• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Konsep gambare secara umum bagi masyarakat Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Konsep gambare secara umum bagi masyarakat Jepang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

16  Bab 2

Landasan Teori

2.1 Konsep gambare secara umum bagi masyarakat Jepang

Pada dasarnya semangat gambare sudah digunakan sejak dahulu oleh nenek moyang di Jepang sebagai motivasi utama agar mereka dapat keluar dari kesulitan terutama dalam mengatasi bencana alam dan juga digunakan pada saat mereka berperang untuk memperoleh kemenangan. Setelah itu, gambare menjadi sebuah kata yang digunakan dalam berbagai kehidupan oleh masyarakat Jepang. Gambare adalah sebuah kata yang memberikan motivasi atau semangat bagi seseorang untuk berusaha dengan keras, penuh ketekunan, ketahanan serta menjadi yang terbaik di berbagai kegiatan dan usaha.

Gambare digambarkan oleh orang-orang Jepang dengan memiliki perasaan kesadaran yang mendalam saat melaksanakan tugas-tugasnya yang di realisaskan dalam bentuk pertanggung jawaban oleh setiap individu tehadap kelompoknya. Unsur lain yang terlibat dalam proses gambare adalah keyakinan bahwa suksesnya seseorang harus melewati suatu pengorbanan pribadi dan unsure gambare ada di dalamnya. Menurut Duke ( 1989 : 124 ):

One of the most admired traits of in individual of Japan is personal sacrifice. It signifies that the person has gambared, that is, paid a price for his success.

Terjemahan :

Salah satu karakter yang paling dikagumi dari individu Jepang adalah adalah adanya pengorbanan pribadi. Itu sebagai tanda bahwa seseorang telah bersikap gambare, hal itu adalah suatu bayaran harga dari kesuksesannya.

(2)

17  Singleton dalam Finkelstein ( 1991 : 79 ) menjelaskan dalam kutipannya bahwa gambare adalah tempat perkumpulan tangisan, sebuah seruan untuk keberanian, dan sebagai perangsang untuk usaha terbaik. Gambare menunjukkan perasaan dari sifat yang mendengarkan kata hati dan perasaan timbal balik terhadap sebuah kelompok. Semangat gambaru mempunyai pengaruh yang hebat sekali dan kadang-kadang meletakkan semangat atau tanggung jawab yang kuat dimana meliputi kebudayaan di lingkungan rumah, sekolah, dan kerja.

Kehancuran yang pernah dialami oleh Jepang seperti pada kota Hiroshima dan Nagasaki saat dijatuhi bom atom oleh sekutu kemudian dari bekas reruntuhan akibat bom atom tersebut mulai dibangun kembali dengan mendirikan gedung-gedung tinggi. Duke ( 1989 : 122 ) mengatakan salah satu motivasi utama bagi masyarakat Jepang untuk bangkit kembali dari kerusakan hebat yang dialami tersebut diungkapkan dengan sebuah aklamasi “Gambare”, “Ketekunan!”, “Ketahanan”, dan “Jangan Menyerah”.

Orang tua Jepang percaya bahwa semua anak memiliki tingkat kemampuan yang relatif sama dan percaya bahwa sukses hanya dapat terjadi hanya dengan belajar tekun dan usaha yang keras, disamping kemampuan yang dimiliki. Hal ini adalah sikap dari cerminan sikap gambare yang menginginkan setiap anak untuk belajar terus menerus ( konsisten ) dan tidak mudah menyerah bila menemui kesulitan. Prestasi yang dicapai tidak hanya bergantung dari nilai IQ, tapi juga harus didukung oleh sikap ketekunan sebagaimana seperti yang diungkapkan oleh Singleton ( 1993 : 11 ), bahwa :

Gambaru could be measured by test scores achieved. Comparisons with IQ scores was irrelevant. Persistence is the secret; effort, not IQ, is the Japanese explanation for educational achievement.

(3)

18  Terjemahan :

Gambaru dapat berarti nilai test sebuah prestasi. Adalah tidak relevan bila dibandingkan dengan test IQ. Ketekunan adalah rahasianya; berusaha, bukan nilai IQ. Ini adalah penjelasan mengenai prestasi Jepang.

Dalam Singleton ( 1993 : 144-145 ) di Jepang pada saat acara kelulusan, para kohai mengucapkan kata-kata perpisahan kepada para senpai mereka. Suasana wisuda dan saat penerimaan ijazah digambarkan sebagai berikut :

Well-rehearsed choral chanting in which they invoke they call over and over again : “Never forget our school. Never forget our school!”. They finally challenge the graduating sixth graders to “Gambare! Gambare! Gambare!”. Terjemahan :

Paduan suara yang bagus dimana mereka menyanyi sesuai dengan apa yang diminta dan meneriakkan berkali kata-kata “Jangan lupakan sekolah kita. Jangan lupakan sekolah kita!”. Akhirnya sebagai gantinya para alumni tingkat enam menerikkan juga kata-kata “Gambare! Gambare! Gambare!”.

Gambare memberikan inspirasi pada setiap individu agar memberikan kemampuan yang terbaik yang dimiliki dalam mewujudkan tujuan bersama. Artinya bahwa dia tidak sendiri tetapi bagian dari usaha bersama. Dia tidak hanya menguatkan perasaannya untuk bertahan tetapi juga memperkuat komitmennya sendiri untuk tetap berusaha, seperti yang digambarkan oleh Duke ( 1989 : 123 ), seperti berikut ini :

And when he witnesses his fellow worker letting up a bit or experiencing some difficulty, he calls out with determination : “Gambare!”, “Keep at it!”.

Terjemahan :

Dan ketika dia menyaksikan rekan sekerjanya yang berhenti sejenak atau menghadapi kesulitan saat bekerja, maka dia berteriak dengan suatu ungkapan “Gambare!”, “Berusahalah!”.

(4)

19  Menurut Rice ( 1995 : 46 ), gambare adalah sebuah kata yang paling sering digunakan di Jepang, dimana biasanya sering diartikan sebagai ‘Pantang Menyerah’ atau ‘Lakukan yang Terbaik’. Ini juga merupakan ucapan standar atas keberanian seseorang yang terdengar di sekolah, pertandingan olahraga, dan di perusahaan rapat.

Cowie ( 2001 ), bahwa istilah gambaru dapat di dengar dalam banyak bentuk dan konteks ada kehidupan sehari-hari. Anak-anak sekolah menulis, menerjemahkannya sebagai ‘kerja keras’, ‘lakukan yang terbaik’, ‘bertarung’, atau ‘keberanian’. Sarjana sosiologi mengatakan bahwa definisi yang sedikit formal mengenai gambaru adalah kepercayaan bahwa seseorang dapat menulis status yang tinggi dengan usaha yang terus menerus.

Hal ini juga dijelaskan oleh Amanuma dalam Kurniawati ( 2008 : 11 ) yang mengatakan :

日本語の「 我慢する 」とは困難にめげず忍耐力をもって続けること、耐 え難きを耐えることを意味する。「頑張る」の意味愛は、今の言葉で言う と、へことれるな、に近い。

Terjemahan :

Dalam bahasa Jepang terdapat kata ( gaman ) yang mengartikan dalam diri seseorang untuk menghadapi kesulitan atau kesukaran. Sedangkan kata ( gambaru ), mempunyai makna pantang atau tidak akan menyerah.

Sugimoto ( 1997 : 4 ), menjelaskan bahwa kesuksesan seseorang dalam hidup semata-mata tergantung pada tingkat dimana seseorang mengerahkan semangat gambari ( kebulatan tekad ), dimana semua orang rata-rata pada hakikatnya memiliknya.

Selain itu Amanuma dalam Kurniawati ( 2008 : 11 ), menjelaskan bahwa:

英語やフランス語では、「頑張る」の包含する意味のうち的なニュアン スを表す語 なら ‘persist in’, ‘insist in’, ‘insister’, ‘persister’ が近いとい

(5)

20  う意味が出た。しかし精神的意味合いをもって「包耐してやり抜く 」と いうニュアンスの 「頑張る」となると該当する語はなく、説明的な言 い回しをするほかないとアメリカ人、フランス人の参会者たちは記長し、 ドイツ人らもそれに同意した。 Terjemahan :

Dalam bahasa Inggris dan Perancis makna ( gambaru ) adalah “persist in ( terus menerus )’, ‘insist in ( bersikeras )’, ‘insister ( pertahanan)’, ‘persister ( bertahan )’. Kosakata ini menunjukkan nuansa yang serupa dengan gambaru. Dalam ruang lingkup psikologi, ( gambaru ) menjadi kosakata yang mempunyai nuansa bertahan, tidak hanya pada sekitar orang Amerika namun orang Perancis serta orang Eropa juga telah setuju bahwa makna gambari berarti pertahanan. Amanuma dalam Sugimoto ( 1997 : 4 ), mengatakan kepribadian inti masyarakat Jepang berdasar pada perangsang dan ganbari ( ketahanan dan ketekunan ), dimana terdapat dalam setiap aspek dari kebiasaan masyarakat Jepang.

Menurut Amanuma ( 2001 ), gambaru juga merupakan filosofi utama bagi masyarakat Jepang, dimana dalam kutipannya adalah :

「頑張る」は、最後まであきらめるな、手を抜くな、と励まして、思いや る言葉である。「頑張れ」というのは言葉にはいい意味のまま生き残っ てもらいたい。

Terjemahan :

Kata “gambare” di definisikan dengan ungkapan tidak menyerah sampai akhir, tidak lepas tangan, dan semangat. Dalam kata “gambare” mengandung makna sebenarnya yang positif yaitu ingin bertahan hidup.

Gambaru juga berperan penting dan mempunyai makna dalam situasi yang berbeda-beda bagi masyarakat Jepang. Dijelaskan oleh Davies dan Ikeno ( 2002 : 83-84 ) :

Gambaru is a frequently used word in Japan, with the meaning of doing one’s best and hanging on. For examples, students gambaru ( study hard in order to pass entrance examination. Athleths also gambaru ( practice hard ) to win games or medals. Moreover, company workers gambaru ( work hard ) to raise their company sales. Also, when the Japanese make up their minds to begin something, they tend to think “gambaru: in the initial stages of project. When a young woman

(6)

21  from a small town, or leaving for a new job in the city, promises her friends, parents, and teacher that she will gambaru, the implication is that she will not disappoint them. The word is also used by friends as a kind of greeting often in the imperative form gambare ar gambatte. In this situation the meaning is rather ambiguous.

Terjemahan :

Gambaru merupakan sebuah kata yang sering digunakan di Jepang, dengan arti berbuat yang terbaik dan terus bertahan. Seperti contoh para murid gambaru ( belajar sungguh-sungguh ) untuk dapat lulus ujian. Atlit juga gambaru ( berlatih keras ) untuk memenangkan pertandingan dan mendapatkan medali. Selain itu pegawai perusahaan gambaru ( bekerja keras ) untuk menaikkan penjualan perusahaan mereka. Dan juga, saat orang Jepang telah menetapkan untuk memulai sesuatu, mereka cenderung berpikir “gambaru” saat awal pelaksanaan proyek. Saat wanita muda dari kota kecil,pergi ke luar negeri untuk bekerja, berjanji pda teman, orang tua, dan guru bahwa ia akan gambaru, dengan maksud untuk tidak mengecewakan mereka. Kata ini juga digunakan untuk teman sebagai semacam salam, biasanya dalam bentuk perintah gambare atau gambatte. Dalam situasi ini mempunyai makna yang ambigu.

Dalam dunia kerja, orang Jepang sangat bersemangat, inilah yang sering menjadi alasan bahwa orang Jepang adalah seorang workaholic. Menurut Nakane ( 1991 : 112&113 ), dalam penambahannya, mereka menemukan pekerja keras yang berusaha untuk bernapas dengan udara yang berbeda dalam waktu yang lama. Dalam sepanjang sejarah sosial Jepang, mengubah pendirian personaliti yang kuat pada usia muda, seringkali yang menyebabkan seseorang menjadi sukses.

Menurut Doughlas ( 2003 : 152 ), kunci untuk meraih sukses pribadi adalah kegigihan, dan kegigihan akan memperkuat tujuan yang dinamis, dan akan berhasil. Jika cukup gigih untuk jangka waktu yang lama maka akan menemukan dan bisa mengembangkan tujuan yang luar biasa. Ada delapan hal sebagai prinsip kegigihan untuk dijadikan dasar menuju sukses menurut Sherman dalam Doughlas ( 2003 : 171-172), diantaranya adalah :

(7)

22  1. Tidak akan berhenti selama saya tahu bahwa saya benar.

2. Yakin bahwa segalanya akan menjadi baik bila saya bertahan sampai akhir. 3. Bersikap berani dan tida ragu-ragu dalam keadaan yang sulit.

4. Tidak akan pernah memperbolehkan siapapun mengalihkan diri saya dari tujuan.

5. Akan berjuang mengatasi keterbatasan fisik dan kesulitan-kesulitan.

6. Akan mencoba berulang-ulang sampai saya mencapai apa yang saya inginkan. 7. Akan yakin dan sadar bahwa semua orang akan sukses, laki-laki atau

perempuan haus berjuang melawan kekalahan dan tantangan.

8. Tidak akan patah semangat atau putus asa apapun rintangan yang menghadang di depan saya.

Masih menurut Doughlas ( 2003 : 173 ), kunci kesuksesan lainnya adalah bertahan dengan gigih. Gigih berarti tekun dan ulet. Keuletan berarti ketetapan dan kesungguhan. Orang Jepang terkenal dengan semangat dan keuletan dalam hidup mereka, sehingga meskipun telah gagal beberapa kali mereka akan tetap berusaha sebaik mungkin untuk dapat kembali bangkit, seperti yang dikatakan oleh Yoritomo Tashi dalam Lim ( 2004 ), apabila jatuh dan bangkit, akan menghasilkan sesuatu pada diri, maka terlalu banyak jatuh dalam hidup itu akan menyehatkan dan menyegarkan jika mau bangkit kembali. Bangkit itulah yang penting.

Kegagalan bagi orang Jepang justru menjadi motivasi supaya tetap bertahan dan tidak pantang menyerah. Dengan filosofi semangat gambare yang telah tertanam sejak masih kanak-kanak, maka merekapun dapat berusaha sebisa mungkin. Karena itulah gambare sangatlah berhubungan dengan motivasi. Menurut Doughlas ( 2003 : 194 ), orang yang termotivasi dengan benar adalah orang yang mempunyai tujuan, dinamika, dan penuh

(8)

23  tanggung jawab. Manusia termotivasi atas apa yang diyakininya. Garn dalam Doughlas ( 2003 : 191-192 ), ada empat prisnsip motivasi, yaitu pertahanan diri, penghargaan, cinta, dan uang. Seperti dalam kata-kata Browning dalam Douglas ( 2003 ), Kejarlah! Putuskanlah ikatan-ikatan kataku, berusahalah untuk menjadi baik, dan lebih baik, malahan yang terbaik, sukses itu bukan apa-apa, upayalah segalanya.

2.2 Konsep Masyarakat Jepang Tradisional

Menurut De Mente ( 2004 : 2-3 ), kemampuan dan spiritual adalah sebagai karakteristik dari kehidupan Jepang tradisional. Aspek dari kehidupan Jepang ini ditandai secara tepat sehingga bisa didiskusikan, dimengerti, diajarkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Terutama tentang ‘Do’ ( 道 dan ‘Waza’. 技 Waza sendiri berarti kemampuan, sedangkan Do biasanya diartikan sebagai jalan. Diakui keduanya, merupakan fisikal dan meta-fisikal, dengan faktor spiritual yang sering menjadi lebih penting daripada fisikal.

Dengan kata lain, Jepang mendekati kepada kehidupan yang dikombinasikan dengan perkembangan kemampuan fisik sebaik seperti spiritualnya. Tidak ada wilayah dari kehidupan Jepang yang tidak memiliki Waza dan Do dalam diri mereka. Apakah hal tersebut diajarkan oleh orang tua, guru, atau seorang yang ahli, yang terpenting adalah diajarkan dengan sungguh-sungguh dengan komponen spiritual yang istimewa dalam dirinya sendiri yang secara berulang-ulang mengutamakan kekuasaan fisikal.

Kemampuan dan disiplin benar-benar diajarkan kepada individu orang-orang Jepang lewat kebudayaan Waza dan Do sebagai elemen kunci dalam seni, kerajinan, dan ilmu

(9)

24  keindahan yang unik, sebaik mereka membangun perekonomian terkemuka pada masa modern.

Masih menurut De Mente ( 2004 : 8-12 ) bahwa ada beberapa dimensi yang merujuk kepada karakter dan semangat yang memiliki perbedaan sejak zaman kuno. Kebanyakan, berevolusi langsung dari the samurai code of ethics, atau menambahkannya dengan ilmu yang baik.

Salah satu dari dimensi ini adalah berasal dari frase 「気がすすまない」‘ki ga susumanai’ yang berarti ‘semangatku tak terpuaskan’. Perasaan tak terpuaskan yang berasal dari berabad-abad yang lalu tersebut merupakan perasaan yang terkuat bagi orang Jepang yang tak bisa di hiraukan begitu saja. Hal tersebut merupakan hasil dari kebudayaan kuat yang berlanjut meskipun banyak rintangan yang menghadang seiring dengan perkembangan zaman.

Keaslian dari perasaan ‘ki ga susumanai’ tidak diragukan telah menjadi jejak untuk para ahli dalam bidang seni dan industri kerajinan yang sebagian besar di impor dari Korea dan Cina sekitar abad ke 6, dan juga dari dorongan para pemuka agama Shinto sebagai pemberi contoh.

Pada abad selanjutnya, sikap ini menjadi kebiasaan dalam samurai code of ethic(武 士道). Diinspirasikan dan dibimbing oleh prinsip Zen, kelas ksatria menjadi melebur dengan konsep dimana mereka tidak boleh menyerah apapun tantangannya, dan mereka tidak seharusnya puas dengan apa yang mereka dapatkan.

Hingga saat ini, semangat akan ketidakpuasan masih cukup kuat di sebagian besar kalangan remaja Jepang yang menjadikan mereka lebih baik diluar apa yang kita

(10)

25  deskripsikan sebagai ‘cukup baik’ atau ‘melaksanakan kewajiban’. Secara tradisional, tidak ada kata ‘sudah melakukan’ atau ‘cukup baik’ dalam pemikiran orang Jepang. Westmore dalam De Mente ( 2004 : 9 ) mengatakan bahwa ada jalan yang paling berguna untuk menunjukkan kata kunci yang paling penting dari sebuah harga yang menjadi dasar dari sebuah semangat, dan karakter yang menggambarkannya adalah dalam 4G, yaitu giri ( 義理 ), gisei ( 犠牲 ), gaman ( 我慢 ), dan gambaru ( 頑張る). Hingga tahun 1990, mungkin tidak ada lagi contoh nyata dari kebudayaan dari konsep dan pelajaran tentang chusei shin, yang memiliki arti ‘kesetiaan yang utama’. Kebudayaan lain yang merupakan hal utama dari elemen semangat Jepang yang luar biasa diekspresikan dalam frase ‘gaman kurabe’ 「 我 慢 比 べ 」 yang berarti ‘ujian ketetapan hati’ atau ‘menyamakan kesabaran’ diantara individu atau kelompok.

Dimensi lain dari semangat tradisional Jepang adalah kesudian mereka untuk membawa apa yang tidak bisa dibawa, mereka justru mendekat kepada hal tersebut, yang merupakan hal yang lazim di Jepang selama berabad-abad lalu dan dijadikan adat kebiasaan dibawah garis besar istilah ‘gaman zuyoi’ 「我慢ずよい」yang bermakna ‘kekuatan kesabaran, ‘kekuatan ketabahan hati’ dan diperuntukkan untuk melengkapi kewajiban.

Pada politik tradisional dan system sosial Jepang, dimana pemerintahan memiliki kekuatan dalam kekuasaan dalam menciptakan perdamaian yang menjadi hak setiap manusia, memaksa orang-orang Jepang menjadi pribadi yang luar biasa sabar, mengembangkan kemampuan untuk menghadapi rintangan.

(11)

26  Konsep kebudayaan lain yang merupakan salah satu pondasi dari karakter dan semangat Jepang diekspresikan dalam ‘gambaru’, yang berarti bertahan, berdiri tegar, teguh dalam usaha, dan tak pernah menyerah. Satu lagi yang merupakan pondasi dasar dari karakteristik dan semangat orang Jepang, yaitu ‘gisei’ yang berarti pengorbanan. Konsep-konsep tradisional masyarakat Jepang tersebut telah menjadi tradisi sejak zaman dahulu. Kebudayaan tersebut turun-temurun masih sering digunakan sampai sekarang.

2.2 Konsep Honne dan Tatemae

Menurut Doi ( 2001 : 35 ) sering kali diartikan bahwa honne ( 本音 ) adalah aplikasi ura ( 裏 ) yaitu lapisan dalam, sedangkan tatemae ( 建 前 ) adalah sesuatu yang mengaplikasikan omote ( 表 ) yaitu lapisan luar. Honne dan tatemae mempunyai hubungan yang saling melengkapi sehingga tidak terpisahkan dalam prilaku orang Jepang.

Aplikasi luar adalah apa yang diperlihatkan seseorang dari apa yang dilakukannya, omote adalah kebalikan dari ura yaitu lapisan dalam. Bisa dikatakan omote dan ura adalah hubungan antara wajah dan pikiran. Omote bisa dilihat, sedangkan ura bersembunyi dibalik omote. Bagaimanapun omote hanya menyatakan dirinya dan juga sesuatu yang menyembunyikan ura secara sederhana. Omote adalah apa yang mengekspresikan ura. Dan, karena hal itu benar, ketika seseorang melihat omote, maka mereka tidak hanya melihat omote, tetapi juga ura yang melewati omote. Dalam

(12)

27  kenyataannya, mungkin lebih baik lebih dekat kepada kenyataan untuk mengatakan yang mereka lihat pada omote semata-mata agar melihat ura ( Doi, 2001 : 26 ).

Pada intinya omote adalah tampilan di depan dan ura adalah tampilan di belakang, yang dalam bahasa inggris biasa disebut dengan “omote-ura, telling the front from the back”. ( De Mente, 2004 : 218 )

Honne terdiri dari kanji 本 ( hon ) yang mempunyai arti dasar, awal, mula, prinsip. Sedangkan 音 ( ne / oto ) berarti suara. Kedua kanji itu bila digabungkan akan mempunyai arti harafiah「本心から出た言葉。建前の取り除いた本当気持ち」 yang berarti “perasaan yang keluar dari hati terdalam, kebalikan dari tatemae yaitu diluar perasaan yang sesungguhnya”. Honne mengacu pada kenyataan bahwa setiap individu dalam suatu kelompok walaupun mereka mendahulukan tatemae, mereka akan tetap meiliki motif dan opini sendiri yang berbeda yang disimpannya dalam hati saja ( Doi, 2001 : 36-37 ).

Tanaka dalam Apliana ( 2005 : 21 ) mengatakan bahwa honne juga merupakan pendapat atau pikiran seseorang yang sesungguhnya. Ada juga beberapa orang yang yang mendefinisikan honne sebagai suara pribadi atau hal-hal yang tampak secara pribadi. Honne berarti penampilan batiniah atau apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang bersangkutan, dapat disamakan dengan sikap kejujuran yang ada pada anak-anak, yaitu sikap yang tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain selain dirinya.

Honne adalah pendapat sebenarnya, atau apa yang sebenarnya dipikirkan oleh seseorang. Ada juga beberapa orang yang mendefinisikan honne sebagai suara pribadi.

(13)

28  ( Tanaka, 1990 : 63 ). Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang ingin berhasil dalam bermasyarakat. Mempunyai keberanian untuk menyuarakan hati saja tidak cukup. Seseorang harus mengingat juga bahwa ia hidup dengan orang-orang yang mempunyai cara berpikir yang berbeda dengannya. Keberhasilannya dalam mengadakan interaksi sosial terletak pada kemampuannya membawa diri sesuai dengan norma yang dituntut oleh masyarakatnya. Atau dengan kata lain mengindahkan tatemae masyarakatnya. Tetapi kembali lagi, peduli dengan norma masyarakat juga harus disertai dengan kepribadian. Karena sesungguhnya kemampuan seseorang untuk mengikuti norma masyarakatnya adalah tergantung dari kepribadian orang yang bersangkutan, berikut adalah kutipannya ( Nieda dalam Vitasari, 1992 : 48 ) :

この種のタテマエには裏があるにきまっている。ではそのうち裏と何であ るのか?それはホンネといわれるものだ。

Terjemahan :

Tatemae ini ditentukan oleh apa yang ada di belakangnya. Dan apakah yang ada di belakangnya itu? Itu adalah honne.

Dengan memiliki tatemae saja sebagai landasan moral tidaklah cukup, karena harus disertai dengan honne sebagai ura ( bagian belakang ) dari tatemae. Karena terkadang dengan tatemae saja tidaklah cukup. Hal itu dikarenakan tatemae hanya merupakan suatu pelindung bagi stabilnya harmoni didalam sebuah kelompok ( Doi, 2001 : 154 ).

Kata tatemae dari konsep ganda tatemae-honne bila dilihat dari etimologinya memiliki asal kata yang sama dengan tatemae yang dipakai pada bidang arsitektur Jepang yang berarti “raising the ridgepole” yaitu mendirikan pondasi. 「 建 前 」 (tatemae) mengandung unsur kanji 「 建てる 」( tateru ) yang berarti membangun,

(14)

29  mendirikan dan kanji 「 前 」( mae ) yang berarti depan atau muka. Dapat disimpulkan secara harafiah berarti sesuatu yang tampak dipermukaan sosok manusia atau segala sesuatu yang ditampilkan oleh seseorang.

Tatemae ( Doi, 2001 : 35-36 ) adalah prinsip dan aturan yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsip dan aturan itu sangat penting, dan tatemae melambangkan sekelompok orang yang menyetujui prinsip dan aturan tersebut. Karena prinsip dan aturan tersebut dibuat oleh sekelompok orang, maka prinsip dan aturan tersebut dapat diubah pula oleh mereka sesuai kesepakatan bersama.

Doi ( 2001 : 37 ) menegaskan bahwa tatemae itu tidak selalu berupa perbuatan yang benar dan baik secara moral, namun disamping itu tatemae tidak selalu berupa perbuatan yang buruk dan penuh kepura-puraan. Hal ini harus disadari setiap orang dalam bertindak. Bila seseorang tidak mengenal honnenya sendiri atau bahkan menyangkal keberadaannya, maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang telah meninggalkan honnenya.

Berikut adalah penjelasan tentang tatemae menurut Nieda dalam Thamrin ( 2005 ), tatemae yang ada disebuah kelompok masyarakat itu selalu memiliki variasi dalam pengaplikasiannya. Semua tergantung dari sudut pandang individu itu sendiri dan juga tergantung dari tujuannya dalam menunjukkan tatemaenya. Tatemae bila dilihat dari jenisnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :

(15)

30  1. Tatemae ideal seorang manusia

Tatemae yang ideal bagi manusia sendiri adalah bagaimana menjadi seorang manusia yang ideal. Manusia memiliki sifat alami untuk berbuat baik dan buruk. Dalam interaksinya manusia akan berperan sebagai pemberi ataupun sebagai penerima. Dengan mempertimbangkan hal inilah maka seseorang harus bisa mengikuti suatu aturan agar dapat menjadi seorang manusia yang baik. Tatemae ideal ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu :

- Tatemae untuk menghormati orang lain

Tatemae untuk menghormati orang lain maksudnya adalah dengan cara mengintrospeksi diri sendiri dengan harapan agar dapat mengembangkan kepribadiannya menjadi sosok manusia yang ideal dalam masyarakat. Setidaknya kesan yang diterima masyarakat adalah seperti itu.

- Tatemae yang dilakukan untuk terlihat baik.

Lain halnya dengan tatemae untuk menghormati orang lain. Tatemae yang dilakukan untuk terlihat baik ini dilakukan agar dapat memberi kesan yang baik terhadap lawan bicara. Pada tatemae jenis ini ada juga kemungkinan dimana akan timbulnya kebohongan-kebohongan, atau usaha yang disertai kepura-puraan agar dapat menimbulkan kesan yang baik, berikut adalah kutipannya :

とくに日本人というものは区欠米人と違って言葉と心は裏腹に なることが少なくない。たとえば極端な例だが「顔で笑って心

(16)

31  で泣いて...」といったようなものである。区欠米人はこのよう に心と表現が違うようなことは少ない。

Terjemahan :

Jadi orang Jepang itu berbeda dengan orang barat, tidaklah sedikit kondisi dimana apa yang diucapkan oleh orang Jepang dengan apa yang ada di dalam hatinya itu sangat bertentangan. Contoh yang ekstrim misalnya “di wajah tersenyum, sedangkan di hati menangis…” pada masyarakat barat hal semacam ini sangatlah jarang ditemui.

2. Tatemae yang diperlukan dalam mencapai kedamaian di dalam masyarakat

Tatemae ini merupakan tatemae untuk memberikan kenyataan hidup damai dan makmur tanpa saling melakukan kejahatan. Seberapa jauh bangsa Jepang melakukan tatemae jenis ini, mungkin dapat dilihat dari kecilnya angka kejahatan di Jepang. Sampai saat ini Jepang adalah negara terkecil di dunia dari tindak kejahatan. ( Tanaka, 1990 : 121 )

3. Tatemae sebagai syarat untuk mencapai tujuan tertentu.

Tatemae ini dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu sebagai contoh misalnya ketika seseorang harus memberikan pendapat tentang masalah perpecahan di tempat kerja harus benar-benar menjaga sikap dan ucapan. Contoh lainnya yaitu sikap yang ditujukan kepada anggota keluarga ketika membicarakan masalah di rumah tidak akan sama apabila ia membicarakan masalah yang sama dengan atasannya. Tujuannya adalah agar tetap menjaga keharmonisan dan nama baik, dan kembali lagi syaratnya adalah bersikap tatemae tersebut. ( Ushiyama, 2007 : 69 )

(17)

32  Dari kesimpulan pernyataan di atas, maka Nieda dalam Vitasari ( 1992 : 39 ) mengatakan bahwa :

タテマエというのは、客人の立場や目的の違いを越えて何人にも守らなけ れば、空証文みたいか、たんなるアクセーサリみたいなものに終わるだろ う。

Terjemahan :

Yang dimaksud dengan tatemae adalah memahami perbedaan tujuan dan sudut pandang masing-masing orang, dan bila ada yang memeliharanya, maka itu akan seperti surat obligasi yang akan berakhir seperti suatu aksesori belaka.

Berbeda dengan honne adalah pendapat sebenarnya, atau apa yang sebenarnya dipikirkan seseorang. Tatemae mengacu pada kenyataan bahwa individu-individu yang merupakan anggota kelompok, walaupun perhatian mereka terpusat pada tatemae, masing-masing mempunyai motif-motif pribadi dan pendapat yang berbeda, dan mereka menyimpan hal ini ( Doi, 2001 : 36-37 ).

Nieda dalam Thamrin ( 2005 ) mengatakan dibalik semua perbedaan yang ada antara honne dan tatemae. Seseorang tidak dapat hanya memilih salah satunya dan mengabaikan lainnya. Antara honne dan tatemae haruslah seimbang. Ibaratnya sebuah kertas yang memiliki permukaan depan dan permukaan belakang, apabila ada honne maka secara otomatis tatemae juga ada, dimana ada keselarasan dan keseimbangan antara keduanya mengandung nilai 「和」( wa ) yaitu kehormonisan, seperti yang dikemukakan oleh Sugiura ( 2004 : 30 ) :

挟い共同体の中で、その構成員同土が平和に仲良く暮らさなければならな いという、日本の地理的歴史的な条件は、人間関係のあり方にも大きく影 響を与えています。例えば、本音を言えば相手を傷つけたり怒らせたりす るときは、建前を言うことで、共同体の平和を保つことができます。これ は指と違う本音は控えて、建前に順応するという習慣を生み、自分の意味

(18)

33  をなかなか言わないという日本人への批判を生む元ともなったようです。 しかしほとんどの日本人は自己主張より和を尊ぶために本音を控えている といえます。国際社会では通用しないそのような態度はしかし、日本の国 際態度はしかし、日本の化とともに徐々に変わってきつつあります。 Terjemahan :

Secara geofrafis dan sejarah Jepang, dimana orang yang tinggal bersama dalam komunitas kecil dengan damai dan harmonis mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kekeluargaan. Contohnya, ketika mengekspresikan honne maka mungkin bisa menyakitkan atau menyinggung perasaan orang lain. Tatemae adalah ekspresi yang justru malah digunakan untuk menjaga kedamaian dalam sebuah komunitas. Hal ini menghasilkan kebiasaan untuk menghindarkan diri dalam menyebutkan honne yaitu yang berbeda dari apa yang setiap orang ekspresikan, dan mengatur kepada tatemae, yang menyediakan alasan untuk mengkritik orang Jepang yang tidak secara siap mengekspresikan pendapat mereka. Bagaimanapun, kebanyakan orang Jepang menahan diri dari mengekspresikan honne karena mereka menilai wa ( rasa keharmonisan dan kebersamaan ) lebih dari rasa diri. Sikap semacam ini belum diterima oleh komunitas nasional dunia, dan secara berangsur-angsur berubah sebagai internasionalisasi di Jepang.

Pada dasarnya setiap individu memiliki dua sifat dalam dirinya. Sifat sosial yang diwakili dengan tatemaenya dan yang kedua adalah sifat individunya yang dilihat dari honne individu tersebut. Dengan demikian hubungan masyarakat Jepang selalu dilandasi oleh adanya suatu landasan moral dalam interaksi sosial yang sangat vital dalam masyarakat Jepang yaitu honne dan tatemae ( Nieda dalam Thamrin, 2005 ).

Doi ( 2001 : 76 ) mengatakan bahwa honne dan tatemae adalah struktur ganda yang berlawanan yaitu keadaan seperti dua sisi uang logam yang berlawanan, honne dan tatemae selalu mempengaruhi, berikut adalah kutipannya :

We are more anxious to learn the honne of a situation than the tatemae, and this is an expression of the same feeling that honne is the natural state, while tatemae is unnatural complication.

(19)

34  Terjemahan :

Kita lebih ingin mempelajari honne dari suatu situasi daripada tatemae, dan ini adalah ekspresi dari perasaan yang sama bahwa honne adalah keadaan yang sebenarnya, sementara tatemae adalah komplikasi yang bukan merupakan keadaan yang sebenarnya.

Adapun honne dan tatemae menurut Ushiyama ( 2007 : 69 ), yaitu :

本音は心の中で実際に考えていること。思ったことをそのまま口に出す ことは、相手に対する配慮が足りないと考えられている。建前は TPO や 社会的道徳、話す相手よって変化する表向きの意味。社交辞令もこれに あたる。

Terjemahan :

Honne adalah pemikiran jujur seseorang. Apabila kita mengatakan sesuatu dengan terang-terangan, maka hal itu akan dianggap menyinggung lawan bicara kita. Tatemae adalah sikap seseorang yang berubah-ubah sesuai dengan konteks sosial, lawan bicara serta tempat, waktu dan objek pembicaraan( atau TPO, time, place, and object ). Tanggapan diplomatis juga termasuk dalam prinsip tatemae. Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang tidak pernah menjadi pembicara saja, tetapi selalu berganti-ganti. Karena itu penguasaan akan honne dan tatemae selalu diperlukan. Menebak honne orang lain akan bermanfaat bagi seseorang dalam usaha menampilkan tatemae berikutnya, yaitu reaksi dari aksi yang diberikan lawan bicara. Kutipannya adalah sebagai berikut ( Doi, 2001 : 37 ):

Honne exist only because there is tatemae, and honne manipulates tatemae from behind. In this way, tatemae and honne are mutually defining and mutually constituting relationship. Without one, the other cannot exist.

Terjemahan :

Honne ada karena ada tatemae, di lain pihak honne memanipulasi tatemae dari belakang. Karena itu, tatemae dan honne adalah hubungan yang saling mengisi. Tanpa yang satu, yang lain tidak akan ada.

(20)

35  2.4 Teknik Montase

Menurut Minderop ( 2005 : 150 ), istilah montase berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotong-motong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Alat mendasar dalam perfilman adalah teknik montase. Dalam teknik tersebut teknik montase mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpah-tindih satu dan lainnya.

Terdapat beragam teknik yang terdapat dalam prinsip montase. Salah satunya digunakan untuk menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik tersebut digunakan dalam penyajian eja-cakap kedalaman karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul di dalamnya terkadang tidak selalu berada dalam urutan logis. Kebingungan dan kekesalan yang mungkin timbul dalam diri pembaca dapat merasakan kekacauan dalam diri tokoh. Teknik montase juga dapat menyajikan kesibukan latar, misalnya hiruk pikuk kota besar atau suatu kekalutan misalnya kekalutan pikiran, atau aneka tugas seorang tokoh secara simultan dan dinamis. Melalui teknik ini dapat direkam sikap kaotis yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya.

Fungsi utama teknik montase yakni untuk menggambarkan dua kehidupan tokoh dalam suatu kisahan, yaitu kehidupan jasmani dan rohani. Agar pembaca dapat memahami dengan baik setiap situasi yang diputus atau disambung pada situasi tertentu, pembaca harus kembali menelusuri alur untuk kembali ke latar dan memposisikan diri pembaca pada keadaan yang sebenarnya.

Referensi

Dokumen terkait

(4) Dalam hal berkas pengajuan permohonan pengesahan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi

1. Bayu Widagdo dan Winastwan Gora.S, Produser adalah orang yang bertugas menjadi fasilitator dan menyiapkan segala kebutuhan produksi dari tahap awal hingga tahap akhir,

M engingat populasi burung kakatua di Pulau Komodo banyak ditemukan di lembah-lembah maka penting untuk melakukan penelitian seleksi habitat burung kakatua dengan variasi

AJI CAHYARUBIN. Analisis Pendapatan Usahatani Tebu Petani Mitra dan Non Mitra PG Rejoagung Baru, Kabupaten Madiun. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI. Kemitraan antara petani

Uskup mempunyai kepenuhan sakramen tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam Ekaristi… Gereja Kristus sungguh hadir dalam jemaat beriman

Perbedaan perubahan kadar kolesterol total yang tidak bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol sesuai dengan penelitian Trully Kusumawardhani yang menyatakan

Hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan insfrastruktur dengan perusahaan jasa konstruksi yaitu hubungan hukum yang timbul dari perjanjian dalam hal pemberian

Target penerimaan perpajakan pada APBN tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp1.193,0 triliun, terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun