• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riap Diameter, Ingrowth, Dan Upgrowth Pada Hutan Alam Bekas Tebangan Di Iuphhk-Ha Cv Pangkar Begili Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Riap Diameter, Ingrowth, Dan Upgrowth Pada Hutan Alam Bekas Tebangan Di Iuphhk-Ha Cv Pangkar Begili Kalimantan Barat"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

RIAP DIAMETER,

INGROWTH

, DAN

UPGROWTH

PADA HUTAN ALAM BEKAS TEBANGAN DI IUPHHK-HA

CV PANGKAR BEGILI KALIMANTAN BARAT

RIFQI MUTTAQIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Riap Diameter, Ingrowth, dan Upgrowth pada Hutan Alam Bekas Tebangan di IUPHHK-HA CV Pangkar Begili Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Rifqi Muttaqin

(4)

ABSTRAK

RIFQI MUTTAQIN. Riap Diameter, Ingrowth, dan Upgrowth pada Hutan Alam Bekas Tebangan di IUPHHK-HA CV Pangkar Begili Kalimantan Barat. Dibimbing oleh BUDI KUNCAHYO.

Hutan alam produksi yang dikelola oleh IUPHHK-HA di Indonesia sebagian besar merupakan hutan alam bekas tebangan. Hutan alam bekas tebangan memiliki kondisi yang berbeda dibandingkan dengan hutan alam primer. Kondisi yang membedakan kedua tegakan tersebut adalah dinamika struktur dari tegakan tersebut. Dinamika struktur dari sebuah tegakan dapat digambarkan melalui beberapa komponen, yaitu ingrowth dan upgrowth. Ingrowth dan upgrowth

menunjukkan kapasitas pertumbuhan yang juga ditunjukkan oleh perilaku riapnya. Peningkatan atau penurunan riap kelompok jenis cenderung berbanding lurus dengan peningkatan atau penurunan proprosi ingrowth dan upgrowth-nya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di areal kerja IUPHHK-HA CV Pangkar Begili Kalimantan Barat, riap diameter rata-rata untuk jenis komersil sebesar 0.548 cm/tahun. Selain itu, kerapatan dan luas bidang dasar tegakan bukanlah faktor dominan yang mempengaruhi laju ingrowth dan upgrowth pada hutan alam bekas tebangan. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai R2 adj yang dihasilkan pada persamaan terbaik untuk menduga laju ingrowth dan upgrowth.

Kata kunci: riap diameter, ingrowth, upgrowth

ABSTRACT

RIFQI MUTTAQIN. Diameter Increment, Ingrowth, and Upgrowth on Logged-over Forest Area in IUPHHK-HA CV Pangkar Begili West Kalimantan. Supervised by BUDI KUNCAHYO.

Most of the natural production forests managed by IUPHHK-HA in Indonesia is logged-over forest area. There are few conditions that differentiate the natural logged-over forests area with natural primary forests, such as the dynamic of stand structures. The dynamic of the stand structures can be described through several components, i.e. ingrowth and upgrowth. Ingrowth and upgrowth indicate the growth capacity which is also indicated by its increment behavior. An increase or decrease in increments on each group of species tends to be proportional with the increase or decrease in its ingrowth and upgrowth proportion. Based on research conducted in the area of IUPHHKHA CV Pangkar Begili West Kalimantan, the average diameter increment for commercial types is 0.548 cm / year. On the other side, the density and basal area of stands are not the dominant factor which affecting the rate of ingrowth and upgrowth on natural logged-over forests. This is indicated by the value of R2 adj resulting in the best equation for estimating the rate of ingrowth and upgrowth.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

RIAP DIAMETER,

INGROWTH

, DAN

UPGROWTH

PADA

HUTAN ALAM BEKAS TEBANGAN DI IUPHHK-HA CV

PANGKAR BEGILI KALIMANTAN BARAT

RIFQI MUTTAQIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

,,#.")'*. '.$+).%.'.,+%.#$.!*.

$. .

%%. . .%!). #. #$%+%. )+. . (.,++(%.

*+, ,.&#.

). ).,. .

$$%.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Riap Diameter, Ingrowth dan

Upgrowth pada Hutan Alam Bekas Tebang di IUPHHK-HA CV Pangkar Begili Kalimantan Barat ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga penulis, (Alm.) Ahmad Taufiq Hasanuddin (Ayah), Susi Chatarina (Ibu), Inayati Nuranti (Kakak), dan Irfanurrahman (Kakak) dan seluruh anggota keluarga lainnya yang telah memberikan doa dan dukungan untuk penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Budi Kuncahyo, MS selaku pembimbing, Dr Tatang Tiryana, S Hut MSc selaku Ketua sidang, dan Ir Edhi Sandra, MSi selaku dosen penguji atas arahan, saran, dan juga bimbingan yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh karyawan IUPHHK-HA CV Pangkar Begili Kalimantan Barat atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada rekan-rekan Fakultas Kehutanan dan Manajemen Hutan angkatan 48 yang telah memberikan banyak bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Prosedur Pengolahan Data 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 14

RIWAYAT HIDUP 28

(10)

DAFTAR TABEL

1. Struktur tegakan hutan bekas tebangan 6

2. Model Meyer untuk tiap kelompok jenis 6

3. Riap diameter (cm/tahun) untuk setiap kelompok jenis 8 4. Dugaan lamanya siklus tebangan berdasarkan limit diameter pohon yang

boleh ditebang dan batas bawah diameter pohon inti 9 5. Persamaan ingrowth untuk masing-masing kelompok jenis 10 6. Persamaan upgrowth untuk masing-masing kelompok jenis 11

DAFTAR GAMBAR

1. Perbandingan struktur tegakan awal KJ Dipterocarpaceae ( ), Non– Dipterocarpaceae ( ), dan total ( ) (dua tahun setelah penebangan) 7 2. Riap diameter pada tiap kelas diameter untuk kelompok 8

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pohon-pohon kelompok jenis Dipterocarpaceae 15

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang renewable dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan jika dalam pemanfaatannya memperhatikan daya regenerasinya (Prahasto dan Nurfatriani 2001). Sesuai dengan sifat tersebut, diperlukan tindakan dari IUPHHK–HA sebagai pemegang izin pengelola kawasan hutan alam di Indonesia agar sumberdaya hutan dapat lestari secara berkelanjutan secara ekologis, ekonomis, dan sosial. Hutan alam yang dikelola oleh IUPHHK– HA di Indonesia sebagian besar telah mencapai kondisi siklus penebangan kedua. Hal tersebut dapat diartikan bahwa hutan alam produksi di Indonesia merupakan hutan alam bekas tebangan. Kondisi yang terdapat pada hutan alam bekas tebangan berbeda jika dibandingkan dengan hutan primer. Hal yang membedakan hutan bekas tebangan dengan hutan primer adalah kondisi dan dinamika struktur horizontal dari tegakan hutan tersebut.

Muhdin et al. (2011) menyatakan bahwa dinamika struktur tegakan memiliki beberapa komponen yang dapat menggambarkan perilaku tegakan bekas tebangan dalam proses pemulihan tegakan tersebut, meliputi rekrutmen (recruitment), alih tumbuh (upgrowth), serta kematian (mortality). Rekrutmen atau ingrowth

merupakan banyaknya individu yang beralih masuk ke dalam kelas diameter terendah dalam periode waktu tertentu. Upgrowth adalah banyaknya individu pohon yang pindah dari kelas diameter yang lebih kecil ke dalam kelas diameter yang lebih besar dalam suatu periode tertentu.

Salah satu cara untuk dapat mengetahui komponen-komponen tersebut pada hutan alam bekas tebangan adalah dengan melakukan pemantauan terhadap petak ukur permanen (PUP) yang dibuat pemegang IUPHHK–HA di areal kerjanya. Menurut Susanty (2002), pemantauan pertumbuhan tegakan pada areal bekas tebangan mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai evaluasi bagi teknik pengelolaan yang telah dilaksanakan dan sebagai alat bagi prediksi model pertumbuhan tegakan di masa mendatang. Menurut Saridan dan Soegiharto (2012), struktur tegakan salah satunya dipengaruhi oleh penyebaran individu diameter pohon dalam tegakan. Sehubungan dengan pernyataan di atas, maka perlu dilakukan suatu kajian mengenai hubungan antara ingrowth dan upgrowth pada tegakan bekas tebangan terhadap kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan dari masing-masing kelompok jenis.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perencanaan hutan untuk memilih kegiatan operasional hutan yang sesuai dengan kondisi di areal kerja perusahaan.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di areal kerja CV Pangkar Begili, Kalimantan Barat, yaitu di petak ukur permanen (PUP) yang terletak di petak U6 Blok RKT 2009 Kabupaten Melawi. Secara geografis, areal IUPHHK–HA CV Pangkar Begili terletak antara 112º 11 35 –112º 31 21 Bujur Timur dan 0º 11 25 –0 º 19 22 Lintang Selatan. Pengumpulan data lapangan dilaksanakan pada bulan April 2015, sedangkan pengolahan dan analisis data serta pelaporan dilaksanakan pada bulan Mei 2015 – Oktober 2015.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah alat tulis, kalkulator, dan seperangkat laptop

dengan aplikasi seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Minitab 17 Statistical Software. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data hasil pengamatan tahun 2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015 petak ukur permanen (PUP) subpetak 4, 5, dan 6 yang tidak dilakukan kegiatan pemeliharaan.

Prosedur Pengolahan Data

Data dalam PUP terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam 2 jenis, yaitu kelompok jenis Dipterocarpaceae (lampiran 1) dan Non–Dipterocarpaceae komersil (selanjutnya disebut Non–Dipterocarpaceae saja) (lampiran 2). Perhitungan besarnya ingrowth dan upgrowth menggunakan pengelompokan kelas diameter 10–20 cm, 20–30 cm, 30–40 cm, 40–50 cm, dan 50 cm up.

Perhitungan Riap Diameter

Perhitungan riap diameter menggunakan riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, CAI) dengan rumus:

= − Δ

(13)

3

Penggunaaan Riap Diameter untuk Keperluan Praktis

Data riap diameter yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga lamanya waktu yang diperlukan pohon inti untuk mencapai diameter layak tebang, dengan rumus:

∆ = −̅

Keterangan: Dt : Limit diameter pohon yang layak ditebang (cm) D0 : Batas bawah diameter pohon inti (cm)

I̅ : Riap diameter rata-rata (cm/tahun) Δt : Selisih waktu pengukuran (tahun)

Pembentukan Model Struktur Tegakan Awal

Pembentukan model struktur tegakan awal bekas tebangan dibentuk berdasarkan model Meyer dengan persamaan sebagai berikut:

= − �

Keterangan: N : Banyaknya pohon per hektar per kelas diameter N0 : Konstanta

e : logaritma dasar (2.718281828)

k : Laju penurunan jumlah pohon dengan meningkatnya kelas diameter

d : Diameter pohon

Pengolahan Data Ingrowth

Ingrowth dihitung dengan menggunakan rumus:

= � × %

Keterangan: Ij : Laju ingrowth kelompok jenis ke–j dalam suatu periode ij : Jumlah pohon yang ingrowth ke kelas 20–30 cm untuk kelompok jenis ke–j pada periode pengukuran t

N : Jumlah pohon tiap hektar

Persamaan-persamaan yang digunakan untuk membuat hubungan antara

ingrowth dengan kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan untuk setiap kelompok jenis adalah:

1. = + + +

2. = + + + +

3. = +

4. = +

5. = + +

(14)

4

j, k : Kelompok jenis (Dipterocapaceae, Non–Dipterocarpaceae)

Pengolahan Data Upgrowth

Upgrowth dihitung dengan rumus:

= � × %

Keterangan: Ij : Laju upgrowth kelompok jenis ke–j dalam suatu periode ij : Jumlah pohon yang pindah dari kelas diameter yang lebih

kecil ke kelas diameter yang lebih besar untuk kelompok jenis ke–j pada periode pengukuran t

nj : Jumlah pohon tiap hektar dari kelas diameter yang lebih kecil untuk kelompok jenis ke–j pada periode pengukuran t-1

Persamaan-persamaan yang digunakan untuk membuat hubungan antara

upgrowth dengan kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan untuk setiap

j, k: : Kelompok jenis (Dipterocapaceae, Non–Dipterocarpaceae)

Pemilihan Model

(15)

5 a. Koefisien determinasi (R2)

R2 digunakan sebagai ukuran kemampuan peubah bebas dalam menjelaskan variasi dari peubah tak bebasnya. Semakin tinggi nilai R2, maka semakin tinggi variasi yang dapat dijelaskan, yang dinyatakan dengan rumus:

= [ − ] × %

b. Koefisien determinasi terkoreksi (R2adj)

R2adj merupakan nilai koreksi dari R2, yang dinyatakan dengan rumus:

� = [ − � �

] × %

c. Root mean square error (RMSE)

RMSE menyatakan besarnya tingkat kesalahan dalam menentukan nilai dugaan, dinyatakan dengan rumus:

= √

d. Simpangan baku (S)

Simpangan baku merupakan rata-rata penyimpangan titik-titik data diukur dari nilai rata-rata data tersebut, dinyatakan dengan rumus:

= √� − ∑ � − �̅ �

=

Keterangan: JKS : Jumlah kuadrat sampel JKT : Jumlah kuadrat total dbs : Derajat bebas sampel dbt : Derajat bebas total KTS : Kuadrat tengah sampel xi : Data hitung

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Struktur Tegakan Hutan Bekas Tebangan

Struktur tegakan yang dijadikan objek penelitian adalah struktur tegakan pada awal pengukuran (2011) atau dua tahun setelah kegiatan penebangan. Struktur tegakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Struktur tegakan hutan bekas tebangan

Kelas

Jumlah pohon per hektar tiap kelas diameter

Dipterocarpaceae

Struktur tegakan awal bekas tebangan tersebut juga memiliki model Meyer untuk masing-masing kelompok jenis. Model Meyer untuk masing-masing kelompok jenis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Model Meyer untuk tiap kelompok jenis

Kelompok Jenis Model Meyer R2 Dipterocarpaceae

N = 144.31 e-0.06124D 95.58% Non

Dipterocarpaceae N = 759 e-0.07568D 97.66%

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 2, dapat diamati bahwa pada tiap persamaan untuk masing-masing kelompok jenis memiliki nilai yang berbeda-beda. Model Meyer yang disajikan pada Tabel 2 menjelaskan komponen-komponen tegakan melalui peubah-peubahnya. N0 menggambarkan kerapatan individu yang berada di kelas diameter terkecil, semakin besar nilai N0 maka jumlah pohon per hektar yang berada di kelas diameter tekecil juga semakin banyak. Nilai k menggambarkan laju penurunan jumlah pohon per hektar pada setiap kenaikan kelas diameter. Semakin besar nilai k maka laju penurunan jumlah pohon per hektar pada setiap kenaikan kelas diameter juga semakin besar.

(17)

7 Nilai k pada kelompok jenis Non-Dipterocarpaceae juga lebih besar dibandingkan dengan Dipterocarpaceae, dengan nilai k sebesar 0.07568 berbanding 0.06124. Hal tersebut menunjukkan laju penurunan jumlah pohon per hektar pada setiap kenaikan kelas diameter untuk kelompok jenis Non–Dipterocarpaceae lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok jenis Dipterocarpaceae. Kesesuaian model untuk menggambarkan struktur tegakan awal bekas tebangan ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi (R2)yang dihasilkan, yaitu 95.58% dan 97.66%. Bentuk grafik struktur tegakan awal bekas tebangan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Perbandingan struktur tegakan awal KJ Dipterocarpaceae ( ), Non– Dipterocarpaceae ( ), dan total ( ) (dua tahun setelah penebangan) Berdasarkan bentuk grafik yang disajikan pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa struktur tegakan awal bekas tebangan membentuk huruf J terbalik. Menurut Hilwan (2012), hal tersebut merupakan karakteristik tegakan hutan alam tidak seumur dimana kurva struktur tegakannya bersifat eksponensial negatif sehingga berbentuk huruf J terbalik. Terbentuknya struktur tegakan hutan alam tropis menyerupai huruf J terbalik tidak terlepas dari berbagai spesies tumbuhan penyusunnya.

Pada hutan alam primer maupun hutan bekas tebangan yang masih baik kondisi tegakannya, jenis pohon paling dominan adalah dari jenis klimaks (climax species). Berbeda dengan jenis pionir (pioneer species), jenis klimaks memiliki karakteristik seperti: perkecambahan biji terjadi di bawah tajuk yang kemudian berkembang menjadi semai dalam jumlah melimpah (seedling bank) dan mampu hidup di bawah naungan (shade-tolerant). Hal tersebut menyebabkan terjadinya proses regenerasi secara in-situ (di bawah naungan tajuk) sehingga dari strata anakan hingga dewasa berkumpul bersama di satu tempat. Adanya persaingan tempat tumbuh menyebabkan kerapatan pohon yang lebih dewasa semakin berkurang. Hal tersebut pada akhirnya akan menciptakan struktur tegakan berbentuk huruf J terbalik pada level individu jenis klimaks. Apabila jenis-jenis klimaks tersebut berkumpul dalam suatu komunitas, maka terwujudlah hutan alam dengan struktur tegakan berbentuk huruf J terbalik (Whitmore 1998).

(18)

8

Riap Diameter

Pohon-pohon yang ada di dalam PUP dibagi ke dalam dua kelompok jenis, yaitu Dipterocarpaceae dan Non–Dipterocarpaceae. Riap diameter rata-rata pada tiap kelas diameter untuk masing-masing kelompok jenis disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Riap diameter pada tiap kelas diameter untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae ( ) dan Non– Dipterocarpaceae ( ) Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa riap diameter dari kelas diameter terkecil hingga terbesar secara umum membentuk kurva sigmoid. Riap diameter mencapai titik maksimum pada kelas diameter 40– 50 cm, baik pada kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun Non–Dipterocarpaceae. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wahyudi (2011) yang menyatakan bahwa pertumbuhan diameter pohon akan mengalami peningkatan hingga mencapai titik tertinggi, yaitu pada saat mencapai kelas diameter 30 cm hingga 40 cm dan selanjutnya akan menurun kembali secara bertahap. Riap diameter pada tiap periode pengukuran dihitung dengan menggunakan metode CAI. Riap diameter rata-rata pada tiap periode pengukuran disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Riap diameter (cm/tahun) untuk setiap kelompok jenis

Kelompok Jenis

Riap diameter rata-rata (CAI)

(19)

rata-9

Current Annual Increment (CAI) merupakan perbedaan antara dimensi yang diukur di awal dan di akhir tahun pertumbuhan (Husch et al. 2002). Pemilihan CAI sebagai metode untuk menduga riap disebabkan oleh perlu diketahuinya informasi mengenai pertumbuhan riap tegakan bekas tebangan per periode pengukuran yang pada penelitian ini dilakukan sekali dalam setiap tahun. Berdasarkan Tabel 3, kelompok jenis Dipterocarpaceae memiliki riap diameter (CAI) rata-rata sebesar 0.556 cm/tahun. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan CAI rata-rata kelompok jenis Non–Dipterocarpacae yang sebesar 0.539 cm/tahun. Riap diameter rata-rata tersebut di bawah asumsi riap diameter untuk hutan alam produksi yang ditetapkan pemerintah melalui Surat Edaran Kementerian Kehutanan Nomor SE.10/VI-BUHA/2011 sebesar 0.69 cm/tahun untuk jenis komersial.

Hasil penelitian Ayuningtyas (2015) pada areal bekas tebangan di Kalimantan Timur juga memperoleh kisaran riap yang sama dengan nilai sebesar 0.52 cm/tahun untuk kelompok jenis meranti. Hasil penelitian Kuswandi (2014) di bagian selatan Papua juga memperoleh kisaran riap yang sama dengan nilai sebesar 0.60 cm/tahun pada PUP tanpa diberi perlakuan. Menurut Lal (1960) dalam Latifah (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya riap suatu tegakan adalah a). Tindakan silvikultur; b). Jenis; dan c). Kualitas tempat tumbuh.

Penggunaan Riap Diameter untuk Keperluan Praktis

Riap diameter rata-rata yang telah didapatkan dapat dijadikan acuan dalam menentukan rotasi tebangan di suatu area. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.65/Menhut-II/2014, siklus tebang yang diterapkan pada hutan produksi biasa adalah 30 tahun dengan limit diameter pohon yang dapat ditebang minimal sebesar 40 cm. Lamanya siklus tebang untuk suatu areal hutan produksi semestinya diterapkan dengan memperhatikan besarnya nilai riap di areal tersebut. Riap diameter bersifat site specific, yang artinya besarnya riap diameter rata-rata berbeda-beda pada setiap tempat.

Areal kerja IUPHHK–HA CV Pangkar Begili mengadopsi sistem silvikultur TPTI yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, yaitu siklus tebang 30 tahun dengan limit diameter pohon yang boleh ditebang minimal sebesar 40 tahun. Riap diameter rata-rata dari kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Non–Dipterocarpaceae yang memiliki nilai sebesar 0.548 cm/tahun dapat dipakai untuk menjadi acuan penentuan rotasi tebangan yang optimal pada areal kerja IUPHHK–HA. Lamanya siklus tebang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Dugaan lamanya siklus tebangan berdasarkan limit diameter pohon yang boleh ditebang dan batas bawah diameter pohon inti

Batas bawah diameter pohon inti (cm)

Limit diameter pohon yang boleh ditebang (cm)

40 45 50 55 60

10 55 64 74 83 92

15 46 55 64 74 83

20 37 46 55 64 74

(20)

10

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa lamanya siklus tebang dapat diatur sesuai dengan kombinasi antara limit diameter pohon yang boleh ditebang dan batas bawah diameter pohon inti. Apabila limit diameter pohon yang boleh ditebang ditetapkan sebesar 40 cm dan batas diameter bawah pohon inti menjadi 20 cm, maka siklus tebang optimal di areal tersebut adalah sebesar 37 tahun.

Ingrowth

Ingrowth merupakan pohon-pohon yang masuk ke dalam kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu. Diameter terkecil yang ditentukan dalam penelitian ini adalah 20 cm, yaitu batasan suatu individu memasuki fase pohon.

Berdasarkan hasil analisis terhadap enam persamaan yang dilakukan, terpilih masing-masing satu persamaan ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Non–Dipterocarpaceae. Pemilihan didasarkan pada besarnya koefisien determinasi (R2)yang dihasilkan oleh masing-masing persamaan. Persamaan yang terpilih untuk masing-masing kelompok jenis disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Persamaan ingrowth untuk masing-masing kelompok jenis

Kelompok Jenis Persamaan R

Tabel 5 menunjukkan persamaan untuk masing-masing kelompok jenis dengan R2adjsebesar 3.66 % untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan 30.29 % untuk kelompok jenis Non–Dipterocarpaceae. Rendahnya nilai R2 pada masing-masing persamaan tersebut menunjukkan bahwa variabel jumlah pohon dan luas bidang dasar tegakan tidak mampu menjelaskan laju ingrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun Non–Dipterocarpaceae di areal tersebut. Menurut Buongiorno et al. (1995), rendahnya nilai R2 dalam pemodelan ingrowth dapat disebabkan oleh keterbatasan model (ada faktor-faktor lain selain jumlah pohon dan bidang dasar tegakan yang perlu dipertimbangkan dalam model). Hasil yang diperoleh dari persamaan-persamaan yang lain untuk menduga nilai peluang

ingrowth disajikan dalam lampiran 3 untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan lampiran 4 untuk kelompok jenis Non–Dipterocarpaceae.

Upgrowth

(21)

11 Berdasarkan hasil analisis terhadap enam persamaan yang dilakukan, terpilih masing-masing satu persamaan upgrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Non–Dipterocarpaceae. Pemilihan didasarkan pada besarnya koefisien determinasi (R2)yang dihasilkan oleh masing-masing persamaan. Persamaan yang terpilih untuk masing-masing kelompok jenis disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Persamaan upgrowth untuk masing-masing kelompok jenis

Kelompok Jenis Persamaan R2

(%)

Tabel 6 menunjukkan persamaan untuk masing-masing kelompok jenis dengan R2 adj sebesar 19.11 % untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan 35.93 % untuk kelompok jenis Non–Dipterocarpaceae. Seperti yang terjadi pada persamaan

ingrowth, rendahnya R2 yang dihasilkan masing-masing persamaan tersebut menunjukkan bahwa variabel jumlah pohon dan luas bidang dasar tegakan tidak mampu menjelaskan laju upgrowth untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae maupun Non–Dipterocarpaceae di areal tersebut. Hasil yang diperoleh dari persamaan-persamaan yang lain untuk menduga nilai peluang upgrowth disajikan dalam lampiran 5 untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan lampiran 6 untuk kelompok jenis Non–Dipterocarpaceae.

Hasil penelitian Agustini (2006) di Kabupaten Sintang juga menghasilkan persamaan ingrowth dengan nilai R2 adj yang rendah, yaitu sebesar 21.96 % hingga 44.97 % untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, dan 25.3 % hingga 60.12 % untuk kelompok jenis NonDipterocarpaceae. Menurut Suhendang (1998), rendahnya nilai koefisien determinasi di hutan alam disebabkan oleh tidak terkendalinya pengaruh berbagai faktor lingkungan yang terdapat di dalam hutan alam campuran, baik faktor lingkungan hayati, non-hayati serta interaksi di antara faktor-faktor tersebut. Terdapat faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi laju ingrowth dan

upgrowth, seperti kelimpahan atau banyak jenis pohon yang bersangkutan, dan tingkat gangguan tegakan (Krisnawati et al. 2008).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(22)

12

upgrowth terpilih pada tiap kelompok jenis adalah sebagai berikut: a). Dipterocarpaceae: Uj = 1.5 + 0.546 Nj - 1.2 Bj - 1.76 Bk; dan b). Non– Dipterocarpaceae: Uk = -1.047 + 0.0204 Nk + 0.848 Bk + 0.195 Bj.

Saran

Perlu dilakukan pendugaan riap dan laju ingrowth maupun upgrowth dengan data pengamatan PUP yang lebih banyak secara berkala. Selain itu perlu juga dilakukan penelitian dengan menggunakan variabel-variabel yang lain seperti kelerengan areal, umur tegakan, dan kualitas tempat tumbuh (bonita) untuk menjelaskan fenomena ingrowth dan upgrowth di hutan alam bekas tebangan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustini K. 2006. Ingrowth dan upgrowth di hutan alam bekas tebangan untuk jenis komersial (studi kasus di HPH PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ayuningtyas A. 2015. Riap diameter dan volume tegakan hutan alam di areal IUPHHK-HA PT Gunung Gajah Abadi Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BUHA] Bina Usaha Hutan Alam. 2011. Surat Edaran Nomor SE.10/VI/BUHA/2011 tentang Riap Diameter Tahunan pada Hutan Alam Produksi.Jakarta (ID): Kemenhut.

Buongiorno J, Peyron J, Houllier F, Bruciamacchie M. 1995. Growth and management of mixed-species, uneven-aged forest in the French Jura: Implication for Economic Returns and Tree Diversity. Forest Science. 41(3): 397-429.

Hilwan I. 2012. Komposisi jenis dan struktur tegakan pada areal bekas tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Silvikultur Tropika. 3(3): 155-160.

Husch B, Beers TW, Kershaw JA Jr. 2002. Forest Mensuration: Fourth Edition. New Jersey (US): J Wiley.

Krisnawati H, Suhendang E, Parthama IBP. 2008. Model pertumbuhan matriks transisi untuk hutan alam bekas tebangan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 5(2): 107-128.

Kuswandi R. 2014. The effect of silvicultural treatment on stand growth of logged-over forest in South Papua. Indonesian Journal of Forestry Research. 1(2): 117-126.

Latifah S. c2004. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis di Hutan Tanaman Industri. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(23)

13 Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH. 2011. Pendugaan dinamika struktur tegakan hutan alam bekas tebangan.

Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 17(1): 1-9.

Prahasto H dan Nurfatriyani F. 2001. Analisis kebijakan penyediaan kayu dalam negeri. Jurnal Sosial Ekonomi. 2(2): 111-138.

Saridan A dan Soegiharto S. 2012. Struktur tegakan tinggal pada uji coba pemanenan di hutan penelitian labanan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(3): 239-249.

Suhendang E. 1998. Pengukuran riap diameter pohon Meranti (Shorea spp.) pada hutan alam bekas tebangan. Makalah disampaikan dalam diskusi sehari: Pertumbuhan dan hasil tegakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 8 April 1998.

Susanty FH. 2002. Pengaruh kerapatan tegakan terhadap riap jenis meranti di hutan alam. Di dalam: Siran SA, Yusliansyah, Gunawan RHR, Aminullah, editor.

Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan; 2002 Okt 22; Samarinda, Indonesia. Samarinda (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Hlm 107-114.

Wahyudi. 2011. Perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(24)

14

(25)

15 Lampiran 1 Pohon-pohon kelompok jenis Dipterocarpaceae

Nama Jenis Nama Latin

Emang Hopea spp.

Keladan Dryobalanops beccarii Dyer

Kensurai Dipterocarpus oblongifolius Blume

Kuntoi Shorea ochracea Symington

Resak Vatica spp.

Tengkawang Shorea spp.

Keruing Dipterocarpus spp.

Melaken Shorea sp.

Lampiran 2 Pohon-pohon kelompok jenis Non-Dipterocarpaceae

Nama Jenis Nama Latin

Belamar Beliak

Bintangur Calophyllum inophyloide King

Entigung

Medang Litsea firma (Blume) Hook.f.

Menyatuk

Nyatoh Palaquium spp.

Priyai Rahan

Rengas Gluta aptera (King) Ding Hou

Riga Dillenia borneensis Hoogl.

Sampak Senepak

Sindur Sindora spp.

Tampar Pimeleodendron zoanthogyne J.J.Sm.

Temau Cratoxylum arborescens (Vahl)

Blume

(26)

16

Lampiran 3 Hasil regresi model-model ingrowth Dipterocarpaceae

(27)

17 Lampiran 3 (lanjutan)

MODEL 3

Regression Analysis: Ingrowth versus N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 2.141 2.141 0.89 0.367 Error 10 24.034 2.403

Total 11 26.175

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.55028 8.18% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 6.49 5.86 1.11 0.294 N -0.0570 0.0604 -0.94 0.367

Regression Equation

Ingrowth = 6.49 - 0.0570 N

MODEL 4

Regression Analysis: Ingrowth versus B Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 0.0992 0.09919 0.04 0.849 Error 10 26.0754 2.60754

Total 11 26.1746

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.61479 0.38% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant -0.15 5.81 -0.03 0.980 B 0.137 0.704 0.20 0.849

Regression Equation

(28)

18

Lampiran 3 (lanjutan)

MODEL 5

Regression Analysis: Ingrowth versus N, B Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 2.3834 1.1917 0.45 0.651 Error 9 23.7912 2.6435

Total 11 26.1746

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.62587 9.11% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 4.94 8.01 0.62 0.553 N -0.0593 0.0638 -0.93 0.377 B 0.216 0.714 0.30 0.769

Regression Equation

Ingrowth = 4.94 - 0.0593 N + 0.216 B

MODEL 6

Regression Analysis: Ingrowth versus log B, log N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 2.4306 1.2153 0.46 0.645 Error 9 23.7440 2.6382

Total 11 26.1746

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.62426 9.29% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value

Constant 23.3 29.1 0.80 0.444

Log B 4.4 13.9 0.32 0.756 Log N -13.3 14.1 -0.94 0.371

Regression Equation

(29)

19 Lampiran 4 Hasil regresi model-model ingrowth NonDipterocarpaceae

(30)

20

Lampiran 4 (lanjutan)

MODEL 3

Regression Analysis: Ingrowth versus N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 0.6889 0.6889 0.59 0.459 Error 10 11.6116 1.1612

Total 11 12.3006

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.07757 5.60% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant -0.90 4.07 -0.22 0.829 N 0.0323 0.0420 0.77 0.459

Regression Equation

Ingrowth = -0.90 + 0.0323 N

MODEL 4

Regression Analysis: Ingrowth versus B Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 0.0568 0.05677 0.05 0.834 Error 10 12.2438 1.22438

Total 11 12.3006

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.10652 0.46% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 3.08 3.98 0.77 0.457 B -0.104 0.483 -0.22 0.834

Regression Equation

(31)

21 Lampiran 4 (lanjutan)

MODEL 5

Regression Analysis: Ingrowth versus N, B Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 0.8041 0.4020 0.31 0.738 Error 9 11.4965 1.2774

Total 11 12.3006

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.13022 6.54% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 0.17 5.57 0.03 0.976 N 0.0339 0.0444 0.76 0.464 B -0.149 0.496 -0.30 0.771

Regression Equation

Ingrowth = 0.17 + 0.0339 N - 0.149 B

MODEL 6

Regression Analysis: Ingrowth versus log B, log N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 0.7445 0.3723 0.29 0.755 Error 9 11.5560 1.2840

Total 11 12.3006

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.13314 6.05% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value

Constant -9.7 20.3 -0.48 0.645

Log B -2.79 9.68 -0.29 0.780

Log N 7.29 9.86 0.74 0.479

Regression Equation

(32)

22

Lampiran 5 Hasil regresi model-model upgrowth Dipterocarpaceae

(33)

23 Lampiran 5 (lanjutan)

MODEL 3

Regression Analysis: Upgrowth versus N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 47.427 47.4265 2.08 0.158 Error 38 868.116 22.8452

Total 39 915.543

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 4.77966 5.18% 2.68% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 0.06 1.38 0.04 0.965 N 0.0581 0.0403 1.44 0.158

Regression Equation

Upgrowth = 0.06 + 0.0581 N

Regression Analysis: Upgrowth versus B MODEL 4

Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 0.147 0.1466 0.01 0.938 Error 38 915.396 24.0894

Total 39 915.543

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 4.90809 0.02% 0.00% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 1.45 3.58 0.40 0.688 B 0.12 1.54 0.08 0.938

Regression Equation

(34)

24

Lampiran 5 (lanjutan)

Regression Analysis: Upgrowth versus N, B MODEL 5

Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 93.77 46.89 2.11 0.135 Error 37 821.77 22.21

Total 39 915.54

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 4.71275 10.24% 5.39% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant 5.41 3.95 1.37 0.178 N 0.1196 0.0582 2.05 0.047 B -3.13 2.17 -1.44 0.157

Regression Equation

Upgrowth = 5.41 + 0.1196 N - 3.13 B

Regression Analysis: Upgrowth versus log B, log N MODEL 6

Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 102.93 51.47 2.34 0.110 Error 37 812.61 21.96

Total 39 915.54

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 4.68641 11.24% 6.45% 0.00%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value

Constant -2.44 3.02 -0.81 0.425

Log B -21.2 13.0 -1.64 0.110 Log N 8.57 3.99 2.15 0.039

Regression Equation

(35)

25 Lampiran 6 Hasil regresi model-model upgrowth Non-Dipterocarpaceae

(36)

26

Lampiran 6 (lanjutan)

MODEL 3

Regression Analysis: Upgrowth versus N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 16.731 16.7310 16.37 0.000 Error 38 38.841 1.0221

Total 39 55.572

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.01101 30.11% 28.27% 22.44%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant -0.075 0.291 -0.26 0.799 N 0.03451 0.00853 4.05 0.000

Regression Equation

Upgrowth = -0.075 + 0.03451 N

MODEL 4

Regression Analysis: Upgrowth versus B Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 1 18.76 18.7640 19.37 0.000 Error 38 36.81 0.9686

Total 39 55.57

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 0.984197 33.76% 32.02% 27.43%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant -2.177 0.719 -3.03 0.004 B 1.360 0.309 4.40 0.000

Regression Equation

(37)

27 Lampiran 6 (lanjutan)

MODEL 5

Regression Analysis: Upgrowth versus N, B Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 20.602 10.3008 10.90 0.000 Error 37 34.971 0.9452

Total 39 55.572

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 0.972192 37.07% 33.67% 25.67%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant -1.621 0.814 -1.99 0.054 N 0.0168 0.0120 1.39 0.172 B 0.904 0.447 2.02 0.050

Regression Equation

Upgrowth = -1.621 + 0.0168 N + 0.904 B

MODEL 6

Regression Analysis: Upgrowth versus log B, log N Analysis of Variance

Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value Regression 2 18.233 9.117 9.03 0.001 Error 37 37.339 1.009

Total 39 55.572

Model Summary

S R-sq R-sq(adj) R-sq(pred) 1.00457 32.81% 29.18% 22.13%

Coefficients

Term Coef SE Coef T-Value P-Value Constant -1.642 0.648 -2.53 0.016 Log B 3.43 2.78 1.23 0.225 Log N 1.024 0.856 1.20 0.239

Regression Equation

(38)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 1993 dari Ayah (Almarhum) Ahmad Taufiq Hasanuddin dan Ibu Susi Chatarina. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dimulai dengan memasuki Madrasah Ibtidaiyah (MI) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 pula penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) UIN Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Selanjutnya di tahun 2008 pula penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 47 Jakarta Selatan dan lulus pada Tahun 2011 dan di tahun yang sama melanjutkan pendidikannya di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tertulis.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus Himpunan Profesi Departemen Manajemen Hutan yaitu Forest Management Students’ Club (FMSC) sebagai anggota divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) periode 2012/2013 dan 2013/2014. Penulis juga aktif dalam organisasi

International Forestry Students’ Association Local Committee IPB (IFSA LC-IPB) sebagai anggota komisi Public Relation (PR) pada periode 2012/2013 dan Ketua Komisi PR pada periode 2013/2014. Penulis juga menjadi anggota Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB angkatan 11. Penulis juga menjadi asisten praktikum Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014. Penulis pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur Papandayan-Sancang Timur pada tahun 2013 dan juga Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2014.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis menulis skripsi dengan judul

Gambar

Gambar 1  Perbandingan struktur tegakan awal KJ Dipterocarpaceae ( ), Non–
Gambar 2 Riap diameter pada tiap kelas diameter untuk kelompok
Tabel 4  Dugaan lamanya siklus tebangan berdasarkan limit diameter pohon yang boleh ditebang dan batas bawah diameter pohon inti
Tabel 6  Persamaan upgrowth untuk masing-masing kelompok jenis

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada lokasi yang memiliki ketinggian tempat lebih tinggi, kedua jenis merbau akan cenderung membentuk pola sebaran mengelompok serta berasosiasi dengan jenis lainnya, sedangkan

Berdasarkan hasil uji LSD diketahui bahwa kelompok meranti dan kelompok dipterocarp non meranti mempunyai pola dan kecepatan pertum-buhan diameter tahunan rata-rata yang

Pada lokasi yang memiliki ketinggian tempat lebih tinggi, kedua jenis merbau akan cenderung membentuk pola sebaran mengelompok serta berasosiasi dengan jenis lainnya, sedangkan

Permudaan tingkat pancang pada hutan bekas tebangan satu tahun dan hutan yang be- lum ditebang tergolong memiliki keanekaragaman jenis yang relatif sama dengan nilai

Petak contoh tahun 1994 dan hutan alam primer memiliki nilai R 2 lebih kecil dari 0.5 jika menggunakan persamaan eksponensial negatif, sehingga persamaan yang

Kelompok pohon meranti, dipterocarp non meranti, komersial lain ditebang dan komersial lain tidak ditebang mempunyai pertumbuhan diameter tahunan rata-rata (MAI) yang relatif

Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa riap pohon inti (kelas diameter 20-39 cm) untuk ramin 0,62 cm/tahun, kelompok meranti 0,68 cm/tahun dengan rata-rata seluruh jenis ditebang adalah