• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PAGUYUBAN PADASA DALAM MELESTARIKAN KESENIAN WAYANG KULIT DI KELURAHAN LEMPAKE KOTA SAMARINDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PAGUYUBAN PADASA DALAM MELESTARIKAN KESENIAN WAYANG KULIT DI KELURAHAN LEMPAKE KOTA SAMARINDA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

© Copyright 2021

STRATEGI PAGUYUBAN PADASA DALAM MELESTARIKAN

KESENIAN WAYANG KULIT DI KELURAHAN

LEMPAKE KOTA SAMARINDA

Netty Fabiola Karendyna1

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Strategi Paguyuban Padasa dalam Melestarikan Kesenian Wayang Kulit melalui pendekatan budaya dengan fokus ke bentuk pelestarian wayang kulit dalam 2 bentuk pelestarian yaitu Culture experience dan Culture knowledge dan faktor penghambat dan pendukung pelestarian kesenian wayang kulit. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif Peneliti memulai observasi awal dengan mengunjungi Paguyuban Padamasa di Kelurahan Lempakek. Di sana, penulis melakukan wawancara dengan key informan yang dapat memberikan informasi mengenai masalah penelitian ini yakni Bapak Karju (selaku ketua RT.10 dan ketua Paguyuban Padasa). Dan informan dalam penelitian ini adalah anggota PADASA dan masayarakat Kelurahan Lempake . Untuk penentuan informan menggunaan teknik Snowball Sampling. Teknik Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini di suruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar (sugiyono, 2001:61). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa padasa telah menggunakan bentuk pelestarian culture experience dengan sangat maksimal sehingga pentas kesenian wayang kulit masih berjalan hingga saat ini. Tetapi padasa belum memaksimalkan bentuk pelestarian culture knowledge sehingga kurang menarik perhatian anak muda untuk ikut berkontribusi membantu melestarikan kesenian wayang kulit di kelurahan lempake.

Kata Kunci : Strategi, Paguyuban Padasa, Pelestarian Kesenian Wayang Kulit. Pendahuluan

Wayang Kulit merupakan salah satu kesenian tradisional Jawa yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Kelurahan Lempake yang masih sangat kental dengan kesenian-kesenian Jawa. Wayang Kulit merupakan sebuah kesenian yang dapat memberikan hiburan dan juga memberikan pembelajaran/tuntunan kepada para penontonnya. Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisional yang sudah jarang diminati oleh kaum muda.

Paguyuban Dalang Samarinda (PADASA) adalah sekelompok orang yang terdiri dari para orang tua yang menyukai kesenian Wayang Kulit dan berusaha

(2)

oleh para orang tua saja. Hal ini juga yang menjadi daya tarik peneliti untuk mengamati lebih jauh bagaimana strategi paguyuban PADASA dalam mempertahankan kesenian tradisional ini tetap hidup dan memiliki generaasi penerusnya.

Kerangka Dasar Teori

Strategi

Menurut Jatmiko (2003:4), Strategi dideskripsikan “sebagai suatu cara dimana organisasi akan mencapai tujuan-tujuannya, sesuai dengan peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi serta sumber daya dan kemampuan internal organisasi.” Berdasarkan pada defenisi tersebut, terdapat tiga faktor yang mempunyai pengaruh penting pada strategi, yaitu lingkungan eksternal, sumberdaya dan kemampuan internal, serta tujuan yang akan dicapai. Intinya, suatu strategi organisasi memberikan dasar-dasar pemahaman tentang bagaimana organisasi itu akan bersaing dan survive.

Menurut Allison dan Kaye (2004:3), “strategi adalah prioritas atau arah keseluruhan yang luas yang diambil oleh organisasi.” Strategi juga merupakan pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi.

Dari defenisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi adalah cara atau teknik yang dilakukan untuk mendapatkan keunggulan bersaing dengan mempelajari dan memahami lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) dan lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) sehingga bisa tetap bertahan (survive).

Paguyuban

Menurut Ferdinand Tonnies (2010:116) “Gemeinschaft atau Paguyuban, merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota- anggotanya diikat dalam hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah dan bersifat kekal.” Dasar hubungan adalah rasa cinta dan persatuan batin yang juga bersifat nyata dan organis sebagaimana dapat diumpamakan peralatan hidup tubuh manusia atau hewan.

Pelestarian Budaya Tradisional

Sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya Tradisional seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya memelihara warisan budaya Tradisional untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan.

(3)

Jadi bukan pelestarian yang hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan kita.

Para pakar pelestarian harus turun dari menara gadingnya dan merangkul masyarakat menjadi pecinta pelestarian yang bergairah. “Pelestarian jangan hanya tinggal dalam buku tebal disertasi para doktor, jangan hanya diperbincangkan dalam seminar para intelektual di hotel mewah, apalagi hanya menjadi hobi para orang kaya. Pelestarian harus hidup dan berkembang di masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas” (Hadiwinoto, 2002: 30).

Kesenian

Kesenian adalah karya manusia yang diciptakan dengan perasaan dan keahlian luar biasa dengan nilai-nilai keindahan lewat berbagai media seperti: seni gerak, seni suara, seni bangunan, seni rupa, seni sastra dan lain-lainnya.

Wayang Kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional yang terutama berkembang di wilayah Jawa. Wayang berasal dari kata „Ma Hyang‟ yang artinya menuju roh spiritual, dewa, atau Tuhan yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah Bahasa Jawa yang bermakna „bayangan‟. Hal ini disebabkan karena penontonnya hanya bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narrator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh music gamelanyang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada disisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar (Wikipedia).

Pelestarian Wayang Kulit

Perhatian pemerintah kepada pelaku seni juga dapat diberikan dalam bentuk menyediakan tempat untuk menyelengarakan pementasan wayang kulit. Sebagaimaan diuraikan dimuka bahwa pementasan wayang kulit hanya dilakukan apabila ada yang mengundang sehingga pementasannya tidak bisa dilakukan secara rutin. Adanya tempat untuk pementasan wayang kulit memungkinkan pementasan dapat dilakukan secara terjadwal sehingga para Dalang dapat bergantian melakukan pementasan.

(4)

Peran pemerintah dalam memajukan budaya wayang kulit dapat dilakukan dengan membantu promosi terhadap kegiatan pementasan wayang kulit, juga perlu dilakukan, promosi tersebut dilakukan ke sekolah-sekolah. Sekolah dapat membuat sebuah kegiatan ekstrakulikuler yang mewajibkan siswanya untuk melihat pertunjukan wayang kulit dan mebuat laporan atas tugas tersebut.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu penelitian yang memaparkan atau menggambarkan semua peristiwa penelitian yang diperoleh dari lapangan sesuai dnegan masalah-masalah yang telah dirumuskan pada perumusan malasah.

Hasil Penelitian

Sejarah Wayang Kulit

Wayang kulit muncul di Kelurahan Lempake pada tahun 1971 yang dibawa oleh para transmigran asal Jawa pada kloter pertama dilakukan. Wayang kuit juga sebagai kesenan yang kami bawa dan kami pertunjukkan untuk memberikan sebuah persembahan atau pageeleran terhadap masyarakat sekitar.

“wayang kulit masuk ke lempake ini sejak orang-orang transmigrasi datang kesini pada tahun 1971. Karna kalau orang Jawa itu gitu, ciri khasnya gitu dimana pun tinggal keseniannya itu tetap di bawa.” (wawancara, Har, 5 Oktober 2019).

Anggapan bahwa kesenian itu menjadi urat nadi masyarakat jawa yang akan terus di jaga dan dilsetarikan sejak para transmigran datang wayang kulit mulai masuk ke salah satu sanggar kesenian rimba darma yang ada di Samarinda untuk di perkenalkan dan dikembangkan. Seperti yang di ungkapkan oleh salah satu tetua di kelurahan lempake yang menjadi informan peneliti yang menyatakan:

“waktu itu saya ditugaskan di yayasan rimba darma untuk mengembangkan kesenian pedalangan, dari yayasan itu wayang kulit sering tampil di daerah-daerah transmigrasi seperti Lempake, Palaran, dan Simpang Pasir. Lalu lama-lama kan jadi banyak yang tau”. (wawancara, suk, 5 Oktober 2019). Wayang kulit lebih sering dimainkan di bulan suro atau di bulan besar Jawa. Biasanya dimainkan diacara-acara peringatan bulan suro. Dalam setiap penampilan wayang kulit dibutuhkan sekitar 20 orang untuk memainkan alat musik, 2 orang sinden untuk melantunkan tembang jawa dan 1 orang dalang yang memainkan alur cerita dari wayang kulit tersebut. Tema yang sering di bawakan dalam pentas adalah cerita-cerita tentang zaman kerajaan yang memiliki pesan moral di dalamnya dan di sesuaikan juga dengan acara yang sedang berlangsung.

Misalnya acara ulang tahun desa ceita yang dibawakan mengarah ke turunnya wahyu yang ada kaitannya dengan desa. Lama durasi waktu untuk menampilkan wayang kulit pada zaman dahulu adalah sepajang malam (semalam

(5)

suntuk) tetapi kini durasi waktu telah disesuaikan dengan kebuthan yakni hanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam saja di setiap penampilannya.

Sejarah Paguyuban Dalang Samarinda (PADASA)

Paguyuban Dalang Samarinda (PADASA) adalah suatu kelompok yang terbentuk karena kecintaannya terhadap wayang kulit dan keinginannya yang sangat kuat untuk tetap memepertahankan kesenian wayang kulit agar tidak punah. Padasa terbentuk pada tahun 2015 yang di dirikan oleh beberapa orang.

“Waktu itu saya berkunjung ke Balikpapan untuk bertemu pelaku seni, terus saya melihat ada kegiatan latihan wayang kulit yang tetap memakai pakaian lengkap saat latihan. saya berinisiatif untuk mengembangkan wayang kulit di Samarinda. Lalu saya mengajak beberapa orang yang memang suka dengan kesenian wayang kulit untuk berdiskusi membuat paguyuban dalang ini”. (Wawancara, bud. 23 September 2019).

Ia berhasil mengumpulkan 9 orang yang memang menyukai wayang kulit untuk berdiskusi dalam membentukan Paguyuban Dalang Samarinda. 9 orang itu antara lain, Ki (gelar untuk dalang) Budi Asmoro, Ki Prof.Sudirman, Ki Kardi, Ki Sudarman, Ki Sutopo, Ki Karju, Ki Sugiman, Ki Fendi, Ki Yuli.

Perekrutan anggota di lakukan dengan cara menginformasikan dari satu orang ke orang lain. Tidak ada syarat khusus dan tidak ada batasan usia untuk menjadi anggota dari padasa, hanya yang berminat dan mempunyai keinginan untuk melestarikan kesenian wayang kulit saja sudah bisa menjadi anggota padasa. Hanya saja jika baru masuk keanggotaan dikenakan biaya pelatihan sebesar 50 Ribu. Seiring berjalannya waktu sekarang anggota dari PADASA sudah mencapai 23 orang.

Awalnya padasa dibentuk dengan tujuan memberikan wadah kepada masyarakat yang ingin belajar kesenian wayang kulit saja, tetapi seiring berjalannya waktu ada masyarakat yang mulai tertarik untuk menanggap (sewa) padasa untuk menampilkan wayang di acara yang mereka selenggarakan. Tarif yang harus dikeluarkan untuk menanggap padasa yaitu kisaran 20-25 Juta. Biaya itu di gunakan untuk transportasi, konsumsi, menyewa sound system, dan sisanya dibagi kepada anggota padasa.

Paguyuban Dalang Samarinda ini selalu rutin latihan setiap 1 bulan 2 kali di sekretariat Padasa yang berlokasi di Jalan Prowodadi RT.10 Kelurahan Lempake. Dalam setiap latihan yang dilakukan selalu ada warga sekitar yang menonton latihan mereka. Sembari mendukung penuh adanya paguyuban padasa ini. Menurut waga sekitar adanya latihan wayang kulit setiap bulan ini menjadi salah satu hiburan bagi mereka.

Latihan rutin yang dilakukan padasa ini menjadi salah satu keunikan tersendiri yang membedakan paguyuban padasa ini dari paguyuban lain. Latihan

(6)

rutin ini bertujuan untuk menarik perhatian warga sekitar dan sekaligus memberikan hiburan kepada warga.

“yang membedakan padasa ini dari paguyuban lain itu padasa selalu Latihan 2 minggu sekali. Itu juga bertujuan menarik perhatian warga. Sering juga partai itu datang karena heran kenapa masih bisa menampilkan kesenian wayang kulit secara rutin.” (wawancara, bud, 23 September 2019).

Padasa sering tampil di berbagai acara seperti, acara tahunan Desa, nikahan, selamatan, dan lain sebagainnya. Mereka tidak hanya tampil di Kelurahan Lempake saja tetapi di berbagai tempat di Kalimantan Timur seperti simpang pasir, makroman, separe.

“tergantung si penanggap dek dimana saja asal masih bisa di jangkau. Tapi paling sering di tempat transmigrasi seperti simpang pasir, makroman, separe.” (wawancara, kar, 27 Agustus 2019).

Tetapi dalam beberapa bulan ini padasa tidak mengadakan Latihan bulanan disebabkan oleh para anggota yang mudik ke kampung halamannya masing-masing dan belum Kembali ke Kelurahan Lempake ini. Meski begitu penampilan wayang kulit masih bisa di lakukan tetapi bukan atas nama padasa melainkan atas nama pribadi dan formasi yang di bentuk oleh pribadi saja tanpa mengatas namakan paguyuban padasa.

Pengelolaan Dana Padasa

Pengelolaan Dana merupakan salah satu element penting di dalam menjalankan sebuah paguyuban agar paguyuban tersebut bisa berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang sudah di rencanakan. Dana di dalam suatu paguyuban bisa didapatkan melalui sumbangan anggota, bantuan dari beberapa pihak seperti dari pemerintah, dan bisa juga di dapat dengan cara menjalankan usaha dari paguyuban itu sendiri.

Padasa salah satu paguyuban yang mendapatkan pemasukan melalui menampilkan kesenian wayang kulit. Sekali pementasan wayang kulit memerlukan biaya sekitar 30 Juta. Pendapatan ini digunakan untuk menyewa sound sebesar 3,5 Juta dan penyewaan alat musik gamelan sebesar 5 Juta. Sebenarnya padasa mempunyai alat musik sendiri tetapi alat musik tersebut hanya untuk latihan saja, karena alat musik untuk pementasan memiliki standar tersendiri. Biaya untuk menyewa panggung juga dibutuhkan jikalau penanggap tidak menyediakan panggung. Penyewaan panggung berkisar 3-4 Juta untuk panggung biasa dan untuk panggung recing sebesar 8 juta. Sisa dari biaya utama tadi lalu di bagi kepada 25 anggota padasa yang ikut menampilkan wayang kulit. Peranggota mendapatkan sekitar 500 Ribu tetapi berbeda dengan dengan sinden. Pendapatn sinden sebesar 700 Ribu Rupiah.

(7)

Pementasan padasa bisa mencapai 3 sampai 4 kali dalam sebulan jika memasuki bulan besar dan bulan suro. Jika di hitung pendapatan anggota perorang bisa mencapai 1,5 - 2 Juta Rupiah dalam sebulan.

Partisipasi Anak Muda dalam Mewarisi Kesenian Wayang Kulit

Pastisipasai anak muda di Kelurahan Lempake dalam pelestarian kesenian wayang kulit bisa dibilang kurang. Dikarenakan anak muda yang berada di Kota Samarinda khususnya di Kelurahan Lempake ini terhambat masalah Bahasa yang digunakan dalam kesenian wayang kulit. Ini menjadi salah satu yang menghambat ketertarikan anak muda kepada kesenian wayang kulit seperti yang dikatakan oleh endang.

“jarang nonton sih kak, soalnya kan bahasa yang di pake masih Bahasa Jawa halus, saya gak ngerti. Sama wayang kulit itu kan tampilnya malam banget jadi susah juga mau nonton” (end, wawancara, 27 Agustus 2019).

Masalah jam pementasan juga menjadi penghambat bagi beberapa orang untuk menonton wayang kulit ini, tetapi berbeda dengan taufik dan pepi yang masih sering menonton wayang kulit. Bagi mereka menonton wayang kulit juga termasuk salah satu upaya untuk membantu pelestarian wayang kulit.

“lumayan sering mba kalau lagi gak sibuk, gak cuma nonton sih mba. Saya juga ikut bantuin susun alat, beres-beres. Karna kan bapak saya juga anggota dari padasa jadi sering ikut.” (tau, wawancara, 7 Oktober 2019).

“sering nonton kak, biasanya awal muharom gitu biasanya banyak tampil wayang kulit. Saya kalo nonton wayang kulit selalu sama mama, karena temen-temen saya gak ada yang suka wayang hehe.” ( pep, wawancara, 10 September 2019).

Bagi pepi wayang kulit itu memiliki keunikan dari segi konsep panggung dan cerita yang bawakan. Menjadikan wayang kulit ini mempunyai tempat tersendiri di hati pepi. Dari wawancara yang telah di lakukan seperti yang tertulis di atas, dapat disimpulkan bahwa peran orang tua untuk memperkenalkan budaya dan kesenian tradisional dari daerah mereka masing-masing kepada anak cucu mereka dan di dudukung oleh ke inginan dari dalam diri mereka dapat membantu proses pelestarian kesenian tradisional tersebut. Dalam melestarikanya tentu anak muda memiliki peran yang sangat mutlak karena mereka di yakini sebagai penyambung warisan wayang kulit untuk tetap aktif dan mengisi pangung – panggung hiburan khusus nya di Samarinda.

Pakaian atau Kostum

Pakaian yang digunakan saat pementasan Wayang kulit adalah bagi kaum laki-laki (Dalang/pemain alat musik) menggunakan surjan atau beskap sebagai atasan dan jarik sebagai bawahannya dan dilengkapi juga aksesoris berupa kris,

(8)

sabuk, timang (kepala sabuk khas Jawa) dan blangkon (penutup kepala bagi kaum laki-laki). Bagi kaum wanita (Sinden) menggunakan baju kebaya khas Jawa. Properti Pertunjukan

Panggung pertunjukan yang digunakan Padasa adalah panggung berukuran 12x8 Meter lengkap dengan kelir dan beberapa wayang kulit yang menancap di debog (batang pohon pisang) untuk menghiasi sisi kanan dan kiri layar tersebut dan dengan pencahayaan yang cukup.

Alat Musik Pengiring dan Pendukung

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Wayang Kulit yaitu gendang, gendir, boning, kenong, ketuk, gambang, slemtem, demu, siter, rebab, suling, saron, penking. Pendukung lainnya adalah lantunan tembang jawa yang dinyanyikan oleh sinden.

Strategi Padasa dalam Pelestarian Kesenian Wayang Kulit di Kelurahan Lempake Kota Samarinda

Dalam hal ini penulis menyajikian semua data yang di peroleh dengan cara wawncara kepada Key Informan dan beberapa Informan yang telah ditentukan maupun observasi dan data-data yang didapatkan berkaitan dengan pelestarian kesenian wayang kulit di Kelurahan Lempake. Dalam penelitian ini, penulis menjabarkan beberapa pertanyaan kedalam beberapa focus penelitian yang diuraikan menjadi beberapa pertanyaan.

Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan data-data yang didapatkan, maka menghasilkan data sebagai berikut:

Culture Experience

Pelestarian yang dilakukan padasa dengan Culture Experience yaitu dengan cara selalu mengadakan latihan rutin di Sekertariat padasa yang berada di Kelurahan Lempake. Latihan ini rutin dilakukan guna meningkatkan kemampuan pedalangan. Seperti hasil wawancara dengan Bapak Karju selaku Ketua dari Paguyuban Dalang Samarinda mengenai pelestarian wayang kulit dalam bentuk pelaksanaan pertunjukan wayang kulit yang menyatakan bahwa:

“kita selalu ada latihan rutin setiap 2 kali dalam sebulan, itu hanya latihan saja tapi selalu ada warga yang menonton jadi sama saja seperti tampil. Latihannya itu seperti sistem giliran, minggu ini siapa yang jadi dalang minggu depan siapa lagi gitu. Tempat latihannya juga gak selalu disini dek (kelurahan lempake) untuk beberapa bulan ini latihannya di simpang pasir tempat anggota juga. Kalau untuk tampil biasanya di acara ulang tahun desa,nikahan, sunatan pokoknya orang jawa yang punya hajat dan suka

(9)

wayang itu biasanya nanggap kami (menyewa).” (wawancara, Kar, 27 Agustus 2019).

Perekrutan anggota padasa juga di lakukan tanpa syarat khusus. Ini bertujuan agar mempermudah masyarakat yang ingin melestarikan kesenian wayang kulit. Syarat yang paling utama yaitu hanya keinginan yang besar untuk memajukan kesenian wayang kulit itu sendiri, ujar pak Karju. Tetapi anggota dari kesenian wayang kulit ini hanya di dominasi oleh orang tua saja hal ini disampaikan oleh Pak Budi yang mengatakan :

“sulit mengajak anak muda disini. Kan ini kesenian Jawa. Anaknya orang Jawa yang lahir disini sudah Jawa Kalimantan jadi budayanya sudah campur, Cuma satu dua orang saja yang masih suka. Kalau orang tuanya mungkin masih suka.” (wawancara, Bud, 23 September 2019).

Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya pengaruh dunia luar yang masuk sehingga para generasi muda sebagai penerus terpengaruhi oleh kebudayaan asing tesebut. Karena budaya luar dianggap lebih menarik dan lebih mudah untuk diterima dibandingkan dengan budaya bangsa atau kesenian daerah sendiri yang bersifat monoton. Faktor bahasa yang di gunakan dalam pementasan wayang kulit juga menjadi kendala terbesar untuk mengembangkan kesenian wayang kulit di kota samarinda ini. Bahasa yang di gunakan pewayangan ini yaitu Bahasa Jawa kuno (Bahasa Jawa halus). Bahasa ini masih sering digunakan di daerah Jawa untuk berbicara kepada orang yang lebih tua karena memiliki makna yang lebih sopan.

“iya, Bahasa juga termasuk kendala juga. Karena kalau Bahasa pewayangan itu di bahasakan dengan Bahasa Indonesia kuras pas. Gak sesuai dengan karakter wayang, jadi ya harus menggunakan Bahasa Jawa untuk memainkannya” (wawancara, Bud, 23 September 2019).

Culture Knowledge

Pelestarian wayang kulit dengan Culture Knowledge yang dilakukan oleh Padasa yaitu mempublikasikan lewat radio seperti yang dikatakan oleh Pak Budi selaku pencetus ide dari padasa ini mengatakan sebagai berikut :

“mempublikasikannya itu lewat radio-radio saja neng, kalo di Tv itu juga belum ada, tidak ada media sosialnya juga. ya karna keterbatasan itu di Kalimantan itu keseniannya kan campur enggak murni kesenian Jawa. Kalau di Jawa itu sudah menjadi mata pencarian neng, kalau disini cuma sampingan saja.” (wawancara, bud, 23 September 2019).

Pempublikasian adanya padasa dikota Samarinda ini biasanya hanya melalui mulut ke mulut saja. Biasanya disebarkan kepada beberapa orang atau bahkan antar kelompok kesenian yang memang menyukai kesenian Jawa. Karna padasa berdiri di daerah yang ditempati oleh berbagai macam suku dan bukan didominasi

(10)

mengembangkan kesenian wayang kulit Seperti yang sudah dijelaskan oleh pak budi.

Faktor hambatan a. Faktor Dana

seperti yang di jelaskan oleh Pak Budi sebagai berikut :

“ya setiap paguyuban atau organisasi itu kan gak lepas dari biaya, mungkin yang jadi kendala itu. Karna untuk kesenian kayak gini, misalnya ada job itu memerlukan biaya. Biaya untuk wayang itu diatas 20 Juta.” (wawancara, Bud, 23 September 2019)

Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa harga untuk menyewa kesenian wayang kulit ini sangat tinggi dan di khawatirkan ini akan berdampak kepada berkurangnya peminat untuk menampilkan atau menyewa wayang kulit di acara-acara tertentu. Karena satu-satunya pemasukan bagi paguyuban ini hanya dari penyewa saja tidak adanya campur tangan dari pemerintah. Hal ini terungkap oleh pernyataan dari Pak Haryono yang menyatakan :

“tidak ada, istilahnya seni itu hidup dengan sendirinya. Tidak ada campur tangan dari Kelurahan, dari RT atau dari Camat. Jadi kalo misalnya ada itu sifatnya saling memberi. Umpamanya kalau mau kampanye pilkada itu ada dari calon itu nanggap memberikan imbalan. Saya menyiapkan beli peralatan dari tahun 2000 sampai sekarang belum ada campur tangan dari pemerintah. Untuk biaya pemeliharan itu tidak ada. Ya dapatnya hanya dari orang menyewa.” (wawancara, Har, 5 Oktober 2019).

b. Tenaga ahli

Kurangnya partisipasi dari generasi muda juga salah satu penghambat dalam pelestarian kesenian wayang kulit ini. seperti yang disampaikan oleh Pak Budi sebagai berikut :

“sulit mengajak anak muda disini. Kan ini kesenian Jawa. Anaknya orang Jawa yang lahir disini sudah Jawa Kalimantan jadi budayanya sudah campur, Cuma satu dua orang saja yang masih suka. Kalau orang tuanya mungkin masih suka.” (wawancara, Bud, 23 September 2019).

Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya pengaruh dunia luar yang masuk sehingga para generasi muda sebagai penerus terpengaruhi oleh kebudayaan asing tesebut. Karena budaya luar dianggap lebih menarik dan lebih mudah untuk diterima dibandingkan dengan budaya bangsa atau kesenian daerah sendiri yang bersifat monoton. Ditambah lagi padasa ini berada di kota pendatang yang penduduknya berasal dari berbagai suku yang berbeda-beda. c. Bahasa

Faktor bahasa yang di gunakan dalam pementasan wayang kulit juga menjadi salah satu hambatan untuk melestarikan kesenian wayang kulit di kota pendatang ini. Bahasa yang digunakan dalam wayang kulit yaitu Bahasa Jawa

(11)

kuno (Bahasa Jawa halus). Bahasa ini sangat jarang di gunakan di kota pendatang ini. maka dari itu banyak anak muda yang tidak mengerti bahasa yang digunakan tersebut. Tetapi Bahasa ini masih sering digunakan di daerah Jawa untuk berbicara kepada orang yang lebih tua karena memiliki makna yang lebih sopan.

Faktor Pendukung a. Aktifitas Anggota

Bapak Budi yang menyampaikan faktor pendukung pelestarian wayang kulit yaitu aktifitas anggota. dari pelaku seni itu sendiri masih sangat aktif dalam mementaskan ksesnian wayang kulit dan masih mempunyai kecintaan yang sangat besar terhadap kesenian wayang kulit untuk tetap mempertahankan kesenian itu. Seperti yang disampaikan sebagai berikut :

“dari kita sendiri masih semangat untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan kesenian wayang ini ya. Temen-temen juga masih bersemangat untuk latihan sama untuk pentas. kita juga sebisa mungkin mencoba mempromosikan kemana saja dan bermain dimana saja.” (wawancara, bud, 23 Semptember 2019).

b. Peminat

Berikut hasil wawancara dengan Bapak Sukadi selaku sesepuh di Kelurahan Lempake dan sekaligus salah satu pendiri paguyuban wayang kulit mengenai faktor pendukung pelestarian kesenian wayang kulit :

"ya masih banyak yang menonton kalau lagi pentas atau sekedar latihan. Gak hanya warga sekitar sini aja. Tapi banyak juga yang dari luar (Kelurahan Lempake). Itu kan salah satu faktor pendukungnya. Kalau suatu kesenian itu sudah tidak ada lagi yang menonton berarti kesenian itu sudah mati.” (wawancara, suk, 5 Oktober 2019).

Dari pernyataan diatas faktor pendukung yang disampaikan oleh Bapak Sukadi yaitu masih adanya peminat dan dukungan dari masyarakat yang masih sangat peduli terhadap pelestarian kesenian wayang kulit. Lain halnya dengan Pembahasan

Culture Experience

Culture experience ini merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, strategi yang dilakukan padasa yaitu selalu menampilkan wayang kulit secara rutin 2 kali dalam sebulan ini juga bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat untuk ikut menjadi bagian dari padasa untuk melestarikan wayang kulit.. Tidak hanya tampil di Kelurahan Lempake saja tetapi tetapi di berbagai tempai di Kalimantan Timur. Ini juga

(12)

bertujuan untuk mengembangkan paguyuban wayang kulit agar bisa di kenal di berbagai penjuru Kalimantan Timur.

Berdasarkan dengan hasil wawancara tersebut maka fakta ini sesuai dengan pendapat yang di kemukakan oleh Allison dan Kaye (2004:3) yang menyatakan “strategi adalah prioritas atau arah keseluruhan yang luas yang harus diambil oleh organisasi.” Strategi juga merupakan pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi. Dimana paguyuban ini telah melakukan strategi terbaik untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian wayang kulit tersebut dengan penampilan rutin setiap bulannya dengan harapan ada masyarakat yang tertarik untuk ikut belajar dan ikut berkontribusi dalam mengembangkan kesenian wayang ini agar tidak punah.

Culture Knowledge

Culture Knowledge ini di lakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat di fungsionalkan kedalam banyak bentuk. Tujuannya untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Paguyuban padasa ini pernah melakukan siaran radio guna membuat suatu informasi adanya paguyuban wayang kulit di Kota Samarinda ini. Tetapi hanya saja program ini tidak berkelanjutan dan belum ada inovasi baru yang di keluarkan oleh paguyuban padasa dalam mempublikasikan informasi berbasis online tentang wayang kulit di kelurahan lempake. sejauh ini padasa mempromosikan wayang kulit hanya melalui antar individu atau antar kelompok kesenian saja.

Strategi Cultute Knowledge sebagai utama dalam mentransformasi pengetahuan wayang kulit kepada generasi mud aitu ternyata mengalami kendala sehingga generasi muda tidak mengetahui lagi apa maksud makna/pesan dari kesenian wayang kulit ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas mengenai Culture Experience dan Culture Knowledge yang di lakukan padasa sesuai dengan rumus POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controling) yang di kemukakan oleh Gorge R. Terry, 1958 dalam buku Principles of Management (Sukarna, 2011:10). Dimana padasa ini telah melakukan perencanaan yang di organisasi lalu di lakukan dengan sangat maksimal untuk mencapai suatu tujuan.

Perbandingan antara penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan hasil penelitian yang relevan sebelumnya maka dapat ditemukan persamaan pada kedua penelitian tersebut. Persamaan dari kedua penelitian ini dalam melestarikan kesenian yaitu keduanya mempunyai semangat dan kekompakan anggota dan antusiasme masyarakat dalam menyaksikan kesenian ini masih tinggi. Perbedaan dari kedua penelitian ini adalah dimana kelompok kesenian kenanthi melakukan kaderisasi kepada kaum muda atau remaja dan mendirikan kesenian kenanthi khusus pemuda.

(13)

Faktor penghambat

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan maka pengertian dari hambatan sesuai dengan yang dijelaskan oleh informan bahwa yang menjadi faktor penghambat dalam hal ini yaitu dana dan kurangnya partisipasi generasi muda.

Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa antara hasil wawancara peneliti dengan penelitian yang relevan sebelumnya keduanya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu sama-sama memiliki dana yang minim. perbedaanya dari kedua penelitian ini yaitu kesenian kenanthi dan kesenian lengger masih memiliki banyak peminat dari generasi muda nya sedangkan kesenian wayang kulit padasa ini sangat kurang partisipasi dari generasi muda. Faktor pendukung

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendukung atau pendorong memiliki arti suatu hal atau kondisi yang dapat mendorong atau menumbuhkan suatu kegiatan. Dalam hal ini sesuatu yang dapat mendukung dalam pelestarian kesenian wayang kulit berdasarkan hasil penelitian dari Bapak Sukardi bahwa yang menjadi faktor pendukung dari yakni semangat dan kekompakan para anggota dari padasa dan juga dukungan dari masyarakat sekitar masih tinggi. Dalam hal ini masyarakat memberikan dukungan dengan cara menonton setiap pentas ataupun latihan dari anggota padasa ini.

Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa hasil wawancara peneliti dengan penelitian sebelumnya keduanya memiliki faktor pendukung yang sama. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Strategi yang dilakukan padasa dalam pelestarian kesenian wayang kulit melalui Culture experience yaitu dengan cara rutin mengadakan latihan setiap 2 kali dalam sebulan. padasa juga melakukan pelestarian melalui culture knowledge dengan cara menyebar luaskan adanya paguyuban padasa melalui invididu ke individu lain atau antar kelompok kesenian dan juga menginformasikan wayang kulit melalui siaran radio tetapi tidak berjalan dengan maksimal.

2. Faktor penghambat yang dialami oleh padasa dalam pelestarian kesenian wayang kulit ini diantaranya yaitu, masalah pendanaan yang kurang mencukupi untuk mengembangkan kesenian wayang kulit ini, juga belum adanya campur tangan dari pemerintah dan kurangnya partisipasi dari generasi muda untuk melestarikan kesenian wayang kulit tersebut.

3. Beberapa faktor pendukung dalam pelestarian kesenian wayang kulit ini diantaranya yaitu adanya partisipasi serta rasa memiliki dari pelaku kesenian

(14)

sertaan dalam mengikuti latihan dan pementasan kesenian wayang kulit, ikut menjaga dan memelihara berbagai alat dan perlengkapan kesenian wayang kulit, banyaknya dukungan dari masyarakat sekitar yang masih menyukai kesenian wayang kulit dan masih banyaknya penonton dalam setiap pementasan wayang kulit di gelar.

Saran

1. Kepada Pemerintah dibidang Pariwisata dan kebudayaan agar dapat bisa terlibat membantu pelestarian kesenian wayang kulit sebagai salah satu kesenian tradisional Indonesia dengan memberikan pendanaan agar paguyuban padsa bisa lebih maju serta memberikan wadah kepada paguyuban padasa untuk menampilkan kesenian tersebut. Agar kesenian wayang kulit di Samarinda ini bisa lebih di kenal.

2. Kepada para pelaku seni agar dapat terus aktif dan memiliki semangat dalam berkarya serta dapat memunculkan inovasi baru yang dapat membawa padasa lebih maju dan juga mampu mengajak generasi muda untuk dapat ikut serta dalam pelestarian kesenian wayang kulit ini.

3. Kepada masyarakat Kelurahan Lempake agar dapat bekerjasama dalam mengembangkan dan melestarikan kesenian wayang kulit dan selalu memberikan dukungan positif dan memberikan apresiasi kepada para pelaku seni untuk terus berkarya.

4. Kepada orang tua diharapkan dapat memperkenalkan kesenian-kesenian tradisional dari daerah masing-masing agar anak-anak dapat terbiasa dengan kesenian terebut dan mempunyai rasa kepemilikan di dalam dirinya untuk tetap melestarian kesenian-kesenian tradisional daerah.

5. Kepada generasi muda agar dapat mempelajari kesenian wayang kulit dan berkontribusi dalam pelestarian kesenian wayang kulit agar kesenian ini tidak punah.

6. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan bisa menjadikan tulisan ini acuan untuk penelitian serupa dan diharapkan penelitian selanjutnya dapat memngembangkan penelitiannya sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Agus, Budi Wibowo. 2014 “Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis Masyarakat (Kasus Pelestarian Benda/Cagar Budaya Gampong Pande Kecamatan Banda Aceh Provinsi Aceh)”. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, volume 8, 58-71.

Encang, saepudin. 2017 “Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Sunda Melalui Kaulinan Barudak Lembur Di Kabupaten Tasikmalaya”. Jurnal Metahumaniora, Vol.7, Nomor 1 April 2017:20-31.

(15)

Jatmiko, Rammad Dwi. 2003. Manajemen Stratejik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press

Kapalaye, Ki Ageng. 2010. Kamus Pintar Wayang; Dari Versi India Hingga Pewayangan Jawa Istilah, Pengertian dan Filosofinya, Yoyakarta: Laksana Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta Agus

M. Hardjana. (2003)

Miles, Mattew B dan A. Michael Huberman. (2007). analisis Data Kualitatif, Buku sumber tentang metode-metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Mari, Kubiyanto. 2015 “Upaya Mencegah Hilangnya Wayang Kulit sebagai Ekspresi Budaya Warisan Budaya Bangsa”. Jurnal hukum & Pembangunan. Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia

Indonesia

Setiadi, elly M.,2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta:Kencana .

Seabani, Beni Ahmad, 2016. Perspektif Perubahan Sosial. Bandung: CV.Pustaka Setia.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabet.

Sukarna. 2011. Dasar-Dasar Manajemen. CV. Mandar Maju. Bandung.

Setyo Budi, Wayang-wayang Katolik Surakarta; Spesifikasi dan Karakteristiknya. (Bandung: Proyek Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Nasional, 2002).

Pemerintah Indonesia. 2017. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan No.5 Tahun 2017. Sekertariat Negara. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Proposal pembangunan Pagar Keliling SMAN 1 Rantau melalui Anggaran Dinas Proposal pembangunan Pagar Keliling SMAN 1 Rantau melalui Anggaran Dinas Pendidikan

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan tinjauan pustaka di atas diperoleh bahwa efektivitas pembelajaran matematika siswa kelas.. Hal ini disebabkan karena

Hal ini sesuai dengan hasil uji kesesuaian distribusi Kolmogorov-Smirnov Z yang menyatakan bahwa distribusi diameter setiap jenis pada lokasi yang sama

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan pemberian MP-ASI di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus tahun 2011

Karena metode numerik menggunakan pendekatan untuk mencari penyelesaian suatu persoalan matematika, maka terdapat perbedaan antara jawaban pendekatan tadi dengan

REKAPITULASI LAPORAN REALISASI PENYERAPAN ANGGARAN DIPA SATUAN KERJA BULAN DESEMBER TAHUN 2020.. NO

Modifikasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan dan aplikasinya sebagai pengikat logam berat Hg,Pb, dan Cd pada daging kerang hijau (perna viridis linn)

Hasil dari proses identifikasi risiko di BTPN terdapat tiga risiko utama dengan macam risikonya yang terkait, pertama yaitu risiko kredit antara lain risiko pinjaman, risiko