BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei cross-sectional,
yang didukung oleh data primer yaitu data yang diperoleh langsung melalui
pengisian kuesioner, pill count dan data sekunder yang diperoleh dari rekam
medis pasien.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 31 Januari – 28 Februari 2017 di
Puskesmas Teladan Kota Medan.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang melakukan pengobatan
tuberkulosis paru di Puskesmas Teladan Kota Medan.
3.3.2Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dapat mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2012).
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang melakukan pengobatan
tuberkulosis paru di Puskesmas Teladan Kota Medan yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah :
a. Pasien yang mengidap penyakit tuberkulosis paru dan sedang melakukan
b. Pasien yang sedang menjalani pengobatan tuberkulosis paru lebih dari 2
minggu.
Kriteria eksklusi adalah :
a. Pasien tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Pasien yang sudah selesai menjalani pengobatan.
c. Pasientidak bersedia bekerjasama dalam penelitian.
3.4Instrumen Penelitian 3.4.1Sumber Data
Sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data primer
berupa kuesioner yang telah diisi oleh pasien dan pill count dengan cara
menghitung sisa jumlah obat pasien .
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer adalah data yang diambil langsung dari responden dengan
cara menghitung sisa jumlah obat yang dibawa pasien dan membagikan kuesioner
kepada pasien yang berobat di Puskesmas TeladanKota Medan. Kuesioner terdiri
dari 2 bagian yaitu:
a. Data demografi pasien berupa biodata pasien yang terdiri dari 4 poin, yaitu
jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan.
b. Pengetahuan pasien terdiri dari 15 poin pertanyaan yang meliputi
pengetahuan umum mengenai tuberkulosis paru, yakni pengertian, penyebab,
Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung, yaitu data
yang diambil dari data yang sudah ada di tempat penelitian dengan menggunakan
rekam medis pasien.
3.5Kuesioner Pengetahuan
Kuesioner ini menggunakan instrumen penelitian oleh Arifandi (2016).
Penilaian tingkat pengetahuan dilakukan dengan cara sebelum menentukan
kategori baik dan tidak baik terlebih dahulu menentukan kriteria tolak ukur yang
dijadikan penentuan skor pada setiap jawaban. Setiap jawaban yang benar diberi
nilai 2 dan untuk jawaban yang salah diberi nilai 0. Kuesioner pengetahuan dapat
dilihat pada lampiran 10.
Peneliti menggunakan nilai mean sebagai cut off point dalam menentukan
hasil ukur yang artinya jika nilai pasien lebih rendah dari nilai mean maka
dikategorikan memiliki tingkat pengetahuan tidak baik, dan jika nilai pasien lebih
dari nilai mean maka dikategorikan memiliki tingkat pengetahuan baik.
3.6 Pill Count
Metode pill count ini dilakukan dengan cara menghitung sisa obat yang
didapatkan pasien selama terapi dalam jangka waktu tertentu. Menghitung jumlah
sisa tablet secara langsung dengan menggunakan rumus :
Kepatuhan =Jumlah obat−Sisa obat
3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif.
Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif akan
disajikan dalam bentuk uraian. Data dianalisa menggunakan program SPSS.
Awalnya data dilakukan uji normalitas untuk mengetahui uji yang dilakukan. Uji
statistik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah chi-square (p<0.05) untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara karakteristik pasien terhadap
tingkat pengetahuan dan tingkat kepatuhan serta uji spearman (p<0.05) untuk
mengetahui adakah hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan
minum obat, dengan kriteria tingkat hubungan (koefisien korelasi) antar variabel
berkisar antara 0,00 sampai ±1,00, adapun kriteria penafsirannya adalah:
a. 0,00 sampai 0,20, artinya hampir tidak ada korelasi.
b. 0,21 sampai 0,40, artinya korelasi rendah.
c. 0,41 sampai 0,60, artinya korelasi sedang.
d. 0,61 sampai 0,81, artinya korelasi tinggi.
e. 0,81 sampai 1,00, artinya korelasi sempurna (Raharjo, 2015).
3.8 Prosedur Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan prosedurseperti berikut :
a. Menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden.
b. Meminta surat permohonan izin Dekan Fakultas Farmasi USU kepada Dinas
Kesehatan Medan untuk melakukan penelitian dengan responden di Puskesmas
c. Meminta surat izin Dinas Kesehatan Medan untuk melakukan penelitian
dengan responden diPuskesmas Teladan KotaMedan.
d. Menghubungi Kepala Puskesmas tersebut untuk mendapatkan izin melakukan
penelitian.
e. Membagikan kuesioner penelitian kepada responden dan menghitung sisa
jumlah obat yang dibawa pasien.
f. Mengumpulkan data penelitian.
g. Mengolah data penelitian.
3.9 Definisi Operasional
Definisi operasional yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 3.1
Tabel 3.1 Definisi Operasional dari Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Variabel Definisi
operasional
Jenis kelamin dari subjek
Observasi Lembar kuesioner
a. Laki-laki b. Perempuan Umur Total lama
hidup subjek
Observasi Lembar kuesioner
pendidikan dari subjek
Observasi Lembar kuesioner
a. SD b. SLTP c. SLTA d. PT/Akademi Jenis
pekerjaan
Aktifitas mata pencaharian subjek
Observasi Lembar kuesioner
Tabel 3.1 (Lanjutan) Variabel Definisi
operasional
Cara ukur
Alat ukur Parameter Tingkat
pengetahuan
Penilaian pengetahuan pasien tentang tuberkulosis
Observasi Lembar kuesioner
a. baik b. tidak baik
Tingkat kepatuhan
Penilaian perilaku dalam mengkonsumsi obat
Observasi Hitung jumlah sisa obat pasien
a. Patuh 100% b. Tidak patuh
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara karakteristik dari
pasien (jenis kelamin, usia, pendidikan, dan pekerjaan) dengan tingkat
pengetahuan dan kepatuhan, serta melihat hubungan antara tingkat pengetahuan
terhadap kepatuhan minum obat pada pasien.
4.1Data Demografi
Data demografi pasien terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan, dan
pengetahuan.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pasien Tuberkulosis Paru Berdasarkan Karakteristik Pasien
Demografi pasien Jumlah pasien Persentase (%) Jenis kelamin
c. Laki-laki d. Perempuan
Pendidikan e. Tidak Sekolah f. SD
g. SLTP h. SLTA i. PT/Akademi
Tabel 4.1 (Lanjutan)
Demografi Pasien Jumlah Pasien Persentase (%) Penggunaan obat :
a. RHZE b. RH
5 33
13,16 86,84
Total 38 100
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan frekuensi pasien tuberkulosis paru
berdasarkan jenis kelamin adalah lebih banyak diderita oleh laki-laki yaitu
sebanyak 26 orang atau (68,4%) dibandingkan dengan jumlah penderita
tuberkulosis paru pada perempuan sebanyak 12 atau (31,6%). Hal ini dikarenakan
sebagian besar laki-laki merokok pada setiap harinya, sehingga laki-laki banyak
menderita penyakit tuberkulosis paru.Merokok dapat menurunkan daya tahan dari
paru-paru sehingga relatif akan mudah terkena tuberkulosis paru (Depkes
RI,2011).
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh berbagai macam
umur dari respondenmaka dikelompokkan menjadi enam kelompok, dan
kelompok umur yang paling tinggi menderita tuberkulosis paru adalah kelompok
umur 16 - 25 tahun sebanyak 15 orang(39,5%).Hal ini dapat disebabkan karena
pada kelompok umur tersebut lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah
untuk melaksanakan aktivitas sehinggadengan kondisi lingkungan yang kurang
baik maka dapat menjadi faktor pendukung untuk seseorang terpapar penyakit
tuberkulosis (DepkesRI, 2011).
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
rata-rata pasien dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi di Puskesmas
sekolah sebanyak 1 orang. Berdasarkan pekerjaan maka diperoleh kesimpulan
bahwa bila dilihat dari karakteristik responden maka, penderita tuberkulosis paru
di Puskesmas Teladan Medan paling banyak diderita olehwiraswasta yaitu
sebanyak 14 orang (36,8%). Berdasarkan obat yang digunakan, maka obat yang
paling banyak digunakan yaitu RH (Rifampisin, Isoniazid) sebanyak 33 orang
(86,84%) yang merupakan tahap lanjutan dari pengobatan tuberkulosis paru dan
yang melakukan pengobatan tahap awal yaitu RHZE (Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, dan Etambutol) sebanyak 5 orang (13,16%) di Puskesmas Teladan
Kota Medan.
4.2 Pengetahuan PasienTentang Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat gambaran distribusi skor
penilaian mengenai pengetahuan pasien tentang tuberkulosis paru, pertanyaan
terdiri dari 15 pertanyaan.
Tabel 4.2 Distribusi Data Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis Paru Skor Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
10 1 2,6
14 1 2,6
16 4 10,5
18 3 7,9
20 7 18,4
22 13 34,2
24 7 18,4
26 2 5,3
Total 38 100
Mean (rata-rata) Minimum Maksimum Standar Deviasi
20,68 8 26 3,580
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas, dapat dilihat bahwa nilai mean (rata-rata)
sebesar 20,68. Peneliti menggunakan nilai mean sebagai cut off point dalam
menentukan hasil ukur (Arifandi, 2016).
Tabel 4.3 Kategori Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis Paru
Pengetahuan Tentang TB Paru Frekuensi Persentase (%)
Baik 22 57,89
Tidak Baik 16 42,10
Total 38 100
Berdasarkan Tabel 4.3 diatas bahwa skor penilaian tingkat pengetahuan
responden tentang tuberkulosis yang mendapat skor lebih tinggi dari nilai mean
(20,68) sebanyak 22 orang (57,89%) yaitu berpengetahuan baik dan responden
yang mendapat skor kurang dari nilai mean (20,68) sebanyak 16 orang (42,10%)
yaitu berpengetahuan tidak baik.
Hasil dari jawaban kuesioner dan wawancara diketahui bahwa
pengetahuan pasien tentang tuberkulosis paru adalah 57,82% baik, hal ini
dikarenakan petugas Puskesmas selalu memberikan pengarahan seputar penyakit
tuberkulosis dan pengobatannya kepada penderita tuberkulosis paru.
Menurut penelitian yang dilakukan Arifandi (2016), diperoleh hasil bahwa
tingkat pengetahuan 70,22% tergolong baik dan 29,78% tergolong tidak baik.
Penelitian yang dilakukan Junita (2012), diperoleh hasil pengetahuan pasien yang
tergolong baik 77,5% dan 22,5% kurang baik. Penelitian yang dilakukan oleh
Tuturop dan Yufuai (2016), diperoleh hasil pengetahuan pasien yang tergolong
baik sebanyak 52% dan 48% tergolong tidak baik dari hasil penelitian tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa pasien dengan tingkat pengetahuan yang
tergolong baik lebih dominan dari pasien dengan tingkat pengetahuan tidak baik.
Sumber pengetahuan penderita selain didapat dari petugas Puskesmas,
juga didapat melalui baik sumber informasi yang berasal dari pemerintah maupun
informasi yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Informasi
tersebut dapat berupa penyuluhan, maupun brosur-brosur yang memuat tentang
informasi yang terkait dengan penyakit tuberkulosis agar dapat melakukan
pengobatan secara maksimal, informasi juga bisa didapatkan melalui media
elektronik seperti televisi, radio dan surat kabar, bahkan internet.
4.3Perilaku Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis Paru
Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran distribusi skor penilaian
prilaku kepatuhan minum obat pasien TB paru di Puskesmas Teladan Medan.
Tabel 4.4 Distribusi Tingkat Kepatuhan Pasien dalam Minum Obat Nilai Kepatuhan Berdasarkan
metodePill count
Frekuensi Persentase(%)
Patuh 34 89,5
Tidak Patuh 4 10,5
Total 38 100
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dari data perilaku kepatuhan minum
obat di Puskesmas Teladan Medandengan menggunakan pill count menunjukkan
bahwa hampir semua responden mempunyai tingkat kepatuhan minum obat patuh
yaitu sebanyak 34 pasien dari 38 responden atau setara dengan (89,5%),namun
masih ada yang belum patuh minum obat yaitu sebanyak 4 pasien dari
38responden atau setara dengan (10,5%).Menurut Pameswari, dkk (2016), ada
beberapa hal yang menyebabkan pasien tuberkulosis paru tidak mengkonsumsi
obat yaitu obat TB paru harus dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang,
penderita akan merasakan sembuh karena berkurang atau hilangnya gejala
untuk meneruskan pengobatan kembali, serta efek samping yang ditimbulkan oleh
obat tuberkulosis paru tersebut.Menurut Ali, dkk (2015), berbagai faktor yang
mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu tingkat kemiskinan, persediaan obat
terganggu, jarak tempat tinggal yang jauh dari layanan kesehatan, salah persepsi
tentang pengobatan, toksisitas obat, migrasi atau perubahan tempat tinggal,
lingkungan sosial, alkoholisme, dan faktor psikologis.
Menurut penelitian yang dilakukan Arifandi (2016), diperoleh hasil bahwa
tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat adalah 80,9% tergolong tinggi,
14,9% tergolong sedang dan 4,3% tergolong rendah. Penelitian yang
dilakukanJunita (2012), didapatkan hasil bahwa tingkat kepatuhan pasien dalam
minum obat 67,6% tergolong patuh dan 32,4% tergolong tidak patuh. Penelitian
yang dilakukan oleh Tuturop dan Yufuai (2016), didapatkan hasil bahwa tingkat
kepatuhan pasien dalam minum obat sebanyak 76% tergolong patuh dan sebanyak
24% tergolong tidak patuh. Penelitian yang dilakukan oleh Pameswari, dkk
(2016)diperoleh hasil bahwa tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat adalah
55,6% tergolong patuh, 33,33% tergolong cukup patuh dan 11,11% tergolong
tidak patuh dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pasien
dengan tingkat kepatuhandalam minum obat yang tergolong tinggi lebih dominan
dari pasien tidak patuh dengan tingkat kepatuhan dalam minum obat yang
tergolong rendah. Hal ini sesuai juga dengan hasil yang diperoleh peneliti dalam
penelitian.
4.4 Hubungan Karakteristik Pasien Dengan Tingkat Pengetahuan
karakteristik pasien tuberkulosis paru dengan tingkat pengetahuan mengenai
tuberkulosis. Pada analisis ini, dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji
chi-square.
Tabel 4.5 Hasil Analisis Hubungan Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Tingkat Pengetahuan (n=38)
Variabel Tingkat pengetahuan p Value Baik Tidak Baik
Jenis kelamin a. Laki-laki
b. Perempuan
15 a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SLTP
d. SLTA
e. PT/Akademi
Pekerjaan a. Pelajar
b. Wiraswasta
c. Ibu rumah tangga
Dll (dan lain-lain
6 (60%)
8 (57,1%)
2 (50%)
6 (60%)
4 (40%)
6 (42,9%)
2 (50%)
4 (40%)
0,986
BerdasarkanTabel 4.5, untuk kategori jenis kelamin, diperoleh nilai
signifikansi adalah 0,970; untuk kategori umur, diperoleh nilai signifikansi 0,624;
untuk kategori pendidikan terakhir dan pekerjaan diperoleh nilai signifikansi
0,503 dan 0,986. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara karakteristik pasien dengan tingkat pengetahuan. Namun dilihat
dari nilai persentase terdapat perbedaan pada setiap kategori dengan perbedaan
nilai persentase yang cukup jauh, yaitu pada kategori umur semakin besar umur
maka semakin tinggi tingkat pengetahuannya, tetapi terjadi penurunan pada umur
56 - 65. Hal tersebut dapat dikarenakan faktor penuaan, begitu juga pada kategori
pendidikan, semakin tinggi pendidikan pasien maka semakin tinggi pula tingkat
pengetahuannya, pada kategori pekerjaan, pelajar dan lain-lain mempunyai nilai
tingkat pengetahuan baik dengan persentase 60%. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa karakteristik pasien (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)tidak
mempengaruhi tingkat pengetahuan.
4.5 Hubungan Karakteristik Pasien Tuberkulosis Dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat
Hasil analisis ini menunjukkan ada tidaknya hubungan antara setiap
karakteristik pasien dengan tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat anti
chi-square. Pada uji chi-square dilihat nilai signifikansinya, jika nilai
signifikansinya < 0,5 maka nilai tersebut adanya hubungan namun jika nilai
signifikansinya diatas 0,5 maka terdapat hubungan antara karakteristik pasien
dengan tingkat kepaatuhan dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis.
Tabel 4.6 Hasil Analisis Hubungan Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru dengan Tingkat Kepatuhan (n=38)
Variabel Tingkat Kepatuhan p Value
Patuh Tidak Patuh Jenis kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
23
a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SLTP
d. SLTA
e. PT/Akademi
b. Wiraswasta
c. Ibu rumah tangga
d. Dll (dan lain-lain)
13 (92,9%)
4 (100%)
8 (80%)
1 (7,1%)
0 (0%)
2 (20%)
Berdasarkan Tabel 4.6, untuk kategori jenis kelamin, diperoleh nilai
signifikansi adalah 0,625; untuk kategori umur, diperoleh nilai signifikansi adalah
0,679; untuk kategori pendidikan terakhir diperoleh nilai signifikansi adalah
0,945; untuk pekerjaan diperoleh nilai signifikansi 0,660. Nilai signifikansi
(p>0.05) tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara karakteristik pasien dengan tingkat kepatuhan. Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya Diana, dkk (2014), diperoleh untuk kategori jenis kelamin,
diperoleh nilai signifikansi adalah 0,214; untuk kategori umur, diperoleh nilai
signifikansi adalah 0,948; untuk kategori pendidikan terakhir diperoleh nilai
signifikansi adalah 0,242; untuk pekerjaan diperoleh nilai signifikansi 1,000.
4.6 Hubungan Pengetahuan Pasien Tentang Tuberkulosis Paru dengan Perilaku Kepatuhan Minum Obat
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan dengan uji Spearman didapat hasil
koefisien korelasi 0,386, dengan nilai koefisien korelasi antara 0,21 sampai 0,40,
artinya terdapat hubungan (korelasi rendah) antara tingkat pengetahuan dengan
tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat.
Menurut penelitian yang dilakukan Arifandi (2016), diperoleh hasil bahwa
terdapat terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan
minum obat pasien tuberkulosis paru dan pada penelitian yang dilakukan Junita
pasien dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat anti tuberkulosis paru . Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang peneliti lakukan bahwa terdapat hubungan
antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum obat pasien
tuberkulosis paru dengan kata lain semakin tinggi tingkat pengetahuan pasien
mengenai tuberkulosis maka semakin patuh pasien dalam mengkonsumsi obat anti
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan :
a. Karakteristik pasien (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)
tidakmempengaruhi tingkat pengetahuan pasien.
b. Karakteristik pasien (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)
tidakmempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obat.
c. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum
obat namun, nilai koefisien kolerasinya rendah yaitu 0,386 maka semakin
tinggi tingkat pengetahuan pasien tentang TB Paru maka semakin baik pula
perilaku kepatuhan pasien dalam meminum obat.
5.2 Saran
Diharapkan tenaga kerja kesehatan dapat bekerjasama dengan pasien dan
keluarga pasien dalam mengobati penyakit tuberculosis dengan memberikan
konseling dan pengetahuan mengenai tuberkulosis kepada pasien dan keluarga