih terlalu sedikit tercurah untuk mereka.

Ungkapan syukur dan terima kasih yang tak terhingga besarnya saya sampaikan untuk ibunda tercinta almarhumah Rt. Nurwini dan ayahanda Hardjono yang telah mengorbankan segala yang beliau miliki untuk pendidikan saya. Jasa-jasa mereka tidak akan pernah habis disebutkan. Demikian juga kepada almarhum kedua mertua saya, Hj. Maruti Herawati dan Brigjen (Purn.) H. Ery Soepardjan. Semoga Allah swt. mengampuni seluruh dosa mereka dan memberi tempat yang mulia di sisi-Nya. Terima kasih kepada lima adik saya dan keluarganya, demikian juga untuk sembilan kakak dan adik ipar beserta seluruh keluarganya, atas bantuan, dorongan semangat dan doa selama ini.

Kepada istri saya tercinta, drg. Endang Budhi Pritawati, pantas diungkapkan rasa terima kasih yang tiada habisnya atas pengertian, pengorbanan, dorongan, doa dan kasih sayang selama mendampingi dalam hidup berkeluarga yang penuh suka dan duka. Semoga Allah swt. memberinya balasan kebaikan yang berlipat-lipat di dunia dan di akhirat kelak. Kepada anak-anak saya: Meidwinna, Ridhwan, Fauzan, Nisa dan Imran, semoga kalian memperoleh kesuksesan hakiki di dunia dan di akhirat, jauh melebihi kesuksesan tidak seberapa yang mampu saya capai dengan susah payah.

Akhirnya, diucapkan terima kasih kepada para hadirin yang dengan sabar telah mendengarkan pidato ini. Mohon maaf seandainya terdapat kekhilafan atau kata yang tidak berkenan di hati para hadirin.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010-a, http://www.esdm.go.id/berita/batubara/44-batubara/ 2917-kuota-ekspor-batubara-150-juta-ton-per-tahun.html Anonim, 2010-c, http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/3615-perbandingan-keekonomian-pembangkit-listrik.html Anonim, 2010-d, http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/3034- program-percepatan-10000-mw-tahap-ii-butuhkan-investasi-us-16055-juta-.html

Bloemendal, M., 2009, Reconfiguration of end user strategies in a changing world, Proceeding of Coaltrans Asia, 2 – 6 June, Bali. BWT, 2008, Renewable Energy: made in Germany,

Bundesmi-nisterium für Wirtschaft und Technologie, Öffentlichkeitsarbeit/ IA8, Berlin (Germany).

KESDM, 2008, Key indicator of Indonesia Energy and Mineral Resources, Pusat Data dan Informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

KESDM, 2009, Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2009, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

Kleine, A., 2009, Renewable Energy in Germany and Indonesia – Past experience and future challenge, Makalah Peringatan “Tag der deutschen Einheit”, 7 November, Yogyakarta.

Naruse, I., Lu, G., Kim, H., Yuan, J., 1999, Combustion behavior and emission control in biobriquette combustion, Proceedings of International Conference on Mechanical Engineering, Tanzania. Naruse, I., Gani, A., Morishita, K., 2001, Fundamental characteristics

on co-combustion of low rank coal with biomass, Proceedings of Pittsburg Coal Conference, Pittsburg (USA).

Nishikawa, Y., 2006, On the international cooperations/collaborations for Sustainable Energy and Environmental issues in the East Asia region, Keynote speech 2nd Int. Conf. on Sustainable Energy and Environment, 21 – 23 November, Bangkok, Thailand.

Saleh, D.Z., 2010, Peran Perguruan Tinggi dalam membangun bangsa melalui Pembangunan di bidang Energi, Pidato Ilmiah Dies Natalis ke 64 Pendidikan Tinggi Teknik UGM, Yogyakarta.

(19)

Sami, M., Annamalai, K., Wooldridge, M., 2001, Co-firing of coal and biomass fuel blends, Progress in Energy and Combustion Science, 27, pp. 171 – 214.

Saptoadi, H., 2004-a, Enhancement of Energy Density for Biomass, Proceedings 7th International Quality in Research Conference, University of Indonesia, Jakarta.

Saptoadi, H., 2004-b, The Best Composition of Coal-Biomass Briquettes, Proceedings of Collaboration Workshop : Energy, Environment & New Trend in Mechanical Engineering, Brawijaya University, Malang, pp. 91 -105.

Saptoadi, H., Syamsiro, M., Tambunan, B.H., 2007, Biomass Waste utilization from Cacao and Candle Nut shells as fuel briquettes, Jurnal Manusia & Lingkungant (UGM), Vol. 14 No. 3, November, hal 127 - 136.

Saptoadi, H., 2008, The best biobriquette dimension and its particle size, Asian Journal of Energy & Environment, 9, issues 3 & 4, Sept. & Dec., pp. 161 – 175.

Saptoadi, H., Pambudi, N.A., Surono, U.B., Sudarwanto, 2009, Pyrolyzed and raw organic wastes used as fuel briquettes,

Proceeding 1st AUN/SEED-Net Regional Workshop on New and

Renewable Energy, Bandung, pp. 69 – 76.

Saptoadi, H., 2010-a, Development of Power Plants utilizing more Renewable Energy Resources in Indonesia, Proceeding of Int. Conf. on Innovations for Renewable Energy, 20 – 22 September, Hanoi, Vietnam, pp. 26 - 29.

Saptoadi, H., 2010-b, Coal Fired Power Plants for National Welfare – Indonesian Case, Proceeding of 2nd Int. Conf. of the Institution of Engineering and Technology, 21 – 22 June, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.

Saptoadi, H., Surono, U.B., Pambudi, N.A., Sudarwanto, 2010-c, Combustion of pyrolyzed Jatropha seed cakes, Corn cobs and Cassava peels as a function of air supply, Proceeding Reg. Conf. on Mechanical and Aerospace Technology, Bali, pp. 325 – 334. Sovacool, B.S., 2009, Negative externalities and electricity prices:

Exploring the full social costs of conventional, renewable and nuclear power sources, Proceeding of World Renewable Energy Congress 2009 – Asia, 19- 22 May, Bangkok, pp. 1209 – 1212.

(20)

Werther, J., Saenger, M., Hartge, E.U., Ogada, T., Siagi, Z., 2000, Combustion of agricultural residues, Journal of Progress in Energy and Combustion Science, 26, pp. 1 – 27.

(21)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Harwin Saptoadi,

Prof., Dr.-Ing., Ir., M.S.E. Tempat/tanggal lahir : Denpasar, 2 Sept. 1958

NIP : 195809021986031001

Jabatan/Golongan : Guru Besar/IIId (1 Juli

2010)

E-mail : harwins@ugm.ac.id

harwins@lycos.com

Alamat kantor : JTMI – FT – UGM

Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281

Alamat rumah : Karangasem CC V /141, Yogyakarta 55283

Nama istri : Drg. Endang Budhi Pritawati

Nama anak : 1. Meidwinna Vania Michiani

2. Muhammad Ridhwan Clausthiawan 3. Muhammad Luqman Fauzan

4. Athiyyah Khairunnisa

5. Muhammad Imran Hafiduddin

Pendidikan:

1. Sekolah Dasar Kebondalem 2, Pemalang : lulus tahun 1970

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, Pemalang : lulus tahun 1973

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Pemalang : lulus tahun 1976

4. Perguruan Tinggi

a. Insinyur, Jurusan Teknik Mesin, Universitas

Gadjah Mada : lulus 1985

b. Master of Science in Engineering, Dept. of

Mechanical Engineering and Applied

Mechanics, University of Michigan (USA) : lulus 1989

c. Doktor-Ingenieur, Institut für Energiever-fahrens- und Brennstofftechnik, Technische

(22)

Riwayat Pekerjaan:

1. Dosen Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik UGM, sejak 1986.

2. Anggota Badan Pengembangan Teknologi dan Inovasi Yogyakarta, sejak 1999.

3. Ketua Program Studi S1 Teknik Mesin, sejak 2007.

4. Konsultan Ahli pada berbagai proyek kerjasama penelitian UGM dengan lembaga pemerintah (Kementerian dan Pemda), lembaga swasta maupun lembaga asing.

5. Anggota Gugus Tugas Energi (New & Renewable), Kementerian Riset dan Teknologi, 2005 – 2007.

6. Anggota dan Deklarator SEE (Sustainable Energy and Environ-ment) Forum – Asia Pacific Academic Network, sejak 2006.

Publikasi Ilmiah (penulis pertama, dalam 3 tahun terakhir, dari jurnal terakreditasi):

1. Saptoadi, H., 2008, “The best biobriquette dimension and its particle size”, AJEE (Asian Journal of Energy and Environment) vol 9, Issue 3 & 4, Sept. & Dec. 2008, pp. 161 – 175

2. Saptoadi, H., 2007, “Coal fired cogeneration plants for better energy efficiency and reliability: A case study at a food company”, Jurnal Teknik Mesin (ITS),vol. 7 No. 3, hal 182-190.

3. Saptoadi, H., Syamsiro, M., Tambunan, B.H., 2007, ”Biomass Waste utilization from Cacao and Candle Nut shells as fuel briquettes”, Journal of People & Environment (UGM), Vol. 14 No. 3, November 2007, hal 127 - 136.

4. Saptoadi, H., 2009, “Efficiency improvement of gas turbine power plants by absorption chillers”, Jurnal Teknik Mesin (ITS),vol. 9 No. 3, hal 188-194.

5. Saptoadi, H, Himawanto, D.A, 2008, “Pemodelan matematis distribusi temperatur pada proses pembakaran di ruang bakar”, Jurnal Teknik Gelagar (FT-UMS), Vol. 19 No. 01, April 2008, hal 33 - 40.

Referensi

Dokumen terkait

Maka kesimpulan yang didapat adalah aplikasi dapat memberikan solusi untuk memudahkan tamu mulai dalam melakukan reservasi kamar maupun ruangan, proses pmbayaran,

July 12th, 2018 - Contoh Descriptive Text Animal Tentang Hewan Gajah Dalam Bahasa Inggris Beserta Artinya Contoh Teks Deskripsi Tentang Gajah Dalam Bahasa Inggris …. 3

Khalîfah fil ardhi itu (dimulai dengan Nabi Adam `alaihissalam) adalah manusia baru. Nabi Adam dan Siti Hawa Diciptakan langsung oleh Allâh dengan Kedua TanganNya, bukan

dikembangkan dengan isi materi ajar berbasis potensi lokal di jenjang SMP memperoleh kategori baik dan layak untuk dijadikan sebagai tambahan materi ajar yang

Dari 30 nomor koleksi plasma nutfah jeruk yang dianalisis berda- sarkan penanda RAPD dengan menggunakan 10 primer, pada tingkat kesamaan 0,75 diperoleh empat kelompok, yaitu

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada sebuah bengkel pembuat teralis di Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap dengan cara wawancara, dari

Balok merupakan batang horizontal dari rangka struktur yang memikul beban tegak lurus sepanjang batang tersebut biasanya terdiri dari dinding, pelat atau atap bangunan

Dari hasil penyajian data yang dilakukan penulis dan hasil analisa data yang sudah dilakukan maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa persepsi masyarakat Maredan