• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG HIDUP TELUR DAN BERUDU KATAK POHON. JAWA Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO PROVINSI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELUANG HIDUP TELUR DAN BERUDU KATAK POHON. JAWA Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO PROVINSI JAWA BARAT"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG HIDUP

KATAK POHON JAWA

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE

SALOMO JULIVAN ARITONANG

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PELUANG HIDUP TELUR DAN BERUDU

KATAK POHON JAWA Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO

PROVINSI JAWA BARAT

SALOMO JULIVAN ARITONANG

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

BERUDU

Schlegel 1837

PANGRANGO

(2)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO

PROVINSI JAWA BARAT

SALOMO JULIVAN ARITONANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

Pohon Jawa Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Provinsi Jawa Barat”. Dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

Katak pohon jawa (Rhacophorus margaritifer) merupakan salah satu spesies endemik yang hanya ada di Pulau Jawa. Keberadaan katak pohon jawa terancam akibat rusaknya habitat karena aktivitas manusia seperti perambahan hutan dan penebangan pohon secara liar. Spesies katak ini tidak hanya terancam ketika dewasa tetapi juga pada saat fase berudunya. Peluang hidup yang besar dari berudu menjadi katak sempurna menunjukkan bahwa keberadaan spesies ini lestari pada habitat yang diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keberhasilan telur di habitat alam dan besarnya peluang hidup berudu R. margaritifer di habitat translokasi serta menganalisis ruang hidup telur dan berudu R. margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Pengambilan data telur dan berudu dilakukan pada habitat alam dan habitat translokasi di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango melalui pengukuran dan analisis habitat serta kondisi lingkungan pada saat pengamatan. Data yang dikumpulkan meliputi data jumlah telur yang berhasil dan gagal menjadi berudu, data peluang hidup melalui pengamatan berudu dalam proses metamorfosisnya menjadi katak sempurna (tahapan pertumbuhan), data karakteristik habitat (suhu air, kualitas air, suhu udara, substrat), data pakan, dan data mengenai ruang hidup dan kepadatan (luas areal habitat dan kepadatan) pada habitat alami berudu R. margaritifer di TNGP.

Persentase keberhasilan telur Rhacophorus margaritifer untuk menjadi berudu pada habitat alaminya tinggi tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa telur-telur dalam clutch dapat mengalami pembusukan dan gagal menjadi berudu akibat kondisi suhu yang ekstrim. Berdasarkan pengamatan, Peluang kehidupan dari kelas umur I (st 25) ke kelas umur II (st 26-30) hanya sebesar 0,4 dan menurun lagi untuk mencapai kelas umur berikutnya yaitu 0,26 (stage 31-40), 0,2 (stage 41-45) dan 0,18 (stage 46). Hal ini menunjukkan bahwa fase awal pertumbuhan berudu merupakan fase yang rentan akan kematian. Clutch telur R. margaritifer pada habitat alaminya di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditemukan pada tumbuhan air seperti kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum) yang di bawahnya terdapat sungai bertipe aliran sedang. Ruang hidup berudu R. margaritifer pada habitat alaminya adalah kolam temporer atau cekungan pada tepian sungai yang substrat utamanya berupa lumpur. Ukuran diameter rata-rata habitat alaminya lebih kurang 150 cm sedangkan kedalaman rata-ratanya kurang dari 20 cm. Tingkat kepadatan berudu R. margaritifer paling tinggi pada habitat alaminya adalah pada lokasi curug III (1) yaitu 120 ind/m3 dan yang terendah adalah pada kolam curug I yaitu sebesar 3 ind/m3.

(4)

Javan Tree Frog Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 in Mount Gede-Pangrango National Park, West Java". Under supervision of Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M. Si and Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

Javan tree frog (Rhacophorus margaritifer) is an endemic species found in Java Island. The presence of javan tree frog habitat is threatened by the destruction of its habitats because of human activities such as forest encroachment and illegal felling of trees. This frog species is threatened not only during adults but also during tadpole phase. High chances of survival from tadpoles into frogs will sustain the existence of this species in its habitats. The purpose of this study was to see the percentage of eggs survived in natural habitats and the survivalof R. margaritifer tadpoles in translocation habitat to reach metamorphosis. Additional purpose is also to analyze the microhabiotat of of R. margaritifer eggs and tadpoles in Mount Gede-Pangrango National Park (MGPNP).

Eggs and tadpoles data in natural habitats was collected from Cibeureum area. Translocation of tadpoles were carried out in Ciwalen and Cibodas in the Mount Gede-Pangrango National Park. Data collected includes number of successful and failed eggs hatched into tadpoles, the percentage of tadpole that survive in each stage of metamorphosis , habitat characteristics (water temperature, water quality, air temperature, substrate), and the total area of habitat and density of tadpoles in its natural habitat.

The percentage of R. margaritifer eggs becoming tadpoles was high in their natural habitat, however in two occasions the survival was nil since all eggs decayed and failed to become tadpoles due to extreme temperature conditions. Based on observation, the survival probability of R. margaritifer tadpoles in age class I (st 25) to age class II (st 26-30) was only by 0.4 and continued to decline in subsequent age classes in following orders 0.26 (stage 31-40), 0.2 (stage 41-45) and 0.18 (stage 46). This indicated that tadpoles in its early growth phase are susceptible to death. Eggs clutch of R. margaritifer in their natural habitat at the MGPNP was found on water plants such as kecubung (Brugmansia suaveolens) and babakoan (Eupatorium sordidum) which situated above the flowing river. Tadpoles usually found in temporary pool or on the banks of the river basin with main substrate of mud. The average of diameter of the pools was approximately 150 cm, with average depth of less than 20 cm. The highest density of tadpoles found in its natural habitat is in Curug III (120 ind/m3 ) and the lowest is in the Curug I pool (3 ind/m3).

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peluang Hidup Telur dan Berudu Katak Pohon Jawa Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Provinsi Jawa Barat” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2010

Salomo Julivan Aritonang NRP E34050168

(6)

Gunung Gede-Pangrango Provinsi Jawa Barat Nama : Salomo Julivan Aritonang

NIM : E34050168

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Mirza D. Kusrini, M. Si. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.

NIP. 19651114 199002 2 001 NIP.19660221 199103 1 001

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Ketua

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 3 Juli 1987 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Saut Aritonang dan Ibu Melva Manurung. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SD Xaverius 9 Palembang (1999), SLTP Xaverius 7 Palembang (2002), dan SMU Xaverius 1 Palembang (2005). Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2006.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) periode 2006-2008 sebagai anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH)-HIMAKOVA. Selain itu, penulis juga aktif di kegiatan pelayanan Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (Komkes PMK IPB). Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di KPH Indramayu dan Taman Nasional Gunung Ciremai pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi Ek-Situ (PUKES) di Kebun Tanaman Obat Karyasari dan Taman Margasatwa Ragunan pada tahun 2008, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran pada tahun 2009.

Sebagai usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Peluang Hidup Telur dan Berudu Katak Pohon Jawa Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Provinsi Jawa Barat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.

(8)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1. Bapak dan Mama, abang (Chris), dan adik (Iyon & Eric) tercinta, serta segenap keluarga besar Aritonang dan Manurung atas doa, kasih sayang dan segala dukungan baik moril maupun materi yang diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

2. Dr.Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr.Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS, Dr. Ir. Achmad, MS, dan Ir. Nana M. Arifjaya, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penyempurnaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf Departemen KSHE dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis selama proses belajar.

5. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango beserta seluruh staf yang membantu penulis dalam penelitian.

6. Boby Darmawan, S. Hut, M. Irfansyah Lubis, S. Hut, dan Neneng Sholihat, S. Hut sebagai pendamping dalam penelitian.

7. Tim Javanus (Panda, Irwan, Wista, Uphie, Neneng) atas segala bantuan, motivasi, dan semangat selama penelitian di lapang.

8. Teman-teman KSHE angkatan “Tarsius” (42/2005) atas segala motivasi dan pembelajaran yang diberikan kepada penulis selama proses belajar.

9. Johanna Kristiana Manurung yang telah memberikan perhatian, dukungan, motivasi, bantuan serta hari-hari penuh keceriaan pada penulis selama kuliah, penelitian, dan penulisan skripsi ini.

(9)

Adit, Brury, Armi, Erika, Melda, Kristi, Eka, Tara, Vetty dan Molly) atas kebersamaan dan segala pembelajaran kepada penulis.

11.Bang Ico, Kak Oci, Bang Wastin dan segenap keluarga besar Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (Komkes PMK IPB) atas kebersamaan, dukungan, dan doanya kepada penulis sampai saat ini.

12.Rekan-rekan HIMAKOVA khususnya Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) “Phyton” HIMAKOVA.

13.Teman-teman relawan “MONTANA” Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango untuk segala bantuannya dalam penelitian.

14.Teman-teman “BIVAK” Fakultas Kehutanan IPB atas kebersamaan yang boleh terbangun.

15.Semua pihak yang belum dapat penulis sebutkan satu persatu atas batuan dan saran yang diberikan.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga saya telah berhasil menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Peluang Hidup Telur dan Berudu Katak Pohon Jawa Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837 di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Provinsi Jawa Barat”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak terutama dalam pengembangan ilmu kehutanan secara umum.

Penulis senantiasa terbuka menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini dan demi perkembangan usaha konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Demikian skripsi ini saya buat, semoga dapat diterima dan bermanfaat.

Bogor, November 2010

Salomo J. Aritonang NRP. E34050168

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2 1.3. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Ekologi Telur ... 3

2.2. Morfologi Berudu R. margaritifer ... 3

2.3. Habitat Berudu ... 4

2.4. Perkembangan Berudu ... 6

2.5. Pemeliharaan Berudu secara Ek-situ ... 8

III. METODE PENELITIAN ... 9

3.1. Lokasi dan Waktu ... 9

3.2. Alat dan Bahan ... 9

3.3. Jenis Data ... 10

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 10

3.4.1. Keberhasilan hidup ... 10 3.4.1.1. Telur ... 10 3.4.1.2. Berudu ... 11 3.4.2. Ruang Hidup ... 12 3.4.2.1. Karakteristik Habitat ... 12 3.4.2.2. Kepadatan ... 13 3.5. Analisis Data ... 13 3.5.1. Keberhasilan Hidup ... 13 3.5.2. Peluang Hidup ... 13

(12)

3.5.3. Ruang Hidup ... 14

3.5.4. Kepadatan ... 14

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 15

4.1. Keadaan Umum Kawasan ... 15

4.2. Curug Cibeureum ... 16

4.3. Ciwalen ... 17

4.4. Taman Mandalawangi ... 18

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

5.1. Hasil ... 19

5.1.1. Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer ... 19

5.1.1.1. Telur ... 19

5.1.1.2. Perkembangan Berudu pada Habitat Sungai Ciwalen ... 21

5.1.1.3. Perkembangan Berudu pada Habitat Kolam Mandalawangi ... 22

5.1.1.4. Peluang Hidup Berudu ... 24

5.1.2. Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer ... 25

5.1.2.1. Clutch Telur ... 25

5.1.2.2. Karakteristik Habitat Alami Berudu ... 26

5.1.2.3. Kepadatan ... 27

5.2. Pembahasan ... 29

5.2.1. Keberhasilan Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer ... 29

5.2.2. Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer ... 35

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

6.1. Kesimpulan ... 38

6.2. Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Alat dan Bahan Penelitian ... 9 2. Jumlah Telur yang Berhasil dan Gagal menjadi Berudu ... 20 3. Perkembangan Berudu R. margaritifer pada Habitat Sungai

Ciwalen ... 22 4. Perkembangan Berudu R. margaritifer pada Habitat Kolam

Mandalawangi ... 23 5. Analisis Substrat Clutch Telur R. margaritifer ... 26 6. Analisis Habitat Kolam atau Genangan Alami Berudu R. margaritifer .. 27 7. Kepadatan Berudu R. margaritifer pada Kolam atau Genangan Alami

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Tahapan perkembangan berudu Gosner (1960) ... 7

2. Selubung plastik melindungi clutch telur ... 10

3. Jaring kantong dan jaring kotak sebagai habitat translokasi ... 12

4. Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ... 15

5. Lokasi pengambilan sampel clutch telur ... 17

6. Habitat translokasi kolam Mandalawangi ... 18

7. Peletakan clutch telur R. margaritifer pada daun ... 19

8. Clutch telur rusak dan telur R. margaritifer yang busuk . ... 20

9. Katak sempurna dalam habitat translokasi kolam Mandalawangi ... 24

10. Kurva peluang hidup berudu R. margaritifer ... 24

11. Kurva kemampuan hidup berudu R. margaritifer ... 25

12. Jaring kantong sebagai habitat pentranslokasian berudu ... 32

13. Jaring kotak sebagai habitat pentranslokasian berudu ... 34

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan Indonesia yang beriklim tropis merupakan habitat alami yang cocok bagi spesies-spesies amfibi untuk beregenerasi dan mempertahankan hidupnya. Katak merupakan organisme penting yang berperan sebagai bioindikator perubahan lingkungan yang keberadaanya terancam dalam ekosistem. Katak pohon jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel 1837) termasuk dalam famili Rhacophoridae (Iskandar, 1998). Katak ini merupakan salah satu spesies endemik yang hanya ada di Pulau Jawa yaitu di dua daerah di Jawa Barat serta satu daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah Jawa Barat katak ini dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, hutan di sekitar Taman Safari Indonesia Cisarua, Telaga Warna dan Kebun Raya Cibodas sedangkan di Jawa Tengah yaitu di Taman Nasional Gunung Merapi. Katak yang hidup di hutan pegunungan primer ini berdasarkan IUCN Red List ver 2010 (IUCN 2010) merupakan spesies dengan tingkat populasi yang cukup tinggi tetapi hanya terdapat pada daerah tertentu (least concern species).

Keberadaan katak pohon jawa terancam akibat rusaknya habitat karena aktivitas manusia seperti perambahan hutan dan penebangan pohon secara liar. Spesies katak ini tidak hanya terancam ketika dewasa tetapi juga pada saat fase berudu atau proses metamorfosisnya berlangsung. Proses metamorfosis katak yang berawal dari perubahan telur menjadi berudu merupakan proses penting bagi terbentuknya individu katak pohon jawa di alam. Menurut Duellman & Trueb (1994), fase berudu merupakan tahapan paling rentan akan kematian. Relyea & Hoverman (2003) menyatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan besarnya peluang hidup berudu diantaranya kondisi lingkungan, keberadaan predator, dan tingkat kepadatan berudu dalam habitat yang menyebabkan persaingan dalam mendapatkan pakan. Peluang hidup yang besar dari berudu menjadi katak sempurna menunjukkan bahwa keberadaan spesies ini lestari pada habitat yang diteliti.

(17)

Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango merupakan salah satu kawasan perlindungan dan pelestarian alam yang merupakan habitat alami bagi R. margaritifer. Katak dan berudu R. margaritifer di kawasan TNGP dapat ditemukan pada beberapa tempat antara lain Ciwalen, Curug Cibeureum, Rawa Denok, dan Lebak Saat (Kusrini et al 2008). Sebagai salah satu bentuk usaha konservasi, diperlukan data mengenai peluang hidup berudu R. margaritifer serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai pertimbangan dalam pengelolaan kawasan taman nasional sebagai habitatnya.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Melihat keberhasilan dan besarnya peluang hidup telur di habitat alam dan berudu R. margaritifer di habitat translokasi.

2. Menganalisis ruang hidup telur dan berudu R. margaritifer di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

1.3. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya peluang hidup R. margaritifer dari fase telur sampai pada fase berudu dan kemudian menjadi individu sempurna pada habitatnya di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Setelah menentukan besarnya peluang hidup maka diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengelolaan habitat katak pohon jawa ini sehingga populasinya lestari dan dapat menjadi sumber data bagi penelitian selanjutnya.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekologi Telur

Katak betina dewasa menentukan tempat peletakan telur setelah terjadi pembuahan dan untuk kebanyakan katak pohon telur tersebut terselubung dalam busa. Hal ini terjadi pada sedikitnya lima famili katak yaitu Hyperolilidae, Hylidae, Leptodactylidae, Myobatrachidae, dan Rhacophoridae (Hödl 2000). Dalam keadaan normal, katak betina mengeluarkan telurnya pada malam hari setelah terjadi amplexus (Bennett 1999). Goin et al. (1978) menyatakan bahwa penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam misalnya pada tempat terbuka, di atas air (permanen atau temporal), pada air yang mengalir, di bawah batu atau kayu lapuk, di lubang atau pada daun yang di bawahnya terdapat air yang menggenang.

Spesies katak pohon pada umumnya menyimpan telurnya dalam selubung busa dan meletakkannya pada dedaunan dengan kondisi tertutup dan letaknya tepat di atas air (Inger & Stuebing 1997, Iskandar 1998, Kusrini et al. 2008). Hal ini juga terjadi pada katak pohon jawa (R. margaritifer) (Liem 1971). Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa pada katak pohon jawa (R. margaritifer), selubung busa (clutch) berisi telur ini diletakkan pada daun hijau segar, diletakkan tersembunyi, dan dibiarkan menggantung di atas aliran air sungai yang jernih ataupun genangan air. Selubung busa ini diletakkan pada tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar air terjun atau sungai.

2.2. Morfologi Berudu R. margaritifer

Menurut van Kampen (1923), berudu R. margaritifer memiliki panjang tubuh 1,5-2 kali lebar badannya dan ekornya memiliki panjang antara 1,5-2,25 kali panjang badannya. Lubang hidungnya berada diantara mata dan ujung mulutnya serta memiliki lebar antara lubang hidung lebih kecil dibandingkan lebar diantara kedua matanya. Bagian mata berada di atas, terletak di tengah-tengah bagian spiraculum dan ujung mulut yang memiliki jarak 1,5-2 kali jarak antara lubang hidungnya. Spiraculum sinistral menunjuk ke arah atas dan arah

(19)

belakang serta terlihat dari sisi atas dan bawah. Jaraknya sama dengan jarak antara ujung mulut dan ventrikel (anus). Sirip bagian atas (dorsal fin) lebih lebar daripada sirip bagian bawahnya (ventral fin) dan panjangnya sampai pada ujung ekornya.

Bagian sisi dan pinggir bawah bibir mulut berudu ini berderet bintil-bintil (papillae) yang di sepanjang sisinya (samping) terdapat dua sampai tiga bintil dan sepanjang pinggir bawahya terdapat tiga sampai empat baris bintil. Rahangnya bersisi dan berwarna hitam serta geliginya memiliki formasi 51 5/3. Deret kedua dan ketiga dari bibir atas jaraknya sangat dekat dengan perpotongan yang menyilang. Badan bagian atas berwarna abu-abu dan bagian bawahnya berwarna putih. Ekor berudu ini memiliki warna yang merupakan perpaduan antara warna abu-abu terang dan warna yang agak kuning. Bagian badan transparan dan bagian belakang (ekor) memiliki titik-titik besar berwarna agak abu kehitam-hitaman. Panjang berudu secara keseluruhan dapat mencapai 58 mm.

2.3. Habitat Berudu

Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa sebagian berudu amfibi hidup pada kondisi lingkungan yang relatif stabil sehingga berudu-berudu dapat bertahan hidup sampai menjadi individu dewasa (metamorfosis sempurna). Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan berudu. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah suhu dan kelembaban udara, tingkat keasaman air, ketersediaan pakan, dan predator. Menurut Wassersug et al. (1981) pada penelitiannya terhadap dua spesies berudu katak genus Rhacophoridae di Thailand, berudu katak pohon ini dapat hidup pada lubang-lubang pohon yang berisi air yang berada pada ketinggian 1-3 meter di atas tanah. Berudu-berudu ini memakan plankton-plankton kecil dan daun-daun busuk yang terdapat di dalam lubang berair tersebut. Pada kondisi yang ekstrim yaitu dalam kondisi pakan terbatas, berudu katak ini dapat menjadi satwa karnivora dan dapat memakan berudu-berudu lain di sekitarnya.

(20)

Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa faktor penting lainnya adalah keberadaan predator yang mengancam keberlangsungan hidup berudu. Beberapa predator yang menjadi ancaman tersebut antara lain ikan, kura-kura, burung dan mamalia kecil. Selain keberadaan predator, pengancam kehidupan berudu lainnya adalah adanya jamur Batrachochytrium dendrobatidis yang terdapat di dalam air sebagai habitat utama berudu (Lips et al. 2005). Hal ini menyebabkan penurunan populasi beberapa jenis amfibi di Amerika Latin. Kusrini et al. (2008) juga menyatakan bahwa spesies katak pohon jawa yang ada di sekitar Cibereum, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terinfeksi berat jamur mematikan ini.

Katak Pohon Jawa (R. margaritifer) memiliki habitat utama berupa hutan hujan tropis dan subtropis pegunungan, lahan basah termasuk sungai permanen, sungai sedang sampai kecil dan air terjun. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa jenis ini biasanya hidup di hutan pada ketinggian antara 1.000 – 1.500 meter di atas permukaan laut. Sampai saat ini diketahui penyebarannya hanya terdapat di Pulau Jawa yaitu di dua daerah di Jawa Barat yaitu di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP), daerah lainnya adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur (IUCN 2010).

Berudu katak pohon jawa ini ditemukan pada pinggir-pinggir sungai beraliran kecil sampai deras dan pada kolam ataupun genangan yang berair jernih. Pada dasar aliran sungai ataupun genangan berupa lumpur, pasir, ataupun bebatuan kecil. Berdasarkan penelitian van Kampen (1923), berudu R. margaritifer dapat ditemukan di Cibodas dan pada ketinggian hingga 1.500 mdpl di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP). Berudu-berudu ini dapat ditemukan pada aliran-aliran sungai dan genangan pada ketinggian 1.000-1.500 mdpl seperti di jalur interpretasi Ciwalen, dan air terjun Cibeureum. Berdasarkan pengamatan pendahuluan, habitatnya didominasi oleh tumbuhan air seperti kecubung gunung, pacar air, selada air serta lumut.

(21)

2.4. Perkembangan Berudu

Tahapan perkembangan berudu secara sederhana dikemukakan oleh Gosner (1960) di dalam 46 tahapan (stage) pertumbuhan. Setiap tahapan pertumbuhan didasarkan atas perubahan morfologi dan fungsi tubuh berudu. Tahapan pertumbuhan (stage) satu hingga 25 menunjukkan tahapan embrionik (embryonic stages) dimana terjadi proses fertilisasi, pembelahan sel, blastula dan gastrula sama seperti yang terjadi pada kebanyakan spesies. Tahapan awal pertumbuhan berudu yaitu pembelahan sel-sel telur (cleavage) menjadi dua, empat, delapan, hingga sel-sel telur membelah menjadi banyak sel (stage 1-9). Tahapan selanjutnya secara berurutan adalah proses blastulasi, gastrulasi, pemanjangan sel (elongasi), pembentukan sistem saraf hingga proses pembentukan ujung ekor, otot, jantung, insang, mata, sirip ekor, dan perkembangan geligi (operculum). Tahapan (stage) 21-25 menunjukkan embrio mengalami transisi menjadi berudu yang mencari makan dan berenang di air. Tahapan perkembangan berikutnya adalah stage 26-30 dimana terjadi proses pembentukan lengan kaki depan (limb bud). Tahapan ini kemudian diteruskan dengan proses pembentukan jari kaki (toe development) yaitu stage 31-40. Setelah tahapan ini selesai, terjadi proses pemisahan antara bagian badan dan ekor (stage 41) serta mulai terbentuk kaki depan. Selanjutnya berudu akan memasuki tahapan (stage) 41-45 dimana kaki depan telah terbentuk disertai perubahan geligi menjadi mulut (mouth development) dan proses menghilangnya ekor (tail resorption). Tahapan (stage) 46 adalah tahapan terakhir dimana ekor telah hilang sama sekali dan semua sistem saraf, pencernaan, pernafasan, dan pengeluaran telah sempurna sehingga berudu telah menjadi katak sempurna. Tahapan perkembangan berudu menurut Gosner (1960) disajikan pada Gambar 1.

(22)
(23)

2.5. Pemeliharaan Berudu secara Ek-situ

Retallick (2002) menggunakan metode translokasi berudu dan katak pada habitat buatan yang dilakukannya pada spesies Litoria rheocola. Pada percobaannya, berudu dan katak ini diambil dari beberapa habitat alaminya di hutan hujan tropis Queensland, Australia kemudian dipindahkan pada beberapa enclosure (sarang buatan) yang di dalamnya telah dikondisikan sesuai habitat asli katak tersebut. Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap perilaku, pertumbuhan, dan perkembangan berudu dan katak. Kusrini et al. (2008) dalam penelitiannya terhadap ekologi bertelur Philautus vittiger, membawa ke laboratorium sebuah clutch telur untuk diamati perubahannya dari fase telur sampai menjadi berudu. Telur ini diletakkan pada kotak plastik yang berisi air, ranting-ranting, dan dedaunan yang berasal dari tempat ditemukannya telur (habitat alami). Kondisi habitatnya disesuaikan dengan habitat aslinya misalnya dengan pemberian lumpur, sampah dedaunan dan tumbuhan air (Hydrila spp.).

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan berudu pada habitat buatan adalah kondisi air. Bennett (1999) dalam eksperimennya menjaga selalu kondisi air. Air untuk berudu diganti setiap hari dengan kualitas yang sama dan berudu diletakkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Walaupun dapat mempercepat pertumbuhan tubuhnya, berudu-berudu tidak boleh terkena sinar matahari langsung karena bila terlalu panas maka berudu-berudu tersebut akan mati dalam hitungan menit. Hal penting lainnya dalam pemeliharaan berudu adalah ketersediaan pakan alami. Schiesari et al. (2006) menggunakan metode pentranslokasian berudu pada kolam-kolam tertutup dengan perlakuan berbeda dimana terdapat kolam yang kaya akan pakan alami berudu seperti detritus, fitoplankton, dan periphyton sedangkan kolam yang lainnya sedikit pakan. Kondisi habitat disesuaikan dengan habitat alaminya dan pengamatan dilakukan terhadap kecepatan pertumbuhan berudu pada dua kondisi berbeda tersebut. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada habitat buatan yang kaya akan pakan, pertumbuhan berudu dapat lebih cepat dibandingkan pada habitat yang pakannya sedikit.

(24)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dalam sebelas bulan, dimulai pada bulan April 2009 sampai bulan Maret 2010. Pengambilan data clutch telur dan berudu dilakukan pada habitat alam (Curug Cibeureum) dan habitat translokasi (Ciwalen dan Taman Mandalawangi) di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango melalui pengamatan perkembangan telur dan berudu, pengukuran habitat alami dan analisis habitat serta kondisi lingkungan pada saat pengamatan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dikelompokkan berdasarkan kegunaannya dalam pengumpulan dan analisis data (Tabel 1).

Tabel 1 Alat dan Bahan Penelitian

No. Nama Alat/Bahan Kegunaan

1. a. b.

Pengambilan Data Telur Plastik spesimen

Tali

Tempat penampungan berudu dari telur Untuk menggantung plastik

2. a. b. c. d. e.

Pengambilan Data Berudu Kaliper

Cawan petri Larutan MS 222 Jaring kantong Jaring kotak

Mengukur dimensi berudu

Tempat mengamati pertumbuhan berudu

Menenangkan berudu pada saat pengukuran dan pengamatan stage Tempat pemeliharaan dan pengamatan berudu

Tempat pemeliharaan dan pengamatan berudu 3. a. b. c. d. e. f. Analisis habitat Termometer pH meter Bola gabus Meteran Jaring serok Walking stick

Mengukur suhu air dan kelembaban Mengukur pH air di sekitar telur Mengukur kecepatan arus sungai Mengukur lebar badan air dan luasan daun

Mengambil sampel berudu pada habitat alami

Mengukur kedalaman air 4.

a. b.

Dokumentasi

Buku catatan lapangan/tally sheet Kamera digital

Dokumentasi data

(25)

3.3. Jenis Data

Data yang dikumpulkan meliputi data jumlah telur yang berhasil dan gagal menjadi berudu, data peluang hidup melalui pengamatan berudu dalam proses metamorfosisnya menjadi katak sempurna (tahapan pertumbuhan), data karakteristik habitat (suhu air, kualitas air, suhu dan kelembaban udara, substrat), data pakan, dan data mengenai ruang hidup dan kepadatan (luas areal habitat dan kepadatan) pada habitat alami berudu R. margaritifer di TNGP.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Keberhasilan hidup

3.4.1.1. Telur

Pengamatan dilakukan mulai pukul 08.00-15.00 WIB. Data telur diambil dari sembilan selubung busa (clutch) telur R. margaritifer yang ditemukan dalam pengamatan di antara bulan April 2009 sampai November 2009 di sekitar Curug Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Clutch ini kemudian dipindahkan secara berkelompok pada habitat translokasi di sekitar sungai Ciwalen dan kolam Mandalawangi. Untuk mengetahui jumlah telur dalam clutch maka clutch yang ditemukan pada habitat alaminya diberi selubung plastik yang melindungi clutch. Plastik diberi tali agar kondisinya tergantung dan melindungi clutch dari gangguan luar dan di dalamnya diberi air sehingga dapat menampung berudu-berudu yang jatuh dari telur (Gambar 2).

(26)

Berdasarkan pengamatan, jangka waktu dari terbentuknya clutch sampai berudu keluar ± 15 hari. Setelah hampir semua telur menetas menjadi berudu, busa yang menyelubungi telur dibongkar kemudian dihitung jumlah telur yang busuk atau yang gagal menetas menjadi berudu. Jumlah telur dalam clutch merupakan jumlah telur yang menetas menjadi berudu ditambah telur yang gagal menetas.

3.4.1.2. Berudu

Data yang diambil berupa data pertumbuhan berudu (perubahan stage) dan jangka waktu perubahan berudu dari satu tahap ke tahap lainnya dalam satu kali metamorfosisnya menjadi katak sempurna. Pengamatan terhadap pertumbuhan dan perkembangan berudu dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengamatan berudu pada habitat translokasi sungai Ciwalen yang dilakukan pada bulan April 2009 sampai November 2009. Tahap kedua adalah pengamatan berudu pada habitat translokasi kolam Mandalawangi yang dilakukan pada bulan November 2009 sampai Maret 2010.

Pengambilan data pada habitat translokasi Ciwalen dan kolam Mandalawangi dilakukan dengan pengamatan perubahan berudu sejak keluar dari clutch telur hingga mencapai tahapan sempurna. Berudu-berudu yang telah berhasil keluar dari clutch ditempatkan pada habitat translokasi berupa jaring yaitu pada jaring kantong dan jaring kotak. Jaring kantong yang dipakai berjumlah lima buah dan diletakkan di sekitar aliran sungai Ciwalen sedangkan jaring kotak pada kolam Mandalawangi (Gambar 3). Jaring kantong merupakan jaring yang berbentuk silindris/kantong dengan t = 60 cm, d = 20 cm, dan t terendam = 15 cm sedangkan jaring kotak merupakan jaring yang berbentuk kotak dengan dimensi p = 100 cm, l = 50 cm, t = 50cm, dan t terendam = 25 cm. Pengecekan terhadap berudu dilakukan setiap minggu dan dicatat pertumbuhannya berdasarkan tahapan pertumbuhan berudu Gosner (1960).

(27)

Gambar 3 Jaring kantong dan jaring kotak sebagai habitat translokasi

3.4.2. Ruang Hidup

3.4.2.1. Karakteristik Habitat

Analisis habitat dilakukan pada tempat ditemukannya clutch telur dan habitat alami berupa kolam atau genangan dimana terdapat berudu R. margaritifer. Analisis terhadap clutch telur dilakukan dengan mengukur lebar clutch telur, tinggi daun ke badan air, mengukur suhu udara dan suhu air pada saat penemuan, tingkat keasaman air dan telur, tipe aliran, dan vegetasi. Suhu udara diukur dengan termometer sedangkan suhu clutch diukur menggunakan termometer non-kontak Raytek. Untuk mengukur lebar clutch, tinggi daun ke air dan lebar badan air menggunakan meteran sedangkan untuk mengukur kedalaman air menggunakan walking stick yang telah diberi ukuran. Untuk mengukur derajat keasaman air dan telur menggunakan pH universal indicator. Penentuan arus sungai didasarkan pada kecepatan arus tiap meternya. Pengukuran arus ini menggunakan gabus dan meteran. Kecepatan arus adalah kecepatan gerakan air yang menyebabkan perpindahan secara vertikal dan horizontal. Sungai dikatakan berarus lambat apabila kecepatannya (v) 0.1-0.25 m/detik, arus sedang apabila kecepatannya 0.25-0.5 m/detik, dan arus cepat apabila kecepatannya 0.5-1.0 m/detik (Mason 1981). Sedangkan dalam pengukuran habitat alami berudu, kolam atau genangan diukur luasannya dan kedalamannya serta elemen-elemen penyusun habitatnya (substrat).

(28)

3.4.2.2. Kepadatan

Pengambilan data kepadatan dilakukan pada habitat alami R. margaritifer yaitu pada kolam-kolam dan genangan alami yang di dalamnya terdapat berudu R. margaritifer. Kolam atau genangan diukur luasannya dan kondisi substrat yang ada di dalamnya. Berudu-berudu diambil dengan menggunakan jaring serok selama 10 kali pengulangan atau sampai semua berudu yang ada pada masing-masing kolam atau genangan benar-benar habis. Kemudian berudu-berudu tersebut dipindahkan ke dalam ember dan dihitung. Pengambilan data ini dilakukan pada bulan Februari 2010.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Keberhasilan hidup

Pengamatan pertumbuhan dari fase telur sampai fase dewasa berdasarkan tahapan perkembangan berudu Gosner (1960) yang terdiri atas 46 tahapan (stage) pertumbuhan. Keberhasilan telur menjadi berudu dicatat berdasarkan jumlah yang berhasil dan gagal menjadi berudu dan disajikan dalam tabel. Keberhasilan hidup berudu disajikan dalam bentuk grafik.

3.5.2. Peluang hidup

Peluang hidup kelas umur x dinotasikan sebagai lx, dalam hal ini lx menunjukkan peluang hidup individu dari kelahiran ke kelas umur x. Persamaan peluang hidup untuk kelas umur x adalah sebagai berikut:

x l = 0 N Nx ... (1) N merupakan jumlah individu. Persamaan ini merupakan peluang hidup pada umur tertentu. Kemampuan hidup suatu individu dari kelas umur x ke kelas umur x+1 disebut sebagai survival atau kemampuan hidup. Kemampuan hidup untuk kelas umur tertentu dinotasikan sebagai px, yang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: x p = x x N N +1 atau px= x x l l +1 ... (2)

(29)

Nilai lx menurun sesuai dengan peningkatan kelas umur, tetapi hal ini tidak berarti bahwa individu yang berumur paling tua memiliki laju kematian yang lebih besar dibandingkan individu muda.

Dalam pemodelan peluang hidup berudu, tahapan perkembangannya dikelompokkan dalam lima kelas umur (Gosner 1960) yaitu:

1: berudu (stage 25)

2: berudu membentuk lengan kaki (stage 26-30) 3: berudu membentuk jari kaki (stage 31-40)

4: berudu berkaki depan dan belakang (stage 41-45) 5: tahapan sempurna/katak muda (stage 46)

3.5.3. Ruang Hidup

Hasil dari analisis yang dilakukan terhadap tempat ditemukannya clutch telur dan berudu R. margaritifer disajikan dalam bentuk tabel.

3.5.4. Kepadatan

Hasil dari penghitungan berudu pada habitat alami disajikan dalam tabel. Kepadatan berudu dihitung dengan membagi jumlah berudu dengan volume areal tempat ditemukannya berudu tersebut.

(30)

IV. KONDISI

4.1. Keadaan Umum Kawasan

Secara geografi TNGP terletak antara 106

(BBTNGP 2003). Pada awal berdirinya yaitu pada tahun 1980, taman nasional ini hanya memiliki luas 15.196 hektar dan terletak di tiga wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha), Sukabumi (6.7

saat ini luasannya menjadi 21.975 Ha berdasarkan SK Menhut No. 174/Kpts Juni 2003. Sistem zonasi di TNGP terdiri atas zona inti (7.400 Ha), zona rimba (6.848,30 Ha), dan zona pemanfaatan (948,7 Ha).

Batas kawasan TNGP adalah sebelah utara berbatasan dengan wilayah kabupaten Cianjur dan Bogor, sebelah timur berbatasan dengan wilayah kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupat

dan Bogor. Kawasan TNGP memiliki ketinggian yang ber bukit sampai bergunung

mdpl yaitu di kawasan hingga 3.019 mdpl di pu

puncak tertinggi TNGP dan keduanya dihubungkan oleh p ketinggian 2.500 mdpl dengan sisi

(BTNGP 2003).

Gambar 4

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Keadaan Umum Kawasan

geografi TNGP terletak antara 106o51’- 107o02’ BT dan 6

Pada awal berdirinya yaitu pada tahun 1980, taman nasional ini hanya memiliki luas 15.196 hektar dan terletak di tiga wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha), Sukabumi (6.781,98 Ha), dan Bogor (4.514, 73 Ha) dan saat ini luasannya menjadi 21.975 Ha berdasarkan SK Menhut No. 174/Kpts Juni 2003. Sistem zonasi di TNGP terdiri atas zona inti (7.400 Ha), zona rimba (6.848,30 Ha), dan zona pemanfaatan (948,7 Ha).

an TNGP adalah sebelah utara berbatasan dengan wilayah kabupaten Cianjur dan Bogor, sebelah timur berbatasan dengan wilayah kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupat

Kawasan TNGP memiliki ketinggian yang beragam yaitu berbukit bergunung-gunung yang ketinggiannya bervariasi mulai dari 1 mdpl yaitu di kawasan Kebun Raya Cibodas, 2.985 mdpl di puncak Gn.

019 mdpl di puncak Gn. Pangrango. Kedua gunung ini merupakan puncak tertinggi TNGP dan keduanya dihubungkan oleh punggung bukit pada 500 mdpl dengan sisi-sisi yang membentuk lereng curam berlembah

Gambar 4 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede

PENELITIAN

02’ BT dan 6o51’ LS Pada awal berdirinya yaitu pada tahun 1980, taman nasional ini hanya memiliki luas 15.196 hektar dan terletak di tiga wilayah kabupaten yaitu 81,98 Ha), dan Bogor (4.514, 73 Ha) dan saat ini luasannya menjadi 21.975 Ha berdasarkan SK Menhut No. 174/Kpts-II/10 Juni 2003. Sistem zonasi di TNGP terdiri atas zona inti (7.400 Ha), zona rimba

an TNGP adalah sebelah utara berbatasan dengan wilayah kabupaten Cianjur dan Bogor, sebelah timur berbatasan dengan wilayah kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi agam yaitu berbukit -giannya bervariasi mulai dari 1.000

puncak Gn. Gede . Kedua gunung ini merupakan unggung bukit pada sisi yang membentuk lereng curam berlembah

(31)

TNGP merupakan kawasan yang dapat menangkap dan meloloskan air (kawasan akuifer) dengan sebaran yang luas. Kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi yaitu 3.000-4.200 mm/th dan merupakan hulu dari 55 sungai dan anak sungai sehingga daerah TNGP memiliki peranan penting bagi penyedia jasa lingkungan berupa air permukaan maupun air tanah. Pola aliran sungai yang terbentuk di kawasan ini adalah pola aliran menyebar (radial) dan sungai-sungai di kawasan ini terdiri atas bebatuan besar dan kecil serta dasar sungai yang berpasir. 4.2. Curug Cibereum

Lokasi pengambilan sampel berada pada ketinggian 1.685 mdpl yaitu di sekitar areal Curug Cibereum yang merupakan salah satu tujuan wisata di kawasan TNGP serta jalur interpretasi ekowisata sehingga kawasan ini memiliki tingkat gangguan oleh aktivitas manusia cukup tinggi. Kawasan ini memiliki tiga air terjun yaitu: Air terjun Cibeureum (± 30 m) yang merupakan air terjun utama dengan debit air terbesar. Air terjun yang kedua adalah Cidendeng (± 20 m) dengan debit air paling kecil, dan yang terakhir adalah air terjun tertinggi di kawasan ini yaitu Cigundul (± 40 m). Vegetasi yang mendominasi di sekitar jalur menuju kawasan Curug Cibereum adalah saninten (Castanopsis argentea), rasamala (Altingia excelsa), dan pinus (Pinus spp.).

Pengambilan sampel berupa clutch telur katak pohon jawa dilakukan di pada tumbuh-tumbuhan air di sekitar sungai yang merupakan aliran langsung dari air terjun Cidendeng. Beberapa jenis tumbuhan air yang dapat ditemui di sekitar lokasi ini antara lain kecubung (Brugmansia suaveolens), babakoan (Eupatorium sordidum), pacar tere (Impatiens platypetala), dan selada air (Nasturtium microphyllum). Tumbuh-tumbuhan air ini merupakan wilayah jelajah katak pohon jawa sehingga mudah untuk menemukan katak ini. Aliran sungai di sekitar lokasi pengambilan sampel merupakan sungai yang beraliran sedang sampai lambat dengan substrat sungai berupa lumpur, kerikil, dan pasir. Sungai dikatakan berarus lambat apabila kecepatannya (v) 0.1-0.25 m/detik, arus sedang apabila kecepatannya 0.25-0.5 m/detik, dan arus cepat apabila kecepatannya 0.5-1.0 m/detik (Mason 1981).

(32)

Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel clutch telur 4.3. Ciwalen

Kawasan Ciwalen berada pada ketinggian 1.360 mdpl dan berbatasan langsung dengan Kebun Raya Cibodas (KRC). Kawasan ini merupakan jalur interpretasi ekowisata TNGP namun intensitas pengunjungnya lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan Curug Cibereum. Ciwalen memiliki kerapatan tajuk pohon yang cukup tinggi karena masih dipengaruhi oleh hutan primer TNGP. Sungai-sungai di kawasan ini merupakan aliran sungai kecil yang berasal dari aliran sungai dari tempat yang lebih tinggi dan debit air tergantung dari intensitas hujan. Apabila intensitas hujan tinggi maka debit airnya akan semakin besar dan sebaliknya. Selain sungai-sungai kecil, juga terdapat kolam-kolam berlumpur yang tergenang air yang dapat kering sama sekali apabila tidak turun hujan.

Ciwalen merupakan habitat translokasi dimana sebagian clutch telur dibawa dari kawasan Curug Cibereum dan diamati perubahannya dari telur menjadi berudu lalu menjadi katak sempurna. Sampel dibawa kemudian ditaruh pada jaring-jaring berbentuk kantong yang diletakkan pada aliran sungai berarus sedang. Setiap kantong berisikan berudu-berudu yang berasal dari satu clutch telur. Habitat ini memiliki substrat sungai berupa pasir, kerikil, dan sebagian berlumpur, tipe alirannya sedang dan memiliki kualitas air yang baik yaitu jernih, tidak berbau, dan pH airnya 6. Tepi-tepi sungai dan genangan di sekitarnya juga dapat ditemukan berudu-berudu jenis katak lainnya seperti berudu Megophrys montana dan Leptobracheum haseltii. Arus sungai dipengaruhi oleh intensitas hujan yang terjadi di kawasan TNGP. Apabila sering terjadi hujan, maka arus

(33)

sungai juga akan semakin deras demikian pula sebaliknya bila hujan jarang seperti yang terjadi pada musim kemarau, maka arus sungai akan menjadi lebih kecil. 4.4. Taman Mandalawangi

Kawasan Taman Mandalawangi merupakan obyek taman wisata alam yang dimiliki oleh Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Kawasan ini ramai dikunjungi terutama di akhir pekan karena disini terdapat arena bermain anak, arena outbond, camping ground, dan beberapa tempat yang didesain sebagai habitat buatan beberapa satwa liar seperti rumah katak, kubah kupu-kupu, kandang ular, dan kotak lintah. Mandalawangi terletak pada ketinggian 1.300 mdpl berdekatan dengan kawasan Kebun Raya Cibodas dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Areal ini juga memiliki beberapa rumah peristirahatan yang di sekitarnya terdapat beberapa kolam ikan dan kebun strawberry. Kolam-kolam ikan ini sebagian tidak digunakan sehingga dapat dipakai sebagai habitat translokasi pemeliharaan berudu katak pohon jawa.

Kolam yang digunakan sebagai habitat translokasi berbentuk persegi panjang dengan luasan lebih kurang 15 m2. Air kolam memiliki warna yang keruh dan airnya sedikit berbau dengan substrat berupa lumpur dan lumut. Kolam ini terletak di tempat terbuka dan tidak ternaungi oleh pepohonan atau vegetasi apapun sehingga terkena cahaya matahari secara langsung. Terdapat lubang aliran di sisi-sisi ujung kolam yang menghubungkan kolam dengan parit kecil yang mengalir di sebelahnya agar air kolam juga dapat berotasi walaupun dalam debit yang kecil. Jaring berbentuk kotak diletakkan di salah satu sisi kolam dengan setengah bagian terendam sehingga substrat berupa lumpur dan lumut masuk ke dalam jaring sebagai pakan bagi berudu.

(34)

V. HASIL & PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Keberhasilan hidup berudu Rhacophorus margaritifer

5.1.1.1. Telur

Hasil pengamatan terhadap sembilan selubung busa telur (clutch) menunjukkan bahwa semua telur R. margaritifer ditemukan di dalam selubung busa yang menempel pada daun-daun yang di bawahnya terdapat aliran ataupun genangan air. Posisi telur menggantung dengan sedikit bagian daun menggulung dan menutupi sebagian clutch seperti yang terlihat pada Gambar 7. Penemuan clutch telur tidak hanya di sekitar Curug Cibeureum, tetapi juga terdapat di Rawa Gayonggong (1.500 mdpl). Rawa Gayonggong merupakan rawa yang tergenang air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Di sekitar rawa ini juga terdapat jenis lain yang berkerabat dekat dengan katak pohon jawa yaitu katak pohon hijau (R. reinwardtii). Berdasarkan pengamatan tersebut, berudu-berudu mulai keluar dari dalam clutch lebih kurang setelah 15 hari dan jatuh pada air yang terdapat di bawahnya. Persentase keberhasilan telur bermetamorfosis bervariasi yaitu antara 0% - 98% dengan rata-rata keberhasilan sebesar 78,2% (Tabel 2). Namun tidak semua telur berhasil menjadi berudu bahkan terjadi kegagalan total akibat telur yang membusuk.

(35)

Tabel 2 Jumlah Telur yang Berhasil dan Gagal menjadi Berudu

Tanggal penemuan

Tanggal

berudu turun Substrat Berhasil Gagal

Persentase keberhasilan

19 April 23 April kecubung 54 3 94,74 %

19 April 27 April babakoan 108 2 98,18 %

2 Juni 13 Juni kecubung 133 3 97,79 %

2 Juni 15 Juni kecubung 129 4 96,99 %

2 Juni 13 Juni babakoan 97 4 96,04 %

3 Juni 18 Juni kecubung 126 7 94,74 %

14 Juli - babakoan 0 130 0 %

27 Oktober 10 November babakoan 124 8 93,94 %

3 November - kecubung 0 54 0 %

Rata-rata 771 215 78,2 %

Tabel 2 menunjukkan bahwa clutch-clutch telur banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan air (BTNGP 2006) yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum). Telur-telur katak ini tidak semuanya menjadi berudu karena terdapat dua clutch telur yang tingkat keberhasilan menjadi berudunya 0%. Hal ini terjadi karena pada saat ditemukan kondisi clutch telur kering dan beku serta telur di dalam clutch telah membusuk (Gambar 8). Berdasarkan pengecekan pada bulan Juli-Oktober, perjumpaan dengan katak pohon jawa sangat sedikit dan sangat jarang pula ditemukan clutch telur.

(36)

5.1.1.2. Perkembangan Berudu pada Habitat Sungai Ciwalen

Hasil ujicoba translokasi di Sungai Ciwalen menunjukkan tingkat keberhasilan rendah karena penurunan jumlah individu yang sangat drastis dalam eksperimen menggunakan jaring kantong ini. Tabel 3 menunjukkan tingkat keberhasilan rata-rata telur untuk menjadi berudu adalah 96,4 %. Namun pada tahapan selanjutnya setelah berudu jatuh ke air (stage 25), banyak berudu yang mati dan hilang pada masing-masing kantong. Kantong 3 dan 4 (k3 dan k4) menunjukkan penurunan jumlah berudu yang sangat drastis dalam kurun waktu 45 hari ketika berudu-berudu masih dalam stage 25. Beberapa berudu mulai memasuki stage 26 setelah 40 hari pada kantong 1 dan 5 (k1 dan k5) namun dalam beberapa hari selanjutnya, berudu-berudu pada kedua kantong ini hanya mencapai stage 30 kemudian berudu lebih banyak ditemukan mati dan hancur.

Kantong 2 (k2) menunjukkan bahwa masa survival berudu-berudu pada kantong ini lebih panjang dibandingkan kantong lainnya. Berudu-berudu ini mengalami beberapa fase stage sampai pada stage terakhir (stage 46). Beberapa berudu mulai memasuki fase stage 26 setelah lebih kurang 40 hari, sama seperti berudu-berudu pada kantong lainnya. Fase pertumbuhan kaki depan (stage 30-38) dimasuki setelah berudu dipelihara selama kurang lebih dua bulan. Selama fase berubah ini, tidak semua berudu mengalami perubahan stage sehingga masih ada berudu yang tetap pada stage 25. Beberapa bulan berikutnya jumlah berudu semakin berkurang secara drastis hingga pada tanggal 27 Oktober 2009 dan hanya menyisakan tujuh berudu yang berada pada fase stage 39-45. Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya dua berudu yang berhasil mencapai tahapan sempurna (stage 46) pada tanggal 3 Desember 2009.

(37)

Tabel 3 Perkembangan Berudu R. margaritifer pada Habitat Sungai Ciwalen No. Tanggal Jumlah k1 (telur= 136) k2 (telur= 133) k3 (telur= 101) k4 (telur= 57) k5 (telur= 110) 1 30 Apr-09 54 108 2 1-May-09 54 108 3 3-May-09 54 108 4 12-May-09 54 108 5 30-May-09 24 80 6 15-Jun-09 133 129 97 8 76 7 19-Jun-09 129 120 85 0 24 8 25-Jun-09 100 115 70 9 9 2-Jul-09 84 98 42 0 10 14-Jul-09 60 90 23 11 21-Jul-09 42 81 0 12 2-Aug-09 35 75 13 11-Aug-09 29 70 14 14-Aug-09 11 62 15 27-Aug-09 0 56 16 7-Sep-09 40 17 13-Sep-09 31 18 27-Sep-09 29 19 11-Oct-09 20 20 21-Oct-09 12 21 27-Oct-09 7 22 1-Nov-09 3 23 12-Nov-09 3 24 16-Nov-09 3 25 20-Nov-09 3 26 28-Nov-09 2 27 3-Des-09 2

keterangan: k : jaring kantong

5.1.1.3. Perkembangan Berudu pada Habitat Kolam Mandalawangi

Hasil eksperimen translokasi di kolam Mandalawangi menunjukkan hasil yang lebih baik daripada di Sungai Ciwalen. Jumlah total telur yang menjadi berudu adalah 124 ekor dan yang gagal berjumlah 8 ekor atau tingkat keberhasilan telur menjadi berudu sebesar 94%. Tabel 4 menunjukkan jumlah berudu yang bertahan pada setiap kelas umur pertumbuhan (stage). Berudu yang lebih banyak mati adalah pada stage 25 yang merupakan fase awal berudu berenang di air.

(38)

Tabel 4 Perkembangan Berudu R. margaritifer pada habitat kolam Mandalawangi Tanggal st 25 st 26-30 st 31-40 st 41-45 st 46 m h st+1 m h st+1 m h st+1 m h st+1 h 12-Nov 124 19-Nov 4 120 26-Nov 10 110 3-Dec 6 104 17-Dec 4 100 29-Dec 2 58 40 0 40 4-Jan 8 50 0 0 40 8-Jan 3 47 0 0 40 12-Jan 6 35 6 0 37 9 0 9 16-Jan 2 33 0 1 36 0 0 9 20-Jan 3 26 4 0 30 10 0 14 5 0 5 27-Jan 6 20 0 1 26 3 0 15 2 0 7 5-Feb 0 20 0 0 25 1 0 14 2 0 6 3 3 12-Feb 2 18 0 1 20 4 0 12 6 0 10 2 5 19-Feb 3 15 0 2 18 0 0 11 1 0 9 2 7 4-Mar 8 7 0 2 11 5 0 10 6 0 10 5 12 9-Mar 2 5 0 2 9 0 1 7 2 0 4 8 20 12-Mar 3 2 0 6 3 0 5 2 0 0 3 1 21 19-Mar 1 1 0 3 0 0 0 1 1 0 4 0 21 25-Mar 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3 1 22 31-Mar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 22 5-Apr 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 22 Total mati 74 18 7 3 Total hidup 50 32 25 22

Keterangan: st : tahapan perubahan berudu (stage) m : jumlah berudu yang mati

h : jumlah berudu hidup

st+1 : jumlah berudu yang pindah ke kelas umur berikutnya

Jumlah berudu total pada suatu kelas umur merupakan jumlah berudu yang berpindah dari kelas umur sebelumnya. Terdapat 22 berudu yang berhasil menjadi katak sempurna (stage 46) dari total berudu yang dipelihara pada habitat translokasi ini yang berjumlah 124 berudu. Hasil pengukuran SVL (Snout-Vent Length) rata-rata dari 22 katak sempurna (stage 46) pada habitat translokasi kolam Mandalawangi adalah 1,48 cm.

(39)

1.00 0.40 0,26 0.20 0,18 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 st 25 st 26-30 st 31-40 st 41-45 st 46 P el u a n g h id u p Kelas Umur

Gambar 9 Katak sempurna dalam habitat translokasi kolam Mandalawangi 5.1.1.4. Peluang hidup berudu

Besarnya peluang hidup berudu setiap kelas umur pada habitat translokasi kolam Mandalawangi menunjukkan penurunan (Gambar 10). Peluang hidup terkecil adalah pada saat berudu berada pada tahapan terakhir yaitu saat berudu telah berhasil menjadi katak sempurna. Terdapat 22 dari 124 berudu yang berhasil menjadi katak atau bila dihitung peluangnya sebesar 0,18. Peluang kehidupan dari kelas umur I (st 25) ke kelas umur II (st 26-30) hanya sebesar 0.40 dan menurun lagi untuk mencapai kelas umur berikutnya yaitu 0.26 (stage 31-40), 0.20 (stage 41-45) dan 0.18 (stage 46). Laju kematian terbesar adalah pada saat berudu berada pada stage 25 dengan jumlah total berudu yang mati pada kelas umur ini berjumlah 74 ekor. Kemampuan hidup atau survival berudu pada tahapan awal (stage 25) menunjukkan kemampuan hidup terendah yaitu 0,40 dan semakin meningkat pada setiap kelas umur berikutnya (Gambar 11).

(40)

0.40 0,64 0,78 0,88 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 st 25 st 26-30 st 31-40 st 41-45 K em a m p u a n h id u p Kelas Umur

Gambar 11 Kurva kemampuan hidup berudu R. margaritifer

5.1.2. Ruang Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer

5.1.2.1. Clutch Telur

Selubung busa telur (clutch) yang ditemukan selama pengamatan berjumlah sembilan buah yang terdiri dari empat clutch ditemukan pada daun babakoan dan lima clutch ditemukan pada daun kecubung. Tabel 5 menunjukkan bahwa lokasi penemuan clutch telur terbanyak adalah pada kawasan Curug Cibereum dan satu clutch ditemukan di Rawa Gayonggong. Lebar clutch telur rata-rata adalah 10,4 cm dan tinggi daun tempat clutch berada tinggi rata-rata ke badan air 91,67 cm. Tinggi clutch telur ke badan air bervariasi bahkan terdapat clutch yang langsung menempel pada badan air. Suhu udara dan suhu air yang diukur pada saat pengamatan berturut-turut adalah 15,1°C dan 15,9°C sedangkan pH air dan pH telur rata-rata adalah 6. Tipe aliran di bawah clutch telur yang ditemukan rata-rata beraliran sedang. Hanya ada satu clutch yang ditemukan pada kondisi air diam yaitu pada Rawa Gayonggong yang merupakan rawa yang berair apabila intensitas hujan tinggi.

(41)

Tabel 5 Analisis Substrat Clutch Telur R. margaritifer

Tanggal Waktu Lokasi Lebar

clutch*) Jarak Daun-air *) Suhu udara Suhu air pH air pH

telur Aliran Substrat

19-Apr 18:30 cibereum 11 0 15°C 16°C 6 6 sedang kecubung

19-Apr 19:35 cibereum 10 155 15°C 16°C 6 6 cepat babakoan

2-Jun 8:30 cibereum 10 10 14°C 15°C 6 6 sedang kecubung

2-Jun 8:35 cibereum 10 120 15°C 16°C 6 6 sedang kecubung

2-Jun 8:45 cibereum 12 110 15°C 16°C 6 6 cepat babakoan

3-Jun 10:10 cibereum 11 130 16°C 17°C 6 6 sedang kecubung

14-Jul 19:42 cibereum 10 105 11°C 13°C 6 - sedang babakoan

27-Okt 19:10 cibereum 11 110 15°C 16°C 6 6 sedang babakoan

3-Nov 10.15 gayonggong 9 85 20°C 18°C 6 6 diam kecubung

Rataan 10,4 91,67 15,1°C 15,9°C 6 6 sedang

*) ukuran dalam cm

5.1.2.2. Karakteristik Habitat Alami Berudu

Berdasarkan hasil analisis terhadap habitat alami berudu R. margaritifer dapat disimpulkan bahwa ukuran rata-rata habitat berudu adalah panjang sisi terpanjang (p) = 144,05 cm dan panjang sisi terpendek (l) = 89,05 cm sedangkan untuk kedalamannya berdasarkan pengukuran tepi (a dan c) dan tengah (b) kolam atau genangan adalah a = 8,52 cm, b = 14,19 cm, dan c = 13,71 cm. Kondisi substrat secara keseluruhan didominasi oleh lumpur (33,3%), lumut (19,05%), dan pasir (17,6%). Lumpur, pasir dan kerikil merupakan substrat penyusun yang hampir dapat ditemukan pada semua kolam atau genangan. Substrat penyusun yang hanya berada pada tempat tertentu yaitu lumut yang ditemukan pada kolam atau genangan yang sedikit dipengaruhi oleh arus dan bebatuan besar yang ditemukan pada habitat yang dipengaruhi oleh arus yang besar (Tabel 6).

(42)

Tabel 6 Analisis Habitat Kolam atau Genangan Alami Berudu R. margaritifer

Plot Dimensi*) Kedalaman*) Substrat (%)

p l a b c

kolam camp hm 26 280 130 5 20 20 lumpur(80),daun busuk(20)

jembatan hm 26 (1) 50 25 6 8 6 lumut (60), pasir (30), kerikil(10)

jembatan hm 26 (2) 120 40 10 20 20 lumut (60), pasir (30), kerikil(10)

jembatan hm 26 (3) 90 60 5 10 25 lumut (50), daun busuk(40),

kerikil(10)

jembatan kayu goa (1) 170 130 10 10 5 lumpur (60),daun busuk(30),

kerikil(10)

jembatan kayu goa (2) 200 80 10 15 5 lumpur(60),daun busuk(30),

kerikil(10)

genangan hm 25 100 60 6 8 8 lumpur(90), kerikil(10)

jembatan curug (1) 150 130 15 30 30 pasir(70), lumut(20), kerikil(10)

jembatan curug (2) 150 110 20 25 20 batu besar (70), lumpur(30)

jembatan curug (3) 55 42 6 10 5 batu besar(70), lumpur(30)

jembatan curug (4) 100 75 17 20 5 batu besar(80), lumpur(20)

jembatan curug (5) 170 135 2 5 12 batu(60), lumpur(20), kerikil(10)

jembatan curug (6) 150 93 2 19 22 batu besar(70), lumpur(30)

kolam curug 320 280 30 40 25 lumut(50), lumpur(30), pasir(20)

camp curug III 220 130 5 15 20 kerikil(50), lumpur(30), pasir(20)

simpang curug III 110 60 8 8 5 pasir(50), kerikil(30),lumut(20)

curug III (1) 130 80 2 5 15 lumpur(70), daun busuk(30)

curug III (2) 140 65 3 5 10 lumpur(70), pasir(20), kerikil(10)

curug III (3) 70 60 10 10 15 lumpur(80), kerikil(20)

curug III (4) 100 40 5 5 2 pasir (50), lumut(40), kerikil(10)

curug III (5) 150 45 2 10 13 pasir (50), lumut(40), kerikil(10)

Rata-rata 144.05 89.05 8.52 14.19 13.71 lumpur, lumut, pasir, kerikil *) ukuran dalam cm

5.1.2.3. Kepadatan

Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah berudu pada habitat alami dan tingkat kepadatannya. Tingkat kepadatan berudu pada habitat alami sangat kecil karena jumlah berudu yang ditemukan pada masing-masing habitat sangat sedikit. Lokasi kolam camp hm 26 menunjukkan jumlah berudu yang lebih tinggi dibandingkan pada lokasi habitat alami lainnya. Tingkat kepadatan paling tinggi adalah pada lokasi curug III (1) yaitu 120 ind/m3 dan yang terendah adalah pada kolam curug I yaitu 3 ind/m3.

(43)

Tabel 7 Kepadatan Berudu R. margaritifer pada Kolam atau Genangan Alami

No. Lokasi Pengambilan ke- (jumlah) Total

berudu

Kepadatan (ind/m3)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 genangan hm 25 - 0 0

2 jembatan kayu goa (1) 2 1 0 3 21

3 jembatan kayu goa (2) 1 0 1 8

4 jembatan hm 26 (1) - 0 0 5 jembatan hm 26 (2) - 0 0 6 jembatan hm 26 (3) - 0 0 7 kolam camp hm 26 8 5 3 2 1 1 0 20 47 8 jembatan curug I (1) - 0 0 9 jembatan curug I (2) - 0 0 10 jembatan curug I (3) - 0 0 11 jembatan curug I (4) - 0 0 12 jembatan curug I (5) - 0 0

13 jembatan curug I(6) - 0 0

14 kolam curug I 3 2 2 0 7 3

15 camp curug III - 0 0

16 simpang curug III - 0 0

17 curug III (1) 4 2 1 0 7 120

18 curug III (2) 3 1 0 4 93

19 curug III (3) - 0 0

20 curug III (4) - 0 0

(44)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Keberhasilan Hidup Telur dan Berudu R. margaritifer

R. margaritifer dewasa lebih banyak ditemukan pada ketinggian antara 1.500-2.000 mdpl (Kusrini et al. 2005), tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa katak ini juga dapat ditemukan pada ketinggian kurang dari 1.500 mdpl. Berdasarkan penelitian Lubis (2008), habitat katak pohon jawa (R. margaritifer) pada kawasan TNGP terdapat pada jalur pendakian Cibodas (Cibodas trail) yaitu berada pada ketinggian 1.571 mdpl (Telaga Biru) sampai 1.795 mdpl (Rawa Denok). Beberapa lokasi lain di kawasan TNGP yang pernah ditemukan jenis ini antara lain Bodogol (700 m dpl), Situ Gunung (1.025 m dpl), Salabintana (1.175 m dpl) dan Ciwalen (1.400 m dpl) (Kusrini et al. 2005). Namun jumlah terbanyak tetap ditemukan pada daerah dengan ketinggian antara 1.500-2.000 mdpl . Ketinggian suatu tempat mempengaruhi penyebaran dan aktifitas amfibi. Penelitian yang dilakukan oleh Morrison & Hero (2003) membuktikan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim breeding yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk yang lebih lama, dan masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar.

Penelitian yang mengambil plot pada kawasan Curug Cibereum (1.685 mdpl) ini didasarkan atas hasil penelitian Kusrini et al. (2005), Lubis (2008) dan pengamatan pendahuluan yang menunjukkan bahwa di kawasan ini banyak ditemukan katak pohon jawa dan berudunya yang juga dapat ditemukan pada tepi-tepi sungai ataupun genangan air. Katak pohon jawa diketahui menyimpan telurnya di dalam selubung busa (clutch) yang dihasilkan oleh katak jantan dan betina dalam proses perkawinannya dan diletakkan pada tempat yang tepat di sekitar genangan air, seperti pada jenis yang berkerabat dengan katak ini yaitu R. reindwartii di kampus IPB Dramaga (Yazid 2006). Selubung busa telur (clutch) semuanya ditemukan pada tumbuhan air yaitu kecubung (Brugmansia suaveolens) dan babakoan (Eupatorium sordidum). Beberapa faktor pemilihan lokasi peletakan sarang atau telur oleh indukan adalah kondisi genangan air, suhu dan

Gambar

Gambar 1.  Tahapan perkembangan berudu Gosner (1960)
Tabel 1  Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 2  Selubung plastik melindungi clutch telur
Gambar 3  Jaring kantong dan jaring kotak sebagai habitat translokasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat Kejadian Karies pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Fatuleu yaitu total 78 gigi berkaries yaitu, 55 responden yang menyikat gigi 1X dalam sehari sedangkan 8 gigi

Adapun saran yang dapat peneliti berikan di dalam penelitian ini yaitu: (1) Sebelum proses pembelajaran dimulai harus diberikan motivasi kepada peserta didik agar

Berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran banyak siswa yang masih mengalami kesulitan dalam memahami materi kalor diantaranya siswa masih sulit menentukan

Latar Belakang: tanaman bawang kucai ( Allium tuberosum Rottl ex Spreng ) mengandung senyawa Allicin , Senyawa Allicin ini dapat menghambat enzim HMG-KoA reduktase

- Penerapan pointer sebagai parameter yaitu jika diinginkan agar nilai suatu variabel internal dapat diubah oleh fungsi yang dipanggil. - Penerapan pointer

Terdapat hubungan yang signifikan di antara penilaian pembelajaran dari segi maklumat yang diperoleh daripada temu seru dengan penilaian tingkah laku peserta yang

melakukan normalisasi matriks, melakukan proses perangkingan, dan menentukan nilai preferensi untk setiap alternatif dapat membantu proses penentuan bobot untuk kriteria

Sistem Pendukung keputusan rotasi posisi duduk siswa dalam kelas ini dapat memberikan penilaian pendukung keputusan rotasi posisi duduk siswa dalam kelas dengan