• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh: Asnawi Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh: Asnawi Abstrak"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh: Asnawi

Email: asnawi67@gmail.com Abstrak

As an Islamic Educational Institution, Boarding Islamic Schools have appropriate formation development through the changes of years and the imfacts of Science and Technlogy development. However, they still grow and develop from the society ad or the society. There are some types of Islamic Boarding School in the society. Therea are three Islamic Boarding School typologies in Indonesia; Traditional Islamic Boarding School, Modern Islamic Boarding School, and Comprehensive Islamic Boarding School. The Kyais have duties as the coordinator of the teaching and learning process executor or the teacher. The students called santries study and live in the boarding School or outside. The learning environment and process are the combination of traditional, modern, and skilled education. These three types of Islamic Boarding School describe that this is an educational institution which is inside and outside school and the society. In short, it grows from and belongs to the society. Furtheroe, it is for the society itself.

Key Words: Pesantren, Pemberdayaan, Masyarakat

A. Pendahuluan

Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia.1 Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya. 2

Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar pesantren tidak tercabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu hal itu merupakan suatu yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi

tren, dengan balutan pendidikan moderen, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya

(2)

2

justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia

“character building” bangsa Indonesia.3

Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini, di tengah-tengah deru modernisasi, pesantren tetap bisa bertahan (survive) dengan identitasnya sendiri. 4 Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, menurut Azra, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.5

Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman serta adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, ia tetap tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat. Secara nyata ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Buhri Gozali, ada tiga tipologi pondok pesantren yang berkembang di Indonesia, yaitu : pesantren tradisional, pesantren modern dan pesantren komperhensif.9 Kedudukan para Kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar atau sebagai pengajar langsung di kelas. Para santri ada yang menetap di pondok dan ada yang tersebar di sekitarnya merupakan gabungan antara tradisional dan modern dan diaplikasikan pendidikan ketrampilan.10 Ketiga tipe pondok pesantren ini memberi gambaran bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan sekolah, luar sekolah, dan masyarakat yang tumbuh dari masyarakat, milik masyarakat dan untuk masyarakat. Kehadiran pesantren di tengah–tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tetapi sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Sejak awal kehadiran pesantren ternyata mampu mengadaptasi diri dengan masyarakat.11

B. Pengertian Pesantren

Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.6 Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut

(3)

3

berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.7 Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dengan demikian, pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.

Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah (Departemen Agama), pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut:

1. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan)

dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut.

2. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (tiap hari jum'at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya).

3. Pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidikan moderen telah menuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.8

Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karen memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri.9 Kelima elemen inilah yang menjadi

(4)

4

persyaratan terbentuknya sebuah pcsantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren , khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.10

Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu;

Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran di mana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu.

Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut.

(5)

5

C. Unsur-unsur Pondok Pesantren a. Kyai

Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.6

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa.7 Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.8

b. Masjid

Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.”9 Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.

c. Santri

Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu

(6)

6

keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.10

d. Pondok

Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.11 Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.12

e. Kitab-Kitab Islam Klasik

Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier:

“Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan. 13

(7)

7

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1. Nahwu dan Sharaf (Morfologi); 2. Fiqh; 3. Usul Fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawwuf dan Etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut.14

D. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren

Agak sulit untuk mengidentifikasi dan menerangkan kapan dan bagaimana sesungguhnya pesantren itu lahir (baca ada). Studi yang dilakukan oleh para sarjana kadang-kadang belum menemukan titik temu yang dapat dipakai sebagai sumber informasi yang benar -benar dipercaya mengenai perjalanan kehidupan pesantren. Seperti dikemukakan oleh Geertz sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa:

"Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru pada abad ke -14, herpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai -nilai estetika dan kehidupan sosial keagamaan ya ng sangat maju, yang dikembangkan oleh kerajaan Hindu -Budha di Jawa yang telah sanggup menanamkan akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia”14

Apa yang dikemukakan Geertz tersebut hanya tentang Islam di kraton-kraton (pusat kekuasaan) di Jawa, sedangkan yang menyangkut Islam dilingkungan pesantren tidak disinggung sama sekali. Sebenarnya Islam di pesantren merupakan upaya kelanjutan dari masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dilakukan oleh pedagang Arab sejak abad ke-13. Geertz tidak menyebut tentang Islam di lingkungan pesantren, padahal Islam di lingkungan orang pesantren merupakan akar yang amat kuat yang dibentuk melalui pendekatan yang sangat manusiawi yang disebarkan lewat pengajaran oleh guru dan murid berdasarkan atas kehidupan kekeluargaan.

Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasan-yayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School).

(8)

8

Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat yang mulai menjangkau sebagian bangsa Indonesia, pesantren pun mulai mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk dalam bidang pendidikan mulai masuk ke Indonesia dan mulai merasuk ke dunia pesantren, serta dunia pendidikan Islam pada umumnya. Ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam itu timbul sebagai akibat kemunduran umat Islam dan merajalelanya penjajahan Barat. Umat Islam menyadari akan kelemahan dan ketertinggalannya dari Barat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun budaya. Oleh karena itu usaha pembaharuan pada umumnya ditekankan pada pembaharuan dalam dunia pendidikan. Secara garis besar ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam, bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada sistem pendidikan yang berlaku di Barat, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dunia Barat dipandang sebagai sumber kekuatan. Oleh karena itu kelompok ini mengembangkan sistem dan isi pendidikan Barat.

b. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni. Mereka berpandangan bahwa sesungguhnya ajaran Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dn perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah pada zaman keemasan Islam di masa lalu. Usaha pembaharuan pendidikan bagi mereka harus kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni al-Qur'an dan Sunnah, yang tidak pernah membedakan antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh terpisah dari Islam. Pendidikan harus juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagimana yang dikembangkan oleh Barat.

c. Gerakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang sejarah bangsa masing-masing. Dengan memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada, dengan menghilangkan kelemahan-kelemahannya, serta memasukkan unsur-unsur baru (ilmu pengetahuan dan teknologi) diharapkan akan membawa kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.

Ketiga pandangan tersebut, nampaknya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan pesantren dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang abad ke-20. Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern klasikal mulai masuk ke dunia pesantren. Sementara itu, di beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama saja. Kemudian pada pcrkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang semata-mata bersifat diniyah berubah

(9)

9

menjadi madarasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.

Pesantren, dalam perjalanan sejarahnya sejak masa kebangkitan nasional hingga masa perjuangan kemerdekaan, senantiasa tampil dan berpartisipasi aktif. Oleh karena itu, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantoro yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.27

Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada masa kemerdekaan dan pembangunan, pesantren mampu menampilkan dirinya berperan aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan sistem pendidikannya, dengan manajemen tradisional. Tetapi beberapa pesantren dapat segera mengidentifikasi persoalan ini dan melakukan berbagai inovasi untuk pengembangan pesantren. Di samping pengetahuan agama Islam, diajarkan pula pengetahuan umum dan ketrampilan (vocational) sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan kepada santri agar selepas mereka dari pesantren dapat hidup mandiri dan mapan di tengah-tengah masyarakat. Beberapa pesantren juga telah menggunakan sistem klasikal dengan saran dan prasarana pengajaran sebagaimana yang ada di sekolah-sekolah umum. Bahkan ada juga pesantren yang lebih cenderung mengelola dan membina lembaga pendidikan. formal, baik madrasah atau sekolah umum mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.

Transformasi kelembagaan pondok pesantren ini meng-indikasikan terjadinya keberlangsungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren. Dalam konteks ini, pesantren di samping mampu terus menjaga eksistensinya juga sekaligus bisa mengimbangi dan menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinkannya bisa tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Penting ditegaskan di sini bahwa transformasi tersebut pada kenyataannya tiak menggeser ciri khas dan sekaligus kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam.

Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa warsa terakhir, sejak tahun 1970-an. Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Jumlah tersebut

(10)

10

rnenngalami peningkatan bcrarti pada 1981, dimana pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada 1997/1998 Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.28

Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, tentunya juga tidak dapat menghindar dari kritik terhadap kekurangannya. Di antara kelebihan pesantren terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren, dilandasi oleh tata nilai yang menekankan pada fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian kepada Sang Khalik dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki, yang dikejar adalah totalitas kehidupan yang diridhoi Allah. Sikap hidup yang demikian terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar pesantren. Hal ini dapat membuat santri mampu bersikap hidup tidak menguntungkan diri pada lembaga mesyarakat yang manapun.

Sementara kekurangan-kekurangannya antara lain adalah tidak adanya perencanaan yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih rnudah dicerna dan dikuasai oleh santri (anak didik), tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang tidak diperlukan dalam suatu tingkat pendidikan. Pedoman yang digunakan tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, akibatnya adalah tidak adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas dan terperinci. 29

Bagaimanapun keadaan pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita mengakui besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, dan tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa pra-Islam.

E. Peranan Pesantren Dalam Pemberdayaan Masyarakat

a. Urgensi Pendidikan Islam Dalam Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berusaha meningkatkan kualitas hidup individu atau sekelompok masyarakat untuk beranjak dari kualitas kehidupan sebelumnya menuju pada kualitas hudup selanjutnya. Oleh karena itu pemaknaan pemberdayaan masyarakat mempunyai cakupan yang luas seperti aspek pendidikan, ekonomi, politik, maupun sosial kebudayaan. Dalam hubungannya dengan tema di atas, maka

(11)

11

secara kuat dipahami bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam hal ini Masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apabila kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund (1976), kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikan lingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, maka kemampuan berpikir manusia ditentukan oleh dua komponen pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum.30 Namun potensi itu tidak berkembang apabila orang tidak memanfaatkan kesempatan itu. difokuskan pada aspek pendidikan terutama Pendidikan Islam.

Pendidikan merupakan perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua potensi manusia, moral, intelektual maupun jasmani, oleh dan untuk kepribadian individual dan kegunanan masayarakat yang diarahkan untuk menghimpun semua aktivitas tersebut1. Jika sudah demikian, maka turut kemajuan suatu institusi pendidikan akan sangat terkait erat dengan potensi masyarakat. Pendidikan Islam merupakan sub sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Perjalanan Pendidikan Islam tidak terlepas dari pasang surutnya sistem Pendidikan Nasional itu sendiri, sebagaimana tidak terlepasnya umat Islam ketika kita membicarakan nasib bangsa ini, dan bahkan Pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang di Indonesia yang telah ikut mewarnai kehidupan bangsa ini baik masa sebelum penjajahan bahkan setelah Indonesia merdeka.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang nota bene mayoritas masyarakatnya memeluk Agama Islam, seharusnya Pendidikan Islam mendasari pendidikan-pendidikan lainnya, serta menjadi primadona bagi peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Demikian juga halnya dalam upaya peningkatan mutu pendidikan seharusnya Pendidikan Islam dijadikan tolok ukur dalam membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa (Nation Character Building).31 Menurut hemat penulis baik upaya-upaya yang dilakukan pemerintah, maupun para pakar pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam sudah sejak lama namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat ini terdapat ketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak dan tidak komprehensif. Sehingga wajar apabila out-put peserta didik di mana Pendidikan Islam kurang memberikan hasil yang maksimal baik terhadap peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Dirasakan bahwa Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, dinilai hanya mampu memenuhi aspek normatif semata dan “tidak atau belum sanggup” mewujudkan apa yang selama ini diharapkan.

Dengan kata lain, pendidikan Islam juga memiliki kelemahan– kelemahan prinsipil untuk bisa berperan secara pasti dalam memberdayakan komunitas muslim di negeri ini. Untuk saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukan adanya perencanaan strategis, dengan

(12)

12

menyusun visi, misi, tujuan, sasaran, metode, program dan kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagai perencanaan jangka panjang untuk menjawab tantangan eksternal yang semakin dinamis dan kompleks. Di sinilah diperlukan analisis kekuatan, kelemahan (faktor internal), peluang serta ancaman (faktor eksternal). Akhirnya akan diketahui dimana posisi sekolah, mau ke mana sekolah dan apa masalah krusial yang dihadapi, lalu dibuat perencanaan strategis menjangkau masa depan yang lebih baik.32 Proses seperti ini perlu melibatkan sejumlah orang yang tak kalah pentingnya dalam ikut mensukseskan Pendidikan Islam.

Upaya mengikutsertakan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dukungan, tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan, inilah yang dimaksud penulis dengan istilah memberdayakan masyarakat. Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab institusi pendidikan saja tetapi yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat memberikan respon positif terhadap perkembangan pendidikan yang ada saat ini, karena out-put pendidikan pada akhirnya akan bermuara pada satu titik yaitu masyarakat. Dalam upaya pemberdayaan potensi masyarakat dapat diklasifikasikan pada tiga arah :

a. Upaya pemberdayaan potensi masyarakat harus dimulai dari pemberdayaan pendidikan keluarga. Konsep “Brain development

menjelaskan bahwa system penserabutan otak manusia sangat ditentukan oleh kontak manusia pada tiga tahun pertama kehidupannya di bumi. Semakin banyak gejala alam yang dapat ditangkap anak pada tiga tahun pertama usia mereka, maka akan merangsang pertumbuhan sistem serabut-serabut otak, yang berarti akan berdampak tingginya kecerdasan anak di masa mendatang. Oleh karena itu pemberdayaan potensi ummat harus dilakukan sejak awal kelahiran. Selain itu, orang tua harus bertanggungjawab terhadap perilaku gizi yang proposional, dan juga mengkondisikan agar anak mengalami proses perkembangan secara proporsional.

b. Institusi pendidikan merupakan arah pemberdayaan potensi masyarakat yang selanjutnya setelah keluarga. Menjadi tanggungjawab pihak sekolah dalam hal pertumbuhan anak selanjutnya baik fisik, kecerdasan intelektual, kreativitas dan perkembangan kecerdasan emosional, bahkan tumbuhnya kecerdasan spiritual secara optimal. Padahal pendidikan kita belum mampu melaksanakan tugas ini. Untuk itulah sudah saatnya institusi Pendidikan melakukan berbagai upaya inovasi dengan landasan bahwa pemberdayaan potensi masyarakat perlu memperkecil peran tumbuhnya cara berpikir linier (yang masih menjadi tekanan pendidikan sekarang), mengapa demikian karena sesunguhnya bumi dan seisinya selalu mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat yang selalu tidak linier, begitu juga seharusnya konsep pendidikan Islam. Berarti untuk pemberdayaan potensi masyarakat harus selalu diarahkan kepada berkembangnya kreativitas masyarakat. Agar maksud ini bisa dicapai

(13)

13

maka kemampuan ketrampilan dan seni harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan.33 Pendidikan Islam sudah saatnya melakukan upaya-upaya inovasi dalam bidang pendidikan, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru. Paradigma yang keliru dan mendasar sekali adalah selama ini bahwa “belajar untuk sekolah bukan untuk hidup”, harus dirubah dengan “belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi belajar untuk hidup (sed vitae discimus)”. Kurikulum di sekolah harus mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan di masyarakat dengan demikian peserta didik akan lebih memahami kondisi masyarakat. Sekolah janganlah terisolasi dari masyarakat, apa yang dipelajari hendaknya berguna bagi kehidupan peserta didik dalam masyarakat dan didasarkan atas masalah masayarakat. Dengan demikian peserta didik akan lebih serasi dipersiapkan sebagai warga masyarakat.34

c. Arah pemberdayaan selanjutnya adalah di masyarakat dengan cara meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap terwujudnya bangsa yang memiliki peradaban dan moral tinggi.35 Hubungannya dengan proses pendidikan selama ini sikap masyarakat belum atau tidak kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak sekolah. Masyarakat mengikuti apa saja yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat dari semuanya itu, ditinjau dari pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus, sekolah menentukan metode pembelajaran, sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan sampai dengan pakaian bahkan sepatu seragam sekolah, ini adalah beberapa contoh yang seharusnya masyarakat ikut andil dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Di sinilah sebenarnya letak pemberdayaan masing-masing potensi masyarakat (keluarga, sekolah, dan masyarakat) untuk bersama-sama mengkompromikan bagaimana seharusnya sistem pendidikan yang akan diterapkan.

Dalam penanganan proses pemberdayaan potensi masyarakat ini pihak sekolah harus membutuhkan strategi yang tepat, dan memerlukan jaringan yang luas, melibatkan banyak pihak baik kalangan birokrat, kalangan usahawan, kalangan pemuka agama, dan tentunya kalangan pendidikan serta organisasi-organisasi kemasyarakatan. Keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 (pasal 5-11) tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam pendidikan. Menanggapi berbagai kritikan Pendidikan Islam yang antara lain sudah disebutkan terdahulu, maka penulis mencoba menyajikan sebuah sistem pembelajaran yang disebut dengan keterpaduan pembelajaran pendidikan islam. Yaitu berbagai inovasi sistem pembelajaran yang melibatkan berbagai pihak dengan memanfaatkan pemberdayaan potensi yang ada di masyarakat, karena sudah saatnya

(14)

14

Pendidikan Islam bukan hanya milik institusi pendidikan tetapi juga milik seluruh ummat Islam.

b. Fungsi dan Peranan Pesantren

Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai zaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda.36 Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Dalam konteks ini, menurut Abdurrahman Mas‟ud, Pondok Pesantren memiliki fungsi-fungsi : (1) Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); (2) Pondok Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan (3) Pondok Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).37

Menurut Said Agil Siraj, ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren, yaitu :

1) Tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.

2) Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.

3) Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.38 Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul.39

Saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan non formal, di mana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan non formal ini termuat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 26 ditegaskan bahwa :

(15)

15

1) Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

2) Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

3) Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

4) Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

6) Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.40

Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal 54 dijelaskan bahwa :

1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.41

Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah, bahkan dalam Pasal 55 ditegaskan bahwa :

1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(16)

16

3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.42

c. Pengembangan Pesantren dan Upaya-upaya Yang Dilakukan

Akar historis-kultural pesantren tidak terlepas dari masuk dan berkembangannya Islam di Indonesia yang bercorak sufistik atau mistik. Dalam pergumulannya, pesantren banyak menyerap budaya masyarakat jawa pedesaan yang pada saat itu cenderung statis dan sinkretis. Oleh karena itulah, di samping karena basis pesantren adalah masyarakat pinggiran yang berada di desa-desa, pesantren sering disebut sebagai masyarakat atau Islam tradisional. Santri tradisional berkeyakinan bahwa unsur batin (esensi) dari kehidupan keagamaan lebih penting, namun kesalehan luar merupakan ekpresi iman batin sebagai media memperkokoh spritualitas.43

Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang, dan tersebar di berbagai pedesaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Realitas menunjukan, pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.44 Pondok pesantren selain sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh fiddin) juga berfungsi sebagai lembaga pengembangan sosial masyarakat, karena tumbuh dan berkembangannya ada di tengah-tengah masyarakat. Pengembangan potensi sosial diarahkan pada keamampuan pesantren dalam menganalisis sosial (Ansos), advokasi kepada yang lemah pada problem-problem yang terjadi di masyarakat, seperti keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, serta dekadensi sosial.45 Pondok Pesantren juga mempunyai peranan dalam transformasi masyarakat, di antaranya: (1) Peranan instrumental dan fasilisator, (2) Peranan mobilisasi, (3) Peranan sumber daya manusia, (4) Perubahan social, dan Pusat keagamaan, pendidikan, dan pengembangan masyarakat.46

Pondok pesantren juga merupakan institusi yang telah memberikan sumbangan besar bagi pemeliharaan tata nilai dan peri kehidupan beragama yang sangat dibutuhkan dalam bangunan sosial agama. Posisi demikian disebabkan oleh kemampuan pesantren menciptakan suatu sikap hidup universal yang merata, kemampuan memelihara sub-kulturnya sendiri serta cara pandang santri dalam menilai lingkungan sosialnya yang memperlihatkan fleksibilitas ditengah ketatnya kaidah fiqih yang diyakininya.

Begitu juga dengan kedekatan dan keeratan para kyai terhadap masyarakat dengan segala problematika umat yang kompleks. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari pesantren dengan figur kyainya menyediakan diri sebagai pemecah permasalaahn (problem solving), tempat masyarakat

(17)

17

mengadukan hampir seluruh persoalan kehidupan baik sosial, hukum, budaya, ekonomi, politik, kesehatan, kesemuanya diselesaikan dengan sumbangsih kyai. Corak dan ragam masyarakat yang heterogen itulah akhirnya memberikan dampak dominan dan mendorong keragaman kyai dan pesantren itu sendiri, yang satu sama lainnya bisa saling mengisi dan menyempurnakan. Hal inilah yang akan menciptakan kehidupan pesantren menjadi lebih dinamis dan berkualitas.47

Pesantren sesuai dengan peranan politik kemasyarakatannya berada dalam tatanan hubungan yang mempunyai tiga komponen yaitu: pesantren (dan /atau kyai), masyarakat, serta kelembagaan negara (pemerintah daerah/ lingkungan instansi negara). Hubungan antara pesantren dan masyarakat sangat erat dan pimpinan pedesaan seringkali mewakili kedua unsur tersebut, maka mereka mewakili kepentingan bersama sebagai kesatuan dalam menghadapi instansi-instansi di luar lingkungan pedesaan. Dalam masyarakat, pesantren dan para pemimpinannya memperoleh kedudukan yang tinggi. Dalam masyarakat Islam pedesaan arti “alim ulama” secara tradisional masih sangat dihormati.48

Interaksi masyarakat dengan pesantren juga menyangkut hubungan antara warga pesantren dan warga masyarakat sekitarnya. Hubungan antara warga pesantren di satu pihak dan warga masyarakat di lain pihak meliputi berbagai aspek kehidupan. Namun demikian, yang tampaknya paling menonjol adalah hubungan yang bersifat ekonomi, warga pesantren berperan sebagai pihak pembeli. Sedangkan, warga masyarakat berperan sebagai pihak penjual berbagai macam kebutuhan santri dan peralatan shalat, mengaji, sekolah sampai ke kebutuhan makan dan minum. Bahkan, warga masyarakat juga menyediakan rumah atau kamar bagi para santri yang tidak ingin tinggal di asrama yang di sediakan oleh pesantren.

Kemudian dalam hubungan yang bersifat pendidikan yang merupakan tujuan dari didirikannya pesantren tersebut, pihak warga pesantren (terutama para kyai dan para mubalighnya) berperan sebagai pemberi informasi (komunikator), baik yang bersifat agama (melalui pesantren) maupun ilmu pengetahuan umum melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada di lingkungan pesantren. Sedangkan, warga masyarakat dalam hal ini, berperan sebagai informasi (komunikasi).49

Pesantren dengan sistem dan karakter tersendiri telah menjadi bagian integral dari suatu institusi sosial masyarakat, khususnya pedesaan. Bahkan beberapa di antaranya muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecah masalah-masalah sosial masyarakat desa. Ajaran-ajaran yang dituturkan oleh kyai telah membentuk pandangan, nilai-nilai, dan sikap hidup masyarakat. Pesantren melakukan pemecahan masalah sosial masyarakat sekitarnya tidak dengan strategi dan teori pembangunan yang digunakan pemerintah.

Gerakan pesantren dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatan dan pemahaman keberagamaan sang kyai, pemimpin pesantren. Hal ini yang membuat setiap pesantren mempunyai keistemewaan sendiri

(18)

18

dalam melakukan kiprahnya, yang dipengaruhi oleh figur kyai, serta lingkungan sosial pada suatu ruang dan waktu tertentu. Namun, ada satu hal yang sama yang melandasi gerak tersebut, yaitu berangkat dari sikap dan keyakinan agama, serta orientasi pada masyarakat.

Sebagai kelompok elit pedesaan, baik dari struktur sosial ekonom, maupun politik kyai memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat. Dari stuktur ekonomi, kehidupan kyai sangat berkecukupan. Oleh karena itu, mereka tidak disibukan dengan persoalan nafkah. Perhatiannya tercurah pada fungsinya sebagai pemimpin, da‟i, dan pengajar.50

Untuk itu, para kyai merasa perlu memahami kehidupan politik yang sedang berkembang, dengan “kearifannya” mereka mengambil sikap. Tanpa dipaksakan sikap tersebut akan diikuti oleh jama‟ahnya, dan ini yang membuat kyai mempunyai posisi kuat baik ditingkat lokal maupun nasional dalam pengambilan keputusan politik.

Pesantren sebagai institusi pendidikan agama, bahkan saat ini juga pendidikan umum, merupakan sebuah lembaga yang representatif dalam mendukung pembangunan nasional. Dalam GBHN disebutkan bahwa pembangunan nasional adalah untuk menciptakan manusia seutuhnya, yakni pembangunan spiritual dan material yang stimulan. Sumbangan pendidikan pesantren terhadap pendidikan nasioanl juga telah nyata wujudnya, utamanya dalam masalah pembangunan dan atau kesehatan rohani.51 Secara teoritis akademis, tujuan pendidikan pondok pesantren di Indonesia dan proses pendidikannya, memadukan secara komprehensif, mencakup semua aspek nilai dasar, kecerdasan, kedewasaan/kematangan dengan aspek kepribadian yang bulat dan utuh. Tujuan pendidikan pesantren meliputi aspek normatif (berdasarkan norma yang mengkristalisasi nilai-nilai yang hendak diinternalisasi), aspek fungsional (tujuan yang memiliki sasaran teknis manajerial).52

Pondok pesantren juga memperkenalkan program ketrampilan semisal agro industri, industri rumah tangga, pertanian, perikanan, dan kelautan. Di samping itu, pelayanan terhadap masyarakat sekitar terus ditingkatkan, misalnya dengan menggerakan ekonomi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan keuntungan ekonomi atau pelatihan-pelatihan dasar.53 Perkembangan lain dari suatu pondok pesantren dapat dilihat pada orientasi pendidikannya yang lebih mementingkan penguasaan ilmu alat, seperti bahasa Arab, dan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.54

Pesantren-pesantren dalam melakukan transformasi sosial keagamaan di tengah-tengah masyarakat pada mulanya ditawarkan sangat sederhana, yakni dalam bentuk silaturrahim dan pengajian dengan penekanan kepada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan keagamaan murni. Fiqh-Sufistik sebagai salah satu karakteristik pesantren menjadi tema besar yang dikembangkan kepada santri dan masyarakat luas. Pola tersebut berhasil mengantarkan masyarakat pada pola kehidupan yang lebih mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang substansial. Masyarakat mulai akrab dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat agama serta mulai mengenal nilai-nilia

(19)

19

moralitas yang perlu dijadikan bijakan dalam kehidupan mereka. Sebagai realisasi dari hal itu, pesantren juga mengembangkan program pengembangan masyarakat.55

F. Kesimpulan

Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam tertua khas Indonesia, yang merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya. Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al anbiya. Hal ini terus dipertahankan agar pesantren tidak tercabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu hal itu merupakan suatu yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi tren, dengan balutan pendidikan modern, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia “character building” bangsa Indonesia.

Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini, di tengah-tengah deru modernisasi, pesantren tetap bisa bertahan (survive) dengan identitasnya dan fungsinya : (1) sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values), (2) sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial, dan (3) sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral

(20)

20

dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Affan, M. Hasyim. Menggagas Pesantren Masa Depan, CV. Qalam, Yogyakarta, 2003.

Assegaf, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Indonesia, SUKA Press, Jogjakarta, 2007.

Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998.

Depag RI, Tim Penulis. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Ditjen Binbga Islam, Jakarta, 2005.

---, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, Jakarta, Ditjen Binbaga Islam, 2003.

---, Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, Suatu Konsep Pengembangan Mutu Madrasah, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 2005.

---,---. Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pesantren Departemen Agama RI, Jakarta, 2007.

Depdikbud RI, Tim Penyusun. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998.

Dewantoro, Ki Hajar. Pendidikan, bagian Pertama, cet 2, Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, Jogyakarta, 1977.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet I, LP3ES, Jakarta, 1982.

Djohar, Pendidikan Strategig Alternatif Untuk Masa Depan, Lesfi, Yogyakarta, 2003.

Galba, Sindu. Pesantren sebagai Wadah Komunikasi, Depdikbud dan Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Ghazali, Bahri. Pondok Pesantren Berwawasan Lingkungan, CV. Prasasti, Jakarta, 2002.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1999. Hikmat, Harry. Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press

(21)

21

Karni, Asrori S. Etos Kerja Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, 2009.

Kartodirjo, Sartono. Sejarah Nasional, Jakarta, Balai Pustaka, 1977.

Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1, Paramadina, Jakarta, 1997.

Mas‟ud, Abdurrahman. Sejarah dan Budaya Pesantren, Dalam Ismail SM (ed), : Dinamika Pesantren dan Madrasah, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, Pustaka Pelajar, Semarang, 2002.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Seri XX, INIS, Jakarta, 1994. Nasir, H.M. Ridwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok

Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2008. Nasution, S. Sosiologi Pendidikan, Bumi Aksara, Cet. Ke-3, Jakarta, 2004.

---,--. Pedoman Penulisan Disertasi, Tesis, Skripsi, Makalah Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta, 2007.

Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi

Institusi, Erlangga, Jakarta, 2009.

---,---. Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam; Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2007.

Raharjo, M. Dawam. “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta,1985.

Saleh, Abd. Rasyad. Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997. Saridjo, dkk, Marwan. Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, Dharma Bhakti,

Jakarta, 1982.

Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke – 19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

---,---. Pesantren Sekolah, Madrasah : Pendidikan Islam dalam kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1986.

Suismanto, Menelusuri Jejak Pesantren, Alief Press, Yogyakarta, 2004. Sukamto, Kepemimpinan Kiyai Dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985.

Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, LKIS, Yogyakarta, 2001.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Edisi Revisi, Quantum Teaching, Ciputat, 2005.

(22)

22

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mahmudiyah, Jakarta, tt.

Zarkasyi, Imam. Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya” dalam al-Jami’ah No. 5-6 Th. Ke –IV Sept – Nop. 1995, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1995.

Ziemek, Manfred. Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Terj. B. Soendjojo, P3M, Jakarta, 1986.

Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2007.

Zuhri, KH. Saefuddin. Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT. al-Ma‟arif, Bandung, 1979.

1

Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,

Erlangga, Jakarta, 2009, hal. xv. M. Dawam Raharjo, “Perkembangan Masyarakat dalam

Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta,1985, hal. vii.

2

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1, Paramadina, Jakarta, 1997, hal. 3. Lihat Irwan Abdullah, dkk. (Editor), Agama, Pendidikan Islam dan Tanggungjawab Sosial Pesantren, Sekolah Pasca Sarjana UGM, Jogjakarta, 2008. hal. 1-2.

3

Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, Bina Usaha, Yogyakarta, 1984, hal. 69. Lihat Mahmud Arief, Pendidikan Islam Transformatif, LKIS, Yogyakarta, 2008, hal. 165.

4

Chabib Thoha, “ Mencari Format Pesantren Salaf”, dalam Majalah Bulanan Rindang

No. 9 Th. XXVI April 2001, hal. 87. Sukamto, Kepemimpinan Kiyai Dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999, hal. 1-2.

5

Azyurmardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998, hal. 87. Asrori S. Karni, Etos Kerja Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, Mizan Media Utama (MMU), Bandung, 2009, hal. xii.

9

Ketiga tipologi pondok pesantren ini memiliki beberapa perbedaan mengenai metode pendidikannya yang disatu sisi, pesantren tradisional lebih memperkenalkan pengajaran kitab berbahasa Arab yang bersifat sorogan dan bandongan, sedangkan pesantren modern dalam metode pendidikannya telah mengadopsi metode klasikal dari barat. Namun, memasuki abad 20 telah ada dan berkembang metode yang menggabungkan pendekatan tradisional dan modern yang disebut pesantren komprehensif. Buhri Ghazali, Pondok Pesantren Berwawasan Lingkungan,

CV. Prasasti, Jakarta, 2002, hal. 14. Lihat H.M. Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2008, hal. 86-87.

10

Ibid., hal. 15. 11

Ibid., hal. 16. Lihat Tim Penyusun Depag RI, Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pesantren Departemen Agama RI, Jakarta, 2007, hal. iii.

6

Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal. 80-81. Abdurrahman Assegaf,

Pendidikan Islam di Indonesia, SUKA Press, Yogyakarta, 2007, hal. 86. Manfred Ziemek,

Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Terj. Butche B. Soendjojo, P3M, Jakarta, 1986, hal. 8. 7

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet I, LP3ES, Jakarta, 1982, hal. 18.

8

Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Persantren di Indonesia, Dharma Bhakti, Jakarta, 1982, hal. 9-10. Lihat Mujamil Qomar, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam; Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2007. hal. 58.

9

(23)

23

10

Imam Zarkasyi, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya” dalam al-Jami’ah No. 5-6 Th. Ke –IV Sept – Nop. 1995, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1995, hal. 24-25.

6

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 144.

7

Ziemek, op. cit., hal. 130. 8

Dhofier, op. cit., hal. 55. 9

Dhofier, ibid., hal. 49. 10

Ibid., hal. 52. 11

Hasbullah, op. cit., hal. 142. 12

Dhofier, op. cit., hal. 45. 13

Ibid., hal. 50. Hasbullah, ibid., hal. 144. 14

Dhofier, ibid., hal. 51. 14

Dhofier, ibid., hal. 6. 27

Ki Hajar Dewantara, op. cit., hal. 371. 28

Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia tahun 1997, (Dokumentasi Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997.

29

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, LKIS, Yogyakarta, 2001, hal. 56 – 59.

30

Djohar, Pendidikan Strategig Alternatif Untuk Masa Depan, Lesfi, Yogyakarta, 2003, hal. 133-134.

31

Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasisi Kompetensi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal.161.

32

Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2005, hal.131.

33

Djohar, op. cit., hal. 134-135. 34

S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bumi Aksara, Cet. Ke-3, Jakarta, 2004, hal.153. 35

Djohar, op. cit., hal. 139. 36

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, 1985, Jakarta, hal. 41. 37Abdurrahman Mas‟ud,

Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Ismail Sm (ed), : Dinamika Pesantren dan Madrasah, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, Pustaka Pelajar, Semarang, 2002, hal. 3. Tim Penulis Depag RI, Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, Suatu Konsep Pengembangan Mutu Madrasah, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 2005, hal. 7.

38Abdurrahman Mas‟ud,

op. cit., hal. 18. 39

Mujamil, Pesantren, Erlangga, Jakarta, 2002, hal. 5. 40

Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 51-52. 41 Ibid., hal. 95. 42 Ibid., hal. 96-97. 43

M. Hasyim Affan, Menggagas Pesantren Masa Depan, CV. Qalam, Yogyakarta, 2003, hal. 77.

44

Abd A‟la, Pembaruan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2006, hal. 1. 45

Tim Penulis Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Ditjen Binbga Islam, Jakarta, 2005, hal. 33.

46

Tim Penulis Depag RIPola Pengembangan Pondok Pesantren, Jakarta, Ditjen Binbaga Islam, 2003, hal. 93.

47

M. Hasyim Affan, op. cit., hal. 52. 48

Suismanto, op. cit., hal. 73. 49

Sindu Galba, Pesantren sebagai Wadah Komunikasi, Depdikbud dan Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 65.

50

Nurcholish Madjid, Bililk-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta,1997, hal. 124.

51

(24)

24

52

Ahmad Tafsir dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Mimbar Pustaka, Bandung, 2004, hal. 213.

53

Depag, Pedoman Pembinaan…, op. cit., hal. 4. 54

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Edisi Revisi, Quantum Teaching, Ciputat, 2005, hal. 117.

55

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Dyah kegiatan ini diselenggarakan selain untuk meramaian peringatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 718 juga mengasah potensi perempuan Surabaya dalam membuat desain batik

Bab Pertama, pendahuluan merupakan uraian tentang mengapa suatu penelitian dilakukan, yang dinarasikan dengan sistematika dalam beberapa sub bab meliputi latar belakang

Dalam rangka pengembangan Unit Usaha Syariah Bank BPD Kalsel, dengan memperhatikan minat, semangat serta harapan masyarakat dan Pemerintah Daerah

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektifan teknik thought stopping untuk meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian prasyarat untuk mendapat gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan

18 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Klas IB Metro, pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014, pada pukul 11.15. Pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas

Maka dapat di katakan bila pendapatan asli daerah yang tinggi akan ikut meningkatkan pengeluaran pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk belanja modal guna

Tindakan yang dilakukan oleh Tamar adalah menaruh abu di kepalanya sebagai tanda bergerak melampaui keterpurukannya dan menjadi contoh yang baik bagi perempuan Indonesia