• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Hak Menjual Pemilik Tanah yang Berasal Dari Harta Bersama Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Hak Menjual Pemilik Tanah yang Berasal Dari Harta Bersama Chapter III V"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI HARTA BERSAMA DIMANA SALAH SATU PIHAK SUAMI

ISTERI MENINGGAL DUNIA

A. Pelaksanaan Pengalihan Harta Bersama atau Disebut Harta Gono Gini.

1. Pengertian Harta Bersama atau Harta Gono Gini

Harta Bersama (gono gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang

diperoleh selama belangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari

hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta

bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha

salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun isteri mempunyai hak dan

kewajiban yang sama atas harta bersama hharus mendapat persetujuan kedua belah

pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan

kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.

Sepanjang tidak diataur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian

maka masing-masing pihak isteri maupun pihak suami berkah atas separoh (seperdua)

dari harta bersama.

Menurut hukum perkawiann yang berlaku (Undang-Undang No 1 Tahun

1974) tentang perkawinan dan Kompilasi dan Kompilasi Hukum Islam), harta

kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam

harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan

(2)

mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta

bersama.

Cara mudah mennetukan sebuah harta termasuk gono gini atau tidak yaitu

dengan membandingkan tanggal pernikahan atau perceraian dengan tanggal harta

tersebut diperoleh. Jika tanggal harta tercantum pada sertipikat adalah tanggal setelah

pernikahan dan sebelum terjadi perceraian, maka rumah atau harta tersebut termasuk

harta gono gini atau harta bersama. Beberapa suami atau isteri sudah memiliki harta

sebelum menukah, seperti rumah dan tanah. Jika tanggal akta jual sebelum tanggal

tanggal pernikahan, maka harta tersebut tidak termasuk harta bersama atau harta gono

gini . Untuk menjual rumah atau tanah tersebut tidak diperlukan persetujuan

siapapun. Begitu pula dengan rumah atau tanah yang dimiliki oleh suami atau isteri

yang merupakan warisan dari masing-masing pihak.

Pasal 37 Perkawinan tahun 1974 tidak menetapkan secara tegas mengenai

pembagian bagi suami atau isteri yang bercerai. Pasal 37 ayat 1 hanya menyebutkan

bahwa pembagian harta gono gini karena perceraian diatur menurut hukum

masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya yang dianut oleh

masing-masing pasangan.

Berikut beberapa kasus pembagian harta gono gini :

1. Jika suami atau isteri yang sudah bercerai atau yang meninggal dunia dan

pihak yang masih hidup ingin menjual ruamh atau tanah yang merupakan

harta gono gini, atau harta bersama, maka diperlukan persetujuan dari pihak

(3)

pihak yang meninggal dunia. Sebagai contoh, jikla suami meninggal dan sang

isteri ingin menjual rumahnya namun mereka sudah bercerai, maka sang isteri

harus meminta persetjuan sang anak karena anak juga mewakili hak dari

suami yang telah meninggal dunia.

2. Persetujuan dari anak untuk menjual rumah harta gono gini, kondisinya

berbeda-beda. Jika anak masih di bawah umur, maka perlu ada surat perwalian

dri pengadilan. Sementara jika anak telah dewasa, maka perlu ada suart

persetujuan secara notaris dari anak tersebut. Kemudian Jika anak sedang

berada di luar negeri, maka perlu ada surat persetujuan diatas materai dan

legalisir RI di negara setempat.

3. Jika rumah atau tanah didapat dari hibah atau warisan maka tidak diperlukan

persetujuan dari nak-anaknya. Contohnya jika seorang isteri mendapat harta

warisan pada masa perkawinan dan suatu saat suaminya meninggal lalu

berencana akan menjual rumah atau tanah tersebut, maka ia tidak memerlukan

persetujuan dari anak-anaknya. Selain itu, harus ada juga bukti kematian sang

suami dan surat ahli waris dari kelurahan atau kecamatan.

2. Dasar Hukum Pengalihan Harta Bersama kepada Para Ahli Waris.

Harta bersama (gono gini) diperoleh selama perkawinan berjalan (terhitung

sejak perkawinan dilangsungkan sampai perkawinan yang bersangkutan berakhir

karena cerai (hidup) atau slah satu meninggal dunia.

Jika dilakukan penjualan, hibah dijaminkan atau pengalihan seperti

(4)

mengalihkan hak, maka harus dilakukan secara bersama-sama oleh suami isteri yang

bersangkutan atau memberikan kuasa dan persetujuan kepada salaj satu pihak secara

tertulis (Notaril).

Baik datang ke hadadapan Notaris/ PPAT atau secara tertulis harus

dicantumkan kalimat memberikan Persetujuan dan Kuasa, kenapa? Karena dalam

harta bersama ada bagian suami/isteri . Misalnya jika sertipikat tertulis nama isteri,

maka isteri memberikan Persetujuan kepada suami untuk menjual baian/hak suami

dan isteri memberikan kuasa kepada suami untuk menjual bagian isteri. Jika ini tidak

dilakukan maka isteri dapat menggugat suami, denan alasan isteri hanya memberikan

Persetujuan persetujuan untuk menjual kepasa suami (bagian ha/hak suami saja), tapi

tidak memberikan kuasa untuk menjual kepada suami untuk menjual bagian/hak

isteri.

Adapun harta bawaan/harta asal diperoleh oleh masing-masing suami-isteri :

1. Sebelum perkawinan dilangsungkan ;

2. Berasal dari warisan/hibah selama perkawinan berlangsung;

3. Karena perjanjian pisah harta sama sekali;

4. Jika dilakukan penjualan, hibah dijaminkan atau pengalihan seperti tukar

menukar, pemasukan ke sdalam perseroan atau tindakan hukum lainnya yang

bersifat mengalihkan hak, dilakukan oleh pemiliknya sendiri.

5. Terhadap harta ini suami/isteri berhak untuk mengurus atau menikmati harta

(5)

Menurut UU Nomor 1/1974 (Pasal 35-37 UU), kelompok harta yang mungkin

terbentuk :

1. Harta Bersama (gono-gini);

2. Harta Bawaan Pribadi;

a. Harta Bawaan Suiami :

b. Harta Bawaaan Isteri ;

c. Harta suami bersal dari hibah atau warisan;

d. Harta isteri berasal dari hibah atau warisan.

Suami atau isteri bertanggung jawab atas segala hutang pribadinya yang

dibuat sebelum perkawinan atau yang dibuat setelah perkawinan dengan jaminan

harta pribadi/harta bawaannya. Suami dan isteri bertanggung jawab secara

bersama-sama atas segala hutang yang dibuat selama perkawinan jaminan dengan harta

bersama.

Jika terjadi perceraian, suami-isteri mempunyai yang bagian yang sama besar

atas harta bersama (Putusan MA nomor 1448/K/Sip/1974, tanggal 11 November

1967). Jika terjadi perceraian dan diantara suami isteri belum dilakukan pembagian

atas harta bersama tersebut, maka tindakan hukum mantan suami atau isteri seperti

menjual , menghibahkan, menjaminkan atau pengalihan seperti tukar-menukar,

pemasukan ke dalam perseroan atau menyewakan atau tindakan hukum lainnya yang

bersifat mengalihkan hak wajib dilakukan secara bersama-sama atau dengan kuasa

atau persetujuan (Notaril).

(6)

a. Antara suami-isteri tidak diperkenankan mengadakan perjanian jual-beli

(Pasal 147 KUHPerdata).

b. Suami-Isteri tidak boleh saling hibah-menghibahkan (Pasal 1678

KUHPerdata).

c. Antara suami-isteri tidak boleh mengadakan perjanjian perburuhan (Pasal

1601 KUHperdata).

Berdasarkan Pasal 38 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”),

perkawiann menjadi putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan

pengadilan.Namun UUP tidak disebutkan secara khusus definisi dari cerai hidup dan

cerai mati.

Berdasarkan cerai hidup dan cerai mati dapat kita temui dalam Inpres No 1

Tahun 1991 tentang Penyerbarluasan No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yakni dalam beberapa pasal berikut :

Pasal 8 yaitu Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang bebrbentuk putusan perceraian, atau putusan taklik talak.

Pasal 96 yaitu

(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup terlama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hokum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97 menyatakan:

(7)

Walaupun dalam KHI menyebut adanya frase cerai hidup dan cerai mati,

tetapi tidak ditemukan pula definisi cerai hidup dan cerai mati. Cerai mati adalah

status dari mereka yang ditinggal mati oleh suami/isterinya dan belum kawin lagi.

Cerai hidup adalah status dari mereka yang hidup berpisah sebagai suami

isteri karena bercerai dan belum kawin lagi. Dalam hal ini termasuk mereka yang

mengaku cerai walaupun belum resmi secara hokum. Sebaiknya, tidak termasuk

mereka yang hanya hidup terpisah tetapi masih berstatus kawin, misalnya suami/isteri

ditinggalkan oleh isteri/suami ketempat lain karna sekolah, bekerja, mencari

pekerjaan, atau untuk keperluan lain. Wanita yang mengaku belum pernah kawin

tetapi pernah hamil, dianggap cerai hidup.

Berdasarkan uraian tersebu diatas dapat disimpulkan bahwa cerai mati dapat

diartikan sebagai putusnya perkawinan karena salah satu pihak (suami atau isteri)

meninggal dunia sehingga meninggalkan pasangannya. Sedangkan cerai hidup dapat

diartikan sebagi putusnya perkawinan dlam keadaan suami isteri masih hidup karena

suatu alas an. Mengenai alas an-alasan yang dpat dijadikan dasar perceraian bias

dilihat dalam Penjeasan Pasal 39 ayat (2) UUP jo Pasal 116 KHI.

3. Pengertian Legitieme Portie dalam Harta Bersama

Legitieme portie (bagian mutlak) adalah suatau bagian dari harta peninggalan

atau warisan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalm garis lurus (baik garis

(8)

menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (hibah) maupun yang berupa hibah

wasiat (Pasal 913 KUHPerdata).55

Legittieme portie menurut Idris Ramulyo adalah :

“Suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan atau dengan kata lain bahwa legitieme portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus (wajib) diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang terhadap bagian mana si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup atau selaku wasiat”.56

Menurut Prof.Subekti, Legitieme portieadalah suatu bagian tertentu dari harta

peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.

Hak atas Legitieme portie baru timbul apabila seseorang dalam keadaan

sungguh-sungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris. Dalam hal

ini yang berhak atas suatulegitieme portiedinamakanLegitimaris .Ia dapat meminta

pembatalan setiap testament yang melarang haknya dan berhak menuntut diakukan

pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan, baik berupa erfstelling

maupun legaat, atau bersifatshenkingyang mengurangi haknya.57

Maksud dari peraturan tentang legitieme portie adalah untuk melindungi para

ahli waris dari tindakan pewaris yang tidak bertanggung jawab. Ada dua cara isitem

tentang legitieme portie, yaitu sebagai berikut:58

55R. Subekti,Ringkasan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan ke I, (Jakarta:

Intermasa, 1990)., hal. 32.

56 Mohd. Idrus Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan KUH

Perdata,, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 36

57Prof. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XXXII, (Jakarta: PT. Intermasa,

2005), hal. 113.

58 Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, Cetakan I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015),

(9)

1. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bagian tertentu dari seluruh warisan yang

tidak dapat dilanggar dengan suatu ketettapan dalamtestament.

2. Sistem Romawi, menetapkan baian tertentu dari setiap ahli waris yang tidak

dikurangi dengantestament.59

Adapun legitieme portie yang diatur dalam KUHPerdata menganut sisitem

Romawi . Hal ini diatur dalam Pasal 1913 KUHPerdata berikut ini :

“Bagian mutlak atau legitieme portie adalah suatu baian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris yg garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”.

Jadi maksud dari Pasal 913 KUHPerdata diatas adalah :

1. Bagian mutlak adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi dengan pemberian semasa hidup atau pemberian dengan testament;

2. Bagian mutlak harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus ke atas maupun kebawah.

Garis lurus ke bawah adalah anak-anak dan keturuannya serta anak luar kawin

yang diakui sah, sedangkan garis lurus ke atas adalah orang tua dan semua

leluhurnya.

Oleh karena itu, legitieme portie hanya diperuntukkan bagi ahli waris garis

lurus ke atas dan ke bawah, sehingga isteri atau suami, saudara-saudara (paman atau

bibi) tidak berhak atas legitieme portie tersebut.60 Jadi, yang berhak atas legitieme

portie adalah :

59 Ali Afandi, Hukum Waris Keluarga Hukum Pembuktian, Cetakan ke IV, (Jakarta: PT.

(10)

1. Mereka dalam garis lurus ke bawah (Pasal 914 KUHPerdata);

2. Mereka dalam garis lurus ke atas (Pasal 915 KUHPerdata);

3. Anak luar kawin yang diakui sah (Pasal 916 KUHPerdata).

Sedangkan dalam pasal 917 KUHPerdata, disebutkan bahwa :

“Dalam hal tak adanya keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, pun tak adanya anak-anak luar kawin yang diakui dengan sah, hibah-hibah antara yang masih hidup atau dengan suart wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan”.

Isi Pasal 917 KUHPerdata tersebut pada pokoknya mengatur bahwa apabila

tidak ada ahli waris yang berhak atas bagian mutlak, maka pewaris dapat memberikan

seluruh harta peninggalannya kepada orang lain dengan hibah semasa hidup atau

hibah wasiat.

Mengenai kasus seorang ahli waris yang menolak warisan (on waardigheid)

dengan perhitungan legitieme portie, maka penyelesainnya secara konsekwensi

seharusnya tidak turut dihitung menentukan pecahan legitieme portie . Hal ini karena

sesuai dengan Pasal 1058 KUHPerdata:

“Si waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi waris”.

Adapun perlindungan atas tuntutan legitieme portie diatur dalam Pasal 921

KUHPerdata. Dalam hal ini pada prinsipnya tuntutan legitieme portie harus dipenuhi,

kalau perlu dengan memotong hibah atau legaat. Cara perlindungan yang diberikan

oleh Pasal 921 KUHPerdata, adalah dengan menetapkan jumlah mana besarnya.

(11)

1. Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya

kepada salah seorang atau para legitieme waris;

2. Jumlah tersebut ditambahakan dengan aktiva warisan yang ada;

3. Kemudian dikurangi utang-utang pewaris;

4. Dari jumlah tersebut dihitung besarnya LP Legitieme waris (yang menuntut

LP).

5. Untuk menentukan berapa yang benar-benar diterima legitieme waris yang

bersangkutan .

Jumlah LP tersebut masih harus dikurangi dengan hibah-hibah yang sudah

diterima olehnya, sekalipun yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban inbreng.

Kalimat yang menyatakan “segala apa yang telah mereka terima dari si

meninggal” berdasarkan Pasal 921 KUHPerdata termasuk apa yang telah

diawasiatkan oleh pewaris. 61

4. Cara Untuk Memenuhi Legitieme Portie

Cara untuk memenuhi legitieme portie diatur dalam Pasal 924 KUHPerdata :

“Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan tidak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan demikian selanjutnya”.

Dengan demikian, cara untuk memenuhi legitieme potrie atau hak untuk ini,

antara lain sebagai berikut:

(12)

1. Ditutupi dari sisa harta warisan setelah dikurangi dengan jumlah pelaksanaan

wasiat.

2. Apabila dari pemenuhan hak mutlak belum terpenuhi, maka diambil dari

waisiat dengan tidak memperhatikan kapan wasiat itu dibuat, dan

masing-masing wasiat dipotong atau diambil menurut perbandinan besarnya wasiat

itu.

3. Apabila dari wasiat itu juga tidak dapaat memenuhi hak mutlak, maka diambil

dari hibah yang tanggal pemberiannya paing dekat dengan tanggal kematian

dari orang yang meninggalkan warisan.

4. Legitieme portie hanya diperhitungkan apabila terdapat hibah stsu wasiat atau

keduanya dan adanya tuntutan dari ahli waris yang mempunyai hak tersebut.62

B. Menerima Warisan Tanpa Syarat (secara Penuh) dalam Harta Bersama

Berdasarkan pasal 1048 KUHPerdata, bahwa menerima warisan secara penuh

bisa terjadi secara :

1. Secara tegas dengan membuat surat resmi (autentik) atau surat di bawah

tangan, atau

2. Secara diam-diam, yaitu bilamana ahli waris melaksanakan perbuatan yang

dapat disimpulkan tujuannya untuk memeperoleh harta warisan tanpa syarat.63

62Benyamin Asri dan Thabrani Asri,Dasar-Dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan

Teoritis dan Praktik),(Bandung: Tarsito, 1988), hal. 29-30.

63 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan ke III, (Jakarta: Rineka

(13)

Di antara perbuatan yang diam-diam itu ada beberapa yang tidak dapat

dianggap sebagai penerimaan secara diam-diam. Hal ini diatur dalm pasal 1049

KUHPerdata yang menyatakan :

“Segala perbuatan yang berhubungan dengan penguburan jenazah, perbuatan yang maksudnya untuk menyimpan, perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk mengurusi buat sementara waktu saja”.

Jika orang-orang hendak menerima warisan maka ia harus dibantu oleh :

1. Suami bagi seorang isteri;

2. Wali bagi orang yang belum dewasa;

3. Seorang pengampu (curator) bagi orang yang ditarus dbawah

pengampuan.64

Akan tetapi, menurut Pasal 1049 KUHPerdata bahwa perbuatan-perbuatan

yang tidak dianggap menerima warisan secara penuh (tanpa syarat), yaitu :

1. Semua perbuatan yang berhubungan dengan penguburan pewaris;

2. Perbuatan yang bermaksud hanya menyimpan atau mengawasi dan

mengurus sementara benda-benda tertentu dari harta warisan.65

Akan tetapi, menurut Pasal 1049 KUHPerdata bahwa pengampuan yang tidak

dianggap menerima warisan secara penuh (tanpa syarat) , yaitu :

1. Semua perbuatan yang berhubungan dengan penguburan pewaris;

2. Perbuatan yang bermaksud hanya menyimpan atau mengawasi dan mengurus

nsementara benda-benda tertentu dari harta warisan.

64Maman Suparman,Op.Cit, hal. 72.

(14)

Pasal 1045 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk

menerima harta warisan. Adapun menurut Pasal 1043 KUHPerdata jika pewaris

dalam wasiatnya menetapkan bahwa ahli warisnya dilarang memakai hak untuk

berfikir atau untuk memperoleh warisan dengan syarat, maka ketentuan tersebut

adalah batal dan tidak berharga.

Dalam hal pembagian warisan dapat terjadi perbedaan sikap atau pendapat

diantara ahli waris. Pasal 1050 KUHPerdata, apabila ahli waris yang menerima dan

adapula ahli waris yang menolak boleh terus menolak. Apabila yang satu menerima

secara murni dan yang lain menerima dengan hak untuk pendaftaran, maka semuanya

harus menerima dengan hak pendaftaran.

Dalam pasal 1052 Perdata, jika seseorang waris telah menerima dan yang

menolak diterima oleh waris yang menerima sebagai penambahan.

Menurut Pasal 1057 KUHPerdata, apabila seorang ahli waris meninggal dunia

sebelum menyatakan menerima atau menolak harta warisan, maka isi pasal tersebut,

bahwa ahli waris itu masih boleh memilih antara menerima atau menolak harta

warisan.

Adapun dalam Pasal 1053 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa seorang

ahli waris dapat menntut pembatalan atas penerimaannya terhadap suatu harta

warisan bilamana ada seorang ahli waris dengan paksaan atau dengan penipuan

diddorong untuk mendapatkan harta warisan.

Dalam Pasal 1053 ayat (2) juga mengatur apabila ahli waris menyangkal

(15)

warisan. Setelah harta warisan dibagikan kemudian diketahui bahwa sipewaris

semasa hidupnya telah membuat surat wasuat, yang menyebabkan sebahagian ahli

waris tersebut menjadi berkurang, sehingga ia mengalami kerugian. Apabila hal

tersebut terjadi maka ahli waris itu hanya bisa menarik kembali perolehan harta

warisan itu dan sebab akibat dari adanya surat wasiat tersebut, maka harta warisanj

dikurangi sampai setengahnya.

Dalam Pasal 1054 KUHPerdata mengatur apabila seorang ahli waris karena

salah pengertian atau kurang mengerti, kemudian ia mengubah sikapnya dari sikap

menerima kemudian (setelah berpikir dengan segala pertimbangannya), ia

memutuskan untuk menolak, maka tidak dengan segala pertimbangannya), ia

memutuskan untuk menolak, maka tidak dengan sendirinya bagian harta warisan dari

ahli waris yang menolak itu diberikan kepada ahli waris lainnya. Untuk itu,

diperlukan sikap tegas dan sesaui dari ahli waris yang menerima warisannya.66

Menurut pasal 1055, hak ahli waris akan hapus karena daluarsa dengan

lewatnya waktu tiga puluh tahun, terhitung sejak hari terbukanya warisan, asalkan

sebelum maupun sesudah lewatnya jangka waktu tersebut warisannya telah diterima

oleh salah seorang dari mereka yang oleh undang-undang atau oleh suatu wasiat

ditunjuk sebagai waris, tetapi dengan tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga atas

warisan tersebut, yang diperoleh karena suatu hak yang sah.67

66Benyamin Asri dan Thabrani Asri,Op.Cit, hal. 24-25.

(16)

Namun demikian menurut Pasal 1056 KUHPerdata, ahli waris yang menolak

warisannya, masih dimungkinkan untuk menerima warisan, selama belum diterima

oleh mereka yang ditunjuk oleh undang-undang atau wasiat, dengan tidak

mengurangi hak-hak pihak ketiga.

Akibat bagi ahli waris apabila menerima secara penuh, baik yang dilakukan

secara diam-diam maupun secara tegas adalah bertanggung jawab sepenuhnya atas

segala kewajiban yang melekat pada warta warisan. Penerimaan warisan secara penuh

yang dilakukan dengan tegas, yaitu melalui akta autentik atau akta di bawah tangan .

Adapun penerimaan secara diam-diam, yaitu dengan melakukan tindakan tertentu

yang menggambarkan adanya penerimaan secara penuh.68

C. Menerima Warisan Dengan Syarat Atau Pencatatan (Beneficiare Aanvaarding).

Pengertian menerima dengan syarat atau pencatatan adalah apabila dalam

pencatatan harta warisan itu lebih banyak pasiva daripada aktiva, maka ia tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Jadi, ahli waris hanya dapat dimnta tanggung jawab atas si

pewaris yang terbatas pada jumlah bagian harta warisan yang ia terima.69

Pengertian penerimaan berdasarkan Pasal 1032 KUHPerdata adalah sebagai

berikut:

1. Ahli waris tidak wajib membayar utang dan beban yang melebihi jumlah

warisan yang diterimanya.

68 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan

BW,(Bandung: Refika Aditama, 2005), ,hal. 33.

(17)

2. Ahli waris dapat membebaskan diri dari pembayaran utang pewaris dengan

menyerahkan warisan kepada kreditor.

3. Kekayaan pribadi dari ahli waris tidak bercampur dengan harta warisan dan ia

tetap dapat menagih piutangnya sendiri dari harta peninggalannya.

Dengan demikian, ahli waris tidak dapat dianggap sebagai orang yang punya

utang dari kreidtornya pewaris. Ahli waris dapat digugat oleh kreditor pewaris, tetapi

gugatannya hanya untuk menetapkan jumlah utang saja, dan utang-utang ini

selanjutnya hanya dibayar dari harta warisan. Jika warisannya dikurangi dengan

sehgala utang pewaris masih mempunyai sisa, maka sisa itu menjadi keuntungan si

ahli waris tersebut.70

Dalam ketentuan Pasal 1024 KUHPerdata bahwa mereka menerima dengan

syarat atau pencatatan diberi waktu empat bulan untuk berpikir dan melakukan

pencatatan atau pendaftaran terhadap harta warisan tersebut baik yang berupa pasiva

maupun aktiva. Apabila waktu empat bulan telah lewat, maka si pewaris harus

menentukan sikapnya, yakni menerima secara murni, menelaah, atau menerima

secarabeneficiair.

Ahli warisbeneficiairadalah ahli waris yang benar-benar ahli waris dan tidak

ada keraguan lagi dan baginya berlaku semua ketentuan umum tentang ahli waris,

kecuali ketentuan khusus yang menyimpang daripadanya. Ahli waris beneficiair

bukan debitur warisan, bakan bukan debitur warisan dengan tanggung jawab yang

terbatas . Oleh karena itu, kreditor hanya dapat mengambil pelunasan dari

(18)

barang warisan saja dan mereka tidak dapat menganggap ahli waris beneficiair

sebagai debiturnya, maka kedudkan mereka merupakan penjamin dengan seseorang

pihak ketiga pemberi hipotik atau hak tanggungan.71

Bahkan menurut Suyling Dubois yang dikutip Klaassen Eggens, bahwa ahli

waris beneficiair adalah debitur untuk seluruh utang warisan, hanya tanggung

jawabnya terbatas sampai sebesar aktiva harta warisan saja.72 Ahli waris akan

kehilangan haknya untuk menerima secara beneficiair dan dianggap sebagai ahli

waris murni, apabila :

1. Dengan sengaja dan dengan etikad buruk telah memasukkan sementara benda

yang termasuk harta peninggalan dalam pendaftaran;

2. Bersalah melakukan penggelapan terhadap benda-benda yang termasuk

warisan.73

Jika dilihat ada beberapa hal sebagai akibat penerimaan secara bebeficiair

adalah sebagai berikut,

1. Seluruh harta warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris.

2. Ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran utang-utang pewaris dengan

kekayaan sendiri sebab pelunasan utang-utang pewaris hanya dilakukan

menurut kekuatan harta warisan yang ada.

3. Tidak terjadi percampuran harta kekayaan ahli waris dengan harta warisan.

71Maman Suparman,Op. Cit, hal. 75. 72Ibid

(19)

4. Jika utang pewaris dilunasi semuanya dan maih ada sisa peninggalan, maka

sisa itulah yang menjadi bagian ahli waris.74

Ada beberapa kewajiban ahli waris yang menerima secara benefiair,

Kewajiban itu adalah sebagai berikut.

1. Melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat

bulan setelah ia menyatakan kehendaknya ke panitera pengadilan negeri;

2. Mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya.

3. Membereskan urusan waris dengan segera.

4. Memberikan jaminan kepada kreditor, baik kreditor benda bergerak maupun

kreditor pemegang hipotek (hak tanggungan).

5. Memberikan pertanggungjawaban kepada seluruh kreditor dari pewaris

maupun kepada orang-orang yang menerima pemberian secaralegaat.

6. Memanggil para kreditor dan pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar

resmi.75

D. Menolak Warisan Atau Harta Peninggalan (Verwerping)

Sistem yang berlaku dalam KUH Perdata adalah ahli waris diperbolehkan

untuk menolak harta warisan yang menjadi bagiannya. Penolakan harta warisan baru

dapat terjadi bila terdapat harta warisan yang terbuka atau terluang. Berdasarkan

Pasal 1057 KUH Perdata bahwa penolakan suatu harta warisan harus dilakukan

secara tegas dan diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Akibat dari penolakan

74Eman Suparman,Op. Cit, hal. 34

(20)

warisan adalah ahli waris yang bersangkutan dianggap tidak pernah ada atau tidak

pernah menjadi ahli waris. Penolakan warisan ini berlaku surut sampai dengan saat

meninggalnya pewaris atau orang yang meninggalkan warisan tersebut (Pasal 1058

KUHPerdata). Adapun bagian ahli yang menolak itu akan diberikan kepada ahli waris

lainnya yang berhak.

Walaupun penolakan warisan adalah hak dari ahli waris, namun apabila

penolakan itu akan merugikan kreditor, maka penolakan warisan dianggap tidak

pernah ada (Pasal 1059 KUHPerdata). Pasal 1061 KUH Perdata menyatakan bahwa

apabila ahli waris mempunyai utang-utang, maka ada kemungkinan para kreditor

dirugikan atas penolakan harta warisan oleh ahli waris atau debitur, maka kreditor

dapat meminta kepada hakim agar diberi kuasa untuk memperoleh harta warisan itu

atas nama dan untuk menggantikan kedudukan ahli waris itu.76

Atas tuntutan yang diatur dalam pasal tersebut, hal itu hampir sama dengan

actio paulinadari pasal 1341 KUHPerdata, Pasal 1341 ini memberikan kuasa kepada

kreditor untuk menuntut pembatalan perbuatan debitur yang merugikan kreditor.

Perbedaan antara Pasal 1061 KUH Perdata dengan Pasal 1341 KUH Perdata, yaitu

menurut Pasal 1341 KUH Perdata harusnya ada pengetahuan pihak kreditor, bahwa

kreditor akan dirugikan, sedangkan menurut Pasal 1061 KUH Perdata tidak

mengatakan hal itu, cukuplah kalau kreditor dirugikan.77

76Oemarsalim,Op. Cit, hal. 164

(21)

Akibat ahli waris yang menolak warisan, maka ahli waris tersebut dianggap

tidak pernah menjadi ahli waris. Oleh karena itu, jika ia meninggal dunia lebih dahulu

dari si pewaris, maka ia dpat digantikan kedudukannya oleh anak-anaknya yang

masih hidup. Menolak warisan harus diakukan dengan suatu pernyataan kepada

panitera pengadilan negeri di wilayah hukum tempat warisan terbuka. Penolakan

warisan dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris.78

Adapun menurur Pasal 1062 KUH Perdata bahwa hak seorang ahli waris

untuk menolak warisan, tidak dapat gugur karema daluarsa (verjaring),. Apabila

penolakan atau pengaturan warisan dicantumkan dalam perjanjian kawin, maka hal

ini dianggap batal demi hukum (Pasal 1063 KUHPerdata).

Akan tetapi, penolakan hanya dapat dibatalkan untuk menguntungkan si

berpiutang dan juga sampai jumlah utangnya. Dalam hal ini ahli waris yang

menolakmitu ia tidak bisa untuk mendapatkan nkeuntungan dari pembatalan

penolakan itu (Pasal 106 ayat (2) KUH Perdata. Apabila permohonan si berpiutang

dikabulkan oleh hakim, maka ia bisa menagih uitang ahli waris cara mengambil dari

harta benda warisan, sekedar ini mencukupi.

(22)

BAB IV

AKIBAT HUKUM PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI HARTA BERSAMA YANG TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN

OLEH SALAH SATU AHLI WARIS

A. Jual Beli Hak Atas Tanah

Seseorang yang memiliki tanah, karena kebutihan tertentu kadang tanah yang

bersangkutan dipindahkan kepada orang lain. Pemindahan hak atas tanah dapat

berupa jual-beli, hibah, tukar menukar dan lelang. Dari perbuatan hukum tersebut

yang sering dilakukan adalah jual beli tanah, jual beli tanah sering dilakukan oleh

warga masyarakat baik di kota maupun di desa.

Jual beli merupakan salah satu cara terjadinya peralihan hak atas tanah. Secara

umum, jual beli merupakan suatu perbuatan dimana pihak penjual berkewajiban

untuk memberikan barang yang menjadi obyek jual beli kepada pihak pembeli

dengan menerima sejumlah pembayran. Istilah jual beli tanah dalam peraturan

perundang-undangan disebutkan dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang UUPA menyangkut pemindahan hak milik atas tanah , selain itu,

istilah jual beli juga disebutkan dalam ketentuan Pasal 16, Pasal 34, Pasal 54 PP

No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

atas tanah. Dari berbagai peraturan perundangan yang menyebutkan istilah jual beli

tersebut, tidak ada yang mendefinisikan secara jelas mengenai pengertian jual beli

tersebut. Namun perlu diingat dan digaris bawahi bahwa konsep Hukum Tanah

(23)

1960 tentang UUPA adalah konsep Hukum Adat. Dengan kata lain, konsep jual-beli

Hukum Adat juga dipakai dan diakui oleh UUPA sebagai pengertian dari jual beli itu

sendiri, dengan catatan bahwa Hukum Adat tersebut telah di saneer yang

disempurnakan dan mempunyai sifat nasional.

Pengertian jual Beli khusunya untuk tanah hak milik dibedakan menjadi 2

(dua) yaitu menurut Hukum Barat yang termuat dalm Kitab Undang-undang Hukum

perdata (KUHPerdata) dan Hukum Adat.

1. Menurut Hukum Barat (kitab Undang-undang Hukum perdata)

Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan secara tegas

yang dimaksud dengan transaksi jual-beli, adalah : jual beli adalah suatu persetujuan,

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Pasal 1458 Kitab Undang-undang hukum Perdata menyatakan pula : “Jual beli

ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini

mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut meskipun kebendaan itu belum

diserahkan maupun kebendaan itu belum dibayar”.

Pasal 1459 Kitab Undnag-undang Hukum Perdata menentukan : “Hak Milik

atas benda yang diijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahnnya

belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”.

Dari pengertian tersebut diatas, maka untuk terjadinya transaksi, setelah

adanya penyesuaian kehendak atau tercapainya kata sepakat antara kedua belah

(24)

jual-beli. Mengenai kata sepakat yang telah dicapai para pihak dalam transaksi, tidak

selalu dibuat secara tertulis melainkan dapat juga secara lisan.

2. Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat yang dimaksud dengantransaksi Jual Beli hak atas

tanah adanya atau diperlukannya persetujuan yang berada diantara kedua belah pihak.

Akan tetapi yang lebih dipentingkan lagi ialah diperlukannya atau adanya penyerahan

hak atas tanah yang menjadi obyek dari transaksi jual beli hak atas tanah oleh penjual

kepada pembeli. Jadi pengertian tersebut bebrarti konkrit atau nyata, yang mana

sebelum adanya penyerahan hak atas tanah atau pembayran harga maka,transaksi jual

beli hak atas tanah dianggap belum pernah terjadi atau belum sah.

Namun, lain halnya dengan pengertian transksi jual beli hak atas tanah

menurut hukum perdata barat. Transaksi jual beli hak atas tanah itu pertama-tama

diperlukan, adanya kata sepakat, yang mana harga dari hak atas tanah yang dijual itu

belum dibayar tetapi sudah kata sepakat maka, transaksi jual beli hak atas tanah itu

dianggap sah.

Jadi pengertian transaksi jual-beli hak atas tanah menurut Hukum Adat dan

Hukum Perdata Barat pada hakikatnya adalah berbeda, karena menurut hukum

adatterjadi transaksi jual beli atas tanah adalah berupa penyerahan hak atas tanah dan

pembayaran atas sejumlah harga.

Ketentuan hukum agraria telah diatur didalam Uundang-unDang Nomor 5

Tahun 1960, dalam Pasal 5 di dalam Undang-undang tersebut menyatakan bahwa

(25)

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang

berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan

peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur

yang bersandar pada hukum agama.

Dari ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 diatas dapat

diketahui, bajwa sisitem yang dipakai pada hukum agraria kita (Undang-Undang

Pokok Agraria) adalah “Sisitem Hukum Agraria Adat” Namun, yang akan dipakai

adalah hukum adat yang telah disempurnakan.

Dalam penggunaan sebagi pelengkap hukum tertulis, norma hukum adat

menurut Pasal 5 UUPA, juga akan mengalami pemurnian atausaneering dari unsur

unsurnya yang tiak asli. Dalam Pembentukan hukum tanah nasional yang digunakan

sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya.79

Dengan melihat uraian diatas, maka transaksi jual beli hak atas tanah itu

berpedoman pada hukum adat. Dari ketentuan yang ada tersebut, apabila

dibandingkan dengan pengertian transaksi jual beli hak atas tanah menurut hukum

agraria nasional merupakan perbuatan hukum yang bersifat kontan. Beralihnya atau

berpindahnya hak atas tanah itu seketika sejak tanda tangan akta jual beli oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pihak-pihak yang bersangkutan dan dua orang

saksi.

Hal-hal yang berbeda mengenai pelaksanaan atau teknis peminchan haknya,

menurut hukum agraria nasional dituntut adanya tertib administrasi pertanahan

(26)

terutama yang erat kaitannya dengan masalah pendaftaran tanah sehingga hal-hal

yang menyangkut hubungan hukumnya dapat dijamin.

Dengan demikian, pengerian transaksi jual beli hak atas tanah menurut

Undang-undang Pokok Agraria sama dengan pengertian transaksi jual beli hak atas

tanah menurut hukum adat. Hanya saja perbedaannya terletak pada tata cara

pelaksanaanyya. Menurut hukum adat transaksi jual beli hak atas tanah dilakuikan

dihadapan kepala desa. Sedangkan menurut Undang-undang Pokok Agraria transaksi

jual beli dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) didaftarkan pada

kantor Pertanahan Kota atau Kabupaten setempat.

Setelah UUPA yang bersifat unifikasi itu diberlakukan, maka dualisme dlam

pengertian jual beli tersebut diatas diakhiri, karena salah satu tujuan dari UUPA

adalah meletakkan dasar unifikasi hukum dan menghapus dualisme. Demikian

dengan hak atas tanah, yang sebelumnya ada tanah barat an ada tanah adat maka

setelah UUPA diberlakukan hanya mengenal satu macam hak atas tanah yaitu yang

diatur dalam UUPA seperti, Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan

lain-lain.

B. Hibah

Pengertian hibah pada umumnya adalah pemberian sesuatu barang atau benda

dari pemberi hibah kepada penerima hibah pada saat pemberi hibah masih hidup.

Barang atau benda yang dijadikan obyek bisa benda bergerak maupun benda tetap

(27)

Menurut Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

hibah adalah suatu perjanjian dengan nama sipenghibah, diwaktu hidupnya, dengan

cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu baarang

guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan tersebut.

Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian “dengan

cuma-cuma”(dalam bahasa Belanda : “om niet”) dimana perkataan dengan

cuma-cuma itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak

yang lain tidak usah memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang

demikian juga dinamakan perjanjian “sepihak” (unilateral) sebagi lawan dari

perjanjian“bertimbal balik” (bilateral). Perjanjian yang kebanyakan tentunya adalah

bertimbal balik, karena yang lazim adalah bahwa orang menyanggipi suatu prestasi

karena ia akan menerima suatu kontra prestasi.

Perkataan diwaktu hidupnya si penghibah adalah untuk membedakan

penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament

(surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan beraku sesuadah si pemberi

hibah meninggal dunia dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat

dirubah dan ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament itu dalam KUH

Perdata dinamakan “lehaat” (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris,

sedangkan penghibahan ini suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut

KUHPerdata adalah suatu perjanjian, maka dengan sudah sendirinya ia tidak boleh

(28)

Bila kita perhatikan, bahwa penghibahan dalam sisitem KUHPerdata seperti

halnya jual beli atau tukar menukar, bersifat obligatoir saja, dalam arti belum

memindahkan hak milik, karena hak milik ini baru berpindah dengan diakukannya

leveringatau penyerahan secara yuridis, yang cara-caranya seperti dalam melakukan

jual beli. Dikatakan bahwa penghibahan, disamping jual beli dan tukar-menukar

merupakan suatu titel bagi pemindahan hak milik.

Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika ia

meliputi barang-barang yang baru akan ada dikemudioan hari, maka sekadar

mengenai hibahnya adalah batal. Berdasarkan ketentuan ini maka jika dihibahkan

suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu barang lain yang baru akan

ada dikemudian hari, penghibahan yang mengenai barang yang pertama adalah sah,

tetapi mengenai barang yang kedu adalah tidak sah.

C. Tukar Menukar

Dalam pengertiannya tukar menukar itu berasal dari bahasa Belanda yaitu

“Ruiling” yang mempunyai arti kata tukar-menukar, atau “Ruilen” yang berarti

menukarkan.80

Dalam perkembangannya pengertian tukar menukar antara lain :

1. Menurut KUHPerdata Pasal 1541 yang berbunyi : “tukar menukar ialah suatu

persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengukatkan diri untuk saling

memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu

barang lain”.

(29)

2. Menurut R.Subekti, menyatakan : “bahwa perjanjian tukar menukar ini adalah

juga suatu perjanjian konsensuil, dalam arti bahwa perjanjian itu sudah jadi

dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang

menjadi obyek obyek dari perjanjiannya”.81

3. Menurut C.S,T.Kansil, menyatakan bahwa :’perjanjian tukar menukar itu

sama dengan perjanjian jual-beli, tetapi perbedaannnya pada tukar menukar

kedua belah pihak berkewajibaan untuk menyerahkan barang, sedangkan jual

beli pada pihak yang satu wajib menyerahkan barang dan pihak yang lain

menyerahkan uang”.82

Dari pengertian tukar menukar tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu:

a. Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian obligatoir seperti jual beli,

dalam arti bahwa ia belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf

memberikan hak dan kewajiban. Pemindahan atau pengalihan hak terjadi

apabila masing-masing dari pemilik barang yang menjadi obyek

perjanjian saling memberikan barang yang dipertukarkan, sehingga pada

saat itu kepemilikan barang tersebut beralih.

b. masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak

milik atas masing-masing barang adalah perbuatan (perbuatan hukum)

yang dinamakan“levering”atau penyerahan hak milik secara yuridis.

D. Obyek Peralihan Hak Atas tanah Melalui Pewarisan

81

R. Subekti,Aneka Perjanjian, Cetakan ke X, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 54.

(30)

Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik dibagi menjadi dua bentuk :

a. Beralih

Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik dari pemegang haknya kepada

pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan.

Boedi Harsono menyatakan bahwa pengertian beralih menunjuk pada

berpindahnya Hak Milik kepada pihak lain karena pewarisan twerjadi “karena

hukum”, artinya dengan meninggalnya pemilik tanah, maka ahli waris

memperoleh Hak Miliknya itu menurut hukum sejak ia meninggal dunia.83

Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik ini terjadi karena Hukum, artinya

dengan meninggalnya pemegang hak, maka ahli warisnya memperoleh hak

atas tanah atau hak milik. Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak

harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) hak atas tanah atau Hak

Milik yang menjadi obyek pewarisan.84

b. Dialihkan

Berpindahnya jhak atas tanah atau Hak Milik dari pemegang (Subjek) haknya

kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan

dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan

hukum tersebut dapat berupa jual beli , tukar-menukar, hibah, pemasukan

dalam modal perusahaan, pemberian wasiat dan lelang. Dalam dialihkan atau

pemindahan hak disini, pihak yang mengalihkan hak harus berhak dan

83Boedi Harsono,Op. Cit, hal. 128.

(31)

berwenag memindahkan hak, sedangkan pihak yang menerima harus

memenuhi syarat sebagai pihak (subjek) yang berhak menerima Hak Milik.

Objek pada peralihan hak atas tanah berdasarkan pewarisan dapat terjadi

terhadap Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Untuk lebih jelasnya sakan diuraikan

dalam pembahasan di bawah ini.85

a. Hak Milik

Dasar hukum adanya peralihan hak milik dengan cara pewarisan dapat

dilihat dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa Hak

Milik dapat beralih dan diaihkan kepada pihak lain

b. Hak Guna Usaha

Dasar hukum adanya peralihan Hak Guna Usaha dengan cara pewarisan

dapat diambil dalam pasal 28 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa

hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Selain itu dalam pasal 16 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No 40

Tahun 1996 menyebutkan bahwa peralihan Hak Guna Guna Usaha dapat

terjaddi karena pewarisan.

c. Hak Guna Bangunan

Dasar Hukum adanya peralihan Hak Guna bangunan dengan cara

pewarosan dapat diambil dalam pasal 35 ayat (3) UUPA yang

(32)

menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan

kepada pihak lain.

Selain itu, pengaturan pewarisan terhadap Hak Guna Bangunan dapat

dilihat dalam pasal 35 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No 40 Tahun

1996 yang menyebutkan bahwa peralihan Hak Guna Bangunan terjadi

karena pewarisan.

d. Hak Pakai

Dasar hukum adanya peralihan Hak Pakai dapat diwariskan dimuat dalam

pasal 54 Peraturan pemerintah No.40 Tahun 1996 yang dalam ayat 1

menyebutkan bahwa Hak Pakai atas tanah yang berjangka waktu tertentu

dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengeloaan dapat beralih dan diaihkan

kepada pihak lain. Kemudai dalam ayat 3 huruf e menyebutkan bahwa

peralihan hak pakai terjadi karena pewarisan.

Pasal 54 ayat (8) Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 mensyaratkan

bahwa peralihan hak pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin

dari pejabat yang berwenang. Selanjutnya dalam ayat 9 mensyratakan

bahwa pengalihan hak pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakiukan

dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Kemudian

dalam ayat 10 menyebutkan bahwa pengalihan bahwa pemgalihan hak

pakai atas tanah hak milik harus dilakikan dengan persetujuan tertulis dari

pemegang hak milik yang bersangkutan.

(33)

Dasar hukum adanya peralihan Hak Milik atas Rumah Susun dapat

diwariskan dapat dilihat dalam pasal 10 Undang-Undnag No.16 Tahun

1985 yang menyebutkan bahwa Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) dapat beralih dengan cara

pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku. Pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan

di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota Madya yang bersangkutan

menurut Peraturan Pemerintah sebagai sebagai mana dimaksud dalam

Pasal 19 Undnag-undang Nomor 5 Tahun 1960.

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat diwariskan oleh

pemegang haknya kepada pihak lain dibangun di atas tanah Hak Milik,

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara, dan tanah Hak

Pengelolaan.

E. Akibat Hukum Pengalihan Harta Bersama Yang Mana sebahagian Ahli

Waris Tidak Mendapat Persetujuan.

Salah satu harta benda yang sering diwariskan adalah tanah. Permasalahan

yang sering terjadi berkaitan dengan hal ini adalah ketika seseorang/ahli waris ingin

menjual tanah warisan dari orang tuanya yang telah meninggal. Ahli waris kesulitan

karena sertipikat tanah belum diubah, apalagi jika jumlah ahli warisnya bukan hanya

(34)

Hal yang perlu diperhatikan ahli waris sebelum menjual tanah warisan orang

tua, ia harus terlebih dahulu melakukan balik nama sertipikat. Sebelum melakukan

balik nama atas sertipikat tanah warisan, terlebih dahulu dibutuhkan surat keterangan

waris dari kelurahan atau kecamatan dengan melampirkan surat kematian dengan

melampirkan surat kematian almarhum.

Setelah adanya surat keterangan waris, ahli waris mengajukan permohonan

balik nama waris di kantor pertanahan setempat. Permohonan balik nama waris

adalah permohonan balik nama yang dilakukan dari nama almarhum kepada nama

para ahli waris yang ada, yaitu Isteri beserta anak-anaknya. Nantinya akan tercantum

nama para ahli waris tersebut di dalam sertifikat.86

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000

tentang Pengenaan Bea perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan karena waris dan

hibah wasiat, ahli waris dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan karena

waris dan hibah dan bangunan yang seharusnya terutang. Adapun nilai perolehan

obyek pajak karena waris dan hibah wasiat disesuaikan dengan nilai pasar pada saat

didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan setempat. Jika nilai

pasar lebih rendah dari pada nilai perolehan obyek pajak, yang digunakan adalah

Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya

perolehan.

Berbicara masalah warisan, melayang pada benak kita tentang hal-hal yang

berkaitan dengan sejumlah harta peninggalan akibat kematian sesorang. Masalah

(35)

warisan, di dlam masyarakat kita sering menimbulkan perselisihan yang mungkin

akan mengakibatkan pecahnya keakraban persaudaraan. Hal ini sebenarnya tidak

perlu terjadi seandainya kita semua memahami apa yang seharusnya kita lakukan, apa

yang menjadi hak-hak kita, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban kita

yang berkaitan dengan harta warisan tersebut. Ketidaktahuan dan kekurang

pengertian, banyak menjadi biang keladi konflik tersebut.

Kemajemukan masyarakat di Indonesia didikuti dengan kemajemukan Hukum

Perdatanya. Dimana Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari Hukum Perdata

yang berkembang dengan sangat kental di masyarakat Indonesia . Karena seperti kita

ketahui kegiatan waris mewaris tidak bisa terlepas dari tata kehidupan masyarakat.

Ahli waris merupakan slah satu unsur utama dalam Hukum Waris. Dalam

membicarakan Ahli Waris, sudah barangtentu kita harus mengetahui apa yang

dimaksud dengan Ahli Waris, hak dan kewajibannya beserta penggolongannya seta

kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan status Ahli Waris, untuk

menghendari kesalahpahaman dalam menindak lanjutinya dalam kehidupan

sehari-hari.

Menurut ketentuan UU Perkawinan NO 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Ketentuan Dalam Konfilasi Hukum Islam, ditentukan bahwa Harta bersama

dalam perkawinan (gono gini) adalah seluruh harta benda kekayaan yang diperoleh

selama periode berlangsungnya perkawinan. Apakah harta tersebut diperoleh dari

hasil kerja bersama atau jerih payah salah satu (suami atau isteri saja), maka harta

(36)

Perlu diketahui bahwa dalam hal jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli

tersebut diakiukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana

terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pembuat Akta Tanah dan Pasal 95 Perauran Menteri Agraria /Kepala Badan

Pertanahn Nasional No.3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah No 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria

3/1997”). Akta PPAT tersebut bukti adanya peralihan hak atas tanah karena jual beli

tersebut (Pasa; 73 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendataran

Tanah).

Dalam proses jual beli tersebut, menurut Irma Devita Purnamasari S.H, M.Kn.

dalam bukunya yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi

Masalah Hukum Pertanahan (hal 17-21), sebagimana kami sarikan, dalam transaksi

jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut :

1. Data Tanah ;

a. PBB ali lima tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti

bayarannya);

b. Sertipikat asli Tanah;

c. Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) (optional)

d. Bukti Pembayaran Rekening Listrik, Telepon, Air (bila ada);

e. Sertipikat Hak Tanggungan jika masih dibebani hak tanggungan.

2. Data Penjual dan Pembeli :

(37)

b. Fotokopi Kartu Keluarga dan Akta Nikah;

c. Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli.

Dibutuhkan data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual

suatu benda (menjual merupakan tindkan kepemilikan) adalah orang yang memiliki

hak milik atas benda tersebut..

Hal senada juga ditegaskan Prof.Subekti,SH. Dalam bukunya yang berjudul

Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan yaitu bahwaeigendom (hak milik) adalah

hak yang paing sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas

suatu benda dpat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,

memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak

orang lain.

Hal ini juga didukung oleh Pasal 1471 Kitab Undnag-Undang Hukum Perdata

(“KUHPer”), yang berbicara mengenai jual beli (pada dasarnya dalam jual beli tanah

sama dengan jual beli pada umumnya), yang secara implisit mempersyaratkan bahwa

penjual haruslah pemilik dari barang yang dijual:

Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar

kepada pembeli untuk memberikan dasar kepada pembeli untuk menurut penggantian

biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan

orang lain.

Dalam hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan,

maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris (Pasal 833

(38)

undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah

menurur unang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang

hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Oleh karena itu, seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua

ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat

pewarisan. Irma Devita Purnamasari SH, M.Kn., dalam bukunya berjudul Kiat-Kiat

Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, sebagimana kami

sarikan, mengatakan jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan

dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir

untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di

hadapan Notaris pembuat akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris

tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tanan yang dilegalisir Notaris

setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.

Dalam hal jual beli tanah tersebut tidak ada persetujuan dari para ahli waris,

maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak menjualnya (karena yang

sekarang memgang hak milik atas tanah tersebut yaitu para ahli waris). Oleh karena

itu berdasarkan Pasal 1471 KUHPerdata di atas, jual beli tersebut batal. Dengan

batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan

masing-masing pihak dikembaikan ke keadannnya semula sebelum terjadi peristiwa

“jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.

Para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka

(39)

perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang

berbunyi :

“Tiap-tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata

sebagai berikut :

a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);

b. Perbuatan itu harus melawan hukum;

c. Ada kerugian;

d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan

kerugian;

e. Ada Kesalahan.

Yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah

perbuatan-perbuatan yang :

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2. Melanggar hak subyektif orang lain;

3. Melanggar kaidah tat susila;

4. Bertententangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang

seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga

(40)

Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa

persetujuan ahli waris merupkan perbuatan yang melanggar hak subyektif para ahli

waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan

hukum, harus dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi

semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum.

Hal ini didukung juga dengan adanya Pasal 834 KUHPerdata, yang

memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan gugatan guna memperjuangkan

hak warisnya terhadap orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagaian harta

peninggalan, baik orang tersebut menguasai atas dasar hak yang sama atau tanpa

dasar sesuatu hak pun atas harta peninggalan tersebut. Hal ini disebut dengan

hereditas petitio.

Mengenai apakah dpat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual,

hal itu bergantung pada apa yang anda minta dalam petitum gugatan anda dan

tergantung pada putusan hakim.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata jo Pasal 834 KUHPerdata memberikan para

ahli waris dasar untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dpat

memajukan gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas

(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengalihan hak atas tanah yang sudah seripikat hak milik yang diperoleh dari

harta bersama haruslah mendapapat persetujuan dari pada pasangan hidupnya

yaitu Suami maupun Istrinya, berhubung harta bersama tersebut adalah harta

yang mereka peroleh di dalam perkawinan, maupun harta yang dibawa

masing-masing sebelum perkawinan, namun berhubung tidak ada dilakukan perjanjian

perkawinan, maka harta menjadi bercampur, jadi apabila ingin diperjual belikan

hak atas tanah tersebut harus mendapat persetujuan dari pada pasangan hidupnya

Suami maupun Isterinya.

2. Pengalihan hak atas tanah yang berasal dari harta bersama dimana salah satu

pihak Suami Isteri meninggal dunia, haruslah mendapat persetujuan dari pada

anak-anaknya sebagai ahli waris, karena di dalam kepemilikan hak atas tanah

tersebut terdapat harta bersama (milik Suami atau Isteri) yang menjadi milik dari

pada anak-anaknya.

3. Akibat Hukum dari pada pengalihan hak atas tanah yang berasal daripada harta

bersama tidak mendapat persetujuan dari pada salah satu ahli waris adalah batal

demi hukum, yang mana akta jual beli yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT

dapat dibatalkan (vernietigbaar), maka oleh karena itu berdasarkan Pasal 1471

(42)

tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing

pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli”,

yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.

B. Saran

1. Permasalahan dalam pengalihan hak atas tanah yang berasal dari harta bersama

adalah dimana salah satu pihak Suami Istri apabila terjadi perceraian, masing

masing pihak sering terjadi bertemu secara bersama-sama dan berhadapan di

hadapan notaris/PPAT untuk menanda tangani pengalihan atau akta jual beli hak

atas tanah tersebut, dan sering mempertahankan bahwa hak atas tanah tersebut

adalah pencaharian masing masing Suami atau Isterinya sendiri, maka untuk ini

perlu disarankan membuat Penetapan Putusan Pengadilan ke Pengadilan Negeri

setempat dimana berdomisili agar didalam putusan tersebut selain diterangkan

sudah bercerai diterangkan pula secara detail bagian harta bersama selama yang

mereka peroleh dalam perkawinan serta langsung diuraikan atau dijelaskan

bagiannyaa masing-masing.

2. Dalam hal pengalihan hak atas tanah yang berasalal dari harta bersama ketika

salah satu Suami Isteri meninggal dunia, sering terjadi permasalahan diantara

anak-anaknya yang sekian banyak jumlahnya ada yang tidak mau memberikan

persetujauan atau menanda tangani akta jual belinya di hadapan Notaris/PPAT,

maka untuk itu disarankan agar membuat gugatan ke Pengadilan Negeri setempat

(43)

Keputusannya tanpa adanyapun persetujuan dari pada anaknya atau tanda tangan

anaknya dihadapan Notaris/PPAT, Jual Beli hak atas tanah tersebut dapat

dilaksanakan dan diteruskan balik nama sertipikat tersebut ke Kantor Pertanahan

setempat dimana obyek sertipikat hak atas tanah tersebut berada, dengan syarat

pada waktu dilaksanakan transaksi jual beli tersebut, bahagian dari pada si anak

yang tidak memberikan persetujuan tersebut dititipkan di Pengadilan Negeri atau

disebut juga denganKonsinyasi.,

3. Adapun sebagai akibat hukum daripada hak atas tanah yang berasal dari harta

bersama yang tidak mendapat persetujuan dari pada salah satu ahli warisnya yang

batal demi hukum tersebut adalah menjadi masalah yang berkepanjangan,

gugatannya bisa-bisa mencapai banding, kasasi maupun peninjauan kembali,

tentu saja hal ini akan menyita waktu yang berkepanjangan dan tidak ada

habis-habisnya, maka apabila sudah terjadi demikian maka perlu kembali kepada asas

kekeluargaan dan mufakat, yang mana dalam hal ini perlu dilakukan sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu perwujudan dalam penelitian ini, maka digunakan pembelajaran inkuiri terbimbing (terarah) untuk menemukan konsep hukum Newton yang terdiri dari hukum

Hasil penelitian di kabupaten Pemalang menunjukkan (1) perkembangan penerimaan retribusi pasar daerah di Kabupaten Pemalang sudah efektif, mencapai efisiensi dan mengalami

Penelitian yang dilakukan oleh Damayanti menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Reciprocal Teaching dalam pembelajaran matematika dapat

Dalam penelitian, observasi dikelompokkan sebagai penelitian ilmiah apabila observasi tersebut secara khusus dirancang untuk menjawab sebuah

Bahwa dalam rangka mensukseskan kegiatan sertifikasi guru yang diamanahkan kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari dan untuk meningkatkan kualitas akademis Guru

berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dalam kelompok kecil dengan jumlah anggota didalamnya dua

Dengan kata lain resiko korban kecelakaan pada malam hari dengan tingkat keparahan luka berat yaitu 1,578 kali lebih tinggi dibandingkan dengan koban kecelakaan pada pagi hari

Dalam penelitian ini, peneliti hadir secara langsung serta aktif berinteraksi dengan objek penelitian. Kehadiran peneliti mencoba untuk mengamati terkait