• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOTEOROLOGI DALAM IJIL MATIUS BAGI KONTEKS PANDEMI COVID-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SOTEOROLOGI DALAM IJIL MATIUS BAGI KONTEKS PANDEMI COVID-19"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2089-029X

50

SOTEOROLOGI DALAM IJIL MATIUS BAGI KONTEKS PANDEMI COVID-19

Indah Sriwijayanti

Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya E-mail: indahsriwijayanti@yahoo.co.id

Abstract

Salvation is a concept offered by all religions. The concept of salvation in Christianity is incarnated in Jesus Christ. Salvation is often understood as a condition in the future or eschatological (end of time). The Gospel of Matthew describes the concept of salvation or theology from a different perspective. Salvation in Jesus applies to today's context. Matthew's Gospel sotheorology is a continuation of the work of Jesus which is rooted in the restoration of human dignity. During the Covid-19 pandemic, Matthew's Gospel offers a relevant sotheorological concept, because salvation through Jesus Christ is shown in the present context and here in the Covid-19 pandemic situation.

Keywords: Sotheorology, The Gospel of Matthew, The Covid-19 Pandemic

Abstrak

Keselamatan adalah konsep yang ditawarkan oleh semua agama. Konsep keselamatan dalam kekristenan menjelma dalam diri Yesus Kristus. Keselamatan sering dipahami sebagai kondisi pada masa yang akan datang atau bersifat eskatologis (akhir zaman). Injil Matius menjabarkan konsep keselamatan atau soteorologi dalam perspektif yang berbeda. Keselamatan dalam Yesus berlaku untuk konteks masa kini. Soteorologi Injil Matius merupakan kelanjutan dari karya Yesus yang berakar pada pemulihan martabat manusia. Pada masa pandemi Covid-19 Injil Matius menawarkan konsep soteorologi yang relevan, sebab keselamatan melalui Yesus Kristus ditunjukkan untuk konteks masa kini dan di sini dalam situasi pandemic Covid-19.

Kata Kunci: Soteorologi, Injil Matius, Pandemi Covid-19

Di awal tahun 2020 masyarakat dunia dikagetkan dengan munculnya virus Covid-19 yang menyebar sangat cepat di Wuhan, China ke seluruh dunia. Keberadaan Covid-19 awalnya bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah hal yang sangat jauh dari kenyataan, sebab Covid-19 dinyatakan belum ada di Indonesia. Sampai kemudian pada tanggal 2 Maret 2020 pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan bahwa covid-19 sudah masuk ke Indonesia, ada dua orang warga di Depok yang

dinyatakan positif terkena covid-19 (Kompas.com, 2 Maret 2020).

Pengumuman resmi dari pemerintah mengenai keberadaan Covid-19 di Indonesia membuat situasi masyarakat sudah tidak sama lagi dengan sebelumnya. Kepanikan dan ketakutan terjadi dimana-mana. Berita dari media massa baik offline dan online tentang Covid-19 membuat kondisi masyarakat dalam ketidakpastian hidup, kematian terasa sangat dekat. Masyarakat berbondong-bondong membeli masker dan handsanitaizer sebagai alat perlindungan diri. Terjadilah lonjakan harga dan kelangkaan barang-barang yang berhubungan dengan pencegahan Covid-19.

Kondisi masyarakat Indonesia menjadi semakin terpuruk setelah pemerintah melalui Presiden Joko Widodo mengeluarkan himbauan kepada masyarakat untuk melakukan Physical distancing (menjaga jarak) dengan bekerja di rumah (Work From Home), belajar di rumah dan ibadah di rumah (stay at home) pada tanggal 15 Maret 2020 (Kompas.com, 16 Maret 2020). Banyak kantor, sekolah dan tempat ibadah tidak lagi melaksanakan kegiatan rutin sebab kegiatan berkumpul bersama dianggap sebagai sarana efektif bagi menyebarkan Covid-19. WHO kemudian mengeluarkan pernyataan penyebaran Covid-19 sebagai pandemi sebab penyebaran dan korban covid-19 merata di seluruh dunia.

Himbauan pemerintah untuk bekerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah (stay at home) membawa perubahan dan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Kebiasaan keseharian masyarakat berubah, orang tidak lagi merasa aman untuk keluar rumah sebab takut terpapar Covid-19 padahal pekerjaan dan kegiatan lain menuntut untuk ke luar rumah. Bagi masyarakat yang sumber penghasilannya dari mobilitas manusia harus kehilangan pendapatan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Hari-hari menjadi berat untuk dijalani, sebab selain ketakutan terpapar Covid-19 masyarakat harus mengalami pengurangan penghasilan sedangkan kebutuhan hidup tidak berkurang. Bagi masyarakat kecil yang berpenghasilan tidak tetap kematian menjadi bayang-bayang setiap hari, sebab jika mereka tidak mati karena Covid-19 maka akan mati karena kelaparan.

Selain dampak ekonomi, Covid-19 juga membawa banyak kesedihan bagi keluarga-keluarga Indonesia yang kehilangan anggota keluarga karena terjangkit

(2)

51 covid-19. Pada tanggal 20 April 2020 terdapat 590 jiwa yang tutup usia karena terjangkit Covid-19 di seluruh Indonesia. Sedangkan saat tulisan ini dibuat per tanggal 5 November 2020 terdapat 425.796 kasus terkonfirmasi positif covid-19, sembuh 357.142 ribu dan meninggal dunia 14.348. Jumlah tersebut termasuk tenaga medis yang berada di garda terdepan penangan Covid-19. Bahkan karena cakupan wilayah terdampak yang luas, membuat WHO mengkategorikan sebaran Covid-19 sebagai pandemi.

Covid-19 tidak hanya membawa penderitaan fisik tapi juga secara psikologis menimbulkan rasa takut, khawatir dan cemas secara khusus bagi mereka yang masuk dalam kategori karena orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan positif covid-19. Sejak tanggal 13 Juli 2020 ada perubahan istilah untuk pasien Covid-19 menjadi; Kasus Suspek untuk menggantikan PDP, Kasus Konfimasi untuk pasien dinyatakan positif (termasuk OTG), Kontak Erat untuk menggantikan ODP, Kasus Probable kritis/meninggal karena Covid-19.

Pandemi Covid-19 juga membawa dampak langsung bagi kehidupan bergereja. Gereja harus merubah sistem peribadatan yang tadinya dilakukan dengan tatap muka dan berkumpul dalam persekutuan menjadi peribadatan online, atau ibadah rumah. Dampak covid-19 bagi gereja tidak hanya dalam hal persekutuan tapi juga dampak bagi keuangan gereja yang selama ini sangat bergantung dengan persembahan jemaat. Persekutuan tatap muka seperti selama ini telah dilakukan lebih memudahkan gereja dalam hal pengumpulan persembahan dibandingkan ibadah rumah ataupun persekutuan online, sebab dibutuhkan komitmen tinggi dari jemaat untuk tetap mendukung gereja dalam bentuk memberikan persembahan.

Konteks masyarakat Indonesia dan dunia secara umum pada saat ini berada dalam penderitaan dan malapetaka akibat Covid-19. Penderitaan yang dialami oleh masyarakat di tengah pandemi Covid-19 tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental menderita sebab berada dalam ketidakpastian kapan akan berakhir. Dalam kondisi demikian keselamatan menjadi kebutuhan bagi semua orang. Keselamatan dari bencana, keselamatan dari situasi yang penuh ketidakpastian.

Injil Matius, seperti halnya Injil-Injil lain dalam Perjanjian Baru adalah berita sukacita yang diperuntukan bagi semua orang. Puncaknya adalah pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Pengorbanan Yesus di kayu salib adalah bukti cinta kasih Allah kepada manusia yang tidak terbatas (Yohanes 3: 16). Jika melihat peran Yesus dalam karya keselamatan dan juga tawaran keselamatan di dalam Dia yaitu penebusan dosa-dosa manusia, maka peran Yesus sebagai juruselamat dunia sebagai penggenapan kehendak Bapa akan tergenapi pada masa yang akan datang (futuristik). Tapi apakah benar demikian, yaitu bahwa keselamatan yang

ditawarkan oleh Yesus adalah keselamatan futurusistik semata? Karenanya keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus tidak ada gunanya untuk merespon konteks kehidupan masa kini yang penuh penderitaan? Padahal, masa ini adalah saat yang tepat, dimana banyak orang memerlukan keselamatan. Kita sendiri juga turut menyaksikan (seperti dalam Injil) pada saat pelayanan Yesus di dunia sebelum akhirnya Dia di salib sebagai tanda keselamatan, Yesus telah melakukan begitu banyak penyembuhan dan juga tindakan bijak (membela perempuan berzinah yang akan dilepari batu) yang akhirnya memberi keselamatan bagi orang-orang pada saat itu.

Oleh karena itu, penulis mencoba menemukan pemaknaan soteorologi dalam Injil Matius bagi konteks penderitaan dan malapetaka dalam pandemi Covid-19 saat ini. Apakah benar keselamatan yang di tawarkan oleh Yesus berpuncak pada kematian dan kebangkitanNya adalah sesuatu yang futuristik saja? Soteorologi diartikan sebagai ajaran tentang keselamatan (Henk, 1994:295). Ajaran tetang keselamatan sebagai sebuah dogma kekristenan sering dipahami sebagai sesuatu yang futuristik, bahkan tak jarang dihubungkan dengan parousia (kedatangan Kristus) yang bersifat eskatologis. Menurut penulis jika keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus adalah sesuatu yang sifatnya futuristik saja maka kedatangan Yesus ke dunia tidak bisa disebut berbela rasa (Borg, 2003:52) kepada manusia. Karena keselamatan yang dibutuhkan oleh manusia bukan pada masa yang akan datang saja, justru pada masa sekarang setiap orang harus memperjuangkan keselamatannya ditengah penderitaan akibat Covid-19. Dalam situasi demikianlah seharusnya Yesus juga hadir sebagai juruselamat. Dari latarbelakang tersebut di atas, rumusan pertanyaan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: pertama, Apa soteorologi dalam injil matius? Kedua, Bagaimana Konteks sosial Injil Matius yang membentuk soteorologi? Apa Sumbangan soteorologi injil matius bagi konteks penderitaan Covid-19? Pengertian Soteorologi

Keselamatan dalam bahasa Ibrani y ͤ syu’a dan Yunani sõtêria, berarti tindakan atau hasil dari pembebasan atau pemeliharaan dari bahaya atau penyakit termasuk kesehatan dan kemakmuran. Dalam Alkitab makna keselamatan mengalami pergeseran makna dari persoalan fisik ke kelepasan moral atau spiritual (Woods, 1996:1047). Pergeseran makna Ini nampak dari dogma (ajaran) gereja mengenai soteorologi (ajaran tentang keselamatan) yang dihubungkan dengan keselamatan jiwa setelah kematian. Berikut makna keselamatan menurut konteks teks dalam Alkitab.

Makna Keselamatan dalam Perjanjian Lama Dalam Perjanjian lama keselamatan dimaknai dalam kaitan persoalan yang dialami oleh manusia maupun hubungan dengan Allah. Manusia ingin

(3)

52 memperoleh keselamatan karena terancam bahaya penyakit, musibah, dianiaya oleh musuh dan kematian. Berkaitan dengan relasi manusia dengan Allah, yaitu pada saat manusia membutuhkan keselamatan karena murkaNya menimpa manusia sebagai akibat melanggar perintah Allah. Adapun suara kenabian yang disampaikan oleh para nabi pada jaman PL mengenai keselamatan adalah perlunya perubahan batiniah, untuk memperoleh pengampunan sejati yang pada akhirnya membawa pada ramalan tentang keselamatan mesianik yang apokaliptik, yaitu bila Allah, sesuai janjiNya, akan datang sendiri dalam keselamatan sebagai Allah yang adil dan Juruselamat (Yesaya 44: 17; Daniel 7:13). Ajaran Perjanjian Lama tentang keselamatan mencapai puncaknya dalam gambar Hamba yang menderita (Yesaya 53); Hamba yang menderita dipakai dalam Perjanjian baru untuk mengilustrasikan keselamatan (Ensiklopedia, 2004:375).

Makna Keselamatan dalam Perjanjian Baru (Injil Markus, Lukas dan Yohanes)

Kata keselamatan diucapkan hanya satu kali oleh Yesus (Lukas 19:9). Ayat itu dapat mengacu kepada dirinya sendiri sebagai kandungan keselamatan yang memberikan pengampunan kepada Zakeus, atas perubahan tindakan yang dilakukan oleh pemungut cukai itu. Yesus juga menggunakan kata kerja “selamat’ dan istilah-istilah serupa, untuk menyatakan pertama-tama apa yang akan dilakukan pada saat kedatanganNya kelak baik secara implikatif (Markus 3:4) dan secara langsung Lukas 4: 18; 9:56). Selain itu kata kerja “selamat’ yang dipakai juga bermakna tututan dari manusia ( Markus 8:3; Lukas 7: 50; 8:12; 13:24), sedangkan Lukas 18: 26 tentang perumpaan orang kaya sulit masuk kedalam kerjaan sorga. Dalam konteksnya teks ini dimaknai bahwa keselamatan menghimbau hati manusia agar mau menyesal, ketidakberdayaan diri yang pasrah menerima dan penyangkalan segala sesuatu demi Kristus adalah perwujudan keselamatan yang nampak nyata dari hidup manusia yang terpilih untuk memperoleh keselamatan itu.

Berbeda dengan Lukas dan Markus, Injil Yohanes dalam setiap pasal memberikan segi yang berbeda dari konsep keselamatan. Dalam Yohanes 1:12 orang dilahirkan sebagai anak-anak Allah karena mempercayai Kristus; Yohanes 3: 5 berbicara mengenai kelahiran kembali oleh Roh Kudus mutlak guna memasuki Kerajaan; Yohanes 4: 22 menyatakan keselamatan itu datang dari bangsa Yahudi melalui wahyu yang disalurkan dalam sejarah lewat umat Allah dan keselamatan itu merupakan anugerah yang membawa dampak perubahan batiniah dan memperlengkapi manusia. Yohanes 14: 6 menyatakan bahwa Kristus adalah jalan yang benar dan hidup menuju hadirat Allah; dengan tinggal di dalam Dia sebagai pokok anggur, merupakan rahasia dari sumber-sumber kehidupan. Yohanes 21: 15-18

kasihNya yang menyembuhkan memancarkan kasih dalam pengikutNya dan memulihkan sang pengikut untuk pelayanan (Ensiklopedia, 2004:376).

Makna Keselamatan dalam Surat-surat Paulus Paulus dalam surat yang kedua kepada Timotius menyatakan bahwa Alkitab dapat memberi manusia hikmat yang akan menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus (2 Timotius 3:15). Keselamatan disediakan sebagai anugerah dari Allah yang adil, yang diberuntukan sebagai rahmat kepada pendosa yang tidak layak. Pendosa yang oleh anugerah iman, percaya pada keadilan Kristus yang sudah menebus dia dengan kematianNya dan membenarkan mereka yang percaya oleh kebangkitanNya. Allah, demi Kristus, membenarkan pendosa yang tidak layak itu, mengampuni dosa-dosanya, mendamaikan dia dengan diriNya sendiri di dalam dan melalui Kristus yang sudah membuat perdamaian melalui darah salibNya (2 Korintus 5:8; Roma 5:11; Kolose: 1:20). Keselamatan juga berarti mengangkat manusia menjadi keluargaNya (Galatia 4:5; Effesus 1:13; 2 Korintus 1:22) memberinya materai dan buah sulung dari RohNya di dalam hatinya dan dengan demikian menjadikan mahluk baru. Oleh Roh yang sama sarana keselamatan berikutnya memampukan manusia berjalan dalam kehidupan baru, sambil makin mematikan perbuatan-perbuatan daging (Roma 8:13) sampai akhirnya ia dijadikan sama dengan Kristus (Roma 8:29) dan keselamannya digenapi dalam kemulyaan (Filipi 3:2). Konteks Injil Matius

Matius ditulis kira-kira pada abad pertama tahun 80, teks ini diduga berasal dari wilayah Kristen Yahudi, kendati Matius tidak menyebut alamat tujuan Injil ini ditulis, kita memiliki cukup alasan bahwa Injil ini ditulis bagi komunitas-komunitas Kristen di Antiokhia. Antiokhia menduduki posisi prestisius di sekitar abad pertama sebagai kota terbesar setelah Roma dan Aleksandria di Mesir. Kota ini juga merupakan ibu kota provinsi Siria ((Marxen, 1994:175). Daerah ini terletak disebelah timur Yordan tempat komunitas Kristen Yahudi di Yerusalem menemukan daerah pertemuan baru setelah pelarian dari Yerusalem tak lama sebelum kota tersebut dihancurkan oleh panglima Romawi Titus (Berkhof, 2005:9).

Soteorologi dalam Injil Matius

Dalam Injil Matius kata soteria disebut beberapa kali dalam makna yang berbeda, Matius 10:22; 24:13 kata soteria memiliki arti daya tahan. Soteria dimaknai juga sebagai kesembuhan dari sakit fisik (Matius (9:21). Keselamatan dari bahaya (Matius 8:25; 14:30), Matius 18:11 menyelamatkan yang hilang. Menyelamatkan dari dosa 1:21 (Barclay, 1964:269).

(4)

53 Pengharapan Mesianik; Yesus Anak Daud

Yesus anak Daud disebut empat kali dalam Matius (9:27;12:23; 21: 9,15), jumlah ini lebih banyak dibandingan penyebutan Yesus anak Daud dalam Injil-Injil lain (Konkordasi, 1994:27). Penyebutan Yesus anak Daud nampaknya tidak lepas dari konteks pembaca Injil Matius waktu itu. Penderitaan yang dialami oleh bangsa Yahudi (sebagai pembaca teks ini) membawa pengharapan akan datangnya mesias dari keturunan Daud yang akan membawa pembebasan bagi mereka. Penulis Matius nampaknya ingin menghadirkan sosok Yesus yang berbeda dari konsep pengaharapan mesianik. Berikut adalah gambaran pengharapan mesianik yang juga jadi pergumulan iman para pembaca teks Matius (Berkhof, 2005:5).

Mesias berasal dari bahasa Ibrani mashiah berarti "yang diurapi" (Henk, 200:209). Di dalam bahasa Yunani, kata mesias diterjemahkan dengan kata kristos, dan dari situlah dikenal sebutan Kristus yang menjadi salah satu gelar Yesus. Sebutan mesias berakar dari pengertian Yahudi mengenai seorang tokoh di masa depan yang akan datang sebagai wakil Allah untuk membawa keselamatan bagi umat Yahudi. Kata mesias merujuk kepada orang yang diurapi Allah, sesuai kebiasaan Israel kuno yang melihat tindakan pengurapan sebagai tanda pemilihan dan pengudusan Allah. Orang yang diurapi dianggap sebagai milik Allah dan mendapat tugas khusus. Tokoh-tokoh yang dilantik dengan pengurapan biasanya raja dan imam, ataupun tokoh yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Di dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama, istilah tersebut dikenakan kepada Raja dari orang-orang Yahudi yang diurapi saat peristiwa pelantikan dirinya (bdk. 1 Samuel 10:1, Mazmur 2:2).

Konsep mesias kemudian mengalami perubahan dengan bertambahnya aspek pengharapan di masa depan setelah masa pemerintahan raja Daud berakhir. Tampaknya pada masa-masa tersebut, kecuali era Salomo, raja-raja yang memerintah Israel tidak mampu memerintah sebaik Daud, bahkan membawa Israel kepada kemunduran dan keterpecahan. Karena itulah, umat mendambakan sosok mesias seperti Daud yang akan membawa Israel ke situasi yang lebih baik. Di sini, Daud menjadi gambaran ideal akan seorang pemimpin Israel untuk generasi-generasi selanjutnya. Mesias tersebut digambarkan dengan ciri-ciri khusus, seperti berasal dari garis keturunan Daud, seorang penyelamat dan raja pemenang yang akan memimpin umat Israel, dan ia bahkan akan memiliki kemuliaan yang melebihi Daud. Nabi-nabi adalah pihak yang turut menyebarkan konsep mesias tersebut di kalangan umat Yahudi. Para nabi, antara lain Nabi Amos, Nabi Yesaya, dan Nabi Mikha, mewartakan nubuat mesianik sebagai kritik terhadap situasi Israel yang penuh ketidakadilan ataupun ketika umat ataupun raja berjalan menyimpang dari perintah Allah.

Sebelum kehancuran Bait Suci kedua pada tahun 70 M, telah ada pelbagai aliran keagamaan Yahudi, seperti Farisi, Saduki, Eseni, dan Zelot. Pelbagai aliran tersebut, kecuali Saduki, mewarisi kepercayaan mesianis yang berbeda-beda, sebab berakar dari dua tradisi mesianik masa sebelumnya. Orang-orang Eseni mempercayai akan datangnya dua orang mesias, yakni mesias imam yang berasal dari keturunan Zadok dan mesias prajurit yang merupakan keturunan Daud. Keduanya akan bekerja sama dalam memerintah umat serta membawa umat Yahudi kepada kemenangan terakhir. Ada pula pemahaman mesianik yang mengharapkan pembebas Israel secara politis seperti sosok Daud. Pemahaman seperti ini terdapat dapat dilihat pada kaum Zelot. Karena itulah, ketika ada gerakan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Romawi, seringkali tokoh utamanya diyakini sebagai mesias.

Dalam pengharapan mesianik inilah Matius ditulis, maka tidak mengherankan jika dari segi isi Matius sangat berciri Yahudi nampak dari istilah-istilah yang dipakai, seperti hukum taurat, keturunan Daud, mesias. Tidak hanya itu saja, Matius juga hadir dalam sudut pandang Yahudi. Contohnya adalah cerita tentang Yudas Iskariot. Dalam Injil-injil lain tidak ada yang menyebutkan bahwa jumlah uang yang diterima oleh Yudas karena menjual Yesus sebanyak 30 keping perak. Penyebutan jumlah uang yang diterima oleh Yudas ini penting, untuk menunjukkan bahwa jumlah uang tersebut terlalu murah untuk seorang Yudas. Dengan kata lain, sebenarnya ada hal lain yang ingin diharapkan oleh Yudas dari Yesus, yaitu melakukan perlawanan pada saat Ia ditangkap. Yudas berasal dari kelompok Zelot, selama ini dia mengharapkan Yesus bisa hadir sebagai Mesias secara politis. Namun sayang, Yudas salah mengira, Yesus tidak melakukan perlawanan, sehingga Ia ditangkap dan mati di kayu salib (Denis McBride, 1996:171-186).

Sejarah keselamatan di dalam Yesus; Perwujudan Keadilan

Sejarah keselamatan sudah dimulai sebelum penciptaan manusia dan sebelum sejarah dunia dan ini berlanjut sampai parousia dan sejarah dunia berakhir (Norman Perrin, 1982:273). Sedangkan dalam Matius sejarah keselamatan menunjuk pada “waktu cerita” yaitu urutan kronologis yang pernah terjadi dari semua peristiwa yang dikutip dalam narasi Matius. Waktu cerita ini membentang dari awal penciptaan pada satu pihak ke zaman akhir ( 19:4, 8: 25: 31-46) (Jack Dean Kingsbury, 2000:54). Sejarah keselamatan dalam Matius terbentuk pada saat penulisnya menempatkan cerita kehidupan Yesus dalam konteks hubungan Allah dengan umatNya.

Seperti diceritakan Matius 4:23-24; 9:35, dalam tempo cukup singkat setelah wafat dan kebangkitan Yesus, daya tarik sang pengkhotbah, pengajar, dan penyembuh dari Nazaret ini kian meluas. Jika sebelumnya berita Yesus banyak menarik kaum

(5)

54 miskin dan pinggiran, beberapa dekade sesudahnya, juga menarik kelas atas. Mengingat asal Yesus dari pedusunan dan kultur kampung di tanah Palestina, dengan konteksnya yang homogen dan relatif miskin; berbahasa Aramik; Yesus dari status kelas bawah sekarang pengaruhnya merambahi kultur perkotaan Yunani-Romawi yang berbahasa Yunani, sebuah kelompok heterogen yang meliputi golongan berpendidikan dan cukup mapan secara finansial. Tinggal di kota metropolitan Antiokhia, dapat kita simpulkan, pembaca Injil Matius adalah kaum urban. Kendati urban, komunitas ini tetap marjinal di dalam masyarakat karena jumlahnya yang sedikit dan memiliki tradisi keagamaan yang berbeda dengan orang kebanyakan waktu itu (Berkof, 2005:6).

Dengan jatuhnya Yerusalem pada tahun 70-an, hukum kekudusan yang dianut kaum Farisi semakin dominan. Seseorang dikatakan kudus jika ia dinyatakan tanpa cacat. Keadaan tanpa cacat sama artinya dengan tahir. Menjadi tahir berarti terbebas dari mereka “yang tidak tahir,” yang cacat, dan dengan demikian tidak kudus. (Borg, 2003: 57) Bagaimana Matius memotret Yesus di tengah konteks masyarakat yang seperti ini? Injil ini menampilkan Yesus sebagai seorang yang adil, yang menghidupi kerahiman dan bela rasa yang berasaskan keadilan. Ketika mendesak untuk dibaptis oleh Yohanes, Yesus berkata, “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (3:15). Dengan begitu, pembaptisan Yesus mengukuhkan tugas Yesus sebagai Mesias untuk mewujudkan seluruh keadilan.

Apa visi Yesus dalam mewujudkan seluruh keadilan? Yesus bercita-cita untuk mewujudkan sebuah keluarga baru, sebuah masyarakat alternatif dalam kuasa pemerintahan Allah sebagai Bapa, sebuah tataan yang benar dalam kuasa kendali Allah. Bagaimana Yesus meretas misi untuk mewujudkan visi tersebut? Yesus menolak pola-pola relasi sosial ketidakadilan yang dilegitimasi dengan sanksi religius oleh ahli-ahli Taurat, yang pemimpin keagamaan waktu itu. Hukum kekudusan dalam hal ini telah menyisihkan begitu banyak kelompok termagirnalkan (Borg, 2003:53). Sikap Yesus mengenai keadilan ini nampak pada saat ia memberi tahu para muridnya jika keadilan mereka “tidak lebih benar daripada [keadilan] ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Surga” (5:20). Artinya bahwa saat keadilan yang dilakukan adalah berdasarkan hukum ketahiran maka sebenarnya keadilan yang dilakukan tidak lebih dari apa yang dilakukan oleh ahli-ahli taurat. Yesus dalam Injil Matius digambarkan sebagai sosok yang merekonstruksi ulang tradisi keagamaan Yahudi yang menciptakan strata sosial diskriminatif berdasarkan ketahiran dan ketidakcacatan, dengan pola relasi baru yang didasarkan atas keadilan, kemurahan dan bela rasa. Ini nampak nyata dari pilar-pilar visi keadilan

Yesus sebagai wujud keselamatan yang nyata pada waktu itu:

Melampaui Batas Teritorial

Sejak awal penceritaan Matius telah membedah sekat-sekat pemisah yang selama ini dianggab lazim. Perihal yang semula dipandang sebagai wilayah asing, bahkan musuh, dipeluk oleh Yesus. Kita dapat mengambil beberapa contoh. Cermati silsilah Yesus dalam 1:1-17. Meski masih ditulis dalam struktur patriakhal, Matius memasukkan empat nama perempuan yang asing kisah hidupnya (Rahab, Rut, istri Uria dan Maria). Demikian juga kisah orang majus (2:1-12). Kemudian, dalam pelayanan Yesus, kita temukan lingkaran yang lebih luas, “Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan” (4:25). Ingat juga kisah perempuan Kanaan yang percaya (15:21-28). Yesus dalam Injil Matius mendefinisi ulang kode kekudusan yang dicirikan oleh pengucilan, dan menyingkirkan batas-batas teritorial. Melampaui Batas Bait Suci

Keikutsertaan dan tempat rakyat di Bait Suci bergantung pada strata sosial mereka. Pada waktu Matius ditulis, Bait Suci telah roboh dan digantikan sinagoga, dalam pada itu sistem klasifikasi baru dibutuhkan untuk menentukan siapa yang termasuk dalam “keanggotaan Israel.” Yesus dalam Matius menghadapi para pemimpin agama, menyatakan “di sini ada yang melebihi Bait Allah” (12:6). Kemurahan hati ditempatkan di atas peraturan agama, Sabat dan ritual-ritual. Tergambar dengan jelas pula ketika Yesus memasuki Yerusalem, ia tengah memasuki pusat pemerintahan Roma yang ditahbiskan dengan legitimasi kursi keagamaan sebagai pemimpin rohani, politik dan ekonomi. Yesus “mengusir” dan “membalikkan” praktik-praktik serta kuasa-kuasa yang merendahkan integritas Bait Suci, dengan tujuan mempersembahkannya ulang dengan kekudusan yang otentik. Ketika pemerintahan Allah yang dicirikan kemurahan itu hadir, keadilan akan memenuhi keluarga baru yang dicita-citakan Yesus—yang “di luar” dipeluk dan diterima sebagai anggota “di dalam” tidak ada diskriminasi.

Menafsir Ulang Taurat

Yesus adalah orang Yahudi yang datang bukan saja untuk mematuhi dan memenuhi Taurat (5:17-19), tetapi ia menggemakan berita para nabi—melalui keadilan yang berpelukan dengan kemurahan sebagai wujud bertakhtanya kekudusan pemerintahan Allah. Khotbah di Bukit (pasal 5-7) merupakan sentral visi berita pendefinisian ulang Taurat. Anggota keluarga baru ini harus berdamai dengan lawan-lawan. Mereka harus meneguhkan kesetiaan hidup dalam pernikahan. Mereka tidak mengambil sumpah. Mereka diundang untuk berpantang kekerasan. Mereka harus berdoa

(6)

55 untuk musuh-musuh dan para penganiaya. Dengan jalan ini, mereka adalah anak-anak Bapa yang di surga. Tujuan Taurat adalah terciptanya jalinan yang adil bagi semua manusia.

Undangan Perjamuan Meja Makan

Bagi kaum Yahudi, perjamuan meja makan merupakan bentuk mini dari komunitas ideal yang dicita-citakan, yang mencerminkan tataan sosial atau struktur keadilan bagi bangsa Israel. Sedangkan di injil Matius, Yesus—walau menerima ide dasar dari visi perjamuan meja makan melangkah lebih jauh. Perjamuan meja makan bagi Yesus berpusat pada martabat kemanusiaan dan tata hidup yang didasari kemurahan. Sebab itu, Yesus bersedia duduk semeja dengan “pemungut cukai dan orang berdosa” (9:10). Yesus melawan tataan sosial. Ia membalikkan jamuan yang mengindikasikan derjad sosial dan membuka meja bagi semua. Berbagi santapan di satu meja menyimbolkan kesetaraan dengan mereka; maka dengan mengundang kaum marjinal ke meja perjamuan, telah membuat mereka setara (Borg, 2003:63-70). Jika kaum Farisi dan ahli Taurat sebagai “orang dalam” membatasi siapa yang boleh datang ke meja, Yesus menantang mereka bahwa mereka pun pada akhirnya akan dicampakkan dalam perjamuan Kerajaan Allah (8:11-12).

Menjamah Kaum Tebuang

Tubuh yang sehat atau sakit dapat membuat seseorang diterima atau ditolak dalam interaksi sosial yang lebih besar pada zaman Yesus. Seorang imam berkuasa untuk mendefinisikan seseorang sehat atau sakit—dan karena itu, tahir atau tidak tahir. Penyembuhan Yesus yang pertama dalam Matius adalah kepada seorang kusta (8:1-4). Kusta merupakan penyakit yang paling ditakuti pada masa itu. Dengan menempatkan penyembuhan seorang kusta sebagai mukjizat pertama Yesus, Matius bermaksud memotret Yesus, sebagai pribadi yang dengan jamahan tangannya yang penuh kasih, meruntuhkan batas-batas kasta masyarakat dan menjadikan kaum yang paling terasing di mata massa menjadi pulih dan dapat diterima kembali. Di mata Matius, di dalam tindakan penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan Yesus termaktub kekudusan serta pemerintahan Allah, dan dengan jalan ini era mesianik yang ditandai oleh kemurahan telah hadir.

Tujuan visi keadilan Yesus dalam Matius adalah perwujudan keselamatan yang nyata bagi banyak orang waktu itu, terutama mereka yang saat itu mengalami diskriminasi karena tidak termasuk golongan yang dikuduskan. Ada beberapa point yang menjadi titik tolak perjuangan Yesus dalam perwujudan keadilan. Pertama, Matius mengalamatkan tulisannya kepada kaum lemah dan bukan kepada pihak kuat yang menindas. Sebagai pihak marjinal, mereka tidak mempunyai senjata dan pasukan yang kuat untuk memberontak. Namun

martabat kemanusiaan mereka dapatkan kembali lewat berita Allah yang memerintah dan Yesus yang menjadi wujud konkret keadilan pemerintahan Allah. Kedua, tulisan Matius merupakan ideologi alternatif. Yaitu adanya cara pandang yang lain mengenai kehidupan. Meskipun berada di bawah tataan imperial (Roma), namun demikian pemerintahan Allah sedang bekerja, memanggil para pengikut Yesus untuk memiliki cara pandang dunia alternatif, serta meretas langkah-langkah baru demi terciptanya relasi sosial-ekonomi yang mengejawantahkan politik pemerintahan Allah yang tidak diskriminatif. Ketiga, tulisan Matius merupakan agenda bagi terciptanya komunitas alternatif. Kendati masih berada di bawah penjajahan Roma, kaum lemah yang menjadi pengikut-pengikut Kristus dilarang untuk mengangkat senjata dan melakukan kekerasan. Ini ditunjukan dengan sikap Yesus yang tidak melawan pada saat Ia ditangkap. Komunitas alternatif ini harus “tunduk” dan mengakomodir bahasa imperial, sementara itu mereka diajak untuk mengupayakan terwujudnya praktik-praktik sosial alternatif hingga imperium Allah menunggangbalikkan imperium Roma—sebuah komunitas yang dijiwai oleh kasih, keadilan, kemurahan dan kekudusan yang tidak diskriminatif.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa soterologi yang ditawarkan oleh Yesus tidak hanya bersifat futuristik, tapi hadir dan merespon persoalan ketidakadilan akibat diskriminasi (baik sistem kekudusan maupun penjajahan Romawi) yang ada dalam koteks jemaat penerima Injil Matius. Dalam Injil Matius Yesus hadir sebagai penyelamat yang membela kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara politik maupun keagamaan dengan memulihkan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian warta keselamaatan yang seharusnya dibagikan kepada banyak orang pada masa kini adalah perwujudan keadilan sebagai cara pemulihan martabat manusia. Soteorologi Dalam Ijil Matius Bagi Konteks Pandemi Covid-19

Seperti halnya pengharapan mesianik terhadap Yesus bagi konteks penerima Injil Matius masih jadi pengharapan yang realistis (sekalipun yang terjadi tidak seperti yang mereka harapkan). Maka harapan keselamatan yang datangnya dari Yesus bagi umat manusia masa ini terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19 adalah sesutu yang realistik. Poin penting pengaharapan mesianik dari penerima Injil Matius yang relevan bagi konteks masyarakat Indonesia dan dunia sekarang ini adalah; pengharapan dan pemaknaan terhadap karya penyelamatan dari Yesus tidak untuk dimaksudkan bagi kepentingan segelintir orang saja yang sifatnya futuristik semata. Keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus berlaku untuk semua orang dalam konteks sekarang.

Sebagaimana pada bagian pendahuluan dipaparkan konteks di Indonesia dan dunia pada masa sekarang ini menderita akibat pandemi Covid-19 merupakan

(7)

56 konteks bertelogi yang relevan bagi gereja masa kini. Dunia pada masa ini membutuhkan keselamatan dalam arti sesungguhnya. Keselamatan dalam bentuk tetap sehat dan bertahan hidup, dan keselamatan dari ketakutan sepanjang waktu. Ada dua konteks berteologi yang relevan pada masa pandemic ini. Pertama adalah konteks penderitaan akibat pandemi Covid-19 yang dialami oleh semua orang di seluruh dunia tanpa pandang bulu. Kedua, adalah ketidakpastian yang membuat kehilangan harapan. Penderitaan akibat Covid-19 tidak hanya dialami secara fisik oleh mereka yang terpapar Covid-19, banyak orang dikarenakan kebijakan pencegahan Covid-19 harus kehilangan sumber penghasilan. Tenaga kesehatan yang dalam hal ini menjadi garda terdepan berinteraksi dan merawat pasien Covid-19 sangat berisiko tertular. Harapan agar pandemi Covid-19 segera berlalu seperti jauh asap daripada api sebab jumlah pasien Covid-19 yang terkonfirmasinya selalu bertambah setiap hari. Dalam konteks demikian keselamatan model apa yang bisa ditawarkan oleh Yesus? Apakah dengan demikian kita mengharapkan Yesus datang sebagai juruselamat yang secara teritorial menjelma menjadi penyembuh?

Situasi pandemi Covid-19 tidak mudah bagi semua orang, namun hal tersebut tidak berarti tidak ada pilihan untuk melihat kondisi pandemi ini dengan kaca mata teologi yang lebih terlevan. Injil Matius menawarkan konsep keselamatan yang pertama adalah melampaui batas teritorial. Salah satu dampak pandemi Covid-19 adalah terbatasnya perjumpaan, persekutuan langsung antar warga jemaat karena peribadahan dilaksanakan secara online. Persekutuan terasa kurang bermakna tanpa perjumpaan langsung, apa lagi jika ibadah di rumah masing-masing kurang hikmat. Gedung gereja yang selama ini menjadi simbol territorial kehadiran Allah dalam persekutuan umat tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Lalu apakah dengan demikian kehadiran Allah hanya ada di gedung gereja? Jika tidak, maka cara pandang kita mengenai persekutuan harus ditinjau ulang agar makna dari persekutuan tidak lagi dibatasi oleh gedung atau kondisi tertentu saja, sebab Allah hadir dimanapun saat umatNya memanggil.

Konsep keselamatan kedua yang ditawakan oleh Injil Matius adalah menafsir ulang Taurat. Taurat sebagai perwakilan sebuah ajaran dalam hal corak teologi, secara khusus teologi dalam konteks penderitaan akibat pandemi Covid-19. Selama ini kondisi penderitaan yang dialami manusia selalu dihubungkan dengan dosa, kesalahan manusia, hukuman dari Allah. Tijauan terhadap teologi yang demikian harus dilakukan di tengah pandemi ini. Adalah sebuah kekeliruan kalau kemudian mereka yang terjangkit Covid-19 di masa pandemi ini dianggap berdosa atau mendapatkan upah dosa. Umat sebagai pewarta keselamatan tidak memilih cara penghakiman sebagai jalan menyampaikan kabar sukacita. Sebab Allah sendiri dalam diri Yesus Kristus

justru memberi diri untuk mereka yang diaggap paling berdosa. Bahkan dalam penderitaan manusia Allah ambil bagian dengan menjadi sama dengan manusia melalui Yesus Kristus. Dalam penderitaan Covid-19 Allah turut menderita bersama manusia. Allah tidak meninggalkan manusia, Dia ada dalam setiap perjuangan manusia melalui pandami Covid-19.

Konsep keselamatan ketiga yang ditawarkan oleh Injil Matius adalah melampaui batas Bait Suci. Situasi pandemi bukanlah hal baru bagi Gereja. Pada tahun 1918 wabah Flu Spanyol melanda dunia dan menyebabkan jutaan orang meninggal di berbagai negara. Sekolah dan tempat-tempat umum seperti gereja ditutup untuk mengurangi penyebaran penyakit. Gereja pada masa itu terkena dampak wabah Flu Spanyol. Tidak banyak catatan mengenai apa yang dilakukan gereja pada masa itu. Menurut Jacklevyn Frits Manuputty Sekretaris Umum PGI Periode 2019-2024 dalam Webinar berjudul Respon Bergereja di Era New Normal yang diadakan oleh Jurusan Teologi Kristen IAKN Palangka Raya Jumat, 23 Oktober 2020 mengemukakan bahwa pengalaman gereja menghadapi wabah bukan pertama kali ini, tapi sejak awal gereja mula-mula ketika masih di bawah Kekaisaran Romawi abab 2-3 ada dua wabah yang terjadi dan waktu itu orang Kristen yang jumlahnya hanya sedikit memilih untuk tinggal dan merawat yang sakit, kegiatan pelayanan mereka inilah yang kemudian memunculkan istilah charitas, gereja menjadi tempat ibadah dan sekaligus pengobatan. Pilihan gereja untuk menjadi bagian penderitaan yang sakit oleh gereja mula-mula menjadi kesaksian bagi banyak orang, bahwa gereja tidak hanya menjadi lembaga keagamaan baku tapi juga berbuat sesuatu untuk orang yang menderita salah satunya dengan keluar dari batasan peran gereja yang selama ini dipahami hanya mengurusi persoalan kerohanian saja, tapi abai dalam sosial yang melampaui dogma-dogma gereja.

Konsep keselamatan keempat yang ditawarkan oleh Injil Matius adalah undangan perjamuan meja makan. Perjamuan meja makan merupakan simbol keakraban dan penerimaan terhadap semua orang. Perjamuan meja makan menjadi undangan bagi semua orang dalam kondisi pandemi Covid-19 untuk salah berkerjasama, ambil bagian bagian dalam mengurangi penyabaran Covid-19. Setiap upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat umum untuk saling menolong dalam kondisi sekarang adalah tanggapan terhadap tawaran keselamatan yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Sebagaimana penderitaan akibat Covid-19 dialami oleh semua orang di seluruh dunia. Demikian halnya penerapan protokol kesehatan, seperti anjutan penggunaan masket, mencuci tangan dan menjaga jarak adalah tanggapan orang percaya terhadap tawaran keselamatan.

Konsep keselamatan kelima yang ditawarkan oleh Injil Matius adalah menjamah kaum terbuang. Dalam konteks pandemic Covid-19 siapa yang berada di

(8)

57 posisi paling terpinggirkan, terbuang? Jawabannya adalah pasien Covid-19. Sejak awal pandemi pasien Covid-19 menjadi orang yang paling ditakuti dan mendapat stigma negatif dari masyarakat sebagai penyebar virus bahkan tidak jarang pasien Covid-19 ditolak kehadirannya dilingkungan rumahnya sendiri. Pasien Covid-19 menjadi kelompok yang mengalami penderitaan berlipat, secara fisik menderita, serta ditolak kehadirannya. Juergen Moltmann dalam rumusannya tentang teologi harapan menegaskan bahwa Allah, adalah Allah yang menderita. Bahkan Dia adalah Allah yang ditolak (Yewangoe, 2020:120). Dalam perspektif ini penolakan terhadap pasien Covid-19 adalah wujud penolakan terhadap kehadiran Allah dalam wajah pasien Covid-19.

Penutup

Dari paparan mengenai keselamatan yang ditawarkan Yesus seperti dalam konteks Matius, penulis mendapatkan pemaknaan baru terhadap konsep soteorologi. Anggapan yang keliru dari para pengikutnya mengenai siapa Yesus dan bagaimana seharusnya karyaNya, mengingatkan kita semua untuk tidak fatalistik ketika memahami soteorologi dalam konteks sekarang. UpayaNya memulihkan martabat manusia sebagai karya penyelamatan Yesus yang utama tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Yesus konsisten dengan perjuangan pemulihan martabat manusia sebagai sebuah soteorologi yang harus dimiliki manusia. Ini nampak nyata dari pelayananNya yang konsisten membela mereka yang terpingirkan. Pada masa sekarangpun keselamatan sebagai kelanjutan dari karya Yesus seharusnya mewujud dengan perjuangan pemulihan martabat manusia. Bagi mereka yang terpinggirkan, termasuk kepada kelompok tertentu yang dianggap bertanggunjawab karena telah menyebabkan penderitaan banyak orang. Sedangkan penebusan dosa adalah karya keselamatan eskatologis, yang juga berangkat dari pemulihan martabat manusia, karena manusia telah diampuni dosanya sehingga layak untuk diselamatkan. Pemulihan martabat manusia sebagai gambaran ideal dari keadilan, adalah keselamatan yang dimaksud oleh

Yesus supaya kita bersama-sama mewujudkannya. Dengan kita berani untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan itu, maka sebenarnya kita sudah membangun soteorologi tidak hanya sekarang ini tapi juga eskatologis.

Daftar Rujukan

Alatas, S.H. 1987. Korupsi sifat, sebab dan fungsi, Jakarta: LP3ES

Borg, Marcus J. 2003. Kali Pertama Jumpa Yesus, Jakarta: BPK

Marxen, Wili. 1994. Pengantar Berjanjian Baru Jakarta: BPK

Berkhof, H. 2005. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Barclay, William. 1964. New Testament Word,

Kentucky: Westminler John Knox Press Ihsanuddin, 2020

McBride, Denis. 1996. Apa Kata Mereka Tentang Yesus, Yogyakarta: Kanisius

Perrin, Norman. 1982. The New Testament An Introduction (Secon edition), New York: Harcout Brace Jovanovic

Kingsbury, Jack Dean. 2000. Injil matius Sebagai Cerita,Jakarta: BPK

Yewangoe, Anderas A. 2020. Menakar COvid-19 Secara Teologis. Jakarta: BPK

Konkordasi Alkitab, Jakarta: BPK, 1994

Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta:Yayasan Bina Bina Kasih, 2004

Napel, Henk ten, Kamus Inggris Teologi, Jakarta: BPK, 1994

Wood, D.R.W (ed), New Bible Dictionary Third Edition, England: Intervarsity Press, 1996

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/112659 21/breaking-news-jokowi-umumkan-dua-orang-di-indonesia-positif-corona diakses tanggal 19 April 2020

https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/16/19503 5165/jokowi-instruksikan-bekerja-dari-rumah-ini-arti-work-from-home?page=all diakses tanggal 19 April 2020

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan media pembelajaran yang menyenangkan dan menarik menjadikan mahasiswa BIPA akan lebih tertarik dan mudah untuk memahami budaya lokal, sehingga ketika

ü Anggrek yang hidup dengan cara menempel pada pohon mangga tidak menyerap makanan dari inangnya karena anggrek dapat membuat makanan sendiri. ü Dalam hubungan

logam Ni selanjutnya sebagai situs aktif untuk reaksi hidrogenasi (-)-isopulegol menjadi (-)- mentol tidak dapat berlangsung dengan baik.

Struktur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah kabupaten sambas perlu di analisis karena hasil perhitungannya dapat dijadikan sebagai indikator

Berdasarkan hasil penelitian tentang perbedaan perendaman antara minuman bersoda dan jus lemon selama 30, 60, 120 menit terhadap kekerasan email pada permukaan

Dari tiga lembaga yang ditetapkan oleh Allah tersebut, yaitu: keluarga, gereja dan pemerintah, lembaga yang paling kecil tetapi menjadi embrio bagi gereja dan pemerintah

Dari hasil observasi pada komunitas Harajuku Skoater Akademi hampir dari seluruh komunikasi yang dilakukan oleh para anggota komunitas Skoater sama atau tidak

Penelitian tentang penggunaan adefovir pada pasien dengan HBeAg negatif juga menunjukkan hasil yang memuaskan.. penelitian ini juga tidak ditemukan efek samping dan