• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.6

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.

Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah memberikan tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia.

Bentuk perkawinan ini memberi jalan yang aman pada naluri seksual

6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 9.

(2)

untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri agar ia tidak laksana rumput yang dapat di makan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya.7

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (1) adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8 Ikatan lahir batin disini adalah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat.

Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwewenang menurut perundang-undangan yang berlaku.9

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Dalam hukum Adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti

7 Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 298

8 Redaksi New Merah Putih, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih, Yogyakarta, 2009, hal.12

(3)

oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dengan demikian, perkawinan menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.10

B. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sah perkawinan tersebut dan dalam perkawinan ini akan menimbulkan kewajiban dan hak bagi suami isteri. Mereka akan dapat meraih kehidupan dengan bahagia dalam jalinan kehidupan rumah tangga.11

Dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, dalam Pasal 1 merumuskan pengertian sebagai perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

Ada beberapa hal dari rumusan di atas yang perlu diperhatikan:

1. Maksud dari seorang pria dengan seorang wanita adalah bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini

10 Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 154.

11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat

(4)

menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.

2. Sedangkan suami isteri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Dalam definisi tersebut disebut pula tujuan perkawinan yang membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagai mana yang berlaku dalam perkawinan

mut’ah dan perkawinan tahlil.

4. Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.12

Persetujuan perkawinan ini pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya. Menurut Wirjono Prodjojodikoro perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan biasa adalah persetujuan biasa semua pihak berhak menentukan sendiri pokok perjanjian asalkan sesuai dengan peraturan dan tidak melanggar asusila, sedangkan persetujuan perkawinan isi dari perjanjian perkawinan sudah ditentukan oleh hukum.13

Suatu perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat bisa dibatalkan. Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 22 menegaskan: “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

12 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003, hal. 75-76 13

(5)

perkawinan”. Dan Pasal 27 ayat 1 menyatakan : “Seseorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum”.14

Lebih lanjut disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1947 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat perkawinan menyebutkan bahwa: “Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah calon”. Jadi perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan kedua calon suami dan isteri seperti kawin di bawah umur yang didesak oleh masyarakat atas dasar hukum adat adalah batal dan menyalahi peraturan Islam dan perundang-undangan tentang syarat perkawinan.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi :15

a. Syarat-syarat materiil.

1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :

a) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti persetujuan yaitu tidak seorang-pun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.

14 Ibid., hal. 101

15 Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1

(6)

b) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.

c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain. 2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :

a) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yaitu :

(1) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

(2) Hubungan darah garis keturunan ke samping. (3) Hubungan semenda.

(4) Hubungan susuan.

(5) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.

(6) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.

(7) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

b) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu :

(1) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.

Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika orang tua laki-laki telah

(7)

meninggal dunia, pemberian izin perkawinan beralih kepada orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang tua perempun bertindak sebagai wali. (2) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya disebabkan :

(a). Oleh karena misalnya berada di bawah kuratele. (b). Berada dalam keadaan tidak waras.

(c). Tempat tinggalnya tidak diketahui.

Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau

kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari :

(a). Wali yang memelihara calon mempelai.

(b). Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(4) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seorang atau lebih diantara orang-orang tidak

(8)

ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan diberikan :

(a).Atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan. (b). Setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang

disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4).

b. Syarat-syarat Formil.

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.

2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah :

a. Syarat Umum.

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat

Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini

(9)

tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

b. Syarat Khusus.

1) Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.

Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan. 2) Harus ada wali nikah.

Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah. Dalam hukum adat rukun dan syarat perkawinan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai wanita, wali nikah, adanya saksi dandilaksanakan melalui ijab qabul. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan di sini, adalah syarat-syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut. Menurut hukum adat, pada

(10)

dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Mas kawin (bride-price)

Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta benda dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan variasi sebagai berikut:

a) Harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan selanjutnya menyerahkan pembagiannya kepada mereka.

b) Secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang bersangkutan.

c) Menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian kepada kaum kerabatnya.16

b. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)

Bride-service biasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat,

misalnya, apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip patrilineal tidak mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai anak perempuan saja. Mungkin saja dalam keadaan demikian, akan diambil seorang menantu yang kurang mampu untuk memenuhi persyaratan mas kawin, dengan syarat bahwa pemuda tersebut harus bekerja pada orang tua istrinya (mertua).17

c. Pertukaran gadis (bride-exchange)

16

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 34.

(11)

Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang gadis untuk dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan seorang perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang dilamarnya agar bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon isterinya.18

C. Akibat Perkawinan

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, disebutkan tiga akibat perkawinan, yaitu :

a. Adanya hubungan suami istri

1) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). 2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).

3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2).

4) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. 5) Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

6) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.

18

(12)

7) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

8) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. b. Hubungan orang tua dengan anak

1) Kedudukan anak

(a) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)

(b) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

2) Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

(a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).

(b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.

(c) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).

3) Kekuasaan orang tua

(a) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.

(b) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

(13)

(c) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

(d) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin.

(e) Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila : 1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak 2. Ia berkelakuan buruk sekali

(f) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Isi kekuasaan orang tua adalah:

1.1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.

1.2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir apabila:

a.1. Anak itu dewasa a.2. Anak itu kawin

(14)

c). Masalah harta kekayaan.

1) Timbul harta bawaan dan harta bersama.

2) Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 3) Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

Sejak terjadi perkawinan, timbulah hubungan antara suami istri, hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami istri.

D. Perjanjian Kawin

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka. Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah dilangsungkan.19

Orang tidak diperbolehkan menyimpang dari peraturan tentang saat mulai berlakunya perjanjian ini. Juga tidak diperbolehkan menggantungkan perjanjian pada suatu kejadian yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, misalnya suatu perjanjian antara suami dan isteri akan berlaku percampuran laba rugi kecuali jikalau dari

19

(15)

perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki. Perjanjian semacam ini tidak diperbolehkan.20

Ketentuan Pasal 181 dan Pasal 182 KUHPerdata dimaksudkan untuk melindungi kepentingan anak-anak dari perkawinan pertama, jika ayah dan ibunya meninggal, dan ayah atau ibunya kawin untuk kedua kalinya dan seterusnya.

Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian kawin. Untuk itu melalui Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MA/0807/75 memberikan pendapat untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya sebagaimana diatur dalam KUHPerdata bagi yang menundukkan peraturan tersebut, hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijk

Ordonnantie Christen Indonesiers bagi golongan Bumi Putera yang beragama

Kristen.

Menurut KUHPerdata maka harta kekayaan bersama yang menyeluruh

(algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu

perkawinan.Sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian kawin.

Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:

1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain;

2. Kedua brlah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)yang cukup besar;

20https://kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukum perkawinan/ diakses tanggal 27 Agustus 2015.

(16)

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut;

4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.

Maksud pembuatan perjanjian kawin adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama (Pasal 119 KUHPerdata). Dengan itu para pihak bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.

Perjanjian kawin menurut KUHPerdata harus dibuat dengan akta notaries (Pasal 147KUHPerdata). Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian kawin, juga bertujuan:

a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;

b. Untuk adanya kepastian hukum;

c. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah;

d. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPerdata.

Selain dengan kata notaries, perjanjian kawin harus dilakukan sebelum perkawinan (Pasal 147 KUHPerdata). Karena setelah pelangsungan perkawinan dengan cara apapun juga, perjanjian kawin itu tidak dapat diubah (Pasal 149 KUHPerdata). Asas tidak dapat diubahnya ini menurut Soetojo Prawirohamidjojo, adalah sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat berlangsungnya perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan

(17)

kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan sang suami dapat memaksa istrinya untuk mengadakan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan si istri.

Mengenai isi perjanjian kawin. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian, mengenai isi perjanjian kawin diserahkan kepada pejabat-pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk memberikan penafsirannya.

Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1) Tidak membuat janji-janji (bedingen) yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;

2) Perjanjian kawin tidak bolehmengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami istri yang hidup terlama;

3) Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan; 4) Tidak dibuat janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang

lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva;

5) Tidak dibuat janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh Undang-Undang negaraa asing.

Referensi

Dokumen terkait

4.3 kerugian kerusakan atau biaya yang disebabkan oleh tidak memadainya atau tidak sesuainya pembungkus atau penyiapan obyek yang diasuransikan (untuk keperluan Klausul 4.3 ini,

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji gambaran letak saraf radialis, ulnaris, medianus, dan juga muskulokutaneus terhadap arteri aksilaris di aksila dengan menggunakan

Berdasarkan pada hal tersebut, di dalam penelitian ini, film Taman Lawang sebagai media massa yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi khalayaknya mencoba

Beban yang bekerja pada struktur seperti beban mati (dead load), beban hidup (live load), beban gempa (earthquake), dan beban angin (wind load) menjadi bahan

Praktik budidaya padi yang diterapkan petani umumnya dilakukan dengan cara memanipulasi lingkungan yang cenderung membuat kondisi lingkungan lebih cocok untuk

Pada eksperimen ini dicari beberapa eksplorasi bentuk dari kombinasi pada teknik coiling dengan teknik lattice. Teknik lattice yaitu proses serut bambu untuk

Hal ini diafirmasi oleh kedua tokoh agama mayoritas di Desa Suwaru yang sering terlibat konversi agama yakni agama Islam dan Kristen yang serentak mengungkapkan bahwa jalan

Pencipta merasa putus asa karena kurangnya tindakan dari pemerintah terkait mengatasi pelanggaran hak cipta sehingga perlunya aksi pemerintah untuk mengatasi