• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Dua Kecamatan di Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Dua Kecamatan di Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Dua Kecamatan di Lahan

Pasang Surut Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Reproductive Performance of Bali Cattle on Two District in Tidal

Swamplands Banyuasin Regency, South Sumatera Province

Aulia Evi Susanti1*), Nono Ngadiyono2, Sumadi2

1

BPTP Sumatera Selatan, Jl. Kol. H. Burlian Km.6 No.83, Palembang

2

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Fauna No.3, Bulaksumur, Yogyakarta

*)

Corresponding author: auliaviatmaja@gmail.com

ABSTRACT

Tidal swamplands are one of the potential for development of agro-ecosystem farm. Data on beef cattle reproductive performance in tidal swampland is not yet available. This study aims to determine the reproductive performance of Bali cattle on two districts in tidal swampland Banyuasin, South Sumatra. The study was conducted from September to October 2014 the number of respondents was 121 respondents and 292 Bali cattle observation. The method used was survey. The Variables observed were age of the first mating and age of the first partus, the system of mating, age of calf weaning, the first mating of postpartum, calving interval and calf crop percentage per year. The data obtained was calculated sum, percentage, mean, deviation standard and be analyzed descriptively. The results showed that average age of the first mating were 25.95 ± 1.34 months for bulls and 23.20 ± 0.28 months for female, the age of first partus were 32.25 ± 0.35 months, mostly using natural mating, the average of weaning age were 6.45 ± 0.64 months, the first mating of postpartum were 3.3 ± 0.42 months, calving in terval were14.30 ± 0.42 months and calf crop percentage was 16.44 ± 5.43% from population. The results showed that Bali cattle reproductive performace in two districts in tidal land Banyuasin is good enough category.

Key words: Reproductive performance, Bali cattle, Tidal swamplands, Banyuasin regency ABSTRAK

Lahan rawa pasang surut adalah salah satu agroekosistem yang berpotensi untuk pengembangan peternakan. Data mengenai ternak penampilan reproduksi sapi di lahan rawa pasang surut belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi sapi Bali yang dipelihara pada dua kecamatan di lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2014 dengan jumlah responden 121 peternak dan pengamatan 292 ekor sapi Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Variabel yang diamati meliputi umur pertama kali dikawinkan dan umur induk pertama kali beranak, metode perkawinan, umur pedet disapih, perkawinan pertama setelah beranak, jarak beranak dan jumlah kelahiran pedet dalam setahun. Data hasil penelitian ditabulasi kemudian dihitung jumlah, persentase, rata-rata, simpangan baku kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan dengan rata-rata umur sapi pertama kali dikawinkan untuk sapi jantan 25,95±1,34 bulan dan sapi betina 23,20±0,28 bulan, umur induk pertama kali beranak 32,25 ± 0,35 bulan, sebagian besar perkawinan alam, umur sapih rata-rata 6,45 ± 0,64 bulan, perkawinan pertama setelah melahirkan 3,3 ±0,42 bulan, jarak beranak 14,30 ± 0,42 bulan dan persentase kelahiran pedet terhadap populasi 16,44 ± 5,43 %. Hasil penelitian tersebut

(2)

menunjukkan bahwa penampilan reproduksi sapi Bali pada dua kecamatan di lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin cukup baik.

Kata kunci: Penampilan reproduksi, Sapi Bali, Lahan pasang surut, Kabupaten Banyuasin

PENDAHULUAN

Di Indonesia sapi potong merupakan bagian penting dalam sistem pertanian terpadu dan kehidupan peternak rakyat. Peningkatan jumlah penduduk, menyebabkan permintaan terhadap daging khususnya daging sapi terus meningkat. Program pemerintah telah dicanangkan melalui Kementerian Pertanian untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yaitu program swasembada daging sapi berbasis sumberdaya genetik (Ditjennak, 2010). Program tersebut secara umum bertujuan untuk menambah populasi dan produktivitas sapi, dengan mengembangkan potensi persapian Indonesia yang ada (Harmini dkk, 2011). Menjadi penting untuk dikaji sejauh mana penerapan program tersebut terhadap peternak rakyat dapat seoptimal mungkin. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penelitian dasar tentang sistem pemeliharaan sapi serta kondisi sapi di peternak rakyat tersebut.

Budidaya sapi tidak hanya diusahakan dilahan kering, akan tetapi untuk beberapa wilayah yang memiliki lahan basah pengusahaannya tetap dilakukan sesuai dengan agroekosistemnya. Lahan pasang surut mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan peternakan. Menurut Direktorat Jenderal Pengairan (1998), lahan rawa yang memiliki potensi untuk dijadikan lahan pertanian di Sumatera Selatan adalah 1.602.490 ha, terdiri dari lahan pasang surut 961.000 ha dan rawa non-pasang surut 641.490 ha. Kabupaten Banyuasin memiliki lahan rawa pasang surut yang cukup luas. Daya dukung wilayah dan potensi pakan yang ada menjadi modal yang cukup untuk pengembangan komoditas peternakan. Pola pemeliharaan sapi di daerah pasang surut yang diterapkan oleh sebagian besar peternak adalah secara ekstensif atau tradisional. Usaha ternak sapi secara tradisional dikelola oleh petani peternak dan menjadi tumpuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sapi potong yang dipelihara sebagian besar berasal dari jenis sapi lokal yaitu sapi Bali dan Sapi Pesisir serta beberapa sapi persilangan.

Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang sudah menyebar keseluruh wilayah Indonesia bahkan sampai luar negeri seperti Malaysia, Filipina dan Australia (Oka, 2010). Sapi Bali memiliki keunggulan dibandingkan dengan sapi lainnya antara lain mempunyai angka pertumbuhan yang cepat, adaptasi dengan lingkungan yang baik, dan penampilan reproduksi yang baik. Sapi Bali merupakan sapi yang paling banyak dipelihara pada peternakan kecil karena fertilitasnya baik dan angka kematian yang rendah (Purwantara et al., 2012). Kinerja sapi khususnya kinerja induk sapi bergantung pada kemampuan peternak dalam memelihara sapi, hal ini berkaitan dengan tata cara pemeliharaan induk yang diterapkan berupa pakan, kandang, sanitasi dan kesehatan. Kinerja induk juga bergantung pada bangsa sapi, hal ini karena kemampuan reproduksi masing-masing bangsa berbeda.

Penampilan reproduksi sapi yang dipelihara dengan manajemen tradisional peternak di lahan pasang surut masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi sapi Bali yang dipelihara pada dua kecamatan di lahan pasang surut Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banyuasin,

(3)

Oktober 2014. Dua kecamatan yang diambil datanya meliputi Kecamatan Talang Kelapa dan Tanjung Lago. Dari masing-masing kecamatan diambil tiga desa sebagai sampel.

Bahan dan Metode. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi Bali

sebanyak 292 ekor yang dimiliki oleh 121 peternak di Kecamatan Talang Kelapa dan Tanjung Lago. Penetapan lokasi penelitian secara purposive sampling. Variabel yang diamati meliputi: umur pertama kali dikawinkan dan umur induk pertama kali beranak, metode perkawinan, umur pedet disapih, perkawinan pertama setelah beranak, jarak beranak dan jumlah kelahiran pedet dalam setahun. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Data Primer diambil dengan cara pengamatan langsung ke ternak dan wawancara kepada peternak menggunakan kuisoner yang tersedia. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banyuasin.

Analisis Data. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif, ditabulasi kemudian

dihitung jumlah, persentase, rata-rata dan simpangan baku nya. Rata-rata dan simpangan baku dihitung menggunakan rumus :

X = n x

SB = xx (Dajan, 1994) Keterangan :

S = Simpangan baku X= total sampel N = banyaknya sampel X = rata-rata

HASIL

Umur pertama kali dikawinkan dan umur pertama kali induk beranak.

Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan suatu kebuntingan dan kelahiran. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan bobot badan, bukan menurut umur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur sapi pertama kali dikawinkan untuk sapi jantan 25,95±1,34 bulan dan sapi betina 23,20±0,28 bulan. Umur induk pertama kali beranak dipengaruhi oleh umur induk pertama kali dikawinkan. Rata-rata umur induk pertama kali beranak 32,25 ± 0,35 bulan.

Metode perkawinan. Perkawinan sebagian besar dilakukan dengan perkawinan

alam sebesar 73,53 ± 33,28%. Penggunaan teknologi inseminasi buatan diaplikasikan oleh 25±35,36 % peternak.

Umur pedet disapih. Pemeliharaan induk dan pedet dilokasi penelitian dilakukan

dalam satu kandang atau tidak dipisahkan, sehingga pedet akan menyusu pada induk selama 24 jam. Pedet akan berhenti menyusu induk dengan sendiri nya apabila induk sudah bunting. Hanya sebagian peternak yang melakukan penyapihan dengan rata-rata umur sapih 6,45 ± 0,64 bulan.

Perkawinan pertama setelah beranak. Pada lokasi penelitian rata-rata perkawinan

pertama setelah beranak di lokasi penelitian adalah 3,3 ±0,42 bulan.

Jarak beranak. Jarak beranak adalah jarak antara dua kelahiran yang berurutan.

Jarak beranak dilokasi penelitian adalah 14,30 ± 0,42 bulan.

Jumlah kelahiran pedet dalam setahun. Jumlah kelahiran pedet dalam setahun di

lokasi penelitian adalah 48 ekor. Tingkat kelahiran pedet pada penelitian ini adalah 43,24 ± 11,96 % terhadap induk dan 16,44 ± 5,43 % terhadap populasi. Persentase kelahiran yang diperoleh dalam penelitian ini terhadap populasi rendah. Kondisi induk setelah melahirkan sebagian besar dalam kondisi sedang 72,93 ± 8,82 %.

(4)

PEMBAHASAN

Perkawinan pada umur muda dapat memperpendek interval generasi sehingga meningkatkan derajat respon seleksi terhadap sifat-sifat genetik tertentu. Semakin cepat ternak dikawinkan maka semakin cepat ternak dapat berproduksi sehingga usaha peternakan semakin ekonomis. Dalam kondisi tertentu, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar ternak tidak beranak terlalu kecil untuk menghindari terjadinya distokia (Lindsay et al., 1982). Salisbury dan Van Dermak (1993) menyatakan bahwa umur dan bobot badan sapi dara pada waktu dikawinkan pertama kali perlu diperhatikan sebagai pertimbangan kelancaran proses beranak. Umur jantan dan betina pertama kali dikawinkan pada penelitian ini lebih lama dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Sudrana, dkk., (2014) di Kabupaten Lombok Barat, NTB yakni 24,00±2,68 bulan dan 21,55±4,78 bulan. Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa sapi yang dipelihara di Indonesia pada umumnya masa pubertas dicapai pada umur 12 bulan dengan variasi 10 sampai 12 bulan. Sebaiknya sapi dikawinkan pertama umur 14 sampai 16 bulan untuk memperoleh nilai konsepsi sebaik-baiknya.

Perkawinan alam menjadi pilihan utama peternak dikarenakan pada lokasi penelitian program inseminasi buatan (IB) masih dalam proses inisiasi dan baru mulai diperkenalkan ke peternak. Kesadaran peternak mengenai manfaat dari IB masih terus dibangun melalui kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh instansi terkait. Persepsi peternak akan besarnya biaya IB menjadi salah satu penghambat disamping masih kurangnya inseminator. Terlepas dari masalah biaya yang harus dikeluarkan, yang paling penting adalah unsur penerimaan teknologi itu sendiri oleh masyarakat peternak. Keyakinan peternak akan manfaat teknologi IB bagi peningkatan pendapatan usaha ternaknya merupakan faktor kunci bagi keberhasilan difusi teknologi IB. Sampai saat ini, keyakinan tersebut belum tumbuh merata di kalangan peternak sapi rakyat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Abeygunawardena et al., (1995) dan Alexander et al., (1997) menunjukkan bahwa program IB saat ini sudah diterima pada peternakan rakyat untuk sistem perkawinan dengan angka keberhasilan yang belum optimal yaitu angka kebuntingan kurang dari 60 persen.

Peternak di pedesaan jarang melakukan penyapihan pada pedetnya. Peternak akan membiarkan pedet menyusu induk dan biasanya akan berhenti dengan sendirinya saat induk bunting. Pemeliharaan induk dan pedet dalam satu kandang. Hal ini sesuai dengan laporan Yusran dan Affandhy (1996) yang menyatakan bahwa umumnya pedet bercampur dengan induknya selama 24 jam. Penyapihan dini pada pedet sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas pakan. Menurut Affandhy et al. (2001) dengan penyapihan pedet umur 84 hari penyusuan tanpa batas selama 24 jam menunjukkan aktivitas ovarium sebesar 90% dengan kejadian estrus mencapai 50 %. Penyapihan pedet pada umur 4-6 bulan akan memperpanjang kejadian anestrus post partus dan jarak beranak yang panjang (Mas'um et al., 1993; Affandhy et al., 1998; Arifin dan Rianto, 2001).

Perkawinan pertama setelah melahirkan merupakan salah satu indikator efisiensi reproduksi ternak. Waktu yang terbaik untuk mengawinkan kembali adalah 60 sampai 90 hari setelah beranak (Toelihere, 1994). Pengamatan birahi dan pengaturan perkawinan yang tepat akan meningkatkan jumlah pedet yang lahir (Udin Z, 2007). Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada sapi Bali setelah melahirkan adalah anestrus (Yusuf et al., 2012). Pengkandangan sapi dilokasi penelitian sebagian besar dalam sistem komunal, sehingga keadaan tersebut akan membantu induk untuk segera estrus dan kawin setelah beranak. Durasi anestrus pada ternak biasanya lebih singkat jika induk bercampur dengan pejantan (Rekwot et al., 2000; Landaeta-Hernández et al., 2004; Miller & Ungerfeld, 2008).

(5)

Jarak beranak akan mentukan jumlah pedet yang dihasilkan seekor induk dalam setahun. Jarak beranak dilokasi penelitian ini lebih besar di bandingkan oleh penelitian yang dilakukan pada instalasi pembibitan pulukan yang memperoleh rata-rata jarak beranak sebesar 350,45 ± 27,98 hari (Siwanto et al., 2013). Salah satu faktor penyebab panjangnya jarak beranak adalah rendahnya nutrisi dan penyusuan tanpa pembatasan (Wattemann et al., 2003). Jarak beranak dalam penelitian ini kurang ekonomis karena melebihi waktu ideal nya yaitu 12 bulan. Sudono (1983) menyatakan bahwa jarak beranak yang ekonomis tidak lebih dari 13 bulan, sedangkan Salisbury dan Vandemark (1993) menyatakan bahwa rerata jarak beranak sapi potong adalah 12,62 bulan. Untuk memperpendek jarak beranak sebaiknya tidak menunggu penyapihan pedet, sekitar 2 bulan (60 hari) atau setelah berlangsung siklus birahi tiga kali sejak melahirkan induk sapi dapat dikawinkan (Guntoro, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Udin (2007) menunjukkan bahwa semakin pendek jarak kawin pertama pasca partum, induk akan cepat menjadi bunting dan selanjutnya akan memperpendek jarak beranak. Sapi yang dikawinkan 60 hari pasca partum dan 90 hari pasca partum dapat memperoleh hasil jarak beranak yang optimal yaitu 12 sampai 13 bulan.

Ukuran efisiensi reproduksi yang baik adalah angka kelahiran sebesar 90% dan angka panen pedet lebih dari 85% (Hafez, 1993). Persentase kelahiran pedet yang rendah pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah panjangnya jarak beranak yaitu 14,30 ± 0,42 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa (2001) yang menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran ternak adalah jarak beranak (calving interval) yang panjang. Calving interval dipengaruhi oleh jarak waktu perkawinan sampai terjadinya kebuntingan dan lama bunting.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penampilan reproduksi sapi Bali pada dua kecamatan di lahan pasang surut kabupaten Banyuasin cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abeygunawardena H, Mya Sein C, Epakanda LWB. 1995. Status of the artificial insemination programe, success rate and factor affecting fertility of artificial bred cattle. Sri Lanka Vet. J (42) : 25-26

Affandhy L, MA Yusran, Mariyono. 1998. Effect of weaning age on post-partum anoestrous of Pernakan Ongole cows under smallholder framers in East Java. Bull. of Anim. Sci. Supplement edd. Dec. Publish. Fac. Of Anim. Sci. Gadjah Mada Univ. Yogyakarta, Indonesia: 312-315.

Affandhy L, MA Yusran dan M Winugroho. 2001. Pengaruh frekuensi pemisahan pedet pra-sapih terhadap tampilan reproduktivitas induk dan pertumbuhan pedet sapi Peranakan Ongole. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Bogor, 17-18 Sep 2001. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. p 147-154 .

Alexander, P. A. B. D., H. Abeygunawardena, B. M. H. O. Perera, and I. S. Abeygunawardena. 1997. Current status and factor affecting the success of artificial insemination in small-holder farm in mid country wet zone Sri Lanka. Tropical. Agric. Research (9):204-206

(6)

Arifin M dan E Rianto. 2001. Profile produktivitas sapi Peranakan Ongole pada peternakan rakyat: Studi kasus di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. J. Trop.Anim.Dev. Special Edition (April): 118-123.

Dajan, A., 1994. Pengantar Metode Statistika Jilid II. Cetakan ke XVII. Jakarta: PT Pustaka. LP3ES Indonesia

Direktorat Jendral Pengairan. 1998. Profil proyek pengembangan daerah rawa Sumatera Selatan. Departemen Pekerjaan Umum

Ditjennak. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI.

Guntoro, S., 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius

Hafez ESE. 1993. Reproduction in farm animal. 6th Edition. Philadelphia: Lea and

Febriger.

Harmini, Ratna WA dan Juniar A. 2011. Model dinamis sistem ketersediaan daging sapi nasional. J. Ekonomi Pembangunan (12) No. 1: 128-146

Lindsay DR, Enwistle dan A Winantea. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Malang : Universitas Brawijaya.

Landaeta-Hernández, A. J., Giangreco, M., Meéndez, P., Bartolomé, J., Bennet, F., & Rae, D. O. (2004). Effect of biostimulation on uterine involution, early ovarian activity and first postpartum estrous cycle in beef cows. Theriogenology (61): 1521-1532. Miller, V., & Ungerfeld, R. (2008). Weekly bull exchange shortens postpartum anestrus in

suckled beef cows. Theriogenology (69): 913- 917.

Ma'sum K, MA Yusran and E Teleni. 1993. Draught animal system in East Jav. In: E.Teleni, RSF Campbell and D Hofmann. Draught Animal and Management an Indonesian Study. ACIAR No . 19. Canberra, Australia: I 1-12

Oka I.G.L. 2010. Conservation and genetic improvement of Bali Cattle. Proc.Conservation And Improvement of World Indigenous Cattle: 110-117

Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Ed. Ke-3. Jakarta : Mutiara Sumber Widya Purwantara, B., R.R Noor., G. Andersson and H. Rodriguez-Martinez. 2012. Banteng and

bali cattle in indonesia: status and forecasts. Reprod Dom Anim 47 (Suppl. 1): 2–6 Rekwot, P. I., Ogwu, D., & Oyedipe, E. O. (2000). Influence of bull biostimulation, season

and parity on resumption of ovarian activity of zebu (Bos indicus) cattle following parturition. Animal Reproduction Science, 63, 1-11.

Salisbury, G.W., N.L. VanDemark and J. R. Lodge. 1993. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh Djanuar. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta: Penebar Swadaya. Siswanto, M., N. W. Patmawati, N. Y. Trinayani, I Nengah Wandia, I Ketut Puja. 2013.

Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. Jurnal Ilmu Kesehatan Hewan I (1) :11-15.

Sudono, A. 1983. Produksi Sapi Perah. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian, Bogor.

Sudrana P, Lestari, Rahma J, Tapaul R, dan Lalu MK. 2014. Estimasi kebutuhan dan supply calon bibit dan bibit untuk sapi bali di kabupaten Lombok Barat. Jurnal Penelitian UNRAM (18) No.1: 18-26.

Toelihere MR. 1994. Fisiologi reproduksi pada ternak. Bandung: Angkasa

Udin Z. 2007. Pengaruh jarak kawin pertama pascapartum terhadap angka kebuntingan sapi potong di kota padang. J. Peternakan (4) No.1 : 13-19.

Wattemann RP, CA Lents, NH Cicciol, FJ White and I Rubi. 2003. Nutritional and sucklingmediated anovulation in beef cows. J. Anim.Sci.81 (14) : E48-E59.

(7)

Yusran MA dan L Affandhy. 1996. Studi batasan ideal bobot badan dan kondisi tubuh sapi PO induk kaitannya dengan aktifitas reproduksi yang normal dalam agroekosistem lahan kering di Jawa Timur. Seminar Hasil Penelitian Peternakan TA . 1995/1996. Grati: IPPTP

Yusuf, M., Rahim, L., Asja, M. A., & Wahyudi, A. (2012). The incidence of repeat breeding in dairy cows under tropical condition. Media Peternakan 3: 28-31.

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan frasa menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dan frasa denda paling banyak Rp15.000,00 dalam Pasal 296 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun

Pemilihan dalam aplikasi baling-baling CPP dibandingkan dengan penerapan FPP, adalah disebabkan oleh kebutuhan yang lebih tinggi untuk pengaturan dalam operasional yang harus

masyarakat di Daerah, diselenggarakan berbagai upaya kesehatan di mana salah satu upaya dimaksud adalah pengamanan Zat Adiktif yang diatur dalam Pasal 113 sampai

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Terdapat determinasi yang positif dan signifikan secara simultan antara

Setelаh diukur menggunаkаn Return on Investment (ROI) dаn Residuаl Income (RI) menunjukkаn bаhwа keduа аnаlisа tersebut memiliki kelebihаn dаn kekurаngаn

Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu kala”. Bagi manusia semacam itu, keindahan balaghah al- Quran dan nasihat yang baik

4.18 Statistik NPP di kawasan kajian menerusi Model VPM 147 4.19 Statistik NPP di kawasan kajian menerusi Model C-Fix 149 4.20 Statistik purata keseluruhan NPP di kawasan kajian

Risiko-risiko dalam peminjaman kredit tersebut antara lain adalah risiko penundaan pembayaran, risiko pengurangan pembayaran suku bunga atau pinjaman pokok, dan risiko tidak