• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

1

TESIS

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI

KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA

TENGGARA BARAT

CALVIN IFFANDI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

2

TESIS

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI

KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA

TENGGARA BARAT

CALVIN IFFANDI NIM 1292361005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

3

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI

KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA

TENGGARA BARAT

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi kedokteran Hewan, Program Pascasarjana Universitas udayana

CALVIN IFFANDI NIM 1292361005

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

4

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 27 Juni 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr.drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes. Prof. Dr. drh. Iwn Harjono Utama, MS NIP. 19630716 198903 2 001 NIP. 19610406 198903 1 002

Mengetahui

Ketua Program Kedokteran Hewan Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, UniversitasUdayana,

Prof. Dr.drh.I Ketut Puja, M.Kes. Prof. Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001

(5)

5

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 03 Juli 2014

Panitian penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. 1828a/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 30 Juni 2014

Ketua : Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes. Anggota :

1. Prof. Dr. drh. Iwan Harjono Utama, MS 2. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes. 3. Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si 4. Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc.Ph.D.

(6)

6

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Calvin Iffandi

Nim : 1292361005

Program studi : Kedokteran Hewan

Judul Tesis : Profil Hormon Pertumbuhan Sapi Bali di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 07 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,

(7)

7

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Calvin Iffandi dilahirkan pada tanggal 02 Oktober 1989 di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari pasangan suami istri Alm. Edy Harianto dan Alm. Dermiana Siagian.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak tahun 1993 dan diselesaikan pada tahun 1995 di TK Indra Murni Padangsidimpuan dan menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 15 Padangsidimpuan dan menamatkan pendidikan tahun 2001. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMPN 1 Padangsidimpuan dan pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMAN 1 Padangsidimpuan. Selanjutnya, penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada tahun 2007, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Hewan Tahun 2013.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2012. Selanjutnya, penulis melakukan penelitian di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Denpasar berjudul “Profil Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.” Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.

(8)

8

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes., selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. Iwan Harjono Utama, MS selaku Pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD. (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes., selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si. dan Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc.PH.D., yang telah memberikan masukan, saran, dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.

(9)

9

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis, yaitu Ayahanda Alm. Edy Harianto dan ibunda Alm. Dermiana Siagian yang telah menjadi motivator bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Keluarga terutama nenek Hj. Maslan Siregar, kakak dan adik yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih juga kepada Sri Milfa untuk motivasi dan pengertiannya. Kepada Chandra, Reni, Rasdiyanah, dan Widodo yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Agustini dan Bapak Mayun yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis dan keluarga.

(10)

10 ABSTRAK

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sampel yang diambil dalam penelitian ini berupa serum yang diambil dari 80 ekor sapi bali yang dipelihara pada lahan yang disebut dengan “lar”. Serum yang diperoleh diuji dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Perbedaaan rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan dan betina dianalisis dengan uji Independent T-test. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan di Kabupaten Sumbawa berkisar antara (843,23 - 5439,59) pg/ml dan konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali betina di Kabupaten Sumbawa berkisar antara (763,39 -2881,89) pg/ml. Rerata konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan (1735,20±181,76) dan sapi bali betina (1312,76±75,27). Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan profil hormon pertumbuhan antara sapi bali jantan dan sapi bali betina yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan lebih tinggi dengan rerata 1735,20±181,76, dibandingkan dengan sapi bali betina dengan rerata 1312,76±75,27. Hormon pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lanjut tentang hormon pertumbuhan sapi bali yang ditinjau dari berat badan, keadaan geografis, sumber pakan, dan umur.

.

(11)

11 ABSTRACT

THE GROWTH HORMONE PROFILE OF BALI CATTLE’S IN SUMBAWA PROVINCE OF WEST NUSA TENGGARA

The objective of this study was to determine growth hormone profile of male and female bali cattle’s which was raised in Sumbawa Province of West Nusa Tenggara. Serum sampels in this study was taken from 80 bali cattle’s raised on wide area that was called “lar”. All samples tested using ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Investigate the differences of male and female growth hormone concentration, data were analyzed by Independent T-test. Results showed that the range growth hormone concentration of male bali cattle was (843,23 -5439,59) pg/ml and female (763,39 - 2881,89) pg/ml. The mean of growth hormone concentration of male and female bali cattle’s was (1735.20±181.76) and (1312.76±75.27). There was significant difference of which on male higher than female. Growth hormone was influenced by many factors, so the advanced study about growth hormone of bali cattle’s which was observation from weight, geography condition, food resources, and age was necessary.

(12)

12 RINGKASAN

PROFIL HORMON PERTUMBUHAN SAPI BALI DI KABUPATEN SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Nusa Tenggara Barat sebagai Bumi Sejuta Sapi (NTB-BSS), merupakan salah satu daerah yang mendukung Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014). Sapi bali yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mempunyai karakteristik pemeliharaan yang berbeda (Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa., 2011). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sapi bali dipelihara pada padang pengembalaan yang sangat luas, disebut dengan “lar”. Kandang yang disediakan berukuran luas sampai menampung puluhan sapi. Hal tersebut dapat mempengaruhi produktivitas sapi bali dalam hal ini pertambahan bobot badan. Sapi bali yang dipelihara di Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai pertambahan/peningkatan bobot badan yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara di daerah lainnya, dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Bobot badan sapi di Provinsi Nusa Tenggara Barat lebih kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sampel yang diambil dalam penelitian ini berupa serum yang diambil dari 80 ekor sapi bali yang dipelihara pada lahan yang disebut dengan “lar”. Serum yang diperoleh diuji dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Perbedaaan rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan dan betina dianalisis dengan uji Independent T-test. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan di Kabupaten Sumbawa berkisar antara (843,23 - 5439,59) pg/ml dan konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali betina di Kabupaten Sumbawa berkisar antara (763,39 - 2881,89) pg/ml. Rerata konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan (1735,20±181,76) dan sapi bali betina (1312,76±75,27). Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan profil hormon pertumbuhan antara sapi bali jantan dan sapi bali betina yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan lebih tinggi dengan rerata 1735,20±181,76, dibandingkan dengan sapi bali betina dengan rerata 1312,76±75,27. Hormon pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lanjut tentang hormon pertumbuhan sapi bali yang ditinjau dari berat badan, keadaan geografis, sumber pakan, dan umur.

(13)

13 DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PRASYARAT GELAR... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi

UCAPAN TERIMAKASIH... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT... x

RINGKASAN ... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 4

2.1 Sapi Bali... 4

2.1.1 Sifat Fenotipik dan Genotipik Sapi Bali ... 4

2.1.2 Sapi bali di Provinsi NTB... 7

2.2 Hormon Pertumbuhan ... 9

2.2.1 Fungsi Hormon Pertumbuhan ... 9

2.2.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Sekresi Hormon Pertumbuhan ... 12

2.2.3 Mekanisme Sekresi Hormon Pertumbuhan ... 12

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 15

3.1 Kerangka Berpikir ... 15

3.2 Kerangka Konsep ... 17

3.3 Hipotesis Penelitian ... 18

BAB IV METODE PENELITIAN ... 19

4.1 Rancangan Penelitian... 19

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

(14)

14

4.4 Penentuan Sumber Data ... 20

4.5 Variabel Penelitian... 21

4.6 Bahan Penelitian... 22

4.7 Instrumen Penelitian... 22

4.8 Prosedur Penelitian... 22

4.8.1 Koleksi sampel ... 23

4.8.2 Persiapanstandard, reagenA dan B, larutan pencuci, dan substrat... 23

4.8.3 Persiapan sampel ... 24

4.8.4 Prosedur pengujian ... 24

4.9 Analisis Data ... 25

BAB V HASIL PENELITIAN ... 26

5.1 Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Jantan dan Betina ... 26

5.2 Rerata Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Sapi Bali di Kabupaten Sumbawa... 27

BAB VI PEMBAHASAN... 29

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 33

7.1 Simpulan ... 33

7.2 Saran... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(15)

15

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Penampilan reproduksi sapi bali di beberapa Provinsi... 8 5.2 Rerata Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Sapi

(16)

16

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Regulasi Sekresi Hormon Pertumbuhan ... 13 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 17 5.1 Profil Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Jantan

dan Betina... 27 5.2 Rerata Konsentrasi Hormon

(17)

17

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Nilai Optical Density(OD) Hormon Pertumbuhan pada Serum

Sapi Bali di Kabupaten Sumbawa ... 40

Lampiran 2 Konsentrasi Hormon Pertumbuhan dengan Persamaan Y= 1624.564x1.783... 41

Lampiran 3 Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Jantan dan Sapi Bali Betina di Kabupaten Sumbawa ……….. 42

Lampiran 4 Data Analisis Nilai Optical Density dengan persamaan Y = axb………. 44

Lampiran 5 Grafik Persamaan Y = 1624.564x1.783... 45

Lampiran 6 Data Hasil Analisis Statistik ... 46

Lampiran 7 Dokumentasi Laboratorium ... 47

(18)

18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sapi bali merupakan salah satu penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia sekaligus sebagai sumber daya genetik ternak asli Indonesia yang sudah didomestikasi dan termasuk salah satu aset dunia yang sangat berharga (Oka dan Darmadja, 1996). Sapi bali disebut juga sebagai ternak dwiguna karena selain digunakan sebagai ternak pekerja, sapi bali juga dijadikan sebagai ternak sumber penghasil daging. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah memiliki fertilitas yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang ekstrim.

Sapi bali banyak dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang mengembangkan sapi bali diantaranya adalah Daerah-daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, dan Kalimantan. Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu propinsi yang mengembangkan dan memelihara sapi bali. Kemampuan adaptasi yang baik dari sapi bali pada kondisi lingkungan kering yang merupakan karakteristik sebagian besar wilayah di Provinsi NTB menjadikan sapi bangsa ini tepat untuk dikembangkan di daerah tersebut (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).

Nusa Tenggara Barat sebagai Bumi Sejuta Sapi (NTB-BSS), merupakan salah satu daerah yang mendukung Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014. Oleh karena itu, sapi bali harus terus dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya baik yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun sapi bali

(19)

19

yang ada di luar daerah lain (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004)

Sapi bali yang dipelihara di Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai pertambahan/peningkatan bobot badan yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali yang dipelihara di daerah lainnya, dengan umur dan jenis kelamin yang sama. Bobot badan sapi di Provinsi Nusa Tenggara Barat lebih kecil. Sapi bali yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mempunyai karakteristik pemeliharaan yang berbeda (Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa., 2011). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sapi bali dipelihara pada padang pengembalaan yang sangat luas, disebut dengan “lar”. Kandang yang disediakan berukuran luas sampai menampung puluhan sapi. Hal tersebut dapat mempengaruhi produktivitas sapi bali dalam hal ini pertambahan bobot badan.

1.2 Rumusan Masalah

Sampai saat ini banyak penelitian yang mengungkapkan hormon pertumbuhan dari aspek genetik melalui pemeriksaan genetik marker namun belum ada penelitian khususnya pada sapi bali yang mempelajari profil hormon pertumbuhan. Oleh karena itu masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimanakah profil hormon pertumbuhan sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)?

(20)

20 1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai data dasar untuk memberikan masukan kepada pemerintah mengenai salah satu penyebab penghambat pertumbuhan pada sapi bali yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

(21)

21 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali

2.1.1 Sifat Fenotipik dan Genotipik Sapi Bali

Sapi bali merupakan sapi yang berasal dari domestikasi banteng (Bos Javanicus) yang pada awalnya termasuk banteng liar asli dari pulau Bali. Proses domestikasi dilakukan 3.500 tahun SM di Indochina, mengakibatkan terdapat beberapa perbedaan dan kesamaan antara ternak domestikasi dan ternak liar sebagai nenek moyangnya (Bhima, 2009). Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dengan baik. Keunggulan sapi bali dibandingkan dengan sapi lain adalah memiliki daya adaptasi sangat baik terhadap lingkungan yang kurang baik dan dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah (Sastradipradja, 1990). Sapi bali juga diketahui mempunyai fertilitas dan conception rate (CR) yang sangat baik, persentase karkas yang tinggi yaitu antara 52 % sampai dengan 57.7% (Oka dan Darmadja, 1996). Dibandingkan dengan sapi potong lain yang ada di Indonesia, sapi bali memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%), serta tahan terhadap parasit internal maupun eksternal (Payne dan Hodges,1997).

Sapi bali merupakan salah satu sapi pedaging lokal Indonesia yang memiliki kelebihan berupa kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan Indonesia baik terhadap iklim, ketersediaan makanan alami, ketersediaan air dan juga ketahanan terhadap bakteri maupun parasit yang ada di lingkungan Indonesia. Meskipun sapi

(22)

22

bali ini mampu berkembang biak dengan baik di Indonesia, namun kualitas dan kuantitas produksinya masih kalah dengan sapi impor (Talib, 2002). Sapi bali memiliki fenotipe yang unik dibandingkan dengan sapi lainnya. Anak sapi jantan hingga sekitar umur 6 bulan berwarna sama dengan sapi betina yaitu merah bata kecoklatan tetapi semakin tua umurnya warnanya mulai berubah menjadi coklat kehitaman mulai dari bagian depan tubuh ke belakang (Pane, 1986). Warna putih terdapat pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pinggiran bibir atas pada sapi bali jantan dan betina (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Sapi bali merupakan ternak tipe potong atau pedaging dan sebagai ternak pekerja. Sapi bali merupakan penghasil daging utama untuk ruminansia besar di Indonesia. Berat sapi jantan dewasa reratanya 400 kg, lingkar dada sekitar 192 cm, tinggi gumba reratanya 127 cm, dan panjang tubuh sekitar 140 cm. Berat sapi betina dewasa sekitar 260 kg dengan lingkar dada sekitar 165 cm, tinggi gumba sekitar 114 cm dan panjang badan sekitar 260 cm (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).

Banyak laporan yang telah mengemukakan keunggulan produksi sapi bali. Keunggulan produksi sapi bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas), maupun sifat reproduksi seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak kelahiran (calving interval), dan persentase kelahiran (Sastradipradja, 1990). Beberapa sifat produksi dan

(23)

23

reproduksi tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat dipergunakan sebagai indikator seleksi (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).

Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam satu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, diantara individu tersebut. Selain melihat ciri fenotipik, sapi bali juga memiliki keragaman genotipik. Jenis-jenis protein di dalam darah maupun susu dapat menunjukkan polimorfisme dengan menggunakan prosedur elektroforesis yang merupakan cerminan adanya perbedaan genetis. Hasil penelitian melaporkan adanya keragaman pada sapi bali dari hasil pengujian 15 lokus enzim dan protein darah (Namikawa et al., 1980). Pada protein

susu juga ditemukan keragaman, yaitu untuk protein susu αs1,β, dan k-casein demikian pula untuk β-lactoglobulin, sementara itu α-lactalbumin hanya mempunyai 1 macam alel ( Bell et al., 1981a; Bell et al., 1981b).

DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik DNA yang mempunyai polimorfisme tinggi. Pada lokus 16 DNA mikrosatelit pada sapi bali menemukan keragaman pada sebagian besar lokus DNA mikrosatelit tersebut. Sementara itu, lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi bali adalah monomorfik sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO, dan Brangus) adalah polimorfik (Winaya, 2000)

(24)

24 2.1.2 Sapi Bali di Provinsi NTB

Sapi bali di Provinsi NTB memiliki tampilan fenotipik yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi bali diluar Provinsi NTB. Ini dapat ditunjukkan dengan penampilan produksi sapi bali di NTB yaitu bobot lahir (12,7±0,7), bobot sapih (83,9±25,9), bobot umur 1 tahun (129,7±15,1), bobot saat pubertas (170,4±17,4) dan bobot dewasa (303,3±4,9) (Talib et al., 2003). Penampilan reproduksi sapi bali di Provinsi NTB juga lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali di luar Provinsi NTB yaitu umur pubertas betina (22 bulan), umur pubertas jantan (26 bulan), persentase beranak (72%), jarak beranak (507 hari) (Pane, 1991).

Dibalik keunggulan yang dimiliki, sapi bali disinyalir mengalami penurunan kualitas terutama menurunnya bobot potong. Provinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu daerah pemasok bibit sapi bali, terdapat adanya penurunan bobot sapi bali jantan yang diantar-pulaukan masing-masing sebesar 2,1 kg dan 2,9 kg (Dwipa et al.,1988; Dwipa dan Sarwono, 1992). Penurunan kualitas sapi bali di Provinsi NTB terjadi karena perubahan untuk mempertahankan kelangsungan spesies melalui penyesuaian/adaptasi dengan kondisi pendukung lingkungan terutama pakan untuk reproduksi. Penyebab utama penurunan kualitas ini adalah ketersediaan dan kualitas pakan dan terjadi penurunan mutu genetik (Prasetyo dan Sudrana, 2001).

(25)

25 Tabel 2.1

Penampilan reproduksi sapi bali di beberapa Provinsi

Sumber: Pane, 1991

Sapi bali yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mempunyai tingkat morbiditas lebih tinggi terhadap penyakit yaitu; penyakit septica epizootica (SE), penyakit balizekte (BZ), penyakit malignant catarral fever (MCF) dan penyakit pink eye (PE) bila dibandingkan dengan sapi yang ada di Provinsi Bali (Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa, 2011). Faktor kerentanan terhadap penyakit dapat menjadi salah satu tolak ukur produktivitas ternak sapi bali terutama terhadap pertumbuhannya.

Cara pemeliharaan sapi bali di Kabupaten Sumbawa Provinsi NTB juga berbeda dengan sapi bali di luar Provinsi NTB. Sapi bali yang dipelihara di Provinsi NTB dipelihara di padang pengembalaan yang sangat luas disebut dengan “lar”. Sapi bali dilepas di padang pengembalaan pada pagi hari dan masuk ke kandang kembali pada sore hari. Sehingga pakan yang diperoleh sangat tergantung dari ketersediaan sumber pakan yang ada di lingkungan tersebut. Kandang yang disediakan berukuran luas, dapat menampung hingga puluhan sapi. Pakan yang didapat hanya yang tersedia dari lahan pengembalaan tersebut.

Propinsi Umur pubertas betina (bulan) Umur pubertas jantan (bulan) Persentase beranak (%) Jarak beranak (hari) Angka kebuntingan (%) Conception rate (%) NTT 23 26 70 521 -NTB 22 26 72 507 -Bali 20,7 25 69 530 83 85,9 Sulawesi Selatan 24 28 76 480 82

(26)

26 2.2 Hormon Pertumbuhan

2.2.1. Fungsi Hormon Pertumbuhan

Pertumbuhan bagi ternak merupakan suatu proses perubahan bentuk atau ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa. Pertumbuhan ternak dapat ditunjukkan dengan adanya peningkatan linier ukuran, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting dalam pertumbuhan seekor ternak yaitu proses-proses dasar pertumbuhan sel, diferensiasi sel-sel induk menjadi beberapa lapisan yaitu ektodermis, mesodermis, endodermis, mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi. Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma. Pertumbuhan dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berakhir pada saat dicapainya kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah kelahiran (postnatal) (Aberle et al.,2001).

Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis. Faktor lingkungan meliputi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim dan fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor lingkungan ini tidak diturunkan. Faktor genetis yang dikendalikan oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen, baik yang pengaruhnya besar/utama (major gene) sampai yang pengaruhnya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi

(27)

27

hormon pertumbuhan (Carnicella et al., 2003). Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen untuk hormon pertumbuhan. Gen hormon pertumbuhan memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme dari tubuh ternak (Carnicella et al.,2003).

Hormon pertumbuhan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sel hewan (Hull dan Harvey, 2001). Pertumbuhan pada ternak dikontrol oleh suatu sistem yang kompleks. Salah satu hormon pertumbuhan yang memiliki peranan penting dalam proses ini adalah somatotropin (Sutarno et al., 1996). Gen yang mengatur dari somatotropin ini dalam menjalankan fungsinya dalam masa pertumbuhan postnatal adalah hormon pertumbuhan yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang dan otot. Gen yang membantu hormon pertumbuhan dalam proses tersebut adalah IGF-1 (Insuline like Growth Factor-1).

Fungsi dari hormon pertumbuhan antara lain efek metabolisme yang meliputi meningkatkan sintesis protein sel dan mengurangi perusakan protein sel sehingga protein tersebut dapat dipakai untuk membuat sel-sel yang baru, melepas cadangan lemak tubuh ke dalam darah untuk digunakan sebagai sumber energi, meningkatkan produksi karbohidrat hati, mengurangi penggunaan glukosa sebagai sumber energi, serta meningkatkan kadar gula darah. Pada hewan yang sedang tumbuh, hormon pertumbuhan dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi pertumbuhan pakan, meningkatkan pertumbuhan organ, dan meningkatkan pertumbuhan tulang (Etherton

(28)

28

dan Bauman, 1998). Dalam meningkatkan pertumbuhan tulang, hormon pertumbuhan berfungsi merangsang pembentukan tulang dan tulang rawan baru. Hormon ini akan merangsang pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak dan mencegah proses penuaan dengan cara menyuplai energi. Hormon pertumbuhan juga merangsang pertumbuhan dengan merangsang pembentukan protein baru jika energi, asam amino, vitamin dan zat-zat lainnya mencukupi.

Hormon pertumbuhan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan dan metabolisme lemak yang berperan penting untuk reproduksi, laktasi, dan pertumbuhan tubuh (Burton et al., 1994; Ohlsson et al., 1998). Selain itu, hormon pertumbuhan pada sapi (bovine growth hormone) mempunyai peran utama pada pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu (Cunningham., 1994; Hoj et al., 1993), produksi susu, karkas, dan respon imun (Ge et al., 2003).

Dalam menjalankan fungsinya hormon pertumbuhan juga mempunyai banyak efek lain pada tubuh, yakni meningkatkan retensi kalsium, dan memperkuat serta meningkatkan mineralisasi tulang, meningkatkan masa otot melalui sarcomere hyperplasia, memacu lipolysis, meningkatkan sintesa protein, merangsang pertumbuhan organ internal kecuali otak, berperan dalam homeostasis energi, mengurangi uptake glukosa di liver, meningkatkan glukoneogenesis di liver (King, 2006), ikut berperan dalam memelihara dan mempertahankan fungsi pankreas, dan menstimulasi sistem pertahanan tubuh (Binder et al., 2007).

(29)

29

2.2.2 Faktor yang berpengaruh terhadap sekresi hormon pertumbuhan

Terdapat faktor-faktor yang menstimulasi dan menghambat pelepasan hormon pertumbuhan. Faktor-faktor yang menstimulasi pelepasan hormon pertumbuhan antara lain 1) hormon peptide, yakni growth hormone releasing hormone (GHRH disebut juga somatocrinin) melalui ikatan dengan growth hormone releasing hormone receptor (GHRHR) (Lin dan Wajnrach, 2002), dan ghrelin melalui ikatan dengan growth hormone secretagogue receptors (GHSR) (Wren et al., 2000). 2) Hormon sex (Meinhardt dan Ho, 2006), yaitu meningkatnya sekresi androgen selama masa dewasa kelamin (pada jantan di testis dan pada betina di cortex adrenal), estrogen, clonidine dan L-DOPA melalui stimulasi pelepasan GHRH (Low, 1991), hipoglikemia, arginin (Alba et al., 1998) dan propanolol dengan menghambat pelepasan somatostatin (Low, 1991), serta puasa (Norrelund, 2005).

Faktor-faktor inhibitor sekresi hormon pertumbuhan, meliputi 1) somatostatin dari nucleus periventrikular (Guillemin dan Gerich, 1976), 2) konsentrasi hormon pertumbuhan dan IGF-1 yang ada di sirkulasi (feedback negatif pada hipofise dan hipotalamus), 3) hiperglikemi (Low, 1991), 4) glukokortikoid, dan 5) dihidrotestosteron (Allen, 1996). Faktor-faktor lain yang diketahui juga berpengaruh terhadap sekresi hormon pertumbuhan,antara lain adalah umur, jenis kelamin, pakan, stres, dan hormon lainnya.

2.2.3 Mekanisme sekresi hormon pertumbuhan

Hormon Pertumbuhan diproduksi oleh sel somatotroph di kelenjar hipofise anterior secara pulsatil. Sekresi hormon pertumbuhan dikontrol oleh dua hormon,

(30)

30

yaitu Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang merangsang sekresi, dan somatostatin yang menghambat sekresi Somatotropin Release Inhibiting Factor (SRIF) (Besser dan Thorner, 2007). Ada juga GHRH yang lain yaitu ghrellin, yang dilepaskan dari lambung dan bekerja langsung pada sel somatotroph sehingga sekresi hormon pertumbuhan meningkat (Pangkahila, 2007). Ghrellin adalah sebuah asam amino peptide yang mengikat reseptor secretagogue hormon pertumbuhan untuk menginduksi GHRH hipotalamus dan hormon pertumbuhan hipofise. Ghrellin disintesa di jaringan perifer, khususnya pada sel neuroendokrin mukosa lambung, sama seperti secara sentral dari hipotalamus (Kojima et al., 1999).

Gambar 2.1. Regulasi sekresi hormon pertumbuhan (GH) (Besser dan Thorner, 2007).

Hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary pertama-tama mengalir melalui pembuluh darah menuju ke organ hati. Di dalam hati, hormon pertumbuhan diubah menjadi IGF-1 (Insulin like Growth Factor-1). Lalu melalui

(31)

31

peredaran darah pula, 1 dialirkan keseluruh organ-organ yang ada di tubuh. IGF-1 inilah yang bertanggung jawab untuk memelihara seluruh organ-organ di dalam tubuh (King, 2006).

(32)

32 BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Produktivitas ternak dapat diukur dari tingkat pertumbuhannya (Aberle et al., 2001). Faktor eksternal dan internal merupakan dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu cara pemeliharaan, tempat pemeliharaan, dan pakan, sedangkan faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu umur, jenis kelamin, breed dan genetik (hormon pertumbuhan) (Ensminger et al., 1990). Sapi bali di Provinsi Nusa Tenggara Barat diberikan pakan yang berasal dari sumber pakan yang tersedia di padang penggembalaan berupa lar dengan vegetasi yang tumbuh sangat terbatas. Legum dan rumput yang seharusnya menjadi pakan utama untuk pertumbuhan ditemukan sangat terbatas, sehingga sapi bali di Provinsi Nusa Tenggara Barat mengalami hambatan pertumbuhan

Pada tubuh ternak, hormon pertumbuhan memiliki peranan dalam pertumbuhan tulang, pertumbuhan otot, merangsang sintesa protein dan berpengaruh terhadap metabolisme lipida (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut Carnicella et al., (2003), pertumbuhan pada jantan dan betina berbeda. Ternak jantan lebih cepat tumbuh dibandingkan betina pada umur yang sama (Short, 1980). Hal ini disebabkan jenis kelamin berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shimon et al., (1997) bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap sekresi

(33)

33

hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan yang dimiliki sapi jantan dan betina akan berbeda karena berhubungan dengan hormon seks (Turner dan Bagnara, 1976). Hormon seks memberikan pengaruh yang menonjol terhadap sekresi hormon pertumbuhan di dalam tubuh ternak (Short, 1980).

Hormon seks yang mempengaruhi konsentrasi hormon pertumbuhan di dalam tubuh ternak adalah hormon androgen pada jantan dan estrogen pada betina. Pada hewan jantan salah satu steroid androgen adalah testosteron yang mempengaruhi sekresi dari hormon pertumbuhan (Swerdloff dan Odell, 1977), sedangkan pada hewan betina, hormon estrogen menyebabkan penurunan konsentrasi kalsium dan lipida dalam darah (Short, 1980).

Berbagai metode dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan hormon pertumbuhan pada sapi bali, mulai dari tingkat seluler molekuler sampai ke marker genetik. Untuk tingkat seluler dipelajari dengan menggunakan metode ELISA (Prakash et al., 2003).

(34)

34 3.2 KerangkaKonsep

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Gambar 3.1.Kerangka Konsep Penelitian Pertumbuhan Eksternal Sapi bali (NTB) Internal Tempat Pemeliharaan Cara Pemeliharaan Pakan

Jenis Kelamin Umur Breed

Jantan Betina

Hormon Pertumbuhan

ELISA Diteliti

(35)

35 3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dapat dirumuskan adalah terdapat perbedaan profil hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

(36)

36 BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengukuran konsentrasi hormon pertumbuhan pada serum sapi bali dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Denpasar. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yakni pengambilan serum sampel dilakukan di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan Januari 2014, sedangkan pengukuran konsentrasi hormon pertumbuhan dengan menggunakan metode ELISA dilaksanakan pada bulan Maret 2014.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, adapun ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut:

a. Sapi bali: sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara pada Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

b. Konsentrasi hormon pertumbuhan: kadar hormon pertumbuhan dan diperoleh dengan pengukuran menggunakan metode ELISA.

(37)

37 4.4 Penentuan Sumber Data

Populasi target dalam penelitian ini adalah sapi bali jantan dan betina dewasa yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah sapi bali jantan dan betina dewasa dengan kriteria sehat dan sapi bali jantan tidak dikastrasi dan sapi bali betina tidak dalam masa bunting.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan model Purposive Sampling. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah 80 ekor masing-masing 40 ekor sapi bali jantan dan 40 ekor sapi bali betina. Perkiraan jumlah sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Zainuddin, 1999).

n = N Z2-α/2 SD2

(N – 1) d2+ Z2 –α/2 SD2

Keterangan:

n = besar sampel minimum N = besar populasi

Z2-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

SD = standar deviasi

d = penyimpangan yang ditolerir

Bila diketahui: SD = 1,4 (Irvin and Trenkle, 1971), Z2-α/2 = 1,96, N = 726.900, d = 0,3, maka :

n = 726,900x 1,96 x 1,42 (726,900 – 1) 0,32+ 1,96 (1,4)2

(38)

38 n = 2792459,04

65424,7516 n = 42,68 = 43

4.5 Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian ini terdiri dari: a. Variabel bebas : jenis kelamin

b. Variabel terikat : konsentrasi hormon pertumbuhan

c. Variabel kendali : tempat pengambilan sampel, cara pemeliharaan, umur Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

a. Jenis kelamin adalah sapi bali betina memiliki ciri fenotipik, yakni berwarna merah bata serta memiliki vagina, sedangkan sapi bali jantan adalah sapi bali yang memiliki ciri fenotipik berwarna merah bata pada saat pedet dan berubah menjadi warna coklat tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa, serta memiliki penis.

b. Konsentrasi hormon pertumbuhan adalah kadar hormon pertumbuhan yang diukur dalam serum dengan menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dalam satuan pg/ml.

c. Tempat pengambilan sampel adalah di Kecamatan Moyo Utara, Kecamatan Moyo Hilir, Kecamatan Unter Iwes dan Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat.

(39)

39

d. Cara pemeliharaan adalah sapi bali dipelihara pada padang pengembalaan yang disebut dengan lar.

e. Umur adalah sapi bali jantan dan betina yang sudah mengalami dewasa tubuh dengan umur 2-3 tahun.

4.6 Bahan Penelitian

Adapun bahan yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu Bovine Growth HormoneELISA kit yang terdiri dari microplate96 well, standard, reagenA (Biotin conjugated antibody specific) dan reagen B (Avidin conjugated Horse Radise Peroxidase), substrat (Tetrametyl benzidine), wash buffer, kertas plate, standar diluent, assay diluent A dan B, stop solution, PBS, dan air destilasi (Cloud-Clone Corp, 2013).

4.7 Instrumen penelitian

Adapun instrumen yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu jarum venoject 10 ml, single atau multi-channel pipette 100 µl dan 10 µl, tabung efendorf, disposable tips, microplate 96 well, inkubator, ELISA reader filter 450, tissue, container, dan vortex.

4.8 Prosedur Penelitian

Metode ELISA yang dipergunakan dalam penelitian ini sesuai dengan standard operating procedure Bovine Growth Hormone ELISA kit Cloud-Clone Corp (2013).

(40)

40 4.8.1 Koleksi sampel

Serum yang diperoleh berasal dari pengambilan darah dengan menggunakan jarum venoject, melalui Vena Jugularis sebanyak 10 ml darah. Serum dipisahkan dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung efendorf setelah darah didiamkan selama 2 jam.

4.8.2 Persiapan standard¸ reagen A dan B, larutan pencuci, dan substrat

Pengenceran standard dilakukan dengan cara mencampurkan Standard dengan 0,5 ml standard diluent, kemudian larutan didiamkan selama 10 menit dalam suhu ruangan lalu dihomogenkan secara perlahan (jangan sampai timbul busa). Konsentrasi reagen standard dalam larutan stock setelah diencerkan menjadi 5000 pg/ml. Setelah itu, sebanyak 7 tube berisi 0,25 ml standar diluent disiapkan dan dibuat pengenceran ganda, sehingga konsentrasi reagen standard dalam 7 tube tersebut adalah 2.500 pg/ml, 1.250 pg/ml, 625 pg/ml, 312 pg/ml, 156 pg/ml, 78 pg/ml, dan 39 pg/ml.

Sebelum diencerkan, stock reagen A dan B disentrifugasi terlebih dahulu. Setelah itu, reagen A dan B ditambahkan dengan assay diluent A dan B sampai konsentrasinya 1:100. Larutan diaduk secara perlahan sampai kristal hancur.

Larutan pencuci diencerkan dengan mencampurkan sebanyak 20 ml larutan pencuci (30x) dengan 580 ml deionized atau air destilasi sehingga terdapat 600 ml larutan pencuci (1x). Sedangkan untuk substrat TMB, pengenceran tidak dilakukan. Substrat TMB diaspirasi sesuai dengan takaran yang diperlukan dengan

(41)

41

menggunakan pipette steril dan disa larutan yang sudah disedot tidak boleh dimasukkan kembali ke dalam vial.

4.8.3 Persiapan sampel

Serum diencerkan dengan menggunakan 0,01mol/L PBS (pH = 7,0-7,2) sebanyak 20 kali, yakni 20µl sampel dicampur dengan 380 µl PBS.

4.8.4 Prosedur pengujian

Well untuk standard, blank, dan sampel ditentukan terlebih dahulu, yaitu 7 well untuk standard dan 1 well untuk blank. Masing-masing well larutan standard dan blank dibuat secara duplo. Sebanyak 100µl larutan standard, blank, dan sampel ditambahkan pada masing-masing welllalu divortex. Well ditutup dengan kertas plate dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 370C. Cairan dalam welldihilangkan dengan cara dituang.

Pada masing-masing well ditambahkan 100µl larutan reagen A dan ditutup dengan kertas plate. Kemudian, Well diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C. Setelah diinkubasi, well yang berisi larutan reagen A diaspirasi dan dicuci dengan 350µl wash buffer (1x) menggunakan semprotan botol, pipet multi-channel, manifold dispenser, atau autowasher dan dibiarkan selama 1-2 menit. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali. Sisa cairan wash buffer pada well dihilangkan dengan cara menggeretak platepada tissue.

Selanjutnya, sebanyak 100µl larutan reagen B ditambahkan ke dalam well, dan ditutup dengan kertas plate, lalu well diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370C. Setelah diinkubasi, dilakukan pencucian sampai 5 kali. Setelah well dicuci,

(42)

42

ditambahkan 90µl larutan substrat pada well, lalu ditutup dengan kertas plate yang baru dan diinkubasi selama 15-25 menit pada suhu 370C. Cairan pada well yang positif berubah menjadi warna biru karena penambahan larutan substrat.

Pada masing-masing well sebanyak 50µl stop solution ditambahkan dan dihomogenkan dengan vortex. Cairan dalam well akan berubah menjadi kuning. Air dan sidik jari yang terdapat pada dasar plate dihilangkan dan pastikan tidak ada gelembung pada permukaan cairan. Pembacaan dilakukan dengan ELISA reader filter 450 nm (Multiskan EX). Konsentrasi growth hormone dalam serum yang diuji diperoleh dengan menggunakan persamaan Y= axbkemudian dikalikan sebanyak 20 kali, dengan Y adalah konsentrasi growth hormone dalam serum sapi bali, a adalah perbandingan antar konsentrasi growth hormone dengan nilai optical density (OD), x adalah nilai optical density (OD), dan b adalah koefisien.

4.9 Analisis Data

Konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan dan betina di Kabupaten Sumbawa disajikan secara deskriptif. Perbedaaan rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan dan betina dianalisis dengan uji Independent T-test dengan menggunakan program software SPSS versi 17 (Sampurna dan Nindhia, 2008).

(43)

43 BAB V

HASIL PENELITIAN

Hasil pengujian terhadap serum sapi bali di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) (Cloud-Clone Corp, 2013) diperoleh nilai optical density (OD) (Lampiran 1). Konsentrasi hormon pertumbuhan pada serum sapi bali diperoleh dengan persamaan Y= 1624,564x1,783(Lampiran 2).

5.1 Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Jantan dan Betina

Konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan di Kabupaten Sumbawa berkisar antara (843,23 - 5439,59) pg/ml. Konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali betina di Kabupaten Sumbawa berkisar antara (763,39 - 2881,89) pg/ml. Konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali betina. Profil konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan dan betina di Kabupaten Sumbawa disajikan pada Gambar 5.1.

(44)

44

Gambar 5.1: Profil Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Jantan dan Betina

5.2. Rerata Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Di Kabupaten Sumbawa

Rerata konsentrasi hormon perttumbuhan sapi bali jantan dan betina di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Timur ditunjukkan oleh Tabel 5.2 sebagai berikut.

(45)

45

Tabel 5.2 Rerata Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Sapi Bali di Kabupaten Sumbawa

Keterangan: Rerata konsentrasi hormon pertumbuhan merupakan Mean±SEM (Lampiran 5). Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Tabel 5.2 di atas menunjukkan rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan lebih tinggi (1735,20±181,76) dibandingkan dengan sapi bali betina (1312,76±75,27). Rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan dan betina di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat berbeda nyata (P<0,05). Perbedaan rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali di Kabupaten Sumbawa ditunjukkan oleh Gambar 5.2 sebagai berikut.

Gambar 5.2: Rerata Konsentrasi Hormon Pertumbuhan Sapi Bali jantan dan betina di Kabupaten Sumbawa

Jenis Kelamin Rerata Konsentrasi Hormon Pertumbuhan (pg/ml) Signifik ansi Betina 1312,76±75,27 a Jantan 1735,20±181,76 b 0 500 1000 1500 2000 2500 Betina Jantan R er at aK on se nt ra si (p g/ m l)

(46)

46 BAB VI PEMBAHASAN

Sapi bali betina di Kabupaten Sumbawa ditemukan sebagian besar memiliki konsentrasi hormon pertumbuhan di bawah rerata (1312,76±75,27) pg/ml. Empat puluh sampel serum sapi bali betina yang diuji ditemukan sebanyak 40% ekor sapi bali betina memiliki konsentrasi hormon pertumbuhan di atas rerata dan 60% ekor sapi lainnya berada di bawah rerata (lampiran 3). Keadaan tersebut menjadi alasan bahwa dengan umur yang sama bobot badan sapi bali di Kabupaten Sumbawa lebih rendah dibandingkan sapi bali di luar daerah tersebut. Konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan di Kabupaten Sumbawa sebagian besar di bawah rerata (1735,20±181,76) pg/ml. Empat puluh sampel serum sapi bali jantan yang di uji ditemukan sebanyak 35% sapi bali jantan memiliki konsentrasi hormon pertumbuhan di atas rerata dan 65% ekor sapi lainnya berada di bawah rerata (lampiran 3).

Apabila dibandingkan rerata konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan dengan betina (Gambar 5.2), maka diperoleh rerata konsentrasi sapi bali jantan (1735,20±181,76) pg/ml, lebih tinggi dibandingkan sapi bali betina (1312,76±75,27) pg/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Irvin dan Trenkle (1971) juga menunjukkan hasil yang sama, yakni rerata konsentrasi hormon pertumbuhan pada sapi angus jantan (20,8±2,2) ng/ml, betina (14,9 ±1,8) ng/ml, sapi Hereford jantan (15,7±3,4) ng/ml, betina (11,8 ±2,7) ng/ml, sapi shorthorn jantan (15,9±5,8) ng/ml, betina (12,1±3,8) ng/ml, sapi crossbred jantan (17,4±2,3) ng/ml, betina ( 12,7±2,7) ng/ml. Hasil penelitian Kadarsih (2004) juga menunjukkan hal yang sama, yakni rerata

(47)

47

pertambahan bobot badan per hari sapi bali jantan lebih besar dibandingkan sapi bali betina. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Morrison (1983) bahwa sapi bali yang dilepas pada padang rumput pertambahan bobot badan per hari jantan lebih tinggi daripada betina.

Hasil penelitian diperoleh adanya perbedaan konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali betina dan jantan yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa. Keadaan tersebut ditunjukkan dengan hormon pertumbuhan pada sapi bali jantan lebih tinggi dibandingkan pada betina. Hal ini disebabkan jenis kelamin berpengaruh terhadap sekresi hormon pertumbuhan (Shimon et al., 1997). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Turner dan Bagnara (1976) bahwa hormon pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin sehingga menyebabkan perbedaan peningkatan berat badan pada ternak.

Faktor yang menstimulasi pelepasan hormon pertumbuhan salah satunya adalah hormon sex (Meinhardt dan Ho, 2006). Hormon sex dapat berpengaruh terhadap sekresi hormon pertumbuhan, yaitu hormon androgen pada jantan dan estrogen pada betina. Pada hewan jantan, hormon androgen mampu merangsang dan menstimulasi pertumbuhan. Proses anabolik protein dari androgen dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga hewan jantan dapat lebih besar dibandingkan dengan hewan betina (Kay dan Hausseman, 1997).

Salah satu steroid androgen yang berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan adalah testosterone. Hormon testosterone dihasilkan oleh sel-sel interstitial pada testis dan kelenjar adrenal (Swerdloff dan Odell, 1977). Testosteron merupakan hormon steroid dari ternak jantan yang mempunyai kemampuan anabolisme protein.

(48)

48

Testosteron mempunyai kemampuan untuk merangsang pengeluaran hormon pertumbuhan dari hypophysa (Vestergaard et al., 1995). Hasil kerja hormon testosteron pada ternak jantan adalah kemampuan menghasilkan pertumbuhan yang cepat (Yang, 1998).

Pada ternak betina, peningkatan sekresi estrogen menyebabkan penurunan konsentrasi kalsium dan lipida dalam darah sehingga dengan meningkatnya sekresi estrogen akan terjadi penurunan laju pertumbuhan tulang (Short, 1980). Selain peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan, hormon pertumbuhan pada ternak betina juga terlibat dalam proses diferensiasi seksual dan pubertas serta memiliki peranan pada steroidogenesis gonad, gametogenesis, dan ovulasi (Hull dan Harvey, 2001; Spicer dan Langhout, 1991). Proses ini kemungkinan berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas hormon pertumbuhan di pituitary (Sharara dan Giudice, 1997). Hormon pertumbuhan juga bekerja pada gonad, plasenta, dan kelenjar mammae ternak betina (Lawrence dan Fowler, 2002). Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ternak jantan lebih cepat dibandingkan betina terutama setelah sifat-sifat kelamin sekunder muncul. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Irvin dan Trenkle (1971), bahwa pertumbuhan ternak jantan lebih tinggi dibandingkan ternak betina pada umur yang sama.

Peranan hormon pertumbuhan dalam reproduksi diperantarai oleh IGF-1 (Insuline like Growth Factors-1). IGF-1 berperan sebagai suatu growth promoting factor dalam proses pertumbuhan dan bekerja sebagai mediator untuk hormon pertumbuhan. IGF-1 diproduksi pada berbagai jaringan tubuh terutama di hati (King,

(49)

49

2006). Untuk lebih mudah mencapai reseptor pada jaringan, IGF-1 dalam sirkulasi berikatan dengan protein IGF binding protein (IGF-BP). Fungsi IGF-1 adalah mediator bagi hormon pertumbuhan di jaringan, sebaliknya hormon pertumbuhan merupakan regulator kadar IGF-1 yang beredar dalam tubuh. Defisiensi hormon pertumbuhan akan menyebabkan kadar IGF-1 dalam sirkulasi rendah, sedangkan apabila kadar hormon pertumbuhan tinggi kadar IGF-1 juga akan meningkat (Thissen et al., 1994).

IGF-1 yang menjadi mediator hormon pertumbuhan dalam menjalankan berbagai proses fisiologis di dalam tubuh melibatkan nutrisi (Bauman dan Vernon, 1993). Sapi bali yang diternakkan di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat mendapatkan sumber pakan yang sangat terbatas pada padang penggembalaan. Peternak tidak memberikan pakan tambahan, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap nutrisi pada tubuh ternak. Menurut Breier et al., (1986) level IGF-1 dalam tubuh akan meningkat bila nutrisi yang diperoleh oleh tubuh tercukupi, sebaliknya level IGF-1 akan menurun bila tubuh kekurangan nutrisi. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Thissen et al., (1994) bahwa defisiensi penurunan sekresi hormon pertumbuhan dapat terjadi pada keadaan defisiensi protein dan mineral sehingga berdampak pada penurunan pertumbuhan.

(50)

50 BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan profil hormon pertumbuhan antara sapi bali jantan dan sapi bali betina yang dipelihara di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Konsentrasi hormon pertumbuhan sapi bali jantan lebih tinggi dengan rerata (1735,20±181,76) pg/ml, dibandingkan dengan sapi bali betina dengan rerata (1312,76±75,27) pg/ml.

7.2 Saran

Hormon pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lanjut tentang hormon pertumbuhan sapi bali yang ditinjau dari berat badan, keadaan geografis, sumber pakan, dan umur.

(51)

51

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, D.E., Forrest, J.C., Gerrard, D.E., Mills, E.W. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Edition. San Francisco: W.H. Freeman and Company. p. 123-138.

Alba R.J., Muller, O.A., Schopohl, J., Von Werder, K. 1998. Arginine Stimulates Growth Hormone Secretion by Suppressing Endogenous Somatostatin Secretion.J.Clin.Endocrinol.Metab. 67(6): 1186-9.

Allen, D.B. 1996. Growth Suppression by Glucocorticoid Therapy. Endocrinol.Metab. Clin. North Armed25(3): 699-717.

Bauman, D.E., Vernon, R.G. 1993. Effects of Exogenous Bovine Somatotropin on Lactation. Ann. Rev. Nutr, 13: 437– 61.

Besser., Thorner. 2007. Comprehensive Clinical Endocrinology. Third edition. Elsevier Sciences Ltd.

Bell, K., Mckenzie, H.A., Shaw. D.C. 1981a. Bovine β-Lactoglobulin E, F and G of Bali (Banteng) cattle, Bos (Bibos) javanicus. Aust. J. Biol. Sci. 34: 133-147.

Bell, K., Hopper, K.E., Mckenzie, H.A.1981b. Bovine α-Lactalbumin C and αs1-, β

-and κ- Caseins of Bali (Banteng) cattle, Bos (Bibos) javanicus. Aust. J. Biol. Sci. 34: 149-159.

Bhima. 2009. Sistem Reproduksi Sapi Termasuk Perbandingan dengan Ruminansia Lainnya (Domba, Kuda dan Babi) (serial online). Available from: URL: http://bhimashraf.blogspot.com/2009/04/archive.407003_8573.html

Binder, G., Wittekindt, N., Ranke, MB. 2007. Noonan Syndrome: Genetics and Responsiveness to Growth Hormone Therapy. Horm Res; 67 (Suppl.1): 45– 49.

Burton, J.L., McBride, B.W., Block, E., Glimm, Dr. 1994. A review of bovine growth hormone. Can. J. Anim. Sci, 74:167-201.

Breier, B.H., Bass, J., Butler, I.H., Gluckman, P.D.1986. The somatotrophic axis in young steers: Influence of nutritional status on pulsatile release of growth hormone and circulating concentrations of insulin-like growth factor 1. Endocrinol.Ill: 209-215.

(52)

52

Carnicella, D., Dario, C., Bufano, G. 2003. Polimorfismo del gene GH e performances produttive. Large Anim. Rev, 3:3-7.

Cunningham, E.P. 1994. The use of bovine somatotropin in milk production review (Review). Irish Vet. J,47:207-210.

Cloud-Clone Corp. 2013. Instruction Manual Enzyme-Linked immunosorbent Assay Kit. 11thEdition: Revised in July 2013.

Dinas Peternakan Sumbawa. 2011. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa.

Dwipa, I.B.G., Sudrana, I.P., Kasip, L.M., Yasin, M., Fachri, A. 1988. Performan

Produksi Sapi Bali yang Diantarpulaukan dari Pulau Lombok. Laporan

Penelitian, Depdikbud, Fak. Peternakan Unram.

Dwipa, I.B.G., Sarwono, B.D. 1992. Musim dan Bobot Badan Sapi Bali yang Diantarpulaukan dari Pulau Lombok. Jur. Penelitian Unram, 2:1-10.

Ensminger, M. E., Oldfield, J.E., Heinemann W.W. 1990. Feed and Nutrition. Second Edition.The Ensminger Publishing Company, California.

Etherton, T.D., Bauman, D.E. 1998. Biology of Somatotropin in Growth and Lactation of Domestic Animals. Physical Rev, 78: 745-61.

Ge, W., M. E. Davis, H.C. Hines, K.M. Irvin dan R.C.M. Simmen. 2003. Association of single nucleotide polymorphisms in the growth hormone and growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I concentration and growth traits in Angus cattle. J. Anim. Sci. 81: 641-648. Guillemin, R., Gerich, J.E. 1976. Somatostatin: Physiological and Clinical

Significance. Annu. Rev.Med,27: 379-88.

Handiwirawan, E., Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa,14:3.

Hardjosubroto, W., Astuti, J.W. 1993. Buku Pintar Peternakan. Gramedia Widya Sarana Indonesia, Jakarta.

Hoj, S., Fredholm, M., Larsen, N.J., Nielsen, V.H. 1993. Growth Hormone Gene Polymorphism Associated with Selection for Milk Fat Production in Lines of Cattle. Anim Genet, 24:91-96.

(53)

53

Hull, K.L., Harvey, S. 2001. Growth Hormone: Roles in Female Reproduction. Department of Physiology, University of Alberta. Edmonton, Canada.

Irvin, R., Trenkle, A. 1971. Influences of Age, Breed and Sex on Plasma Hormones in Cattle. J ANIM SCI, 32:292-295.

Kadarsih, S. 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat di Daerah Transmigrasi Bengkulu: Performans Pertumbuhan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia, 6 (1): 50-56.

Kay, M., Hausseman, R. 1997. The Influence of Sex on Meat Production. In Meat. Editors. Cook, DJ., Lawrrie, R.A. London. Butterworth.

King, M.W. 2006. Structure and Function of Hormones: Growth Hormone. Indiana State University. Retrieved 2008. p. 01-16.

Kojima, M., Hosoda, H., Date, Y., Nakazato, M., Matsuo, H., Kangawa, K. 1999. Ghrelin is A Growth-Hormone-Releasing Acylated Peptide from Stomach. Nature, 402: 656–60.

Lawrence, T.L.J., Fowler, V.R. 2002. Growth of Farm Animals. Walling Ford: CABI International. New York. USA.

Lin, S.K., Wajnrach, M.P. 2002. Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) and GHRH Receptor. Rev. Endocr. Metab. Disord. 3(4):313-23.

Low, L.C., 1991. Growth Hormone Releasing Hormone : Clinical Study and Therapeutic Aspects. Neuroendocrinology; 53(suppl. 1): 37-40.

Meinhardt, U.J., Ho, K.K. 2006. Modulation of Growth Hormone Action by Sex Steroids. Clin. Endocrinol(Oxf), 65(4):413-422.

Morison,S.R. 1983. Ruminant Heat Stress Effect on Production and Means of Alleviation. Joournal Animal Science, 57(3):1594.

Namikawa, T.Y., Matsuda, K., Kondo, B., Pangestu., Martojo, H. 1980. Blood Groups and Blood Protein Polymorphisms of Different Types of Cattle in Indonesia. In the Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock 33-35. In The Research Group of Overseas Scientific Survey.

Norrelund, H. 2005. The Metabolic Role of Growth Hormone in Humans with Particular Reference to Fasting Growth Hormone. IGF Res, 15(2):95-122

(54)

54

Ohlsson, C., Bengtsson , B. A., Isaksson, O.G.P., Andreassen, T.T., Slootweg, M.C. 1998. Growth Hormone and Bone. Endocr. Rev,19 : 55-79.

Oka, I.G.L., Darmadja, D. 1996. History and Development of Bali Cattle. Proc. Seminar on Bali Cattle, a Special Spesies for the Dry Tropics, Held by Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP). Bali 21 September 1996. Udayana University Lodge, Bukit Jimbaran, Bali.

Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung Pandang

Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT. Gramedia, JakartA.

Payne, W.J.A., Hodges, J. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Sciences.

Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine: Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta : Kompas. p. 1-3, 8-9, 37-40, 216. Prakash, B.S., Mondal, M., Anandlaxmi, N. 2003. Development and Validation of A

Simple Sensitive Enzyme Immunoassay (EIA) for GH Determination In Buffalo Plasma. J immunoassay Immunochem, 24;409.

Prasetyo, S., Sudrana, I.P. 2001. Peningkatan Produksi Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat Melalui Pemuliaan Ternak. Makalah Seminar Sehari, Mengembalikan Propinsi NTB Menjadi Daerah Pengekspor Ternak. Fak. Peternakan Unram. Sampurna, I.P., Nindhia, T.S. 2008. Analisis Data dengan SPSS dalam Rancangan

Percobaan. Udayana University Press. Denpasar.

Sastradipradja, D. 1990. Potensi Internal Sapi Bali Sebagai Salah Satu Sumber Plasma Nutfah Untuk Menunjang Pembangunan Peternakan Sapi Potong dan Ternak Kerja Secara Nasional. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September. Denpasar: Fakultas Peternakan Universitas Udayana. p. A-47-A-54.

Sharara, F.I., Giudice, L.C. 1997. Role of Growth Hormone in Ovarian Physiology and Onset of Puberty. Journal of the Society for Gynecologic Investigation, 4: 2–7.

Shimon, I., Taylor, J.E., Dong, J.Z. 1997. Somatostatin Receptor Subtype Specificity in Human Fetal Pituitary Cultures. Differential Role of SSTR2 and SSTR5 for

(55)

55

Growth Hormone, Thyroid-Stimulating Hormone, and Prolactin Regulation. J. Clin. Invest, 99: 789-798.

Short, R.V.1980. The Hormonal Control of Growth at Puberty. In T.L.J Lawrence (ed.) Growth in Animal. Butterworth. London. p. 25 – 45.

Spicer, L.J., Langhout, D.J. 1991. Effects of Bovine Somatotropin on Ovarian Function in Cattle. An. Sci. Res, Rep.p. 134: 31-34.

Sampurna, I.P., Nindhia, T.S. 2008. Analisis Data dengan SPSS dalam Rancangan Percobaan. Udayana University Press. Denpasar.

Sutarno, A.J., Lymbery, R.C.A., Thompson., Cummins, J.M. 1996. Associations Between Growth Hormone Genotypes and Estimated Breeding Values for Pre-Weaning Growth of Beef Cattle. Proceedings of The 13th International Congress on Animal Reproduction, Sydney June 30 - July 4. p. 26-19.

Swerdloff, R.S., Odell, W.D. 1977. Modulating influences of FSH, GH and prolactin on LH stimulated testosterone secretion. In The Testis in Normal and Infertile Men. pp. 395-401. Editors. Trohen, P., Nankin, H.R. Raven Press, New York. Talib, C. 2002. Pemberian Supplemen Daun Turi Meningkatkan Produksi Susu

Tetapi Tidak Mempengaruhi Aktivitas Suckling Pada Sapi Bali. Jurnal Ilmiah Pertanian "GAKUR YOKU" Tahun 2013. Tidak dipublikasikan.

Talib, C. K., Entwistle, A., Siregar, S., Budiartiturner., D. Lindsay. 2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. In: Strategies to Improve Bali Cattle in Eastren Indonesia. K. Entwistle and D.R. LINDSAY (Eds). ACIAR Proceedings No. 110. Canberra.

Thissen, J.P., Ketelslegers, J.M., Underwood, L.E. 1994. Nutritional Regulation of the Insulin-Like Growth Factors. Endocr. Rev, 15: 80–101.

Turner, C.D., Bagnara, J.T. 1976. W.B. A Course Manual in Nutrion and Growth Australian Vice-Choncellors-Committee, Melbourne. General Endocrinology. Sixth Editon. p. 28 : 561 – 597.

Vestergaard, M., Purup, S., Henckel, P., Tonner, E., Flint, D.J., Jensen, L.R., Sejrsen, K. 1995. Effects of GH and Ovariectomy on Performance, Serum Hormones, IGH Binding Proteins, and Muscle Fibre Properties of Prepubertal Friesian Heifers. J. Anim. Sci. 73: 3574-3584.

(56)

56

Winaya, A. 2000. “Penggunaan Penanda Molekuler Mikrosatelit Untuk Deteksi Polimorfisme dan Analisis Filogenetik Genom Sapi” (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Wren, A.M., Small, C.J., Ward, H.L., Murphy, K.G., Dakin, C.L., Taheri, S., Kennedy, A.R., Roberts, G.H., Morgan, D.G., Ghatei, M.A., Bloom, S.R., 2000. The Novel Hypothalamic Peptide Ghrellin Stimulates Food Intake and Growth Hormone Secretion. Endocrinology.141(11): 4325-8.

Yang, S. 1998. “Growth Hormone and Steroid Hormones in the Regulation of Adipocyte Metabolism”(disertasi). Sweden: Gotenborg Universited.

Gambar

Gambar Halaman
Gambar 2.1. Regulasi sekresi hormon pertumbuhan (GH) (Besser dan  Thorner, 2007).
Gambar 3.1.Kerangka Konsep PenelitianPertumbuhanEksternalSapi bali (NTB) InternalTempat Pemeliharaan Cara Pemeliharaan Pakan
Gambar 5.1: Profil Hormon Pertumbuhan Sapi Bali Jantan dan Betina
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

output atau produk.Rincian Biaya yang digunakan pada usaha peternakan sapi Bali adalah sebagai berikut:.

Penelitian untuk menentukan sapi NTB yang tergolong bibit di pulau Lombok menunjukkan bahwa hanya 0,89% dari populasi atau 11,76% dari jumlah sapi jantan dewasa tergolong bibit,

Penelitian untuk menentukan sapi NTB yang tergolong bibit di pulau Lombok menunjukkan bahwa hanya 0,89% dari populasi atau 11,76% dari jumlah sapi jantan dewasa tergolong bibit,

Skripsi yang berjudul “Status Praesen Sapi Bali Betina Dewasa di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung” merupakan suatu tulisan

Hasil dari pengamatan yang dilakukan pada 25 ekor sapi bali kereman betina dan 25 sapi bali kereman jantan yang dipelihara di tanah lunak 100 % ditemukan bentuk abnormal

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa nutrisi yang dikonsumsi oleh sapi Bali jantan muda yang dipelihara di BPT- HMT Serading Sumbawa belum cukup

untuk mengkaji parameter fisiologis frekuensi respirasi sapi bali betina dewasa yang ada di sentra pembibitan sapi bali di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung..

Penelitian ini bertujuan untuk mengkajipertumbuhan sapi Bali jantan muda di lahan kering dan mendapatkan formula pakan yang efisien melalui pengaturan imbangan