ICASEPS WORKING PAPER No. 98
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG
DALAM MENDUKUNG PROGRAM
PENGEMBANGAN SWASEMBADA DAGING
DI NUSA TENGGARA BARAT
Bambang Winarso
Maret 2009
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENGEMBANGAN
SWASEMBADA DAGING DI NUSA TENGGARA BARAT
Bambang Winarso
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161
Abstrak
Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra pengembangan ternak sapi potong, dilihat dari besarnya pangsa populasi tenak sapi potong tahun terakhir (2006) adalah sebesar 3,5 persen terhadap populasi nasional. Dalam upaya pengembangan ternak potong pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui dinas Peternakan Provinsi telah menyebarkan ternak kepada masyarakat peternak. Informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan ada beberapa program pengembangan ternak sapi potong yang telah dan sedang dilaksanakan diwilayah ini. Hasil rekapitulasi dan perkembangan ternak pemerintah yang dilakukan pada tahun awal 2007 menunjukkan bahwa hampir semua program pengembangan ternak sapi potong telah tersebar disetiap kecamatan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Beberapa program yang telah dilaksanakan tersebut diantaranya adalah program P2RT, program PPA, program PASP, program Penggemukan dan program PAP. Salah satu program yang cukup adalah Inseminasi Buatan , hasil inventarisasi terhadap salah satu kelompok menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan adalah tingginya angka kematian anak sapi. Tingginya angka kematian tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah lingkungan yang kurang sehat, baik lingkungan kandang, lingkungan pakan dan kesehatan. Faktor lainnya adalah karena genetik yang memang kondisi sapi yang kurang baik, karena kegemukan dan yang terakhir adalah interaksi antara faktor genetik maupun lingkungan. Disamping itu kualitas straw maupun kemampuan peternak dalam mendeteksi tingkat kebirahian ternak yang masih lemah sehingga masih banyak ditemui kegagalan kebuntingan. Namun demikian secara umum peternak telah mulai memahami betapa pentingnya kegiatan Inseminasi Buatan dan manfaatnya telah banyak dirasakan oleh peternak.
PENDAHULUAN
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra pengembangan ternak sapi potong. Dilihat dari besarnya pangsa populasi ternak sapi potong tahun terakhir (2006) hanya sebesar 3,5 persen terhadap populasi nasional yang menyebabkan keberadaan wilayah ini menjadi penting, terutama sebagai sentra pengembangan sekaligus sebagai pemasok ternak sapi potong khususnya jenis sapi Bali. Sejalan dengan pelaksanaan program pengembangan ternak sapi potong di wilayah ini maka selama 5(lima) tahun terakhir (2001 – 2005) angka populasi ternak diwilayah ini mengalami perkembangan positif dengan laju pertumbuhan 0,39 persen rata-rata pertahun. Pada tahun 2001 jumlah populasi ternak sapi potong diwilayah ini adalah sebesar 395,75 ribu ekor meningkat menjadi 451,165 ribu ekor pada tahun 2005.
Beberapa wilayah kabupaten yang cukup dominan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam pengembangan ternak sapi potong pada tahun 2005 diantaranya adalah Kabupaten Lombok Barat yang memiliki pangsa sebesar 23,65 persen, Kabupaten Bima 13,08 persen Kabupaten Sumbawa sebesar 16,77 persen dan Kabupaten Lombok tengah 16,07 persen. Program pengembangan ternak oleh pemerintah yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya yang dilaksanakan melalui dana BPLM (Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat) pada dasarnya dilaksanakan sejak tahun 2000 sampai dengan 2005. Pelaksanaan BPLM pada tahun 2000 dialokasikan di 3 wilayah kabupaten yaitu Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa. Sementara pelaksanaan BPLM pada tahun 2001 juga dilaksanakan di 3 wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Pelaksanaan BPLM tahun 2002 dilaksanakan di 6 kabupaten/kota yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima, dan pada tahun 2003 teralokasikan di 7 wilayah kabupaten/kota, yaitu Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima. Sedangkan pelaksanaan program yang sama dilaksanakan pada tahun anggaran 2004 mengalami peningkatan dan dilaksanakan di 8 wilayah kabupaten/kota, yaitu kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima, tersebar di 13 kecamatan.
Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa sebanyak 8(delapan) kabupaten/kota telah terjangkau oleh program tersebut. Tidak kurang dari 13 kecamatan dan 13 desa terlibat didalamnya. Sementara sebanyak 13 kelompok telah mendapat bantuan dana tersebut yang didalamnya melibatkan tidak kurang dari 395 anggota kelompok tani ternak.
Pengembangan Ternak Pemerintah
Disamping adanya program BPLM maka dalam upaya pengembangan ternak potong pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui dinas Peternakan Provinsi juga telah menyebarkan ternak kepada masyarakat
peternak. Pelaksanaan kegiatan penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah tersebut berasal dari berbagai sumber dan diantaranya dari dana APBN, APBD I, NTASP, Banpress, PPW dan lainnya. Kegiatan tersebut telah berjalan sejak PELITA I sampai saat ini. Pengelolaan ternak yang bersumber dari dana pemerintah tersebut berdasarkan hasil evaluasi terakhir terkesan mengalami kemunduran.
Disamping kurang terpantaunya kegiatan tersebut secara intensif juga kurang adanya laporan dari para pelaksana dilapangan. Kondisi terakhir Tahun 2005 posisi populasi menunjukkan jumlah ternak yang masih tersisa adalah sebanyak 3.943 ekor dengan perincian 982 ekor ternak jantan dan 3.203 ternak betina. Dilihat dari akumulasi ternak yang ada sebagian berdomisili di wilayah Kabupaten Sumbawa sebanyak 3.052 ekor, Bima sebanyak 503 ekor, Dompu 373 ekor, Lombok Barat sebanyak 36 ekor, Lombok Tengah dan Lombok Timur masing-masing 5 ekor. Sementara Peternak pengadas yang terlibat secara keseluruhan sebanyak 3.943 orang.
Pengembangan Kawasan Agropolitan
Sejak disosialisasikan program agropolitan pada tahun 2002, diwilayah Provinsi Nusa tenggara Barat saat ini baru 3 kabupaten ditetapkan sebagai lokasi pengembangan kawasan program tersebut. Dari 3 kabupaten tersebut beraneka ragam komoditas yang diandalkan dalam pengembangan agropolitan dan pemerintah provinsi baru memfasilitasi di 3 kecamatan dengan melalui dana dekonsentrasi. Sementara dukungan sub sektor peternakan sendiri saat ini baru sebatas pemberdayaan masyarakat melalui pemberian paket bantuan pinjaman langsung masyarakat (BPLM).
Permasalahannya adalah belum tersosialisasikannya program ini dengan baik terutama didaerah pengembangan seperti di Kabupaten Lombok Timur dan Sumbawa sehingga prosesnya belum bisa berjalan dengan baik. Disamping itu belum adanya kesepahaman konsep dan persepsi dalam membangun kawasan serta kebutuhan peningkatan produk dan komoditas diwilayahnya. Sehingga
masih diperlukan adanya sosialisasi program serta perlu adanya peningkatan koordinasi yang lebih baik.
Kinerja Pengembangan Ternak di Daerah
Kasus di Kabupaten Lombok Tengah
Wilayah Kabupaten Lombok Tengah merupakan salah satu sentra pengembangan ternak potong khususnya ternak sapi potong di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Disamping wilayah yang cocok untuk pengembangan ternak tersebut, maka sumberdaya baik sumberdaya alam, manusia dan sumberdaya ternaknya sendiri juga cukup potensial. Sejalan dengan hal tersebut salah satu kebijakan program pengembangan yang ditempuh oleh pemerintah daerah setempat khususnya Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat menjadikan wilayah Kabupaten Lombok Tengah dijadikan lokasi program pengembangan ternak khsusnya sapi potong dan ternak potong lainnya.
Informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan adanya beberapa program pengembangan ternak sapi potong yang telah dan sedang dilaksanakan diwilayah ini. Hasil rekapitulasi dan perkembangan ternak pemerintah yang dilakukan pada tahun awal 2007 menunjukkan bahwa hampir semua program pengembangan ternak sapi potong telah tersebar disetiap kecamatan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Dalam program pengembangan ternak sapi potong tersebut dana bersumber baik dari dana APBN, dari dana alokasi khusus (DAK) maupun dari dana alokasi umum (DAU). Sementara jumlah ternak sapi potong yang tersalur tidak kurang dari 1.360 ekor yang melibatkan 639 peternak.
Hasil rekapitulasi perkembangan selama satu tahun anggaran (2006/2007) menunjukkan bahwa jumlah populasi ternak sapi potong yang tersalur maupun jumlah peternak yang terlibat program tersebut pada posisi akhir justru cenderung mengalami penurunan sebesar – 8,45 persen, sedangkan jumlah peternak peserta program mengalami pengurangan sebesar – 5,47 persen . Hal ini tentu merupakan gejala yang kurang menguntungkan terutama untuk keberlanjutan program pengembangan ternak sapi potong di wilayah ini.
Berkurangnya populasi ternak sapi potong tersebut disebabkan oleh berbagai hal seperti karena mati bangkang (ternak mati tidak ketahuan sehingga menjadi bangkai). Penyebab lain adalah karena ternak dijual, ternak hilang di curi atau dipotong paksa karena sakit yang tidak bisa disembuhkan atau sengaja dipotong. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa penyusutan populasi tersebut terjadi disetiap wilayah kecamatan dimana program tersebut diaplikasikan. Data lapangan menunjukkan bahwa penurunan populasi ternak bervariasi antara -3,3 persen di Kecamatan Jonggat dan sampai dengan – 29,55 persen untuk Kecamatan Praya Barat. Sedangkan pengurangan jumlah peternak peserta program bervariasi antara 2,15 persen di Kecamatan Jonggat sampai dengan 13,33 persen peternak peserta program di wilayah Kecamatan Praya Barat Daya.
Kasus di Wilayah Kec. Pringgarata – Kabupaten Lombok
Kecamatan Pringgarata merupakan salah satu wilayah kecamatan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah yang telah mendapat berbagai bantuan program pengembangan ternak sapi potong dari pemerintah. Data hasil evaluasi terakhir yang dilakukan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan bahwa beberapa desa di wilayah kecamatan ini telah mendapatkan bantuan program pengembangan ternak sapi potong sejak tahun 1997. Tidak kurang dari 7 desa dan 12 dusun telah mendapat bantuan ternak sapi potong. Ada beberapa program yang telah dilaksanakan di wilayah kecamatan tersebut diantaranya adalah program P2RT, program PPA, program PASP, program Penggemukan dan program PAP. Dana masing-masing program tersebut bersumber dari dana APBN maupun dari dana alokasi umum (DAU)
Sementara jumlah ternak yang tersalur bervariasi antar desa yang satu dengan desa yang lainnya yaitu antara 10 ekor sampai dengan 178 ekor. Sedangkan peternak yang mendapatkan bantuan ternak sapi potong juga bervariasi antara 10 orang sampai dengan 89 orang perdusun. Dalam pelaksanaan program pengembangan ternak di wilayah Kecamatan Pringgarata
tersebut telah melibatkan kelompok ternak sebanyak 13 kelompok tani ternak. Keragaan angka-angka yang berkaitan dengan pelaksanaan program pengembangan ternak tersebut diatas setidaknya mencerminkan keseriusan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam upaya untuk meningkatkan kinerja peternakan khususnya meningkatkan populasi ternak sapi potong dalam upaya mencukupi kebutuhan daging nasional.
Pengembangan ternak di Tingkat Desa
Salah satu kasus desa contoh di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah 3 desa terpilih yaitu Desa Spakek, Desa Sintung Kecamatan Pringgarata dan Desa Batukuta Kecamatan Narmada. Dimana ketiga desa tersebut merupakan sentra kegiatan program pengembangan ternak sapi potong pemerintah. Hasil wawancara dengan responden peternak di Desa Spakek menunjukkan bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa yang telah lama mendapat bantuan program pengembangan ternak dari pemerintah. Kasus kegiatan pengembangan ternak yang dilakukan oleh salah satu kelompok tani ternak “Pide Lestari” menunjukkan bahwa kelompok tersebut disamping telah mendapat bantuan ternak pemerintah dengan sistem gaduhan, maka pola yang dikembangkan adalah pola pembibitan.
Salah satu program yang telah dilaksanakan di kelompok ini diantaranya adalah Inseminasi Buatan yang dilakukan sejak ada kegiatan program pengembangan. Hasil inventarisasi kelompok menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir kelahiran ternak hasil Inseminasi Buatan cukup banyak yaitu sebanyak 201 ekor. Dari jumlah tersebut anak sapi jantan dilahirkan sebanyak 116 ekor, sapi betina 85 ekor dan mati sebanyak 31 ekor.
Informasi menunjukkan bahwa setiap induk sapi dilihat dari kemampuan melahirkan selama periode 5 tahun tersebut cukup bervariasi. Jumlah induk yang mampu melahirkan 5 kali sebanyak 5 ekor, induk yang mampu melahirkan 4 kali sebanyak 24 ekor, sementara induk yang mengalami kemajiran sebanyak 1 ekor.
Yang menjadi permasalahan adalah tingginya angka kematian anak sapi. Hasil diskusi dengan petugas lapangan menunjukkan bahwa tingginya angka kematian tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah lingkungan yang kurang sehat, baik lingkungan kandang, lingkungan pakan dan kesehatan. Faktor lainnya adalah karena genetik yang memang kondisi sapi yang kurang baik, karena kegemukan dan yang terakhir adalah interaksi antara faktor genetik maupun lingkungan.
Kasus di Tingkat Petani
Karakteristik Peternak contoh
Penelitian Yusda et al. (2007) menunjukkan bahwa dilihat dari pengalaman dalam budidaya ternak sebagian besar peternak telah berpengalaman cukup lama dalam usaha budidaya ternak, setidaknya 43,33 persen peternak telah beternak antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun bahkan 36, 67 persen peternak telah beternak lebih dari 20 tahun. Kondisi tersebut terutama didominasi oleh peternak-peternak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lamanya beternak mencerminkan bahwa budidaya ternak merupakan salah satu kegiatan yang benar-benar di minati oleh masyarakat tersebut.
Sementara dilihat dari karakteristik umur responden, menunjukkan bahwa sebagian besar responden (43,33 %) telah berusia diatas 50 tahun, sedangkan peternak yang berusia dibawah 40 tahun hanya 16,67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan budidaya ternak khususnya ternak sapi potong kurang diminati oleh kaum muda. Yang menjadi perhatian tentunya bagaimana agar para generasi muda di perdesaan mau menekuni bidang tersebut. Sebab keberlanjutan pengembangan peternakan salah satunya ditentukan oleh antusiasnya para generasi muda di perdesaan. Upaya kearah itu selayaknya harus sudah mulai diupayakan. Keterlibatan kaum muda dalam program pengembangan ternak harus digiatkan.
Tabel 1. Pengelolaan Usaha Ternak Yang Dilakukan Oleh Responden di Lokasi Contoh, Tahun 2007 (%)
Keterangan
Provinsi Nusa Tenggara
Barat 1.Pola usaha yang
dilakukan : a. Penggemukan b. Pembibitan c. Campuran 2. Cara pemeliharaan : a. Dikandang b. Dilepas c. Digembalakan 46.67 26.66 26.67 100,0 0,00 0,00
Sumber, Yusdja et. All, 2005
Dilihat dari pola usaha ternak yang dilakukan oleh peternak responden sebagian besar adalah pola pembibitan (46,67 persen). Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam program swasembada daging yang saat ini sedang digiatkan, maka pola pembibitan merupakan pola yang banyak ditempuh oleh sebagian kegiatan program pengembangan ternak sapi potong. Hal ini terutama untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong, disamping itu adalah dalam upaya penyelamatan plasma nutfah ternak lokal. Namun demikian sebagian peternak juga melakukan budidaya ternak sapi potong dengan pola penggemukan maupun campuran yang masing-masing besarannya 26,67 persen (Tabel 1). Pola pemeliharaan yang umum dilakukan adalah dengan cara dikandangkan. Hal ini disamping semakin terbatasnya lahan padang penggembalaan, sistem kandang dipandang lebih efisien dalam alokasi tenaga kerja.
Hasil penelitian Yusdja et al (2007) juga menunjukkan bahwa selama periode lima tahun terakhir (2002 – 2006) dilihat dari kinerja program pengembangan ternak khususnya sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun pihak lainnya, maka peran pemerintah secara umum masih terbatas. Salah satu program pemerintah yang dilakukan dalam upaya peningkatan populasi ternak potong adalah adanya bantuan bibit ternak kepada
para peternak. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa dilihat dari rata-rata bibit yang dikuasai peternak sebagian besar adalah swadaya. Usaha sendiri tampaknya masih mendominasi kinerja pengadaan bibit ternak oleh peternak (Tabel 2).
Tabel 2. Sumber Pengadaan Bibit Ternak yang Dilakukan Oleh Responden di Lokasi Contoh, Periode 2002-2006
Tahun Keterangan 2002 2003 2004 2005 2006 a.Sendiri b.Bantuan Pemrntah c.Bantuan Swasta d.Lainnya 2,40 0,04 0,00 2,10 2,30 0,08 0,00 2,30 2,80 0,06 0,06 2,50 3,00 0,04 0,05 2,50 3,70 0,04 0,05 2,70
Sumber : Yusdja et.al, (2007).
Jenis Program yang Diintroduksikan Kepada Peternak
Pemerintah melalui berbagai program berupaya untuk meningkatkan kinerja peternakan, terutama peningkatan populasi ternak. Sejalan dengan itu berbagai kegiatan proyek yang berkaitan dengan masalah peternakan telah masuk ke desa-desa sentra ternak baik di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun demikian belum semua desa maupun peternak tersentuh oleh adanya program kegiatan tersebut.
Beberapa program pengembangan ternak potong yang telah maupun yang sedang dilaksanakan pada dasarnya adalah bertujuan untuk mengatasi kelangkaan atau kekurangan daging, namun disi lain yang tidak kalah pentingnya adalah membantu peternak dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan ekonomi rumah tangganya. Dilihat dari pola usaha yang dianjurkan disamping pola penggemukan juga pola pembibitan. Kedua pola tersebut dilakukan disamping untuk meningkatkan populasi ternak juga dalam upaya meningkatkan produksi hasil ternak terutama daging sebagai kebutuhan pangan protein hewani bagi masyarakat.
Program Pengembangan Inseminasi Buatan (IB)
Sejalan dengan perencanaan pembangunan khususnya yang berkaitan dengan masalah program swasembada daging 2010, Direktorat Jenderal Peternakan telah mencanangkan program swasembada daging sapi 2010, maka wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dicanangkan sebagai wilayah kategori kedua yaitu daerah pengembangan ternak sapi potong maupun kerbau dengan menekankan campuran antara IB dan kawin alam sebagai prioritasnya.
Untuk mencapai sasaran tersebut Direktorat Jenderal Peternakan telah menyusun 7 kegiatan prioritas utama yaitu (a) optimalisasi akseptor dan kelahiran IB/KA, (b) pengembangan RPH dan pengendalian pemotongan betina produktif, (c) penyediaan induk bibit, (d) penanganan gangguan reproduksi dan keswan, (5) distribusi pejantan unggul, (6) pengembangan pakan lokal, (7) pengembangan SDM/kelembagaan. Dalam upaya mencapai sasaran tersebut, dan seperti telah diketahui bahwa wilayah Provinsi Lampung ditentukan sebagai daerah campuran IB dan kawin alam, maka prioritas kegiatan lebih difokuskan pada (a) kegiatan perbaikan dan penyediaan bibit, (b) pengembangan pakan lokal (c) optimalisasi akseptor IB dan kelahiran dan (d) intensifikasi kawin alam. Dalam program tersebut wilayah Provinsi Lampung telah ditargetkan tambahan penyediaan daging sebanyak 4.812 ton setara 26011 ekor ternak sapi. Hal ini perlu ditempuh melalui kegiatan Inseminasi Buatan sebesar 50 persen dan kawin alam 50 persen.
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara barat menunjukkan bahwa minat masyarakat peternak terhadap straw yang diinginkan adalah straw Brahman, Brangus, Limousin dan Simental. Data tahun terakhir (2005) menunjukkan bahwa untuk Straw jenis Brahman telah tersalur sebanyak 14.735 dosis, sementara Brangus sebanyak 10.727, Simental 9.184. dan Limousin sebanyak 14.948 dosis. Pesatnya permintaan terhadap straw jenis tersebut karena telah terbukti bahwa sapi kelahiran jenis straw tersebut mampu memberikan keuntungan lebih banyak dibandingkan straw jenis lainnya.
Adanya program Inseminasi Buatan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa baru 40,0 persen peternak yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian responden dalam melakukan budidaya ternak sapi potong yang dilakukan adalah pola penggemukan sapi bakalan jantan, sehingga dengan sendirinya tidak pernah melakukan kegiatan IB. Keberhasilan program kegiatan Inseminasi Buatan pada intinya diukur dari banyaknya anak sapi yang lahir dari hasil Inseminasi Buatan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa selama periode 3 tahun berturut-turut (2004 – 2006) angka kelahiran anak sapi yang dihasilkan dari kegiatan Inseminasi buatan cenderung meningkat. Pada periode tahun 2004 jumlah anak sapi yang dilahirkan per peternak yang melakukan budidaya pembibitan rata-rata 1,71 ekor /tahun dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 4,42 ekor. Sementara pada tahun 2005 angka kelahiran meningkat menjadi 2,12 rata-rata pertahun dengan total pemeliharaan ternak sapi sebanyak 5,89 ekor.
Dampak dan Keberhasilan Program Swasembada Daging
Dilihat dari peningkatan penguasaan ternak pola pembibitan, wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat cenderung lebih tinggi tingkat penguasaan ternaknya yaitu 7,2 ekor rata-rata per peternak (2006) dan mengalami peningkatan tajam dibandingkan tahun 2004 yang hanya 4,20 ekor rata-rata per peternak. Demikian juga dengan besarnya peningkatan angka kelahiran anak sapi hasil IB. Dimana pada tahun 2004 angka kelahiran anak sapi hasil IB rata-rata 1,6 ekor maka pada tahun 2006 meningkat menjadi 2,2 ekor rata-rata-rata-rata per peternak per tahun.
Data Tabel 3 menunjukkan bahwa program kegiatan Inseminasi Buatan yang selama ini memang sedang digalakkan, dan telah menunjukkan keberhasilannya. Namun demikian kegiatan Inseminasi Buatan dilapangan tetap saja masih banyak menemui kendala. Kendala utama adalah kualitas straw maupun kemampuan peternak dalam mendeteksi tingkat kebirahian ternak yang masih lemah yang masih banyak menjadi keluhan para petugas IB, sehingga
masih banyak ditemui kegagalan kebuntingan. Namun demikian secara umum peternak telah mulai memahami betapa pentingnya kegiatan Inseminasi Buatan dan manfaatnya telah banyak dirasakan oleh peternak.
Tabel 3. : Keragaan Peningkatan Populasi Ternak Sapi Potong di Tingkat Responden di Lokasi Contoh, Tahun 2004-2006 (%)
Tahun
Keterangan 2004 2005 2006
a. Jumlah sapi (ekor)
b. Jumlah kelahiran (ekor )/tahun c. Jumlah kematian (ekor)/tahun d. Jumlah yang dijual (ekor)/tahun e. Jumlah yang dibeli (ekor)/tahun
4,20 1,60 0,00 1,80 1,20 6,00 2,40 0,00 2,40 2,00 7,20 2,20 0,00 3,00 2,00
Sumber : Yusdja et All, 2005.
Seperti telah dikemukakan bahwa keberhasilan program pengembangan ternak terutama dalam upaya meningkatkan populasi ternak salah satunya adalah diukur oleh anak sapi yang dapat dilahirkan dari hasil Inseminasi Buatan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah upaya peningkatan peran reproduktivitas selain dilakukan melalui upaya pemeriksaan kebuntingan, usaha penyelamatan kelahiran serta pemeriksaan induk maka hal yang juga penting adalah pemeliharaan induk sapi betina bunting secara seksama agar ternak yang bersangkutan dapat tumbuh sehat sehingga dapat melahirkan anak sapi yang sehat pula.
Salah satu permasalahan dalam budidaya ternak potong adalah ketersediaan pasokan pakan ternak secara teratur dengan mutu yang baik, hal ini yang secara umum masih menjadi kendala oleh hampir semua peternak. Sempitnya tingkat penguasaan lahan oleh peternak menyebabkan lahan yang ada lebih diutamakan untuk tanaman pangan sebagai kebutuhan pokok keluarga. Sementara penanaman hijauan pakan ternak di lahan milik sendiri hampir tidak ada sama sekali. Artinya kebutuhan hijauan pakan ternak
pakan ternak yang ada pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pola pemberian pakan serta komposisi pakan yang ada. Ketersediaan hijauan pakan ternak terbatas menyebabkan pola pemberian pakan HMT hanya 10,0 kg rata-rata per hari/ekor. Untuk menambah kebutuhan gizi pakan ternak maka ditambah dengan konsentrat (dedak/katul) rata-rata 1,12 kg per ekor.
Tabel 4. Perkembangan Ternak Sapi Potong Hasil Inseminasi Buatan Pada Kelompok Tani Ternak “Pide Lestari” Sintung, Pringgarata, Lombok Tengah Sealama 2001 – 2007.
Jumlah anak sapi Beranak
(kali)
Jumlah induk ternak
Jantan Betina Total Mati Sisa
5 kali 4kali 3 kali 2 kali 1 kali 0 5 24 24 4 -1 19 48 45 4 -6 48 27 4 -25 96 72 8 -4 8 17 2 -21 88 55 6 -- 58 116 85 201 31 170
Sumber : KCD Pringgarata, Disnak Kab. Lombok Tengah, 2007.
Sebenarnya pemanfaatan limbah pertanian oleh peternak dilokasi contoh hampir tidak mengalami kendala. Seperti ketersediaan jerami, dedak/katul, konsentrat dan limbah pertanian lainnya cukup lancar. Permasalahannya adalah bahwa komoditas pakan ternak tersebut ketersediaannya sangat terbatas hanya pada saat musim panen saja. Bagi wilayah yang populasi ternaknya relatif sedikit, maka penimbunan jerami kering dalam rangka melakukan stock pakan musim kemarau dapat dilakukan dengan mudah. Sementara bagi wilayah yang populasi ternaknya cukup padat seperti kasus di wilayah Nusa Tenggara Barat, maka kegiatan ”restocking” pakan berupa jerami kering sulit dilakukan, karena disamping habis di konsumsi segar juga adanya kebutuhan lain diluar peternakan, seperti untuk kebutuhan mulasa tanaman kedelai dan lainnya.
Hal yang menjadi perhatian terutama bagi pengambil kebijakan, maka masalah ketersediaan pakan ternak tampaknya sudah harus mulai dibenahi dengan serius. Mengingat salah satu kendala peternak dalam meningkatkan volume usahanya adalah keterbatasan tenaga kerja untuk mencari pakan HMT.
Program pengembangan HMT dalam upaya mendukung program swasembada daging mutlak diperlukan. Terutama untuk antisipasi dengan semakin meningkatnya populasi ternak potong sejalan dengan gencarnya program IB yang mau tak mau harus diimbangi oleh ketersediaan dan kecukupan pasokan pakan ternak baik HMT maupun bentuk pakan lainnya.
Pemotongan Ternak Betina Produktif
Salah satu upaya yang di tempuh dalam mencapai swasembada daging secara nasional adalah pengawasan terhadap pemotongan ternak sapi potong betina produktif. Upaya pencegahan ini dilakukan agar proses kelanjutan reproduksi ternak potong terutama dari betina-betina yang masih produktif tidak terhambat. Kasus di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa dari jumlah pemotongan ternak sapi potong sebanyak 22.866 ekor pada tahun 2005 maka sebanyak 3.461 ekor atau 15,13 persen adalah betina. Dari sebanyak 3.461 ekor betina yang dipotong, maka 1.307 ekor atau 5,71 persen dari ternak yang dipotong adalah merupakan ternak betina produktif (Dinas Peternakan Nusa Tenggara Barat, 2005).
Berdasarkan lokasi pemotongan maka beberapa wilayah kabupaten seperti Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima merupakan wilayah-wilayah yang sangat rentan terhadap pelaksanaan pemotongan betina produktif. Informasi menunjukkan bahwa 39,63 persen ternak yang dipotong di wilayah kabupaten Bima merupakan ternak betina produktif, Kabupaten Sumbawa adalah sebesar 6,12 persen dan Kota Bima adalah 20,16 persen. Hal yang demikian tentu dapat menghambat pertumbuhan populasi ternak tersebut, mengingat ternak sapi betina merupakan modal utama untuk peningkatan populasi ternak melalui kegiatan reproduksi.
Tingginya kegiatan pemotongan ternak sapi potong betina produktif mencerminkan masil lemahnya upaya dalam mengatasi hal tersebut. Disamping itu masih sulitnya usaha pencegahan yang disosialisasikan ditingkat petani, faktor lainnya adalah kebutuhan petani ternak yang mendesak belum bisa diatasi dengan cara lain selain menjual ternaknya yang terkadang merupakan ternak betina yang masih produktif. Upaya pencegahan perlu dilakukan selain adanya sosialisasi, maka pencegahan dapat dilakukan dengan cara pemberian modal kepada peternak, atau pembelian ternak yang akan dipotong di tingkat pedagang, atau di tingkat RPH. Hal ini tentu membutuhkan dana yang cukup besar dan perlu pemikiran akan dikemanakan sapi-sapi yang dibeli oleh pemerintah tersebut.
KESIMPULAN
Dalam upaya pengembangan ternak potong, pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui dinas Peternakan Provinsi juga telah menyebarkan ternak kepada masyarakat peternak. Informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Lombok Tengah menunjukkan adanya beberapa program pengembangan ternak sapi potong yang telah dan sedang dilaksanakan diwilayah ini. Hasil rekapitulasi dan perkembangan ternak pemerintah yang dilakukan pada tahun awal 2007 menunjukkan bahwa hampir semua program pengembangan ternak sapi potong telah tersebar disetiap kecamatan di wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Dalam program pengembangan ternak sapi potong tersebut dana bersumber baik dari dana APBN, dari dana alokasi khusus (DAK) maupun dari dana alokasi umum (DAU). Sementara jumlah ternak sapi potong yang tersalur tidak kurang dari 1.360 ekor yang melibatkan 639 peternak. Beberapa program yang telah dilaksanakan diantaranya adalah program P2RT, program PPA, program PASP, program Penggemukan dan program PAP. Yang masing-masing program ada yang bersumber dari dana APBN maupun dari dana alokasi umum (DAU)
Salah satu program strategis lainnya yang telah dilaksanakan adalah Inseminasi Buatan. Yang menjadi permasalahan adalah tingginya angka kematian anak sapi, hasil diskusi dengan petugas lapangan menunjukkan bahwa tingginya angka kematian tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah lingkungan yang kurang sehat, baik lingkungan kandang, lingkungan pakan dan kesehatan. Faktor lainnya adalah karena genetik yang memang kondisi sapi yang kurang baik, karena kegemukan dan yang terakhir adalah interaksi antara faktor genetik maupun lingkungan. Kegiatan Inseminasi Buatan dilapangan tetap saja masih banyak menemui kendala. Kendala utama adalah kualitas straw maupun kemampuan peternak dalam mendeteksi tingkat kebirahian ternak yang masih lemah yang masih banyak menjadi keluhan para petugas IB, sehingga masih banyak ditemui kegagalan kebuntingan. Namun demikian secara umum peternak telah mulai memahami betapa pentingnya kegiatan Inseminasi Buatan dan manfaatnya telah banyak dirasakan oleh peternak.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Petunjuk Teknis Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002 . Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi - Ternak.
Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Lombok Tengah. Laporan Tahunan
Direktorat Jenderal Peternakan . 1992 – 2002. Peternakan Dalam Angka.
Hayanto. B., I. Inounu., Arsana. B dan K. Diwyanto. 2002. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Yusdja Y. Sayuti R., Hastuti S., Sadikin I., Winarso B. dan Muslim; 2005. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.