• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi di PT. Pos Indonesia (Studi Putusan No: 67 Pid.Sus-TPK 2016 PN Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi di PT. Pos Indonesia (Studi Putusan No: 67 Pid.Sus-TPK 2016 PN Mdn)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

khusus disamping mempunyai skpesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum

pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau

dari materi yang diatur. Karena itu, tindak pidana korupsi secara langsung

maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya

kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.

Tindak pidana korupsi semakin variatif sedangkan di lain pihak perkembangan

hukum relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Berdasarkan hal

tersebut diatas, secara kronologis dapatlah disebutkan 8 (delapan) fase

perkembangan peraturan yang mengatur mengenai Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia, yaitu:39

1. Fase Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (HUKP) untuk

Menanggulangi korupsi;

2. Fase Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op the Staat van

Orlog en van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) Tentang keadaan Darurat Perang;

3. Fase Keputusan Presiden No. 225 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 47

Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 79 Tahun 1957 Tentang Keadaan

Bahaya;

39

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan

(2)

4. Fase Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun

1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi;

5. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 (LNRI) 1971-19;TLNRI 2985)

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TLNRI 387)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

7. Fase Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Berikut akan dibahas kedelapan fase tersebut tersebut:

1. Fase Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk

Menanggulangi Korupsi

Apabila melihat sejenak sejarah perkembangan bangsa kita, sebenarnya

hampir sejalan dengan perkembangan hukumnya karena sejak diproklamasikan

kemerdekaan, maka pemerintah Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin

untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dengan

diundangnkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara nasional

yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Dalam

undang-undang tersebut masalah korupsi telah pula diatur secara tegas, yaitu dalam Buku

II XXVIII KUHP walaupun dalam rumusan tersebut belum di kenal sebagai

rumusan tindak pidana korupsi. Sedangkan istilah suap atau menyogok sudah

dikenal dalam Bab VIII KHUP tentang Kejahatan Terhadap Kekuasaan Umum

Pasal 209 dan 210 KUHP.40

40

Edi Yunara, Op.Cit., hal 13.

Rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam KUHP,

(3)

a. Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418,

429, dan Pasal 420 KUHP;

b. Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari Pasal 415, 416, dan

Pasal 417 KUHP;

c. Kelompok tindak pidana kerakusan; yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425

KUHP;

d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan

rekanan; yang terdiri dari Pasal 387,388, dan Pasal 435 KUHP.

Dengan demikian, secara keseluruhan di dalam KUHP terdapat 13 pasal

yang mengatur dan membuat rumusan tindak pidana, yang kemudian

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Menurut perhitungan Andi

Hanzah, pasal-pasal KUHP yang memuat rumusan delik korupsi persentasenya

mencapai 74% dari semua rumusan delik korupsi yang terdapat di dalam

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perhitungan yang dilakukan oleh Andi Hamzah ini bertitik tolak dari pasal-pasal

KUHP yang diambil alih pengaturannya oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971,

baik yang ditarik secara mutlak sebagai tindak pidana korupsi (13 pasal), maupun

yang ditarik kaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka

penyelesaian perkara tindak pidana korupsi (6 pasal).41

2. Fase Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat

van Oorlog en van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan Darurat Perang

41

(4)

Perkembangan fase kedua ini dikenal munculnya peraturan-peraturan

mengenai korupsi, yaitu:

a. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.Dalam

peraturan mulai diperkenalkan batasan korupsi sebagai “tiap perbuatan yang

dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk

kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung

ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian

negara” dan tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang

menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu

badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang

dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang

diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa

keuntungan material baginya”. Namun karena melihat faktanya (ipso facto)

dan menurut hukum (ipso jure) terdapat kekurangefektifan dalam peraturan

tersebut.

b. Prt/PM-08/1957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta

Benda.Penilikan harta benda dilakukan oleh 3 orang yang terdiri dari

anggota-anggota Staf Anggota Penguasa Militer atau orang lain yang ditunjuk

oleh Penguasa Militer yang merupakan Pembantu Penguasa Militer dalam

Penilikan harta benda yang selanjutnya disebut Penilik Pembantu Harta

Benda, Penilik ini tidak boleh termasuk orang yang pernah melakukan

(5)

tetapi, peraturan ini tidak begitu lama kemudian diganti dengan Peraturan

Penguasa Militer Prt/ PM-11/1975.

c. Prt/PM-11/1957 tanggal 1 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan

Barang-Barang.Dalam konsiderans butir a ditentukan perlunya diadakan

aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita dan merampas

harta benda yang asalnya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum42 dan dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ketentuan tersebut dibuat guna memberi

dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan

merampas barang-barang yang dengan sengaja atau karena kelalaian tidak

diterangkan oleh pemiliknya / pengurusnya, harta benda yang terang siapa

pemiliknya dan harta benda orang yang kekayaannya oleh Penilik atau

Penilik Pembantu Harta Benda dianggap diperoleh secara mendadak dan

mencurigakan.43

Soedjono Dirdjosisworo menyimpulkan bahwa:

“ Di samping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat, maka pada ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (political will) dengan tekad yang sungguh-sungguh berusaha memberantas Korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan-peraturan Penguasa Militer tersebut merupakan modal berharga untuk dikembangkan dan disempurnakan dalam rangka membuat ndang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia”.44

42

Dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Penguasa Militer Prt/PM-11/1957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksudkan dengan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang a. Mengganngu hak orang lain, b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, c. Bertentangan dengan kesusilaan, dan d. Bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaualan masyarakat terhadap tubuh atau harta benda orang lain.

43

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal 6-9.

44

(6)

3. Fase Keputusan Presiden No. 225 Tahun 1957 jo Undang-Undang

No.74 Tahun 1957 Undang-Undang No. 79 Tahun 1957 tentang

Keadaan bahaya

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang

Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga Pengaturan Penguasa

Militer diganti dengan Pengaturan Penguasa Perang Angkatan darat Nomor

Prt./Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan

Perbuatan Korupsi Piana dan Penilikan Harta Benda. Ini dari peraturan ini

merupakan perpaduan dari peraturan-peraturan terdahulu.45

Selanjutnya, dalam ketentuan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf

Angkatan darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo Peraturan

Penguasan Perang Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1/1/7 tanggal 17 April

1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana Yang menjadi fokus dari peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan

korupsi, yaitu yang menyangkut dengan keuangan negara atau daerah atau badan

hukum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggaran yang lain dari

masyarakat. Dari konsiderans ini dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja

tidak cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubung dengan

perbuatan yang merugikan keuangan negara. Kemudian peraturan ini

diberlakukan pula untuk wilayah hukum Angkatan Laut dengan Surat Keputusan

Kepala Staf Angkatan Laut nomor Z/1/1/7, tanggal 17 April 1958 (diumumkan

dalam BN Nomor 42/58).

45

(7)

dan Penilikan Harta Benda yang selanjutnya disebut Badan Koordinasi yang

dipimpim oleh Pengawas Kepala Kejaksaan-kejaksaan Pengadilan Negeri

Propinsi setempat dan yang mempunyai hak mengadakan penilikan harta benda

setiap orang dan setiap badan, jika ada petunjuk kuat untuk itu. Selain itu, setiap

orang wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta benda dan harta benda

isteri/suami dan anaknya, atau harta benda suatu badan yang diurusnya, apabila

diminta Penilik Harta Benda dapat diberikan secara lisan atau tertulis kepada

Badan Koordinasi.46

4. Fase Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun

1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak

Pidana Korupsi

Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang Pemberantasan Korupsi bersifat

darurat, bersifat temporer, yang berlandaskan Undang-Undang Keadaan Bahaya.

Dalam keadaan normal ia perlu dicabut, dan jika masih dibutuhkan adanya

peraturan tindak pidana korupsi sebagai hukum pidna khusus, perlu lebih baik dan

berbentuk undang-undang. Pada Pasal 1 ayat (1) sub a dab b hanya kata

“perbuatan” yang diganti “tindakan” karena undang-undang ini memakai istilah

“tindak pidana korupsi” bukan “perbuatan korupsi pidana”.47

Penjelasan Pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 24 Prp tahun 1960

memperjelas perlunya pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran

sebagai hal yang diutamakan. Penegasan demikian tercermin dalam kesimpulan

yang terdapat dalam penjelasan pasal tersebut, yang menyatakan: “... yang

46

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal 11.

47

(8)

dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana apabila terjalin unsur-unsur kejahatan

atau pelanggaran, sehingga berdasarkan itu dapat dipidana dengan hukuman

badan dan/atau denda yang cukup berat disamping, perampasan harta hasil

korupsinya. Akibat adanya persyaratan yang demikian, banyak perbuatan yang

merugikan keuangan atau perekonomian negara, yang sesungguhnya bersifat

koruptif, sangat sukar dipidana berdasarkan undang-undang ini.48

Ditariknya beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ke

dalam Tindak Pidana Korupsi dan diberi ancaman hukuman yang berat yaitu 12

tahun penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta

rupiah) dan juga ketentuan Undang-Undang No. 24 Prp 1960 mengatur hal baru di

bidang hukum acara yaitu dalam Pasasl 11 yang mewajibkan kepada terdakwa

supaya memberi jawaban dan keterangan dan diminta oleh hakim dan hakim

dapat mewajibkan pula kepada terdakwa untuk mengangkat sumpah akan

memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang

sebenarnya. Setelah 11 (sebelas) tahun undang-undang ini diberlakukan ada

menimbulkan berbagai masalah dalam praktik peradilan, seperti timbulnya

konotasi undang-undang ini lebih menguntungkan terdakwa karena ancaman

pidana yang relatif lebih ringan kesukaran pembuktian oleh Jaksa karena adanya

syarat kejahatan atau pelanggaran terlebih dahulu. Dengan demikian, berdasarkan

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 kemudian Undang-Undang No. 24 Prp 1960

dicabut.49

48

Elwi Danil, Op.Cit., hal 35.

49

(9)

5. Fase Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TLNRI

2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 diundangkan pada tanggal 29 Maret

1971, undang-undang ini memformulasikan tindak pidana korupsi hanya dalam

satu pasal, yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 subayat.

Pada Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terlihat

adanya rumusan secara tegas mengenai unsur melawan hukum, yang secara

tekstual berlainan dengan unsur yang berada di dalam undang-undang korupsi

sebelumnya. Dengan adanya unsur melawan hukum itu, terkesan bahwa

pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan

pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang sebelumnya.

Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Udang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 itu memuat pengertian yang luas, yang mengandung pengertian

melawan hukum formal dan materiil.

Namun demikian di dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan,

sehingga pelru diganti. Di samping tidak adanya ketegasan mengenai sifat

rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang

dapat diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi

(corporate crimilan liabillity) tercatat sebagai kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Kelemahan lain undang-undang ini dalah

mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua

(10)

keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktik terdapat kasus korupsi yang

hanya dijatuhi pidana di bawah satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu

sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.50

6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TLNRI 387)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dengan demikian, kurang efektifnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

dalam proses penegakan hukum pidana, maka ia sudah tidak layak lagi untuk

dipertahankan, dengan alasan ini dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.

Pada hakikatnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupaka Hukum

Positif Indonesia (Ius Constitutum/Ius Operantum) bagi Pemberantasan Tindak

Pidna Korupsi. Undang-Undang ini terdiri dari 7 bab, 45 pasal, disahkan,

diundangkan dan mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999. Apabila diperinci

lebih detai Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 pada hakikatnya ada beberapa aspek krusial yang

membedakan sebagai berikut:51

a. Berdaarkan ketentuan ketentuan Pasal 1 angka 2, pengertian Pegawai Negeri dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diperluas jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Pada dasarnya, pengertian Pegawai Negeri diartikan meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah dan orang yang

50

Elwi Danil, Op.Cit., hal 37-39 51

(11)

menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

b. Perluasan pengertian perbuatan secara melawan hukum diartikan mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 maka kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil,yaitu dengan adanya tindak pidanakorupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

c. Adanya perluasan terhadap pengertian keuangan negara dan perekonomian negara. Adapun yang dimaksudkan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara baik ditingkat pusat maupun daerahdan berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usahasa Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Senagngkan, yang dimaksudkan dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakay secara mandiri yang berdasarkan kepada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

d. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi dan adanya ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya yaitu dengan adanya ancaman pidana minimum khusus dan maksimum (Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 21, 22, dan 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) serta dapat dijatuhi pidna tambahan sebagaimana diatur dalam KUHP dan sesuai ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, pidana denda yang lebih tinggi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidna. Selain aspek tersebut, undang-undang ini juga memuat pidana penjara bagi pelau tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana denda tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.

(12)

kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.

f. Adanya asas beban pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana serta adanya peran Kejaksaan sebagai jaksa pengacara negara untuk melakukan gugatan perkata perdata kepada yang bersangkutan atau ahli warisnya atau kepada instansi yang dirugikan. Dalam hal tersangka meninggal dunia saat melakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara atau dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

h. Dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, masyarakat dapat perperan serta membantu mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi, hak memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara bersangkutan, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara yang bersangkutan, hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal diminta hadir pada proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(13)

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Konsepsi pembaruan hukum pidana sebagai suatu kebijakan untuk

menanggulangi masalah korupsi harus dilakukan sebagai suatu pembaruan yang

bersifat komprehensif terhadap “legal system” yang meliputi baik pembaruan

substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal Structure), maupun

budaya hukum (legal culture). Secara substantif, pembaruan itu harus meliputi

tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah

pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana.52

Kebijakan itu diikuti dengan pernyataan tidak lagi berlakunya pasasl-pasal

KUHP tersebut. Pernyataan itu ditegaskan dalam ketentuan peralihan pada Pasal

43 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang korupsi hanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini diundangkan pada tanggal 21

November 2001, bagian cukup penting dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengenai masalah beban

pembuktian sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 12 A.

Aspek lain dalam undang-undang ini yang cukup menarik untuk dicatat

dalam konteks pembaruan hukum adalah kebijakan untuk mengambil alih

rumusan delik dalam berbagai pasal KUHP, hal tersebut ditegaskan dalam

rumusan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

52

(14)

menegaskan bahwa perbuatan yang diatur dan dilarang dalam pasal-pasal KUHP

itu adalah merupakan tindak pidana korupsi. Sedangkan unsur-unsur deliknya

masih terdapat di dalam pasal-pasal KUHP tersebut.53

B. Perbuatan yang Termaksud Tindak Pidana Korupsi Menurut

Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahnun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Dalam perkembangannya, tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara

meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat secara

luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan tindak

pidana yang pemberantasnnya harus dilakukan secara luar biasa.54

Mengenai aspek pengertian dan tipe tindak pidna korupsi ditujukan kepada

eksistensi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 sebagai hukum positif dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia. Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat

dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan 20, Bab II

tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal

21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.55

Menurut perspektif hukum positif Indonesia, defenisi tindak pidana korupsi

secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20

53

Elwi danil, Op.Cit., hal 54-57.

54

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal 147

55

(15)

tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan

pasal-pasal tersebut tindak pidana korupsi dirumuskan kembali ke dalam tiga puluh

jenis tindak pidana korupsi. Dari ketiga puluh jenis tindak pidana korupsi tersebut

dapat dikelompokkan kembali menjadi 7 (tujuh) jenis tindak pidana

korupsi.56

1. Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara atau

Perekonomian Negara

Ketujuh jenis tindak pidana korupsi tersebut adalah :

Diatur dalam:

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat (1) :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan laing lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 2 ayat (2) :

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan rumusan Pasal 2 di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa suatu

perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan

keuangan atau perekonomian negara dan dijerat serta diancam dengan pidana

menggunakan ketentuan ini apabila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:

56

(16)

a. Dilakukan oleh setiap orang

Setiap orang menurut Buku Pedoman Pelaksanaan tugas dan Administrasi

Buku II, Edisi Revisi Tahun 2005, Hal 209 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1398 K/Pid/1994 tanggal 30 Juni 1995 kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa/dader

atau setiap orang sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban

dalam segala tindakannya sehingga secara historis kronologis manusia sebagai

subjek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab

kecuali ada secara tegas undang-undang menentukan lain. 57

b. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat

dimaknai sebagai suatu proses memperkaya seseorang atau orang lain atau suatu

korporasi tanpa dapat dibuktikan bertambah kayanya pihak-pihak tersebut

diperoleh dari hasil yang legal. Di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,

unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain merupakan salah satu unsur yang

harus dinuktikan hasil kekayaannya didapat dari perbuatan melawan hukum yang

dilakukannya.memperkaya diri sendiri maupun orang lain di sini dapat dijabarkan

menjadi tiga katagori, yaitu:

1. Memperkaya diri sendiri

Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku membuat

bertambahnya harta kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.

2. Memperkaya orang lain

57

(17)

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku membuat

bertambahnya harta kekayaan atau harta benda milik orang lain. Dalam hal

ini pelaku tidak memperoleh keuntungan secara langsung, biasanya yang

merasakan seperti keluarga, kerabat, sanak saudara, dan pihak-pihak

lainnya.

3. Memperkaya korporasi

Pihak yang memperoleh keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh si pelaku adalah sebuah korporasi. Korporasi di sini dapat

diartikan sebagai kumpulan orang atau kumpulan harta kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum

(Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).58

Menurut penjelasan Undang-Undang PTPK 1971, yang dimaksud dengan

unsur memperkaya dalam Pasal 1 angka 1 sub a dialah: memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu badan dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal

18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan

keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang

tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat

digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain hawa telah melakukan tindak

pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang PTPK 1999).59

c. Melawan hukum

58

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal 149-

59

(18)

Menurut Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)

bersama Center for International Legal Cooperation(CILC) dalam bukunya yang

berjudul ‘Penjelasan Hukum: Unsur Melawan Hukum; Penafsiran Unsur

Melawan Hukum dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’ yang ditulis oleh Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas

Andalas Shinta Agustina bersama timnya, unsur melawan hukum sebagai berikut:

Unsur melawan hukum dalam arti materil dengan fungsi positif. Jika dilihat

rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor beserta penjelasnnya, dapat dimaknai bahwa

‘melawan hukum’ dalam arti formil dan arti materiil dengan fungsi positif.

Artinya, pasal itu membuka ruang bagi dapat dipidananya perbuatan yang

sebelumnya tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Apabila suatu

perbuatan telah memenuhi larangan undang-undang, maka letak melawan hukum

dan sifat melanggar telah ada dan pengecualiannya hanya ada dalam

undang-undang saja. Sementara pandanga materiil, belum tentu semua perbuatan yang

memenuhi larangan undang-undang bersifat melawan hukum.

Unsur hukum sebagai suatu sarana. Meski melawan hukum merupakan

unsur dalam delik Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, unsur ini bukan merupakan

bestandeel delict (delik inti) melainkan hanya menjadi sarana bagi perbuatan yang dilarang, yakni memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi.60 d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Menurut pembentuk undang-undang dalam penjelasannya menentukan

keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang

60

4 Perspektif Unsur Melawan hukum dalam UU Tipikor

(19)

dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan

negara dan sega hak dan kewajiban yang timbul karena:

(a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

negara, baik ditingkat pusat maupun daerah, dan

(b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan

perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian

dengan negara.

Dari konteks di atas, perbuatan merugikan tersebut secara sederhana dapat

disebutkan sebagai perbuatan yang mengakibatkan menjadi rugi atau menjadi

berkurang sehingga unsur ‘merugikan keuangan negara’ diarkina sebagai menjadi

ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara. Sedangkan

perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai

usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara

mandiri yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat

maupun di daerah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada

seluruh kehidupan masyarakat.

Dalam pengalaman praktik pengadilan relatif sulit untuk membuktikan

unsur merugikan perekonomian negara. Sebagai referensi, praktik peradilan pada

Mahkamah Agung RI dalam Putusan No. 1164 K/Pid/1985 tanggal 31 Oktober

1986 dalam perkara Tony Gozal alias Gio Tiong Kien memberikan konklusi

(20)

negara sehingga negara tidak dapat mempergunakan untuk kepentingan umum,

perbuatan tersebut dikatagorikan sebagai perbuatan yang merugikan keuangan

negara.61

a. Dilakukan oleh setiap orang

e. Dalam hal tertentu pelaku tindak pidna korupsi dapat dijatuhi pidana mati

Keadaan tertentu disini adalah merupakan pemberatan bagi pelakuTindak

Pidana Korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam

keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Keadaan bahaya

tersebut seperti bencana alam nasional, pengulangan Tindak Pidana Korupsi, atau

pada waktu negara dalam keadaan krisisekonomi dan moneter.

Pasal 3 :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapatmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas dapat dilihat dengan jelas

suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi ini jika

memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:

Sama seperti penjelasan Pasal 2 diatas yang dimaksud dengan dilakukan

oleh setiap orang adalah setiap orang sebagai subjek hukum yang dapat dimintai

pertanggungjawaban atas segala tindakannya.

61

(21)

b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukannya

Menyalahgunakan kewenangan merupakan perbuatan korupsi yang pada hakikatnya diterapkan kepada pejabat/pegawai negeri yang dapat

menyalahgunakan jabatan, kedudukan dan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya, jika melihat perluasan pengertian pegawai negeri yang terdapat

pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.

20 Tahun 2001.

Pasal 1 ayat (2):

pegawai negeri adalah meliputi:

1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Kepegawaian;

2) Pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara tau daerah; 4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan nagara atau daerah; atau

5) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Akan tetapi jika melihat pengertian menurut SK pengangkatan pegawai

negeri, maka kategori orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi

atau dari kewenangan negara atau modal negara. Menyalahgunakan Kesempatan

dapat diartikan menyalahgunakan waktu dan kesempatan yang ada pada diri

pelaku karena eksistensi kedudukan dan atau jabatannya. Menyalahgunakan

sarana, berarti menggunakan fasilitas dinas yang ada karena kedudukan dan atau jabatannya bukan untuk kepentingan dinas akan tetapi untuk kepentingan pribadi

atau orang lain di luar dinas dengan maksud untuk mengambil keuntungan pribadi

(22)

Hukum Pidana, adalah perkataan “jabatan” adalah meragukan terutama jika kedudukan ini diartikan fungsi pada umumnya, karena direktur Bank Swasta

misalnya juga mempunyai kedudukan.62

c. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi

Menurut Andi Hamzahmenguntungkan diri sendiri adalah suatu unsur 423 KUHP. Sedangkan menurut Sudarto, perkataan menguntungkan suatu badan

(korporasi) di situ tidak hanya badan swasta, misalnya PT, Yayasan, dan sebagainya, akan tetapi juga badan pemerintahan misalnya kantor, jawatan/dinas,

dan sebagainya. Konkretnya, perbuatan menguntungkan ini membuat

tersangka/terdakwa, orang lain/kroninya atau suatu korporasi memperoleh aspek

materiel maupun immateriel. Sifat menguntungkan ini dapat dilakukan dengan

cara Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999).63

d. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara

Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sudah dijelaskan

dalam pembahasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Kata dapat memberian flesibilitas kepada Jaksa Penuntut Umum tidak harus

membuktikan adanya unsur kerugian keuangan/perekonomian negara karena

62

Referensi Hukum, Memahami Unsur-Unsur Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

63

(23)

Tindak Pidana Korupsi merupa delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi

cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan

dengan timbulnya akibat.64

Rumusan korupsi yang ada pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 ini pertama

kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

. sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk yang paling banyak digunakan untuk

memidana koruptor.65

a) Menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara 2. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Suap-Menyuap

Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dalam bentuk suap-menyuap

dalam dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi diatur dalam beberapa ketentuan, yakni Pasal 5 ayat (1)

huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2),

Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 12 huruf c dan d dan Pasal 13.

Masing-masing ketentuan Pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Menyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara diatur dalam Pasal 5

ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagai berikut:

64Ibid.,

hal 94.

65

Komisi Pemberantasan Korupsi , Memahami Untuk Membasmi Buku Saku Untuk

(24)

Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit RP 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Jika dilihat dari segi historis, rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

berasal dari Pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP yang mengatur mengenai

penyuapan, sedangkan Pasal 5 ayat (1) huruf b berasal dari Pasal 209 ayat (1)

angka 2 KUHP yang mengatur mengenai penyuapan dalam jabatan tertentu.

Kedua ketentuan tersebut kemudian diangkat menjadi ketentuan Pasal 1 ayat

(1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.66

1. Setiap orang;

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan dapat dikatakan atau

digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a ini

maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Memberikan atau menjanjikan sesuatu;

3. Ditunjukan kepada kepagai negeri atau penyelenggara negara;

66

(25)

4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi menurut

Pasal 5 ayat (1) huruf b apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Setiap orang;

2. Memberikan atau menjanjikan sesuatu;

3. Ditunjukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara;

4. Karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukann dalam jabatannya.

b) Memberi Hadiah kepada Pegawai Negeri karena Jabatannya

Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya terdapat dalam

pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Pasal 13 :

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Rumusan korupsi pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

(26)

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 sebagai tindak pidana korupsi yang

kemudian diubah rumusannya pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.67

1. Setiap orang;

Untuk menentukan suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 13

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Memberi hadiah atau janji;

3. Kepada pegawai negeri;

4. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat kepada

jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji

dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

c) Pegawai Negeri atau Penyelenggaran Negara yang Menerima Suap

Diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 5 ayat (2):

Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimapemberian

atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hutuf a atau b, di pidana

dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Rumusan pasal 5 ayat (2) ini merupakan rumusan tindak pidana korupsi

yang belum pernah diatur sebelumnya dalam undang-undang tindak pidana

67

(27)

korupsi lainnya atau sebelumnya.68

1. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara;

Untuk mengetahui apakah perbuatan itu

termasuk tindak pidana korupsi menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi harus memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:

2. Menerima pemberian atau janji;

3. Pemberian atau janji tersebut harus termuat dalam Pasal 5 ayat (1)

huruf a dan b.

Penyelanggera negara yang dimaksud dalam pasal ini adalah penyelenggara

negara yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 28 Tahun

1999tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme. Penyelenggara negara yang dimaksud adalah:

1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;

2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;

3. Menteri;

4. Gubernur;

5. Hakim;

6. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

68

(28)

d) Pegawai Negeri yang Menerima Suap

Pegawai negeri yang menerima suap diatur dalam Pasal 12 huruf a dan

huruf b Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 hururf a dan b

Dipidanan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

a. Pegawai negeri atau penyelenggara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karen telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Subjek delik Pasal 12 huruf a dan huruf b sama yaitu pegawai negeri atau

penyelenggara negara, hanya saja objeknya berbeda Pasal 12 huruf a hadiah atau

janji dalam Pasal 12 huruf b objeknya hanya hadiah. Perbuatan yang dilarang

sama-sama menerima. Tujuan pelaku memberikan hadiah kepada pegawai negeri

atau penyelenggara sebagai atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.69

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dujerat dengan

menggunakan Pasal 12 huruf a, maka perbuatan tersebut harus memenuhi

unsur-unsur sebagai berukut:

69

(29)

2. Menerima hadiah atau janji;

3. Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatub dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

4. Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sedangkan unsur-unsur yang terdapat padal Pasal 12 huruf b adalah sebagai

berikut:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2. Menerima hadiah atau janji;

3. Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya

yang bertentangan dengan kewajibannya;

4. Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya

yang bertentangan dengan kewajibannya.

e) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Menerima Hadiah yang

Berkaitan dengan Jabatannya

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah yang

berkaitan dengan jabatannya diatur secara tegas dalam Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

(30)

Pasal 11:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawi negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Rumusan korupsi pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

berasal dari Pasal 418 KUHP yang dirujuk pada Pasal 1 ayat (1) hururf c

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.70

1. Pegawai nwgwri atau penyelenggara negara;

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan

menggunakan Pasal 11 maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:

2. Menerima hadiah atau janji;

3. Diketahuinya;

4. Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karen

kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan

menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada

hubungan dengan jabatannya.

f) Menyuap Hakim dan Menyuap Advokat

70

(31)

Tindakan menyuap hakim dan menyuap advokat dapat dikatagorikan

sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 6 ayat

(1) huruf a dan huruf b.

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan

menggunakan Pasal 6 ayat (1) huruf a, maka perbuatan tersebut harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Setiap orang;

2. Memberi atau menjanjikan sesuatu;

3. Ditujukan kepada hakim;

4. Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan

kepadanya untuk diadili.

Sedangkan suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang

melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b apabila memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Setiap orang;

(32)

3. Ditujukan kepada advokat yang mengadiri sidang pengadilan;

4. Dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili.

g) Hakim atau Advokad yang Menerima Suap

Hakim atau advokat yang menerima suap dapat dikatagorikan sebagai salah

satu bentuk tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 6 ayat (2).

Pasal 6 ayat (2):

Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) hururf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana

yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).

Rumusan korupsi pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 berasal dari Pasal 420 ayat (1) angka 1 dan angka 2 KUHP yang dirujuk

dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan dalam

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi,

yang kemudian dirumuskan ulang pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.71

1. Hakim atau advokat;

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 6 ayat

(2), maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Yang menerima pemberian atau janji;

3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) hururf a dan b.

71

(33)

h) Hakim dan Advokat yang Menerima Suap

Hakim dan advokat yang menerima suap dapat dikatagorikan sebagai salah

satu bentuk tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 12 huruf c dan d.

Pasal 12 huruf c dan d:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Rumusan Pasal 12 huruf c dan huruf d pada dasarnya berasal dari ketentuan

Pasal 420 ayat (1) angka 1 dan angka 2 KUHP kemudian diadopsi dalam Pasal 1

ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan diadopsi kembali

dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini diatur kembali dalam Pasal 12 huruf c dan

d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.72

1. Hakim;

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 12

huruf c maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Menerima hadiah atau janji;

3. Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya.

72

(34)

Dan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 12 huruf d adalah:

1. Advokat;

2. Menerima hadiah atau janji;

3. Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk

memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

3. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Penggelapan dalam Jabatan

Tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok penggelapan dalam

jabatan ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tepatnya dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10

a dan b, dan Pasal 10.73

a) Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang Menggelapkan

Uang atau Membiarkan Dilakukannya Penggelapan

Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang menggelapkan

uang atau membiarkan dilakukannya penggelapan dikatagorikan sebagai salah

satu bentuk tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 8:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (saratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak RP 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau

73

(35)

orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Subjek delik dalam Pasal 8 adalah pegawai negeri atau orang lain yang

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum, tetapi syarat terpenuhnya subjek

delik pasal ini adalah pegawai negeri atau orang lain tersebut harus melakukan

pekerjaannya secara terus menerus. Perbuatan dan objek yang dilarang berupa

menggelapkan uang, atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya,

membiarkan orang lain mengambil uang atau surat berharga yang disimpan

karena jabatannya, membiarkan orang lain menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena jabatannya, dan membantu dalam melakukan

penggelapan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya.74

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi merupakan rumusan tindak Pidana berdasarkan Pasal 415 KUHP, yang

kemuadn diadopsi ke dalam Pasal 1 ayat (1) hururf c Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.75

74

P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Edisi Kedua, Sinar Grafika: Jakarta, 2009, hal 116.

75

Khristian dan Yopi Gunawan, Op.,Cit, hal 167.

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 8

(36)

1. Pegawai negeri atau orang lain.

2. Ditugaskan untuk menjalankan suatu jabatan umum secara terus

menerus atau untuk sementara waktu.

3. Dilakukan dengan sengaja.

4. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau

membiarkan orang lain menggelapkan uang atau surat berharga.

5. Uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya.

6. Membantu dalam mela,kukan perbuatan itu.

b) Pegawai Negeri atau Orang Selain Pegawai Negeri yang Memalsukan Buku

untuk Pemeriksaan Administrasi

Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang memalsukan

buku untuk pemeriksaan administrasi dikatagorikan sebagai salah satu bentuk

tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 9:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00(lima piluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupuah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk smentara waktu, dengan sengaja mamalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Rumusan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

(37)

Tindak Pidana Korupsi berasal dari ketentuan Pasal 416 KUHP, yang kemudian

diadopsi kembali dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.76

1. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 9,

maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untu sementara waktu;

3. Dengan sengaja;

4. Memalsukan;

5. Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan

administrasi.

c) Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang Merusak

Bukti

Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang merusak bukti

dikatagorikan sebagai suatu bentuk tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 10

huruf a Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 10 huruf a:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tuga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri

76

(38)

yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau menbuat tidak dapat dipakai barang, akta, durat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membukyikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

Ketentuan pasal diatas pada dasarnya berasal dari Pasal 417 KUHP yang

kemudian diadaopsi dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.77

1. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri.

Untuk menentukan apakah

suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 10 huruf a maka perbuatan tersebut

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu.

3. Dengan sengaja.

4. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat

dipakai.

5. Barang, akta, surat, atau daftar.

6. Yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat

yang berwenang.

7. Barang tersebut dikuasainya karena jabatan.

d) Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang Membiarkan

Orang Lain Merusak Bukti

77

(39)

Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang membiarkan

orang lain merusak buktu dikatagorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana

korupsi terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 10 huruf b:

Dipidanan dengan pedana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tiujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tuga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Rumusan pasal daiatas berasal dari ketentuan Pasal 417 KUHP yang

kemudian diadopsi dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.78

1. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri.

Untuk menentukan apakah

suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 10 huruf b, maka perbuatan tersebut

harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu.

3. Dengan sengaja.

4. Membiarkan orang lain.

5. Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak

dapat dipakai.

78

(40)

6. Barang, akta, surat, atau daftar.

7. Yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat

yang berwenang.

8. Barang tersebut dikuasainya karena jabatan.

e) Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang Membantu

Orang Lain Merusak Bukti

Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang membantu orang

lain merusak bukti dikatagorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi

terdapat dalam pasal 10 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 10 huruf c:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tuga ratus kima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Sama seperti sebelum-sebel nya ketentuan diatas berasal dari Pasal 417

KUHP dan kemudian diadopsi ke dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidna Korupsi.79

79

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.,Cit, hal 172.

Untuk

menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 10 huruf c maka

(41)

1. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri.

2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu.

3. Dengan sengaja.

4. Membantu orang lain.

5. Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau tidak dapat dipakai.

6. Barang, akta, surat, atau daftar.

7. Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat

yang berwenang.

8. Barang-barang tersebut dikuasainya karena jabatan.

4. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Perbuatan Pemerasan

Kelompok tindak pidana korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan

itu terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yaitu, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, dan Pasal 12 huruf f.

a) Pemerasan Oleh Pegawai Negeri

Pemerasan oleh pegawai negeri dikatagorikan sebagai salah satu bentuk

tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 huruf e:

(42)

paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta ruliah) dan paling banyakRp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang membeikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Rumusan korupsi pasa Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi.80

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Untuk menentukan apakah suatu

perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf e maka perbuatan tersebut harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

3. Secara melawan hukum.

4. Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau , menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya.

5. Menyalahgunakan kekuasaan.

b) Melakukan Pemerasan

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam tugasnya melakukan

pemerasan dikatagorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi terdapat

dalam Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

80

(43)

perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 huruf g:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua ouluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.

Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 20 tahun

2001 berasal dari Pasal 425 ayat (2) KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi. 81

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

untuk

menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf g maka

perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

2. Pada waktu menjalankan tugas;

3. Meminta atau menerima pekerjaan, atau menyerahkan barang;

4. Seolah-oleh merupakan utang pada dirinya;

5. Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.

c) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang memeras Pegawai Negeri

atau Penyelenggara Negara Lainnya.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memeras pegawai negeri

atau penyelenggara negara lainnya dikatagorikan sebagai salah satu bentuk tindak

pidnaa korupsi terdapat dalam Pasal 12 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun

81

(44)

2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 huruf f:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.

Subjek delik Pasal 12 f adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.

perbuatan atau objek yang dilarang adalah meminta pembayaran, menerima

pembayaran, memotong pembayaran, objek pembayaran. Sasaran yang dituju

pelaku dari melakukan perbuatan meminyta pembayaran, menerima pembayaran,

memotong pembayaran, objek pembayaran adalah pegawao negeri, penyelenggara

Negara yang lain, atau kepada kas umum seolah-olah pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang

kepadanya.82

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan

Pasal 12 huruf f maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagau

berikut:

2. Pada waktu menjalankan tugas.

3. Meminta, menerima, atau memotong pembayaran.

82

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi (2008), di wilayah kerja Dinas Kesehatan Bojonegoro menyatakan bahwa sosial keluarga memberikan pengaruh 45,2% terhadap variasi

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kurnia dan izinNya skripsi yang berjudul gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner

This is likely due to DEP (Diesel Exhaust Particles) of exposure, and due to incomplete combustion, which uses fuel wood and charcoal ironwood type, and also where iron plate

Ditinjau dari perilaku seksual berisiko pada sopir angkutan umum sebagian kecil memiliki hubungan pasangan seksual selain dengan istri, dalam perilaku seksual tersebut

Oleh karena sindrom koroner akut merupakan salah satu penyebab kematian di dunia dan di Indonesia serta besarnya pengaruh perubahan kadar lipid darah terhadap penyakit

Berdasarkan data pada bab 4 dan untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh Program Acara “Music Everywhere” dengan variabel terikat terhadap Minat Remaja Menonton

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Formulate Share Listen Create (FSLC) terhadap kemampuan komunikasi matematis.. Populasi