• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Work-Family Conflict Dengan Happiness At Work

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Work-Family Conflict Dengan Happiness At Work"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HAPPINESS

1. Definisi Happiness

Diener dan Diener (2008) menjelaskan happiness sebagai subjective well being (kesejahteraan subjektif), yang berarti suatu bantuk evaluasi yang efektif

dari kehidupan individu yang ditandai dengan sehat secara fisik, meningkatnya keterampilan dan hidup lebih lama (Lyubomirsky, King &Diener, 2003; Linley & Joseph, 2004). Happiness dalam hal ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu penilaian tentang kepuasan hidup (life satisfaction) dan mengenai sejauh mana emosi positif individu (positive affect) mampu melebihi emosi negatifnya (negative affect) (Diener 1984; Christopher, 1999).

(2)

juga didefinisikan sebagai suatu emosi positif yang dimiliki individu dan berlangsung lama sehingga individu dapat melakukan keberfungsiannya dalam kehidupan sehari-hari (Huppert, 2009).

Happiness dipandang sebagai suatu keadaan yang di dalamnya terdapat

interaksi antara individu dengan dunia sosialnya demi mendapatkan kesehatan, keamanan, pendapatan dan lingkungan yang baik (Perri, 2002; Hird, 2003). Selanjutnya, happiness merupakan gambaran kualitas kehidupan yang ingin dicapai seseorang melalui aktualisasi kemampuan mereka (Emerson, 1985; Hird, 2003).

Happiness juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan

peningkatan potensi diri individu dan pengarahkan kognisi pada hal yang positif sehingga berkontribusi terhadap emosi yang positif (Ryan & Deci, 2001; Huppert, 2009). Sementara itu, Razulzada (2007) menjelaskan happiness sebagai suatu kualitas keberfungsian psikilogis dan sosial individu yang ditandai dengan perilaku yang baik, hubungan interpersonal yang baik dan proses pengambilan keputusan yang baik.

(3)

2. Happiness at work

Harter, Schmidt dan Keyes (2002) menjelaskan bahwa happiness at work adalah suatu keadaan yang tampak ketika karyawan memiliki loyalitas, kepuasan kerja, daya tahan dan produktivitas yang tinggi sehingga dapat menuntun organisasi dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya, happiness at work dimaknai sebagai suatu keadaan yang berkontribusi positif dengan produktivitas suatu organisasi (Spector, 1997; Keyes, Hysom & Lupo, 2000). Artinya ketika karyawan dalam suatu organisasi bahagia di tempat kerjanya, maka produktivitas organisasi tersebut juga akan meningkat.

Happiness at work juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang meliputi

perasaan positif yang diperoleh karyawan dari pemikirannya yang baik dan dapat membuatnya menjadi lebih kreatif, lebih interaktif dengan rekan kerjanya dan lebih sehat secara fisik dan mental (Fredrickson, 2001; Wright, Cropanzano & Bonett, 2007).

Menurut De Vita (2010), happiness at work adalah suatu kualitas keadaan yang dicapai ketika individu memaksimalkan potensi kinerjanya berdasarkan 5C, yaitu contribution (kontribusi), conviction (keyakinan), culture (kebudayaan), commitment (komitmen) dan confidence (kepercayaan diri). Selanjutnya, happiness at work dimaknai sebagai suatu keadaan individu yang lebih

(4)

Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa happiness at work adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat perasaan positif yang

membuat karyawan menjadi lebih loyal, kreatif, produktif, termotivasi, percaya diri, sehat secara fisik dan mental sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik.

3. Dimensi Happiness

Ryff (1989) mengidentifikasikan enam dimensi happiness, yaitu a. Penerimaan diri

Dimensi ini merupakan ciri utama dalam aktualisasi diri, kesehatan mental yang baik dan keberfungsian yang optimal. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai oleh sikap positif terhadap diri sendiri, menerima dan mengakui berbagai aspek kelebihan dan kekurangan dalam dirinya dan memandang pengalaman masa lalu sebagai hal yang positif (Ryff & Singer, 2008). Sebaliknya, individu yang tingkat penerimaan dirinya kurang baik akan merasa tidak puas dengan pengalaman masa lalunya dan tidak dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya (Ryff & Singer, 2008).

b. Hubungan positif dengan orang lain

(5)

individu yang kurang memiliki hubungan positif dengan orang lain akan merasa kesulitan untuk menjalin hubungan yang akrab, sulit peduli dan percaya pada orang lain serta merasa terisolasi dalam hubungan interpersonal dengan orang lain (Ryff & Singer, 2008).

c. Otonomi

Dimensi ini berkaitan dengan kemandirian dan pengaturan perilaku secara internal. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang tinggi memiliki kemampuan dalam mengatur perilakunya, mengambil keputusan, berpotensi untuk menolak tekanan sosial dengan cara tertentu, mampu mengevaluasi diri, tidak bergantung pada orang lain serta mampu menentukan mana yang terbaik untuk dirinya (Ryff & Singer, 2008). Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat otonomi yang rendah akan cenderung bergantung pada orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain (Ryff & Singer, 2008).

d. Penguasaan terhadap lingkungan

(6)

e. Tujuan hidup

Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam mencapai tujuan hidup. Individu yang mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik ditandai dengan memiliki target dalam hidupnya, mampu mengarahkan hidupnya, memandang kehidupannya saat ini dan masa lalu sebagai sesuatu yang bermakna dan memegang keyakinan dalam mencapai tujuan hidup (Ryff & Singer, 2008). Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan memandang masa lalu sebagai sesuatu yang tidak bermakna dan tidak memiliki target yang ingin dicapai dalam hidupnya (Ryff & Singer, 2008).

f. Perkembangan pribadi

Dimensi ini berkaitan dengan pertumbuhan pribadi seorang individu dalam mengembangkan potensinya. Individu yang memiliki perkembangan pribadi yang baik memiliki perasaan untuk terus berkembang, menyadari potensi yang ada dalam dirinya dan terbuka terhadap pengalaman baru (Ryff & Singer, 2008). Sebaliknya, individu yang memiliki perkembangan pribadi yang kurang baik ditandai dengan ketidaktertarikannya dengan kehidupan yang dijalani, kurang merasakan adanya perbaikan diri dan tidak mau menerima sesuatu yang baru (Ryff & Singer, 2008).

(7)

4. Konsep Happiness

Ryan & Deci (2001) menjelaskan dua konsep happiness, yaitu: a. Hedonic

Konsep ini berfokus pada pengalaman individu yang meliputi kesenangan dan kepuasan (Burns & Machin, 2009). Kesenangan didefinisikan sebagai keadaan yang nyaman dan menguntungkan, sementara kepuasan berkaitan dengan penilaian kognitif individu dan keinginan untuk hidup lebih lama (Boskovic & Vesna, 2008).

Hedonic berkaitan dengan kesejahteraan subjektif (subjective well being) yang dikemukakan oleh Diener (Burns & Machin, 2009) yang ditandai dengan tingkat kepuasan hidup yang tinggi (life satisfaction), emosi positif yang tinggi (positive affect) dan emosi negatif (negative affect) yang rendah. Happiness merupakan tujuan akhir hidup manusia dan terletak pada keberhasilan individu dalam memuaskan hasratnya (Ryan & Deci, 2001).

b. Eudaimonic

Konsep ini berfokus pada pengaktualisasian diri, pencapaian potensi dan perkembangan pribadi menjadi manusia sejati (Waterman, 1993; Boskovic & Jengic, 2008). Ryan & Deci (2001) menyebutkan bahwa seseorang yang merasakan kehadiran emosi positif dan kepuasan hidup tidak berarti bahwa mereka memiliki kesejahteraan psikologis yang baik.

Eudaimonic berkaitan dengan kesejahteraan psikologis (psychological well

(8)

kekuatan dan kelemahan diri, hubungan positif dengan orang lain, pengarahan tingkah laku secara optimal, pengaturan lingkungan, tujuan hidup dan pengembangan potensi diri. Eudaimonic tidak semata-mata memaksimalkan pengalaman positif dan meminimalkan pengalaman negatif, tetapi lebih mengacu pada kebajikan, pemenuhan diri dan hidup seutuhnya (Ryan & Deci, 2008; Vazquez, Hervas, Rahona & Gomez, 2009).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Happiness at work

Huppert (2009) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi happiness, yaitu:

a. Dukungan sosial

Merupakan gambaran perilaku mendukung kepada individu yang dilandasi emosi positif dari orang-orang yang bermakna dalam hidupnya, terutama keluarga. Dalam hal ini, peran ayah dan ibu sangat penting dalam pengembangan happiness seseorang (Furnham & Cheng, 2000; Huppert, 2009). Bagi individu

yang telah bekerja, dukungan dari atasan dan rekan kerja juga berperan dalam pengembangan happiness karyawan.

b. Kepribadian

(9)

c. Usia

Happiness dipandang sebagai aspek yang berkembang seiring

meningkatnya usia. Menurut Ryff dan Singer (1996), dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi terlihat cenderung meningkat dari usia dewasa muda menuju usia paruh baya, dimensi perkembangan pribadi dan tujuan hidup terlihat meningkat dari usia paruh baya menuju masa tua, sementara dimensi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tidak menunjukkan perbedaan usia yang signifikan.

d. Jenis kelamin

Ryff (1989) menjelaskan bahwa ada peran jenis kelamin berkaitan erat dengan happiness seseorang. Hasil penelitian menyebutkan bahwa wanita memiliki skor tinggi pada skala yang menilai fungsi sosial, seperti menjalin hubungan positif dengan orang lain, termasuk dengan rekan kerja (Ryff & Singer, 1998; Huppert, 2009).

e. Status sosial ekonomi

Perbedaan status sosial ekonomi berkaitan erat dengan happiness individu. Dolan, Peasgood & White (2008) menyebutkan bahwa individu dengan tingkat sosial dan pendapatan yang tinggi akan memperoleh happiness at work yang lebih tinggi dan cenderung terhindar dari stress.

Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi happiness adalah dukungan sosial, kepribadian, usia, jenis kelamin dan status

(10)

B. WORK-F AMILY CONFLICT

1. Definisi Work-family conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict sebagai konflik yang mengacu pada sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu. Sementara itu, Frone (1992) menegaskan bahwa work-family conflict muncul karena individu tidak mampu memandang tuntutan pekerjaan dan

keluarga secara seimbang sehingga berefek pada kehidupan individu.

Work-family conflict merupakan salah satu stressor yang berpegaruh

terhadap kesehatan fisik dan mental (Greenhaus dan Parasuraman, 1986; Grzywacz, Arcury, Marin, Carrillo, Burke, Coates & Quandt, 2007). Work-family conflict juga didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan ketidaksinambungan

dalam pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga yang dapat menyebabkan menurunnya kesehatan dan kepuasan kerja (Warner, 2005; Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011).

Selanjutnya, Aslam, Shumaila, Azhar dan Sadaqat (2011) mendefinisikan work-family conflict sebagai masalah umum yang dialami karyawan, situasi

negatif yang tidak diinginkan dan cukup mempengaruhi aspek pekerjaan, seperti kelelahan dalam bekerja, tingkat absen yang tinggi bahkan keinginan untuk berhenti bekerja.

Work-family conflict dimaknai sebagai konflik yang mengganggu aktivitas

(11)

(Kinnuenens & Mauno, 1998). Work-family conflict juga dipandang sebagai konflik yang terjadi karena tuntutan salah satu peran individu mengancam sumber daya seseorang dari waktu ke waktu, misalnya jam kerja yang panjang menyebabkan kelelahan dalam bekerja sehingga menghambat pemenuhan tuntutan keluarga (Hobfoll danFreedy, 1993; Tsai, 2008),

Berdasarkan uraian definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa work-family conflict adalah konflik yang muncul ketika individu tidak dapat membagi

waktu dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga sehingga berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental serta menyebabkan kondisi rumah menjadi kurang harmonis, kelelahan dalam bekerja, sering absen bahkan ingin berhenti bekerja.

2. Dimensi Work-family conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga dimensi work-family conflict, yaitu:

a. Time-based conflict

(12)

kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan keluarga secara maksimal (Byron, 2005).

b. Strain-based conflict

Konflik yang terjadi ketika ketegangan dari salah satu peran mengancam performansi peran yang lain. Ketegangan di tempat kerja seperti kelelahan bekerja membuat individu hanya berfokus pada pekerjaannya dan kurang menaruh perhatian pada tuntutan keluarga, sedangkan ketegangan dalam keluarga seperti konflik perkawinan menyebabkan individu kurang berkonsentrasi di tempat kerja (Byron, 2005; Grzywacz, Marin, Burke dan Quandt, 2007). Konflik yang terjadi tidak hanya menyebabkan ketegangan fisik, namun juga ketegangan psikologis yang menghambat kinerja peran yang lain (Rothbard & Edwards, 2000).

c. Behavior-based conflict

Konflik yang terjadi ketika pola perilaku yang ditampilkan pada satu peran tidak sesuai dengan harapan tuntutan peran yang lain. Misalnya ketegasan dan pendekatan agresif yang diperlukan individu dalam mengambil keputusan di lingkungan pekerjaan tidak sesuai konteksnya dengan keberadaan individu di lingkungan keluarga yang lebih memerlukan kehangatan dan keharmonisan (Lambert, Hogan, Camp, & Ventura, 2006).

(13)

3. Konsep Work-family conflict

Konsep work-family conflict dapat dibagi ke dalam dua bentuk (Frone, 1992; Adekola, 2010), yaitu:

a. Konflik Pekerjaan (Work Interference with Family)

Konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab individu dalam lingkungan keluarga. Misalnya, individu membawa pulang pekerjaan dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu keluarga (Noor, 2004). Efek mood dan stress yang dialami di lingkungan pekerjaan juga membuat individu tidak fokus dalam menyelesaikan tuntutan perannya di lingkungan keluarga (Williams & Alliger, 1994; Adekola, 2010). Selain itu, pertumbuhan karir individu dalam pekerjaannya akan menyebabkan individu meningkatkan komitmennya dalam memenuhi tuntutan pekerjaan sehingga tuntutan keluarga tidak terpenuhi secara maksimal (Adekola, 2010). b. Konflik Keluarga (Family Interference with Work)

(14)

C. DINAMIKA HUBUNGAN WORK-F AMILY CONF LICT DENGAN

HAPPINESS AT WORK

Happiness adalah suatu keadaan yang tampak ketika individu dapat

melakukan keberfungsian fisik, psikologis dan sosialnya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari (Nussbaum, 2001; Grant, Christianson & Price, 2007), misalnya mengambil suatu keputusan, berinteraksi dengan orang lain dan menaruh perhatian penuh pada keluarganya (Warr, 1990; Razulzada, 2007). Hal ini berarti bahwa individu yang bahagia memiliki kualitas hidup yang baik (Veenhoven, 1996; Hird, 2003).

Menurut Ryan dan Deci (2001), happiness memiliki dua konsep, yaitu hedonic dan eudaimonic. Hedonic berkaitan dengan kesejahteraan subjektif

(subjective well being) yang dikemukakan oleh Diener (2000), yang terdiri dari kepuasan hidup, tingginya emosi positif dan rendahnya emosi negatif. Sedangkan eudaimonic berfokus pada penerimaan diri, otonomi, penguasaan terhadap

lingkungan, tujuan hidup, perkembangan pribadi dan hubungan positif dengan orang lain, yang merupakan dimensi kesejahteraan psikologis (psychological well being) oleh Ryff (1989).

(15)

Hasil penelitian Segrin & Taylor (2007) menyatakan bahwa individu yang mampu memahami kondisi emosional orang lain, mengkomunikasikan ide dan pikirannya dan dapat mengelola kondisi emosionalnya sendiri dengan baik dalam situasi sosial, maka akan meninggalkan kesan yang baik pada orang lain. Hal-hal ini yang akan menjadi dasar terbentuknya hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain.

Hubungan positif yang utama bagi sebagian besar individu dalam kehidupannya adalah hubungan dengan keluarga, seperti hubungan antara suami dengan isteri dan hubungan antara orang tua dengan anak (Ryff & Singer, 2000) yang melibatkan kedekatan, kehangatan dan dukungan sosial (Taylor, Repetti & Seeman, 1997). Indvidu yang tidak memiliki kedekatan, rasa kekompakan dan dukungan sosial dalam lingkungan keluarga akan merasa tertekan (Kaslow, Deering & Racusin, 1994; Taylor, Repetti & Seeman, 1997).

Penelitian Huppert (2009) menunjukkan bahwa individu yang menampilkan perilaku sosial yang baik, seperti membangun hubungan positif dengan orang lain, termasuk hubungan dengan keluarga, dapat memberikan efek positif pada organisasi tempat ia bekerja. Hal ini berarti bahwa happiness at work berkaitan dengan kepuasan kehidupan karyawan dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga (Andrews & Withey, 1976; Keyes, Hysom & Lupo, 2000).

(16)

pernikahan dapat mengganggu kinerja seseorang di tempat kerja (Herman & Gyllstrom, 1977; Lu, Gilmour, Kao & Huang, 2006). Sejalan dengan itu, hasil penelitian Amstad, dkk (2011) menjelaskan bahwa ketidakpuasan dalam pernikahan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik dalam keluarga yang menyebabkan ketidakpuasan dalam hidup berkeluarga.

Bagi individu yang bekerja, ketidakpuasan dalam kehidupan keluarga berkontribusi terhadap ketidakpuasan dalam kehidupan pekerjaan (Amstad, dkk, 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Byron (2005) yang menjelaskan bahwa konflik dalam keluarga akan menyebabkan individu menjadi kurang berkonsentrasi di tempat kerja. Ditambah lagi dengan mood dan stress dalam pekerjaan yang membuat individu menjadi terbagi pikirannya dalam menyelesaikan tuntutan keluarga dan pekerjaannya. Greenhaus dan Beutell (1985) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jam kerja yang tidak proporsional akan mengganggu individu dalam memenuhi perannya dalam keluarga.

Konflik yang terjadi di dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan yang kemudian membuat individu tidak dapat menjalani perannya dengan baik. Akibatnya, pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini disebut sebagai work-family conflict (Greenhaus dan Beutell, 1985; Jimenez, dkk, 2008).

Work-family conflict terdiri dari konflik pekerjaan yaitu konflik yang

(17)

dan tanggung jawab dalam keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan (Frone, 1991; Adekola, 2010).

D. HIPOTESIS PENELITIAN

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas fitoplankton; kesuburan perairan dan perhitungan nilai Saprobitas Perairan; dan keterkaitan unsur hara (N, P)

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan efektifitas pembelajaran matakuliah kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat berwirausaha

sistem tenaga listrik adalah relay arus lebih (over current relay). Proteksi arus lebih merupakan proteksi terhadap perubahan parameter arus yang besar dan terjadi

Pada proses ini bahan baku yang digunakan adalah ethyl alcohol

Pada hari ini RABU tanggal EMPAT BELAS bulan AGUSTUS tahun DUA RIBU DUA BELAS, kami Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Kementerian Agama Kantor Wilayah Kementerian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mengirimkan surat permohonan penelitian pada instansi (Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera Baru Kota

sehingga untuk mengaktifkan transistor diperlukan tegangan buka dari sinyal yang lebih besar dibanding dengan Kelas B.... • Hampir tidak