i
KAJIAN TEOLOGI POLITIK TERHADAP SIKAP MAJELIS GEREJA HKBP PONDOK UNGU PERMAI MENGENAI POLITIK IDENTITAS PARA CALEG DI
PEMILU 2019 Oleh, Bilardo Silitonga
712015104 TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas cinta kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik. Penulis bersyukur karena Tuhan selalu memberikan hikmat, pengetahuan, dan tanggung jawab, serta kesehatan selama menempuh pendidikan Strata Satu di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Pencapaian penyelesaian Tugas Akhir ini adalah wujud campur tangan Tuhan selama proses perkuliahan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol).
Tentu tidaklah mudah bagi penulis untuk sampai pada hasil akhir ini, butuh kerja keras dan ketekunan dalam menyelesaikan proses yang panjang dalam menempuh pendidikan Sarjana Sains Teologi. Keberhasilan yang penulis raih dalam penyusunan tugas akhir tak lepas dari doa, perhatian, dukungan, bimbingan, kasih sayang serta ilmu dari berbagai pihak yang sangat penulis cintai dan yang juga mencintai penulis.
Penulis berharap bahwa Tugas Akhir ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagai pembaca, untuk dapat memahami peran pendamping hidup pendeta dalam kehidupan gereja, terkhususnya bagi jemaat. Hal ini tentunya akan membangun gereja, terkhususnya bagi jemaat ke arah yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa Tugas akhir ini tidak sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak guna membantu penulis dalam mengevaluasi ketidaksempurnaan tersebut. Terima kasih dan Tuhan memberkati.
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus yang adalah sumber hikmat dan pengetahuan yang telah memampukan penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, hingga memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol).
2. Keluarga tercinta, terkhususnya orang tua, Duma Hutabarat, yang selalu memberi dukungan doa, kasih sayang, motivasi, semangat dan materi kepada penulis selama menempuh hingga menyelesaikan pendidikan. Kepada ka Erna, ka Rebeka, Lae Christian, Mora, Maria, dan semua keluarga yang juga selalu memberikan dukungan baik itu moral dan moril sehingga dapat menyelesaikan pendidikan.
3. Seluruh angkatan 2015, dosen, pegawai dan staff tata usaha serta cleaning service Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana atas seluruh pelayanan, kerja sama, dan dukungan bagi kami, khususnya penulis selaku mahasiswa/i Fakultas Teologi.
4. Pdt. Dr. Tony Tampake dan Pdt. Nimali Fidelis Buke, M.A selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan penuh ketulusan serta tanggung jawab untuk membimbing, menuntun, dan mengarahkan, serta memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
5. Keluarga Pdt. Berbic Dafros Sitompul,S.Th, M.M / Br. Siahaan selaku supervisor lapangan PPL X atas seluruh dukungan dan bimbingan selama penulis melakukan proses PPL, tidak hanya sebagai upaya memenuhi tuntutan pendidikan, tetapi juga sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan lapangan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
6. Seluruh majelis dan jemaat HKBP Pekalongan yang menjadi tempat bagi penulis mendapatkan berbagai pembelajaran untuk menjadi seorang pendeta yang dapat melayani dengan baik.
7. HKBP Pondok Ungu Permai yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk mengembangkan iman dan yang telah menjadi tempat pengumpulan data untuk penulisan Tugas Akhir.
viii
10. Henny Lydia Dabukke atas segala dukungan yang diberikan, baik itu doa, perhatian, waktu, dan kasih sayang serta moril bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.
11. Sahabat-sahabat di Salatiga, Fritles “Boy Kamandanu” Silitonga, Vijay Pandiangan, Ibrani Gultom, Will Natanael Simanjuntak, Asido Doardo Simanjuntak, Yusuf Putra Munthe dan semua orang-orang terdekat atau lembaga terdekat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas seluruh dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis.
ix
MOTTO
“Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN,dan mengenal Yang
Mahakudus
adalah pengertian.
”x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALITI DAN PUBLIKASI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
MOTTO ... ix DAFTAR ISI ... x ABSTRAK ... xii Latar Belakang ... 1 Konsep Identitas... 6 Politik Identitas... 8 Teologi Politik... 10
HKBP Pondok Ungu Permai: Sejarah Singkat... 11
Politik Identitas di Jemaat HKBP Pondok Ungu Permai... 12
xi
Kajian Teologi Politik terhadap Politik Identitas... 16 Kesimpulan & Saran... 20
xii
ABSTRAK
Penelitian ini berhubungan dengan sikap majelis gereja yang dilihat dari realita yang ada di Jemaat HKBP Pondok Ungu Permai terhadap politik identitas di Pemilu 2019. Penelitian ini menggunakan teori Karolin Prasad tentang politik identitas yang mengatakan bahwa politik identitas adalah suatu cara yang digunakan untuk memperoleh keadilan dari rasa ketertindasan dari suatu kelompok yang ada di masyarakat berdasarkan kesamaan identitas yang terpinggirkan, dan Eka Darmaputera tentang teologi politik yang mengatakan bahwa teologi politik adalah bentuk kritik yang menyatakan agar gereja secara konsisten melaksanakan fungsi kritisnya dengan terus menerus meletakkan situasi serta realitas politik yang ada di bawah terang penghakiman kerajaan Allah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dari data dan fakta yang ada di lapangan tentang sikap majelis gereja HKBP PUP mengenai politik identitas di pemilu 2019. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, dengan teknik pengumpulan data yaitu observasi dan wawancara. Tujuan penulis menggunakan metode ini yaitu, agar penulis dapat memperoleh informasi yang sesuai dengan fakta beserta gambaran tetang sikap majelis gereja di HKBP Pondok Ungu Permai mengenai realita politik yang terjadi di Indonesia terlebih di lingkungan tempat gereja tersebut berdiri dan melakukan pelayanan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa, sikap gereja yang diwakili oleh majelis gereja tersebut merupakan suatu bentuk kesadaran akan keberadaan gereja di tengah-tengah dunia dan turut serta dalam kehidupan di dunia ini untuk menciptakan damai sejahtera dan terus mengkaji agar tidak terpengaruh dibawah kekuasaan tertentu dan berpusat pada Yesus Kristus.
1
Latar Belakang Masalah
Gereja adalah persekutuan orang percaya yang hidup di dalam dan oleh Yesus Kristus. Persekutuan yang terjadi di dalam gereja terbentuk sebagai suatu respon terhadap panggilan dan pengutusan Kristus, dengan tujuan agar orang percaya hidup di dalam Dia.1 Tujuan pemanggilan ini menyatakan bahwa gereja merupakan tubuh Kristus dan umat Allah di dunia karena itu, interaksi dengan dunia sekitarnya termasuk dunia politik merupakan suatu keharusan.2 Hal ini
sesuai dengan isi dokumen yang dihasilkan oleh para gereja yang tergabung dalam persekutuan gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dalam dokumen yang dihasilkan tersebut gereja melihat dirinya sebagai yang diutus ke dalam dunia untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial-politik dan berbagai budaya tertentu.3 Gereja yang mengabdi kepada Allah dalam Yesus Kristus juga harus bersifat politis dan bukan suatu komunitas iman eksklusif dan hegemonis, sebab gereja yang apolitis adalah gereja yang tidak setia terhadap panggilan dari dan kepada Allah.4
Gereja sebagai komunitas iman politis sejajar maknanya dengan penggunaan kata dalam bahasa Yunani yaitu “Ekklesia”, yang merupakan suatu istilah sekuler dan datang dari lingkungan serta konteks sosial pada jaman perjanjian baru.5 Menurut John W. De Gruchy, Ekklesia merupakan istilah politis ketimbang kultis yang menjelaskan tentang persekutuan warga untuk melaksanakan tanggung jawab kewarganegaraan mereka. Pada masa itu orang Kristen Yunani menggunakan kata tersebut untuk memberikan suatu analogi dengan dewan sekuler yang terdiri dari para warga, dengan implikasi bahwa orang Kristen bertanggung jawab untuk menjamin agar bukan hanya paguyuban mereka, melainkan juga masyarakat lebih luas, diperintah dengan baik.6 Dari penjelasan istilah tersebut kehadiran gereja dalam politik merupakan sebuah keharusan. Keterlibatan gereja dalam bidang politik tidak untuk mendapatkan kekuasaan dalam struktur pemerintahan, tetapi cenderung menekankan politik moral, yakni: menempatkan kebijakan-kebijakan politis di bawah penilaian moral yang mengacu kepada
1 Darwin Lumbantobing (ed). 2002. Gerak Persekutuan Eskatologis; Ekklesiologi,jabatan, dan struktur gerea.
(Pematang Siantar: Percetakan HKBP), 39.
2 Julianus Mojau. 2009. Teologi Politik Pemberdayaan. (Jogjakarta: Kanisius), 83. 3 Andreas. A. Yewangoe. Gereja dan Politik. 2019.
https://leimena.org/blog/2016/08/23/gereja-dan-politik-di-indonesia-1/ diakses pada tanggal 13 mei 2019, pukul 19:00 WIb
4 Julianus Mojau. Teologi Politik Pemberdayaan, 83.
5 Darwin Lumbantobing (ed). Gerak Persekutuan Eskatologis; Ekklesiologi,jabatan, dan struktur gereja, 41. 6 John W. De Gruchy. 2011. Agama Kristen dan Demokrasi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 56.
2
hak dasar pribadi manusia oleh keselamatan jiwa manusia. Gereja perlu secara kontinuitas menilai dan menyikapi semua perangkat konstitusi dan hukum serta perilaku penyelenggaraan kekuasan dalam negara berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima sebagai perintah dari Tuhan.7 Gereja dipanggil dan diutus untuk menyatakan kerajaan injil Allah kepada semua orang, oleh karena itu pelayanan politik gereja tidak eksklusif untuk kalangan warga gereja melainkan demi terwujudnya perdamaian, kesejahteraan dan keadilan bagi semua.8
Melihat konteks Indonesia, situasi politik yang dihadapi oleh gereja pada saat ini adalah demokrasi politik pasca reformasi. Pasca reformasi iklim politik demokrasi di Indonesia bangkit kembali. Kebangkitan ini ditandai dengan adanya pemilu yang telah terselenggara sebanyak lima kali yang dimulai tahun 1999. Pemilu yang terselengara di Indonesia pasca reformasi tidak hanya didominasi oleh tiga partai (PPP, PDI, dan GOLKAR) saja, tetapi juga diikuti beberapa partai baru yang meramaikan kontestasi pemilu. Dimulai tahun 2004 – 2019, terjadi kembali pembaharuan di bidang penyelengaraan pemilu yaitu dilaksanakannya pemilihan presiden secara langsung oleh masyarakat.9
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia pasca reformasi dapat dikatakan berjalan dengan baik, walaupun ada beberapa kekurangan yang harus diperbaiki.10 Terlebih penyelenggaraan pemilu Tahun 2019, dimana penyelenggaraan pemilu ini terasa beda dengan sebelumnya. Tahun 2019 ini untuk kali pertamanya dalam sejarah, digelarnya pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak pada hari yang sama. Pemilu 2019 ini dikenal juga dengan sebutan “Pemilu Lima
Kotak” karena pada saat yang sama dilakukan pemilihan presiden, pemilihan DPR-RI, DPR
Provinsi, DPR Kabupaten/Kota dan pemilihan DPD.11 Akan tetapi, dalam penyelenggaraan pemilu tahun ini, ada masalah yang sangat berbahaya yang mengintai persatuan dan kesatuan Indonesia. Permasalahan itu adalah maraknya penggunaan politik identitas oleh para tokoh politik yang terjun ke dalam perpolitikan Indonesia.
7 Ebenhaizer I Nuban Timo. 2016. Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi Pancasila; Eklesiologi dengan cita rasa
Indonesia. (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana), 366.
8 Zakaria J.Ngelo. 2013. Teologi Politik. (Makassar: Oaese Intim), 296 9 Aswab Nanda Pratama. Rekam Jejak Pemilu dari masa ke masa. 2019.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/06/15380041/rekam-jejak-pemilu-dari-masa-ke-masa?page=all diakses pada tanggal 13 mei 2019, pukul 20:00 WIb
10 Rumah Pemilu Admin. Menelusuri Jejak Pemilu Indonesia. 2012.
https://rumahpemilu.org/menelusuri-jejak-pemilu-indonesia/ diakses pada tanggal 13 mei 2019, pukul 20:00 WIb
3
Politik identitas menurut Karolina Prasad, awalnya adalah suatu jalan yang digunakan oleh kelompok yang didasari pada kesamaan identitas yang bertujuan untuk memperoleh keadilan, oleh karena kelompok tersebut memperoleh suatu keterasingan atau penindasan.12 Akan tetapi, seriring berjalannya waktu, politik identitas berubah maknanya secara substantif, menurut Kemala Chandakirana adalah politik identitas adalah suatu alat digunakan untuk menggalang kekuatan politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Politik identitas ini didasari simbol-simbol kesukuan atau agama yang melekat pada sesorang untuk menjadi kekuatan politik.13 Perkembangan politik identitas di tengah-tengah masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu kali ini semakin memperparah keterbelahan atau polarisasi masyarakat ke dalam dua kubu sangat berbahaya. Pasalnya, Indonesia memiliki catatan konflik yang terjadi akibat latar belakang perbedaan identitas, seperti misalnya kasus kerusuhan di Ambon.14 Hal ini nyata ketika melihat Pilkada DKI Jakarta 2017 yang memenangkan pasangan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno dengan menggunakan politik identitas dalam hal ini agama untuk memperoleh suara pemilih.15 Dari kenyataan tersebut politik identitas ingin kembali dipakai sebagai salah satu cara untuk merebut suara pemilih terutama di pemilu tahun 2019.
Penggunaan politik identitas di dalam pemilu 2019 yang dilakukan oleh para tokoh politik adalah berusaha berkampanye dengan menggunakan identitas agama dan budaya, sangat terlihat di dalam pemilihan caleg. Salah satu sasaran penggunaan politik identitas adalah gereja-gereja yang berdasarkan kesukuan. Hal ini terlihat di gereja-gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi, dimana banyak caleg-caleg terutama dari suku Batak berusaha memperkenalkan diri dan memberikan suatu perhatian terhadap gereja dan warganya dengan tujuan untuk mencari simpati dan memperoleh suara dari warga jemaat.16
HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi merupakan gereja yang terbentuk berdasarkan kesukuan (Batak) dan salah satu dari berbagai banyak denominasi gereja yang terletak di wilayah Kaliabang Tengah, Bekasi Utara. Wilayah Bekasi Utara sendiri merupakan daerah berisikan
12 Karolina Prasad.2016. Identity Politics and Elections in Malaysia and Indonesia.(New York: Rotledge), 3. 13 Muhtar Haboddin, 2012, Jurnal Studi Pemerintahan; Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Vol 3. 14 Erdianto, Kristian. Pemilu 2019 Tak lepas dari Politik Identitas dan hoaks. 2019.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/09/21311311/pengamat-pemilu-2019-tak-lepas-dari-politik-identitas-dan-hoaks. diakses pada tanggal 13 mei 2019, pukul 20:00 WIb
15 Arya Fernandes.Politik Identitas Dalam Pemilu 2019, 4.
4
masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai kumpulan suku dan agama.17 Dalam perjalanan perkembangannya ada beberapa hal tantangan dan rintangan yang dialami oleh jemaat gereja. Beberapa tantangan dan rintangan yang dialami oleh jemaat bukan hanya datang dari pihak jemaat, tetapi juga dari masyarakat sekitar yang intoleran dan pemerintah setempat. Tantangan dan rintangan yang dialami berupa: pelarangan pelaksanaan ibadah (Melalui surat keputusan oleh pemerintah Bekasi Utara dan Kaliabang Tengah), pelarangan pendirian rumah ibadah, pengrusakan rumah ibadah dan penganiayaan fisik terhadap majelis gereja.18 Permasalahan yang
terjadi dan dialami oleh warga gereja tersebut menjadi salah satu kunci oleh para calon anggota legislatif untuk memperoleh suara dalam kontestasi pemilu, salah satu janji yang diucapkan kepada warga jemaat dan pihak gereja adalah dengan memperjuangkan izin untuk mendirikan rumah ibadah, dan melaksanakan ibadah. Tindakan yang dilakukan oleh caleg dapat diindikasikan memainkan isu politik identitas dengan memanfaatkan identitas orang Batak yang memiliki agama Kristen protestan dan rasa ketertindasan dengan berusaha menciptakan gagasan keadilan yang akan diperjuangkan oleh caleg terhadap warga jemaat HKBP PUP. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suara pemilih dari warga gereja merupakan suatu komoditas besar bagi para caleg-caleg dari suku Batak untuk memperoleh suara dengan menggunakan kesamaan identitas suku, agama, dan budaya. Terlebih gereja HKBP PUP merupakan suatu jemaat menengah yang memiliki 335 anggota keluarga dan mencapai 1340 jiwa.19
Dalam menghadapi fenomena yang makin berkembang ini, gereja sebagai komunitas iman yang politis harus mengambil sikap agar isu-isu politik identitas yang mampu memecah belah persatuan dan kesatuan ini tidak semakin berkembang dan menjadi suatu budaya terutama di dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2019. Mengingat politik yang merupakan bagian dari medan pelayanan gereja, dan dalam kajian teologi poltik menekankan agar gereja secara konsisten melaksanakan fungsi kritisnya dengan terus- menerus dalam realitas politik yang ada di bawah penghakiman kerajaan Allah.20 Sehingga, tugas gereja sebagai mitra Allah untuk
menyelenggarakan kehendak Allah dengan mengusahakan perdamaian dapat terlaksana.21 Dari
17 Tim Sejarah Gereja HKBP Pondok Ungu Permai. 2015. Eben-Haezer: Peringatan sejarah 25 Tahun (1990-2015)
Gereja HKBP Pondok Ungu Permai. (Jakarta: Temprina Media Grafika). 28
18 Tim Sejarah Gereja HKBP Pondok Ungu Permai. 2015. Eben-Haezer: Peringatan sejarah 25 Tahun (1990-2015)
Gereja HKBP Pondok Ungu Permai.13-17
19 Wawancara dengan pendeta HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi. Pdt. Ferianto Tambun. S.Th. 20 Eka Darmaputera, dkk.2004. Sebuah Bunga Rampai Yesus dan Politik. (Jakarta: Komunitas Nisita). 5 21 Zakaria J.Ngelo. Teologi Politik. 295
5
latarbelakang tersebut, penulis ingin meneliti bagaimana sikap gereja yang diwakilkan majelis gereja melalui “kajian teologi politik terhadap sikap majelis gereja HKBP Pondok Ungu Permai mengenai politik indentitas para caleg di pemilu 2019”.
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana Kajian Teologi Politik terhadap sikap majelis gereja HKBP Pondok Ungu Permai mengenai politik identitas para caleg di pemilu 2019? Berdasarkan rumusan masalah yang ingin diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Mendeskripsikan kajian teologi politik terhadap sikap majelis gereja mengenai politik identitas para caleg di pemilu 2019.
Dalam melakukan penelitan dan pengumpulan data penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data yang bersifat kata-kata, angka, dsb.22 Sedangkan, metode penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan atau penelusuran untuk memahami suatu gejala sentral yang dimulai dari hal-hal yang umum menuju hal yang khusus.23 Teknik pengumpulan data yang dugunakan dalam penelitian ini adalah:
Wawancara, teknik wawancara mendalam (in depth-interview). Metode wawancara
mendalam adalah usaha untuk mencari dan memperoleh informasi keterangan dengan cara bertatap muka dengan sumber informasi dan biasanya dilakukan secara dua arah.24
Studi Dokumentasi, teknik pengumpulan data dan fakta dari hal-hal yang tertinggal seperti arsip surat, foto dan berbagai kegiatan yang menjadi suatu dokumen.25
Analisis data adalah penyusunan secara sitematis dari data-data yang diperoleh dan penelitian yang bertujuan agar data yang diperoleh mudah dipahami serta dapat dibagikan kepada orang lain secara sederhana.26 Dalam proses penyajian data agar mudah dipahami ada tiga langkah yang harus diperhatikan. Tiga langkah tersebut menggunakan langkah Analysis Interactive model dari Mile dan Huberman. Ketiga langkah tersebut yaitu27:
Reduksi Data yang bertujuan untuk semakin memperarah hasil penelitian dengan cara menggolongkan bahan, membuang data yang tidak perlu agar suatu kesimpulan dapat diverifikasi.
22 Albi Anggito & Johan Setiawan, S.Pd. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif (Jawa Barat: CV Jejak), 7. 23 J. R. Raco 2008. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakter dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo), 22. 24 Burhan M Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif (Jakarta : Kencana Prenada Media Group), 111.
25 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. (Bandung: Alfabeta), 224 26 Sugiyono, Metode, 244
6
Penyajian Data bertujuan untuk menemukan pola-pola yang memiliki makna dan memberikan suatu penarikan kesimpulan dari suatu rangkaian bagian informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan.
Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan adalah suatu bagian dari kegiatan konfigurasi yang utuh.
Penelitian ini akan dilakukan di Gereja HKBP Pondok Ungu Permai yang beralamat di Jl. Tanggul Pengarengan RT 05 RW 28 Bekasi Utara No. 3
Konsep Identitas
Identitas adalah hal yang siginifikan dalam kehidupan manusia, yang pembentukannya dapat terbentuk secara parsial maupun interaksial. Secara filosofis, konsep ini memiliki dua pengertian: (1) singleness over time dan (2) sameness amid difference yang menunjukkan bahwa ada persamaan dan perbedaan dalam pengertian identitas. Dalam kategorinya identitas terbagi ke dalam dua hal utama, yakni: identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan — citizenship).28 Secara etimologis, identitas
berasal dari kata identity yang dialihbahasakan menjadi identitas, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) merujuk pada ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri.29 Dengan
demikian identitas merupakan keadaan manusia yang mampu menemukan berbagai jenis ciri-ciri khas yang dimiliki dari penggabungan sisi dalam dari dirinya dengan kondisi luar dirinya dan lingkungan sosial.
Ahli ilmu sosial meyakini bahwa identitas adalah hasil sebuah konstruksi sosial, meskipun banyak jenis perspektif ini yang menyatakan identitas adalah sumber dan sekaligus bentuk makna dan pengalaman yang bersifat subjektif dan intersubjektif. Chris Barker mendefinisikan identitas merupakan suatu hal yang bersifat kultural dan sosial. Definisi tersebut dilandaskan dengan dua alasan. Pertama, ide tentang apa dan siapakah seseorang yang dasarnya merupakan persoalan kultural. Seseorang adalah hasil dari budaya yang berada di ruang lingkup kehidupannya. Kedua, bahasa dan tindakan sosial sebagai asal tindakan identitas yang dasarnya
28 Edwi Arief Sosiawan dan Rudi Wibowo, “Representasi Politik Identitas Dalam Kampanye Online Calon Legislatif
Politik Peserta Pemilu 2014”. Vol 13. Nomor 03, September-Desember, 236
29 KBBI Daring, “Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBB)” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/identitas , diakses pada
7
bersifat sosial. Bahasa tidak dapat berfungsi tanpa adanya suatu perkumpulan yang menerima, melakukan dan mendukungnya.30
Identitas yang merupakan hasil sebuah konstruksi sosial, juga memiliki dua perspektif lain yang memiliki pandangan berbeda tentang identitas dari perspektif primordialis dan instrumentalis. Perspektif primordialis meyakini identitas sebagai sebuah “penanda” yang dimiliki melalui asal usul keturunan dan bersifat sebagai pemberian. Perspektif instrumentalis menyatakan identitas sebagai hasil mobilisasi dan manipulasi yang tidak pernah tunggal melainkan majemuk. Identitas akan selalu menyesuaikan konteks sosial yang berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, identitas adalah sebuah gejala-gejala umum yang terbentuk oleh berbagai bagian (fisik dan sejarah) serta melalui interaksi sosial. Susunan identitas dapat mengambil bentuk yang sangat beragam: dari yang fisik sampai yang bersifat sosial seperti sejarah, nasionalitas, gender, etnisitas, agama, tradisi, bahasa dan dialek, kelas dan gaya hidup, serta ideologi, kepercayaan dan sentimen. Oleh karena itu, walaupun merupakan sebuah konstruksi sosial, identitas selalu memiliki aspek politik—baik sebagaimana ditemukan dalam praktik maupun wacana. Fungsi terpenting identitas adalah sebagai pembeda dan sekaligus pengada. Selain itu, identitas juga membantu terciptanya solidaritas dan integrasi sosial.31
Sebagai pokok kajian, studi tentang identitas dapat dilihat dari tiga sudut yang berbeda:
legitimising identity, resistance identity, dan project identity. Pertama, Legitimising identity
menawarkan kajian identitas dari sudut pandang kelompok atau lembaga dominan yang bertujuan mendapatkan rasionalisasi dan justifikasi atas dominasi dan otoritasnya terhadap satu yang lain. Kedua, Resistance identity mengungkap bagaimana cara melihat identitas dari sudut pandang kelompok yang tertindas, dimarginalisasi, dan atau didevaluasi oleh kelompok dominan. Ketiga, Project identity memfokuskan isu yang berkaitan dengan perubahan identitas sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk sebuah perubahan. Resistance identity dan project
identity sangat erat dengan tema politik identitas. Secara sederhana dapat disimpulkan, studi
tentang identitas berkaitan dengan usaha untuk mengenali “siapa kita dan mereka” dan secara timbal balik berhubungan dengan bagaimana “orang memahami mereka sendiri dan orang lain”.
30 Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London: SAGE Publications Ltd, 2000), 1. 31 Purwanto, “Politik Identitas dan Resolusi Konflik Transformatif”. Vol 05, Nomor 01, Juni2015, 63.
8
Oleh sebab itu, dalam identitas tidak lepas pada komponen yang menceritakan diri sendiri dan orang lain.32
Politik Identitas
Politik identitas sesungguhnya bukan merupakan suatu fenomena yang baru di dalam kehidupan bermasyarakat. Fenomena baru ini kembali mencuat ke permukaan publik, setelah terjadi konflik dan kekerasan yang melibatkan berbagai kelompok etnis yang berbeda. Perkembangan politik identitas di tengah-tengah masyarakat tidak terkait dengan dengan salah satu sistem politik tertentu dan bahkan dalam sistem demokrasi sekalipun. Politik identitas menurut Karolina Prasad, awalnya adalah suatu jalan yang digunakan oleh kelompok yang didasari pada kesamaan identitas yang bertujuan untuk memperoleh keadilan, oleh karena kelompok tersebut memperoleh suatu keterasingan atau penindasan. Politik identitas dipahami sebagai partisipasi individu – individu dalam politik atas nama kelompok sosial tertentu.33 Dalam tulisan Stanley Aronowitz tentang The politics of identity: Class, culture, dan social movements, secara implisit politik identitas bisa dibagi dalam dua kategori, yakni: politik identitas lama yang isu – isunya fokus pada nilai lama modernitas – industrialisme dalam sistem kapitalis pasar dengan sebuah negara liberal yang menggaransikan demokrasi parlementariat dan hak – hak individu dimana identitas diarahkan untuk tujuan politis melalui kepentingan dan politis ekonomi. Kedua, politik identitas baru yang fokusnya pada politik baru yang terkait dengan identitas – identitas ras, gender, maupun agama.34
Beberapa ilmuwan sosial yang menjelaskan politik identitas adalah Iris Marion Young yang menjelaskan bahwa politik identitas merupakan mode of organizing yang terhubung secara intimasi dengan berbagai kelompok lainnya yang sama – sama mengalami represi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Todd Gitlin bahwa politik identitas adalah politik perjuangan untuk mengubah warna ketidaksetaraan. Dalgliesh mengatakan bahwa politik identitas adalah upaya untuk mengatasi kekosongan representasi politik atau dalam hal ini bentuk politik yang berupaya untuk mentransformasikan berbagai preferensi beragam dalam kebijakan - kebijakan dengan mengkoneksikan mereka ke dalam institusi – institusi representasif tanpa menggunakan kekerasan langsung. Menurut Kwahme Anthony Appiah terdapat tujuh cara untuk membedakan
32 Purwanto, “Politik Identitas dan Resolusi Konflik Transformatif”. 64.
33Karolina Prasad.2016. Identity Politics and Elections in Malaysia and Indonesia.(New York: Rotledge), 3. 34Laode Machdani Afala. 2018. Politik Identitas di Indonesia, (Malang: UB Press), 13.
9
politik identitas, yakni: pertama, terdapat konflik politik antara mereka yang berada di dalam dan di luar. Kedua, para politisi bisa memobilisasi identitas. Ketiga, negara bisa memperlakukan orang – orang yang memiliki identitas secara berbeda. Keempat, rakyat bisa mengejar politik pengakuan. Kelima, menjadi mikropolitik sosial yang memaksakan norma – norma dalam pengidentifikasian. Keenam, adanya identitas politik yang secara inheren sama dengan pengidentifikasian partai. Ketujuh, kelompok sosial bisa memobilisasi untuk merespon secara kolektif. Pandangan tersebut dengan demikian, secara eksplisit menjelaskan cara dimana identitas dipahami sebagai sesuatu yang politis dan bahwa identitas merupakan sebuah interaksi yang tidak bisa dipisahkan dari berbagai aspek lainnya apalagi aspek politik.35
Politik identitas di dalam suatu kajian ilmu politik dibedakan menjadi dua jenis yang pertama identitas politik dan politik identitas. Identitas politik merupakan suatu konstruksi yang dibangun oleh kepentingan subjek dalam suatu komunitas politik untuk menentukan suatu posisi, sedangkan politik identitas suatu sumber dan sarana yang mengacu pada mekanisme politik pengorganiasian identitas baik politik ataupun sosial.36 Politik identitas merujuk kepada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya ditekan, disembunyikan atau diabaikan, oleh kelompok dominan yang terdapat dalam demokrasi atau agenda politik kewarganegaraan yang diusung atas nama demokrasi yang lebih progresif. Tujuan politik identitas bukan hanya untuk mengambil bentuk pemisahan diri, melainkan untuk memungkinkan diterimanya perlakuan yang lebih adil atas dasar kebedaan yang melekat pada individu.37 Ada dua faktor yang membuat etnis dan agama menjadi muncul dan menarik untuk dipakai dalam proses politik. Pertama, ada semacam suatu kebutuhan untuk membela dan mempertahankan identitas yang ada pada suatu kelompok. Kedua, dalam proses politik yang kompetitif, kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh hari.38
Dalam konteks Indonesia, praktik politik identitas terlihat samar-samar bahkan hampir terlihat jelas dengan adanya pembentukan partai nasional yang berbasis agama, dan penetapan berbagai perda-perda syariah. Ujaran kebencian yang bersifat SARA yang digunakan sebagai
35Laode Machdani Afala, Politik Identitas di Indonesia, 15.
36 Muhtar Haboddin, “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”. Vol 03. Nomor 02, Februari 2013, 119. 37Purwanto, “Politik Identitas dan Resolusi Konflik Transformatif”,63.
38 Juhana Nasrudi dan Ahmad Ali Nurdin, Politik Identitas dan Representasi Politik: Studi kasus pada Pilkada DKI
10
alat untuk menjegal pihak lawan politik seperti yang marak terjadi saat pemilihan gubernur Jakarta kemarin. Selain itu, politik identitas juga digunakan sebagai salah satu strategi kampanye untuk para kandidat dalam Pemilu, dan juga menjadi alasan beberapa orang untuk memilih.39 Teologi Politik
Teologi politik adalah salah satu aliran dalam teologi yang membahas isu-isu teologi (Allah, manusia, gereja, keselamatan dan sebagainya) berdasarkan perspektif asumsi yang dikemukakan dalam kritik terhadap privatisasi. Kemunculan teologi politik dimulai pada sekitaran tahun 60-70an yang dibidani oleh Johan Metz dan Juergen Moltman. Aliran teologi ini ingin menekankan hakikat publik dari berita-berita eskatologi kristiani yang ingin menciptakan masyarakat baru. Menurut Eka Dharmaputera, Teologi politik muncul sebagai kritik dengan menyatakan bahwa tidak ada teologi yang apolitis, dalam hal ini teologi ingin mendesak gereja agar secara konsisten melaksanakan fungsi kritisnya, dengan terus menerus meletakkan situasi serta realitas politik yang ada di bawah terang penghakiman kerajaan Allah, serta mengorientasikan diri sebagai Allah yang selalu mengidentifikasikan diri dengan yang menderita dan dengan konsisten mengambil jarak dengan kewaspadaan terhadap kuasa dan kekayaan. Naluri teologi politik adalah untuk membedah, menguliti, menelanjangi kecenderungan-kecendrungan apakah terdapat tuntutan-tuntunan kesetiaan yang sepenuhnya merupakan hak mutlak Allah untuk mencegah terjadinya pemberhalaan manusia terhadap politik.40
Wacana teologi politik hendak menunjukkan suatu dinamika yang baru tentang politik. Teologi dilihat sebagai suatu hal yang bergejolak di dalam agama dan sebagai suatu bagian dari kegelisahan dalam nalar agama yang jangkauannya meluas sampai ranah politik. Dengan kata lain teologi politik adalah persilangan tanpa henti antara persekutuan agama dan komunitas politik, serta antara hal yang menyelamatkan dan kekuasaan. Hal ini untuk membuat tembusan antara kompromi formal agama dan politik meskipun telah terjadi pendewasan agama dalam masyarakat modern, kendati dunia politik telah menertibkan agama dengan menekankan dimensi pragmatiknya, tanpa basis yang melampaui batas apapun.41
39 Purwanto, “Politik Identitas dan Resolusi Konflik Transformatif”, 62.
40 Eka Darmaputera, Dkk. 2004.Sebuah Bunga Rampai Yesus dan Politik, (Jakarta: Nisita), 2. 41 Martin Lukito Sinaga, Teologi Politik di Bilik suara
https://nasional.kompas.com/read/2014/04/09/1014568/Teologi.Politik.di.Bilik.Suara?page=1, Diakses 28 juli 2019,2019 Pukul 10:00 Wib)
11
Gereja yang menjadi subjek utama dalam teologi politik dituntut agar secara konsisten melaksanakan fungsi kritisnya memiliki tujuan untuk kesaksian Injil kerajaan Allah mengenai kasih, keadilan, dan damai sejahtera dalam Kristus, serta terpanggil untuk melakukan transformasi kehidupan manusia pribadi maupun masyarakat. Konteks pelayanan politik gereja dewasa ini adalah mengembangkan demokrasi substansial melawan demokrasi prosedural transaksional. Demokrasi substansional diwujudkan dengan perhatian dan perjuangan para wakil rakyat serta pelaksana pemerintahan terhadap masalah-masalah masyarakat: menegakkan keadilan bagi semua kelompok yang diperlakukan tidak adil, mewujudkan perdamaian dan rasa aman dalam masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjaga kelestarian alam/lingkungan hidup.42
Gereja terpanggil untuk hidup dalam keseimbangan kekuatan antara masyarakat, agama dan negara menuju masyarakat sipil untuk melakukan transformasi politik dengan cara yang manusiawi untuk hidup dalam masyarakat majemuk. Untuk menjalankan peran politik yang transformatif tersebut gereja tak mungkin hidup dalam belenggu minoritas yang dapat melahirkan dua jenis ekstrem; pertama, hidup dalam ketakkutan dan kehilangan percaya; kedua, timbulnya sikap perlawanan terhadap kelompok lain dengan menggunakan kekerasan. Keterlibatan gereja dalam politik adalah untuk menegakkan dimensi moral dalam politik. Gereja-gereja harus menjadi penjaga yang efektif dalam dunia politik agar harga manusia tidak direduksi dan didistorsi, guna menciptakan kehidupan politik dengan landasan moral yang kuat, menjadi pengawal setia harkat dan martabat manusia yang dipertaruhkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.43
HKBP Pondok Ungu Permai: Sejarah Singkat
Gereja HKBP Pondok Ungu Permai (PUP) beralamatkan di daerah tanggul Pengarengan nomor 03 RT. 05/RW. 028, Kelurahan Kaliabang Tengah, Bekasi Utara, Jawa Barat. Gereja HKBP PUP terletak di wilayah tanggul pengairan, yang artinya tanah yang dipakai oleh gereja bukan milik pribadi melainkan tanah milik pemerintah (PU) yang berstatuskan pinjam pakai dan dimulai sejak tahun 2004. Gereja HKBP PUP merupakan salah satu dari berbagai banyak gereja
42 Zakaria D. Ngelow,”Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama – Peran Gereja Dalam Politik
Indonesia”. Vol. 12, No.12. Oktober 2014. 229.
43 Ferdinand Suleeman, dkk. 2004. Strugling In Hope: buku penghargaan untuk Pdt. Eka Darmaputera.(Jakarta:
12
dan denominasi yang terletak di wilayah Kaliabang Tengah. HKBP PUP melayani jemaat yang berdomisili mulai wilayah Jalan Raya Bekasi Pondok Ungu, Bungur, Taman Harapan Baru, Pejuang, Harapan Indah, JL. Raya Kaliabang Tengah, Nain, Perum. Pondok Ungu Permai dan sektor V, Perumahan Villa Gading Harapan dan sekitarnya yang terletak di wilayah babelan dan Ujung Harapan. Secara geografis gereja HKBP PUP di kelilingi oleh beberapa klinik kesehatan, Rumah sakit, kantor kelurahan, koramil, satu pos Polisi dan berdiri ke arah timur sekitar 2 Km dari komplek Pesantren At-Taqwa yang merupakan pesantren terbesar di daerah Bekasi.
Wilayah Bekasi Utara sendiri merupakan daerah yang berisikan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai kumpulan suku dan agama. Penduduk asli adalah sekitar adalah suku Betawi Bekasi, yang memiliki karakter berbeda dari suku Betawi yang tinggal di Jakarta dan cenderung lebih tertutup soal masalah keagamaan dan sosial. Penduduk asli Pondok Ungu merupakan penganut agama Islam yang taat dan bersifat tradisionil, hal ini bisa terlihat dari tingkat pendidikan orangtua yang masih banyak hanya tamatan Sekolah Dasar atau Madrasah. Salah seorang pendiri pesantren At-Taqwa dan sekaligus pahlawan nasional dari Bekasi yaitu KH Nur Ali merupakan pelopor pendidikan agama Islam yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan sosial poltik di daerah Bekasi, khsusunya bagi keberadaan tempat-tempat ibadah di daerah Bekasi yang harus mendapatkan izin dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat Islam. Hal ini merupakan salah satu tantangan khusunya bagi gereja HKBP PUP untuk bisa membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, sehingga keberadaan gereja bisa diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Data terakhir tentang keterangan jemaat yang menjadi bagian dari Gereja HKBP PUP mencapai 335 anggota keluarga (1340 jiwa), dan dipimpin oleh Pdt. Ferianto Tambun. S. Th. 44
Politik Identitas di Jemaat HKBP Pondok Ungu Permai
Gereja HKBP PUP adalah komunitas iman yang lahir atas kerinduan untuk bersekutu dengan sesama orang Batak yang tinggal di daerah perumahan Pondok Ungu Permai agar dapat mengikuti kebaktian dengan tata cara ibadah gereja HKBP. Dalam proses awal terbentuknya gereja, faktor identitas terutama kesukuan (Batak) dan agama (Kristen Protestan) menjadi suatu titik awal untuk memulai mengembangkan dan membangun komunitas agar semakin bertumbuh
44 Tim Sejarah Gereja HKBP Pondok Ungu Permai. 2015. Eben-Haezer: Peringatan sejarah 25 Tahun (1990-2015)
13
di dalam iman kepada Yesus Kristus. Gereja HKBP Pondok Ungu Permai merupakan gereja yang terbentuk berdasarkan identitas kesukuan (Batak) dan agama (Kristen Protestan). Akan tetapi, faktor utama yang menjadi dasar terbentuknya persekutuan tersebut di dasarkan oleh identitas kesukuan. Hal ini nyata dimana jauh sebelum terbentuknya gereja HKBP Pondok Ungu Permai telah banyak gereja dari berbagai denominasi telah berdiri di wilayah Bekasi Utara. Identitas sebagai orang Batak membuat gereja ini semakin banyak dan berhasil berkembang sebagai salah satu gereja dengan jumlah populasi jemaat terbanyak yang berada di lingkungan Bekasi Utara.45
Dalam proses perkembangannya gereja HKBP PUP menghadapi banyak pergumulan baik dari dalam lingkungan gereja ataupun dari luar gereja yang berkembang dari fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada umunnya. Salah satu permasalahan yang harus direspon dan disikapi oleh gereja berkaitan dengan permasalahan identitas yaitu politik identitas. Politik identitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat mulai memasuki ruang lingkup kehidupan gereja. Permasalahan ini dikarenakan gereja HKBP PUP merupakan gereja yang sangat kental akan konsep identitasnya, dan permasalahan yang dihadapi oleh gereja saat ini adalah dengan banyaknya caleg-caleg yang berasal dari suku Batak datang untuk memperkenalkan diri dalam rangka meraih dukungan suara ketika menghadapi kontestasi pemilu legislatif 2019. Para caleg menganggap bahwa gereja HKBP Pondok Ungu Permai merupakan komoditas besar untuk mendongkrak perolehan suara dipelaksanaan pemilu 2019.46
Beberapa caleg yang datang berinisial S.N, V.P dan banyak lainnya, datang dengan menawarkan berbagai program untuk kemajuan warga jemaat, gereja serta menawarkan bantuan terutama pengurusan surat izin untuk membangun rumah ibadah yang selama ini proses mendapatkannya sangat sulit. Tawaran yang diberikan ini merupakan suatu hal yang akan diperoleh warga jemaat dan gereja HKBP Pondok Ungu Permai, ketika para caleg-caleg dari suku batak tersebut memperoleh kedudukan di dalam pemerintah pusat, provinsi, maupun daerah. Selain dari hal yang ditawarkan oleh para caleg tersebut, ada hal yang sangat penting diungkapkan terutama berkaitan dengan identitas suku Batak dan politik identitas. Para caleg
45 Hasil wawancara dengan Bapak St. Roder Sihotang (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi)
pada tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.
46 Hasil wawancara dengan Bapak St. Konstan Rajagukguk (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi)
14
mengungkapkan kepada warga jemaat dan majelis gereja bahwa dengan adanya dukungan dari warga gereja yang berasal dari suku Batak, caleg yang berasal dari suku Batak akan memiliki kekuatan untuk memperoleh suatu kedudukan di pemerintahan, dan orang-orang Batak yang selama ini haknya terabaikan akan memperoleh kembali haknya tersebut, selain itu orang Batak yang tinggal di wilayah Bekasi Utara akan memperoleh perhatian dari pemerintah terutama tentang keberlangsungan kehidupan yang berada di wilayah tersebut.47
Sikap Majelis Gereja HKBP PUP Mengenai Politik Identitas Para Caleg di Pemilu 2019 Gereja HKBP PUP merupakan gereja yang terbentuk oleh dasar kesukuan dan berlatar belakang keagamaan, kendati berdasarkan identitas yang menjadi dasar terbentuknya gereja HKBP PUP, bukan berarti gereja HKBP PUP menjadi suatu komunitas eksklusif yang apatis dan antipati terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. Identitas kesukuan (Batak) dan agama (Kristen Protestan) yang dimiliki oleh gereja HKBP PUP merupakan suatu ciri khas yang menjadi pembeda dari gereja berbagai denominasi yang ada di wilayah Kaliabang Tengah. Identitas kesukuan ini bukan dipakai sebagai pembatas melainkan sebagai alat untuk semakin mempererat dan menjalin persekutuan semakin dekat dan terbuka. Keterbukaan ini terlihat dari berbagai program kegiatan yang dijalankan oleh pihak gereja yang berusaha menghadirkan, memperkenalkan dan melakukan tugas panggilan gereja untuk berdampak tidak hanya orang Kristen, tetapi bagi orang-orang yang berada di luar kepercayaan jemaat HKBP. Beberapa kegiatan yang dilakukan gereja untuk menghadirkan diri bagi sesama adalah dengan melaksanakan bakti sosial (korban-korban bencana alam, banjir, anak yatim dan warga-warga yang menempati bantaran sungai), turut membantu dan menyumbangkan sapi dan kambing ketika perayaan Idul Adha, mengadakan pengobatan gratis bagi lansia dan orang yang tidak mampu, dan ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh pengurus RT/RW setempat.48
Kehadiran gereja HKBP PUP tidak hanya dibatasi pada kegiatan yang menyentuh aspek sosial dalam kehidupan bermasyarakat tetapi juga pada berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Salah satu peristiwa yang tidak luput dari perhatian gereja dan menjadi bidang
47 Hasil wawancara dengan Bapak Pdt. Ferianto Tambun. S.Th (Pimpinan JemaatGereja HKBP Pondok Ungu
Permai Bekasi) pada tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.
48 Hasil wawancara dengan Bapak St. Konstan Rajagukguk (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi)
15
pelayanan gereja adalah bidang politik, terutama kegiatan pemilu 2019. Pemilu yang menjadi fokus pelayanan gereja belakangan ini disebabkan oleh maraknya penggunaan politik identitas yang terjadi tidak hanya pada pemilihan presiden tetapi dalam pemilu legislatif. Beberapa politikus praktis dalam hal ini caleg yang berusaha menggunakan identitasnya untuk menggeruk simpati dan menunjang perolehan suara dalam pemilihan legislatif. Salah satu cara yang dilakukan dengan menggunakan identitas kesukuan dan berusaha menawarkan bantuan seperti mengurus masalah perizinan gereja yang sangat susah diperoleh di Bekasi.49
Caleg dari suku Batak yang datang ke gereja HKBP PUP disambut dengan tangan terbuka oleh pendeta, dan majelis gereja sebagai bentuk apresiasi dan bentuk dukungan moril. Dukungan moril dan apresiasi ini diberikan karena adanya suatu kerinduan dari orang Batak untuk turut serta dalam membangun kehidupan bersama yang sejahtera dan memperjuangkan hak-hak masyarakat yang membutuhkan bantuan dari pemerintah melalui jalur legislatif. Salah satu bentuk dukungan yang diberikan oleh gereja adalah dengan membawa doa seluruh caleg yang mengikuti kontestasi pemilu legislatif, terlebih caleg dari suku Batak agar mampu memperoleh hasil yang sessai dengan kehendak Tuhan dan mampu menjalankan tugasnya apabila terpilih kelak di doa syafaat yang akan dilakukan sehabis khotbah. Akan tetapi, hal yang sangat disayangkan adalah ketika gereja dijadikan suatu komoditas untuk memperoleh suara dan memuluskan jalan menuju tercapainya keinginan menjadi legislator. Gereja yang dijadikan sebagai komoditas untuk mendulang suara dengan menggunakan politik identitas dengan isu-isu yang berbau identitas seperti pendiskriminasian gereja HKBP yang sangat sulit memperoleh perizinan untuk membangun rumah ibadah. Dalam hal ini pengunaan politik identitas sesungguhnya adalah hal yang sangat wajar digunakan, tetapi tujuannya untuk memperoleh keadilan bagi orang-orang yang menerima pembedaan perlakuan dan ketidakadilan dari lingkungan sekitar, sehingga apabila ada yang menggunakan politik identitas untuk memperjuangkan agar tidak ada lagi ketertindasan dan pembedaan itu sangat didukung. Identitas yang diperjuangkan adalah bukan identitas kesukuan atau kesamaan atas dasar agama dan budaya yang melekat pada tiap orang, melainkan identitas orang-orang yang terabaikan hak-hak sipilnya.50
49 Hasil wawancara dengan Bapak St. Jannes Hutapea (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi) pada
tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.
16
Majelis gereja menolak keras penggunaan identitas politik yang bertujuan untuk memaksimalkan sesorang untuk menentukan suatu posisi. Sikap gereja ini ingin menunjukkan bahwa tindakan politis yang dilakukan gereja bukan merujuk pada kekuasaan atau yang bersifat praksis. Tindakan politik gereja adalah suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan moral yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan bersama, sehingga tidak ada yang diuntungkan ataupun dirugikan, melainkan semua memperoleh kesejahteraan sesuai dengan tugas dan panggilan gereja untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan. Gereja HKBP PUP mengambil sikap tengah agar tidak larut dalam politik praksis yang korup. Banyak anggapan politik itu kotor, tetapi sikap ini untuk mencegah agar tidak adanya perpecahan di tengah-tengah masyarakat dikarenakan politik identitas. Politik identitas yang menyebabkan keterbelahan dimasyarakat belakangan ini, tidak ingin semakin dipertegas oleh sikap gereja yang mendukung berkembangnya politik identitas dan identitas politik yang menjadi komoditas, sebab gereja ada sebagai pendamai bukan pemecah belah kehidupan bermasyarakat. 51
Kajian Teologi Politik terhadap Politik Identitas
Gereja yang menjadi subjek memiliki tujuan untuk kesaksian Injil kerajaan Allah mengenai kasih, keadilan, dan damai sejahtera dalam Kristus, serta terpanggil untuk melakukan transformasi kehidupan manusia pribadi maupun masyarakat. Hal ini terlihat dari kehadiran dan keterlibatan gereja HKBP PUP yang tidak hanya dibatasi pada bidang sosial dalam kehidupan bermasyarakat tetapi juga dibidang politik. Keterlibatan gereja dalam politik terlihat dari bagaimana sikap gereja dalam menghadapi fenomena politik yang terjadi di dalam masyarakat salah satunya adalah politik identitas caleg di pemilu 2019. Sikap gereja yang diwakili majelis gereja serempak untuk menolak gereja dijadikan sebagai komoditas untuk mendulang suara yang bertujuan untuk memaksimalkan sesorang menentukan suatu posisi (caleg). Majelis menganggap bahwa politik identitas ini merupakan suatu proses politik transaksional yang hanya akan dapat terjadi apabila caleg tersebut memenangkan perolehan suara ketika pemilu telah berjalan. Hal ini jelas bertentangan dengan panggilan pelayanan gereja di tengah-tengah masyarakat yang mengembangkan demokrasi substansial melawan demokrasi prosedural transaksional. Demokrasi substansional diwujudkan dengan perhatian dan perjuangan para wakil rakyat dan tanggal 19 Agustus 2019 di Bekasi.
51 Hasil wawancara dengan Bapak Pendeta Ferianto Tambun. S.Th (Pimpinan Gereja HKBP Pondok Ungu Permai
17
pelaksana pemerintahan terhadap masalah-masalah masyarakat: menegakkan keadilan bagi semua kelompok yang diperlakukan tidak adil, mewujudkan perdamaian dan rasa aman dalam masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menjaga kelestarian alam/lingkungan hidup.52 Sikap ini menunjukkan bahwa gereja secara konsisten melaksanakan fungsi kritisnya, dengan terus menerus merespon realitas politik yang terjadi berpusat pada Allah, dan terus mengidentifikasikan diri dengan yang menderita serta penuh kewaspadaan terhadap kuasa dan kekayaan.53
Gereja terpanggil untuk hidup dalam keseimbangan kekuatan antara masyarakat, agama dan negara menuju masyarakat sipil untuk melakukan transformasi politik dengan cara yang manusiawi untuk hidup dalam masyarakat majemuk. Untuk menjalankan peran politik yang transformatif tersebut gereja tak mungkin hidup dalam belenggu minoritas yang dapat melahirkan dua jenis ekstrem; pertama, hidup dalam ketakutan dan kehilangan percaya; kedua, timbulnya sikap perlawanan terhadap kelompok lain dengan menggunakan kekerasan. Keterlibatan gereja dalam politik adalah untuk menegakkan dimensi moral dalam politik. Gereja-gereja harus menjadi penjaga yang efektif dalam dunia politik agar harga manusia tidak direduksi dan didistorsi, guna menciptakan kehidupan politik dengan landasan moral yang kuat, menjadi pengawal setia harkat dan martabat manusia yang dipertaruhkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.54 Tindakan politis yang dilakukan gereja bukan merujuk pada kekuasaan atau yang bersifat praksis, melainkan berdasarkan moral yang bertujuan untuk menciptakan kebaikan bersama. Tujuan tindakan gereja ini agar tidak ada yang diuntungkan ataupun dirugikan, melainkan semua memperoleh kesejahteraan sesuai dengan tugas dan panggilan gereja untuk mewujudkan perdamaian, keadilan. Salah satu tindakan gereja HKBP PUP mengambil sikap tengah agar tidak larut dalam politik praksis yang korup. Banyak anggapan politik itu kotor, tetapi sikap ini untuk mencegah agar tidak adanya perpecahan di tengah-tengah masyarakat dikarenakan politik identitas. Politik identitas yang menyebabkan keterbelahan dimasyarakat belakangan ini, tidak ingin semakin dipertegas oleh sikap gereja yang mendukung
52 Zakaria D. Ngelow,”Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama – Peran Gereja Dalam Politik
Indonesia”. Vol. 12, No.12. Oktober 2014. 229.
53 Eka Darmaputera, Dkk. 2004.Sebuah Bunga Rampai Yesus dan Politik, (Jakarta: Nisita), 2.
54 Ferdinand Suleeman, dkk. 2004. Strugling In Hope: buku penghargaan untuk Pdt. Eka Darmaputera.(Jakarta:
18
berkembangnya politik identitas dan identitas politik yang menjadi komoditas, sebab gereja ada sebagai pendamai bukan pemecah belah kehidupan bermasyarakat. 55
Respon gereja dalam menghadapi fenomena politik identitas yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa gereja sebagai komunitas iman yang politis. Sebagai komunitas iman yang politis gereja melihat dirinya sebagai yang diutus kedalam dunia untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial-politik dan berbagai budaya tertentu.56 Hal ini sejajar
maknanya dengan kata dalam bahasa Yunani yaitu “Ekklesia”, yang merupakan suatu istilah sekuler dan datang dari lingkungan serta konteks sosial pada jaman perjanjian baru.57 Menurut
John W. De Gruchy, Ekklesia merupakan istilah politis ketimbang kultis, yang menjelaskan tentang persekutuan warga yang terkumpul untuk melaksanakan tanggung jawab kewarganegaraan mereka. Pada masa itu orang Kristen Yunani, menggunakan kata tersebut untuk memberikan suatu analogi dengan dewan sekuler yang terdiri dari para warga, dengan implikasi bahwa orang Kristen bertanggungjawab untuk menjamin agar bukan hanya paguyuban mereka, melainkan juga masyarakat lebih luas, diperintah dengan baik.58 Kesejajaran makna Ekklesia dengan Ekklesia Kristen ialah pertemuan kota yang didalamnnya urusan warga negara dan gereja kerap kali sama. Relasi antara Ekklesia Kristian dengan masyarakat politik menjadi persolan yang mendapat perhatian utama para penguasa kekaisaran ketika kekristenan berkembang di seluruh Kekaisaran Romawi. Kekristenan semakin dianggap sebagai institusi sosio-politis tandingan (pusat kekuasan lain) yang membuat klaim-klaim absolut dan universal atas nama Allah. Hal ini menunjukkan bahwa gereja merupakan suatu komunitas alternatif di tengah dunia yang bertujuan untuk melakukan suatu perubahan atau perbaikan di tengah-tengah masyarakat.59
Gereja HKBP hadir sebagai komunitas alternatif di tengah-tengah kehidupan yang diwarnai oleh kekerasan dan pemaksaan. Pada dasarnya gereja adalah suatu polis yang hidup sebagai utusan yang menjadi teladan dan yang bersaksi di tengah-tengah masyarakat terutama dalam kehidupan politik sebagai antisipasi dari kerajaan Allah. Gereja merupakan entitas politik
55 Hasil wawancara dengan Bapak Pendeta Ferianto Tambun. S.Th (Pimpinan Gereja HKBP Pondok Ungu Permai
Bekasi) pada tanggal 19 Agustus 2019 di Bekasi.
56 https://leimena.org/blog/2016/08/23/gereja-dan-politik-di-indonesia-1/ diakses pada tanggal 13 mei 2019,
pukul 19:00 WIb
57 Darwin Lumbantobing (ed). Gerak Persekutuan Eskatologis; Ekklesiologi,jabatan, dan struktur gereja, 41. 58 John W. De Gruchy. 2011. Agama Kristen dan Demokrasi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 55.
19
yang lebih dari sekedar masyarakat, negara dan bersifat politis hanya dalam bentuk yang berbeda. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh gereja baik secara eksternal ataupun internal adalah wujud kesaksian dalam ranah politik. Tiga tindakan gereja yang dipakai untuk bersaksi bagi dunia adalah pertama, memberi kritik terhadap sistem hierarkis dari masyarakat. Kedua, praktek yang dilakukan oleh gereja dalam hal saling menasihati diantara para anggota menyediakan model yang akuntabel bagi organisasi-organisasi lain dalam masyarakat. Ketiga, dalam pengambilan keputusan di pertemuan yang terbuka, dimana setiap anggota mempunyai suara memberikan kesaksian tentang bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dalam masyarakat. Keempat, praktek baptisan sebagai contoh penerimaan anggota dalam masyarakat. Kelima, praktek persekutuan dengan solidaritas ekonomi sebagai teladan yang lain dalam praktek kehidupan bersama dalam masyarakat.60
Dasar pemikiran utama gereja terlibat dalam kehidupan di dunia ini adalah untuk menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi semua orang. Panggilan itu terwujud secara konkrit dalam solidaritas dengan mereka yang tidak diuntungkan dalam arus perubahan, pembebasan manusia dari semua ketidakadilan, penindasan, kekerasan dalam bentuk dehumanisasi. Keterelibatan gereja sebagai komunitas iman yang politis dalam kehidupan manusia, karena pertama gereja adalah sakramen penyelamatan dimana di dalamnya terjadi persatuan antara umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia, maka gereja harus tampak, kelihatan dan dapat dilihat orang yang lain. Kedua, gereja ingin merangkum dunia sebagai teman ziarah di dunia. Sehingga, gereja harus hadir dan menyelamatkan orang dengan menjadi garam dan terang dunia.61
Keberadaan gereja sebagai komunitas iman politis lahir dari semangat spiritualitas Yesus yang seharusnya mengembangkan dirinya menjadi sebuah kekuatan sosial politis yang memberdayakan warga jemaat dan warga masyarakat. Peran politis gereja sebagai komunitas iman yang politis tidaklah suatu tindakan untuk merebut kekuasaan politik supaya kekuasaan poltik itu berada dalam tangan pejabat gereja atau orang-orang Kristen. Sebaliknya, peran politis ini merupakan dasar tindakan utnuk mendorong setiap umat beriman mengambil bagian hidup dalam bermasyarakat. Dengan jalan itu warga jemaat dan warga masyarakat yang sebagian besar masih hidup dengan tingkat pendapatan yang sangat memprihatinkan itu tidak menjadi korban
60 Yusak B. Setyawan. 2013, Ekklesiologi. (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press), 96. 61 Mateus Mali CSSR. 2014, Konsep Berpolitik Orang Kristiani. (Yogyakarta: Kanisius), 151.
20
janji-janji politik.62 Sehingga, keberadaan gereja melalui tindakan politis mengembalikan semangat politik itu sendiri yang semestinya membawa orang pada kesejahteraan melalui jalan keadilan. Selain itu, sikap politik yang harus ditunjukkan gereja adalah berpihak pada keadilan dan kebenaran.63 Gereja tidak berpolitik kekuasaan, tetapi berpoltik moral yang menempatkan kebijakan-kebijakan politis di bawah penilaian moral, khususnya apabila hal itu dituntu penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia.64
5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian lapangan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa gereja HKBP Pondok Ungu Permai menyadari keberadaannya untuk turut serta dalam kehidupan di dunia ini untuk menciptakan damai sejahtera. Keterlibatan yang menunjukkan keberadaan gereja terlihat bagaimana gereja merespon berbagai permasalahan yang ada terutama politik identitas dalam pemilu 2019 yang mengambil sikap tengah dan terus mengkaji agar gereja tidak terpengaruh di bawah kekuasan tertentu dan berpusat pada Yesus Kristus. Permasalahan identitas yang dimasukkan kedalam politik disikapi gereja dengan memakai identitas kekristenan yang memperjuangkan keadilan dan keutuhan sosial, meskipun gereja HKBP Pondok Ungu Permai merupakan gereja yang didasari identitias kesukuan dan kekristenan. Gereja ingin menunjukkan bahwa identitas yang dimiliki oleh orang Kristen bukan menjadi suatu dasar untuk mengekslusifkan diri, melainkan untuk membuka diri agar perdamaian diantara sesama manusia bisa terpenuhi. Gereja HKBP Pondok Ungu Permai ingin agar dalam setiap kegiatan dan tindakan yang dilakukan bukan untuk dirinya sendiri melainkan menjadi berkat bagi sesama manusia.
5.2. Saran
Gereja harus terus-menerus melaksanakan tugas dan panggilannya secara konsisten. Kedepannya gereja diharapkan agar mampu menjadi komunitas alternatif di tengah-tengah masyarakat yang menciptakan perdamaian. Salah satu cara yang dilakukan agar gereja
62 Julianus Mojau. Teologi Politik Pemberdayaan, 86-87.
63 Mateus Mali CSSR. 2014, Konsep Berpolitik Orang Kristiani. 153.
64 Ebenhaizer I Nuban Timo. 2016. Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi Pancasila; Eklesiologi dengan cita rasa
21
memberikan pendidikan politik kepada warga jemaat melalui khotbah-khotbah yang menjelaskan politik moral yang dilakukan oleh Yesus Kristus, agar warga yang ingin turun datau menghadapi dinamika politik tidak ikut tergerus ke dalam arus politik yang “kotor”, melainkan sebagai penjernih di dalam arus tersebut agar terwujudnya kesejahteraan bersama.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Albi Anggito & Johan Setiawan, S.Pd. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif.Jawa Barat: CV Jejak.
Barker, Chris Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publications Ltd. Bungin, Burhan M. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. De Gruchy, John W. 2011. Agama Kristen dan Demokrasi.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Darmaputera, Eka, dkk.2004. Sebuah Bunga Rampai Yesus dan Politik. Jakarta: Komunitas Nisita.
Fernandes, Arya. 2018. Politik Identitas Dalam Pemilu 2019; Proyeksi dan efeketivitas. Jakarta:CSIS.
Haboddin, Muhtar. 2012. Jurnal Studi Pemerintahan; Menguatnya Politik Identitas di Ranah
lokal. Vol 3.
Lumbantobing, Darwin (ed). 2002. Gerak Persekutuan Eskatologis; Ekklesiologi,jabatan, dan struktur gereja. Pematang Siantar: Percetakan HKBP.
Mali, Mateus. 2014, Konsep Berpolitik Orang Kristiani. Yogyakarta: Kanisius. Machdani Afala, Laode. 2018. Politik Identitas di Indonesia. Malang: UB Press. Mojau, Julianus. 2009. Teologi Politik Pemberdayaan. Jogjakarta: Kanisius. Ngelo, Zakaria J. 2013. Teologi Politik. Makassar: Oaese Intim.
Nuban Timo, Eben Haezer I. 2016. Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi Pancasila; Eklesiologi dengan cita rasa Indonesia.Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Prasad, Karolin.2016. Identity Politics and Elections in Malaysia and Indonesia. New York:
Rotledge.
22 Grasindo.
Setyawan, Yusak B. 2013, Ekklesiologi. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suleeman, Ferdinand, dkk. 2004. Strugling In Hope: buku penghargaan untuk Pdt. Eka
Darmaputera. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.
Tim Sejarah Gereja HKBP Pondok Ungu Permai. 2015. Eben-Haezer: Peringatan sejarah 25
Tahun (1990-2015) Gereja HKBP Pondok Ungu Permai. Jakarta: Temprina Media
Grafika.
Internet
Erdianto, Kristian. Pemilu 2019 Tak lepas dari politik identitas dan hoaks. 2019.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/09/21311311/pengamat-pemilu-2019-tak lepas-dari-politik-identitas-dan-hoaks. diakses pada tanggal 13 mei 2019, pukul 20:00 Wib)
Pratama, Aswab Nanda. Rekam Jejak Pemilu dari masa ke masa. 2019
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/06/15380041/rekam-jejak-pemilu-dari-masa-ke-masa?page=all. Diakses 13 Mei 2019, pukul 20:00 Wib
Rumah Pemilu Admin. Menelusuri Jejak Pemilu Indonesia. 2012.
https://rumahpemilu.org/menelusuri-jejak-pemilu-indonesia/. Diakses 13 Mei 2019. Pukul 20:00 Wib
Sinaga, Martin Lukito. 2019. Teologi Politik di Bilik suara.
https://nasional.kompas.com/read/2014/04/09/1014568/Teologi.Politik.di.Bilik.Suara?pa ge=1, Diakses 28 juli 2019, pukul 10:00 Wib)
Yewangoe, Andreas Y. Gereja dan Politik Indonesia. 2016.
https://leimena.org/blog/2016/08/23/gereja-dan-politik-di-indonesia-1/ . Diakses 13 Mei 2019, pukul 19:00 Wib.
Jurnal Ilmiah
Haboddin, Muhtar. “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”. Vol 03. Nomor 02. Februari 2013.
23
Nasrudi, Juhana dan Ahmad Ali Nurdin, Politik Identitas dan Representasi Politik: Studi kasus
pada Pilkada DKI periode 2018-2022). Vol 01. nomor 1. 2014.
Ngelow, Zakaria D. ”Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama – Peran Gereja Dalam
Politik Indonesia”. Vol. 12, No.12. Oktober 2014.
Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan Bapak Pdt. Ferianto Tambun. S.Th (Pimpinan JemaatGereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi) pada tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.
Hasil wawancara dengan Bapak St. Jannes Hutapea (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi) pada tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.
Hasil wawancara dengan Bapak St. Konstan Rajagukguk (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi) pada tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.
Hasil wawancara dengan Bapak St.L. Sinambela (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi) pada tanggal 19 Agustus 2019 di Bekasi
Hasil wawancara dengan Bapak St. Roder Sihotang (Majelis Gereja HKBP Pondok Ungu Permai Bekasi) pada tanggal 17 Agustus 2019 di Bekasi.