BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah
Perusahaan manufaktur merupakan suatu cabang
menggabungkan pemakaia
untuk mengubah
Perkembangan perusahaan manufaktur di Indonesia sendiri semakin berkembang.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan manufaktur yang
didirikan di Indonesia. Berikut jumlah perkembangan perusahaan manufaktur di
Indonesia dari tahun 2010-2014:
sumber: www.sahamok.com
Grafik 1.1 Jumlah Perkembangan Perusahaan Manufaktur di Indonesia
Dari grafik diatas, tampak bahwa perusahaan manufaktur mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, walaupun mengalami
perkembangan terdapat beberapa perusahaan go public yang delisting sebagai
akibat dari kerugian besar dan tidak mampu memperbaiki kinerja perusahaannya.
Perusahaan tersebut adalah PT Pan Asia Filament Inti Tbk (PAFI), PT Surabaya 120
125 130 135 140
2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Perusahaan Manufaktur di Indonesia
128
130
132
134
Agung Industri Pulp & Kertas Tbk (SAIP), dan PT Surya Intrindo Makmur Tbk
(SIMM).
Semakin banyak perusahaan manufaktur menyebabkan tingkat persaingan
semakin tinggi, sehingga perusahaan manufaktur dituntut untuk memiliki
kemampuan untuk tetap menjaga eksistensinya. Perusahaan yang tidak mampu
bersaing dalam mempertahankan kinerjanya, perlahan akan tersingkirkan dari
lingkungan industridan akan mengalami kebangkrutan. “Kebangkrutan merupakan
kondisi di mana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya”
(Syahyunan, 2013:103). Kebangkrutan dapat dilihat dari menurunnya kondisi
keuangan suatu perusahaan atau disebut dengan financial distress.
Financial distress merupakan kondisi keuangan yang terjadi sebelum
terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Menurut Atmini (2005), Financial
distress merupakan konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi dimana suatu
perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Istilah umum untuk
menggambarkan situasi tersebut adalah kebangkrutan, kegagalan,
ketidakmampuan melunasi hutang dan default. Ketidakmampuan melunasi hutang
menunjukkan kinerja yang negatif dan menunjukkan adanya masalah likuiditas.
Default berarti suatu perusahaan melanggar perjanjian dengan kreditur dan dapat
menyebabkan tindakan hukuman.
Ketika perusahaan mengalami kondisi kesulitan keuangan, para investor
maupun kreditur akan mempertimbangkan akan menanamkan modalnya pada
perusahaan tersebut atau tidak. Menurut Harmono (2011:23) kinerja perusahaan
lain seperti imbalan investasi (return on investment) atau penghasilan per lembar
saham (earning per share). Oleh sebab itu, semua perusahaan harus memperkuat
fundamentalnya untuk menjaga berjalannya kinerja perusahaan sesuai yang
diharapkan agar tidak mengalami kesulitan keuangan dan bahkan sampai
mengalami kebangkrutan.
Kesulitan keuangan merupakan keadaan dimana perusahaan tidak mampu
lagi dalam melunasi hutang-hutang jangka pendeknya. Financial distress sudah
menjadi hal yang menakutkan bagi setiap perusahaan, karena financial distress
dapat terjadi pada semua jenis perusahaan, baik itu perusahaan besar maupun
perusahaan kecil. Peliknya permasalahan keuangan yang terjadi pada perusahaan
saat ini menjadi bahan menarik untuk diteliti karena banyak perusahaan yang
berusaha untuk menghindarinya.
Menurut Platt dan Platt (2002), sebuah perusahaan dianggap mengalami
financial distress jika terjadi salah satu dari kejadian berikut : mengalami laba
operasi bersih negatif selama beberapa tahun, penghentian pembayaran dividen,
restrukturisasi keuangan atau PHK massal. Financial distress yang cukup
mengganggu kegiatan operasional perusahaan merupakan suatu kondisi yang
harus segera diwaspadai dan diantisipasi. Sedangkan menurut Rodoni dan Ali
(2010:176) apabila ditinjau dari kondisi keuangan ada tiga keadaanyang
menyebabkan financial distress yaitu faktor ketidakcukupan modal atau
kekurangan modal, besarnya beban utang dan bunga serta menderita kerugian.
Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan untuk
perusahaan, seperti aktiva, modal, atau penjualan perusahaan. Untuk mengukur
rasio profitabilitas ini, dapat menggunakan Return On Assets (ROA). Return On
Assets (ROA) menunjukkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan
seluruh aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak atau laba
bersih operasi. Rasio ini penting bagi pihak manajemen untuk mengevaluasi
efektivitas dan efisiensi manajemen perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva
perusahaan serta menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang
dimilikinya. Semakin besar ROA yang dihasilkan perusahaan, maka semakin
efisien penggunaan aktiva perusahaan atau laba yang dihasilkan besar, dan
sebaliknya semakin rendah nilai ROA yang dihasilkan perusahaan maka
kemungkinan terjadinya financial distress semakin besar (Sudana, 2011 : 22).
Rasio likuiditas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam memenuhi kewajiban jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan
menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Besar kecilnya rasio ini dapat dilihat
dan diukur melalui Current Ratio (Rasio Lancar). Current ratio mengukur
kemampuan perusahaan untuk membayar utang lancar dengan menggunakan
aktiva lancar yang dimiliki (Sudana, 2011:21). Semakin besar perbandingan
aktiva lancar dengan utang lancar semakin tinggi kemampuan perusahaan
menutupi kewajiban jangka pendeknya (Munawir, 2007:72).
Rasio leverage mengukur berapa besar penggunaan utang dalam
pembelanjaan perusahaan. Rasio ini dapat diukur dengan menggunakan Debt
Ratio. Debt Ratio ini mengukur proporsi dana yang bersumber dari utang untuk
penggunan utang dalam membiayai investasi pada aktiva, yang berarti pula risiko
keuangan perusahaan meningkat dan sebaliknya (Sudana, 2011:20). Semakin
rendah rasio ini maka semakin kecil jumlah modal pinjaman yang digunakan
dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan (Syamsuddin, 2004:54). Almila
dan Kristijadi (2003) menunjukkan hubungan anatara leverage dengan financial
distress yang keduanya berhubungan positif. Semakin besar jumlah aset yang
dimiliki perusahaan tersebut, perusahaan akan lebih stabil keadaannya dan lebih
kuat menghadapi ancaman financial distress. Sebaliknya, jika aset perusahaan
yang dimiliki rendah, maka perusahaan lebih mudah terkena financial distress.
Penelitian dilakukan pada sektor manufaktur karena pada tahun 2010
sampai tahun 2014 terdapat banyak perusahaan yang mengalami laba operasi
negatif di sektor manufaktur dibandingkan dengan sektor yang lainnya. Laba
operasi yang negatif merupakan salah satu pertanda perusahaan tersebut
mengalami financial distress. Berikut adalah perkembangan Return On Assets
(ROA), Current Asset, dan Debt Ratio perusahaan manufaktur.
Tabel 1.1
Perkembangan Return On Assets (ROA), Current Asset, dan Debt Ratio Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2014
Sumber: www.idx.co.id(data diolah)
Rasio FPNI (PT. Lotte Chemical Tbk.) BRPT (PT. Barito Pasific Tbk.) 2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014
ROA -6.98 -3.87 -5.18 -2.12 -2.51 -4.61 -1.95 -5.83 -1.41 -0.06 Current
Ratio 0,74 0,88 0,91 0,94 0,77 1,44 1,98 1,52 1,34 1,40
Berdasarkan Tabel 1.1, dapat dilihat Return on Asset (ROA), current asset
dan debt ratio pada perusahaan manufaktur dengan kode emiten FPNI yaitu PT.
Lotte Chemical Tbk dan BRPT yaitu PT. Barito Pasific Tbk. Dapat dilihat ROA
pada perusahaan manufaktur dengan kode FPNI dengan persentase yang
berfluktuasi setiap tahunnya, pada tahun 2010-2011 ROA mengalami peningkatan
sebesar (3,11%) dari -6,98% pada tahun 2010 menjadi -3,87% pada tahun 2011,
hal ini sudah sejalan dengan peningkatan current ratio pada periode yang sama
sebesar 0,14% dari 0,74× pada tahun 2010 menjadi 0,88× pada tahun 2011,
namun pada periode yang sama debt ratio mengalami peningkatan sebesar 0,07%
dari 0,56% pada tahun 2010 menjadi 0,63% pada tahun 2011.
Pada periode tahun 2011-2012 ROA mengalami penurunan sebesar
(1,31%) dari -3,87% pada tahun 2011 menjadi -5,18% pada tahun 2011, pada
periode yang sama current ratio pada perusahaan manufaktur dengan kode FPNI
mengalami peningkatan sebesar 0,03% dari 0,88× pada tahun 2011 menjadi
-5,18× pada tahun 2012, pada periode yang sama debt ratio mengalami
peningkatan sebesar 0,03% dari 0,63% pada tahun 2011 menjadi 0,66% pada
tahun 2012.
Pada periode tahun 2012-2013 ROA mengalami peningkatan sebesar
(3,06%) dari -5,18% pada tahun 2012 menjadi -2,12% pada tahun 2012, pada
periode yang sama current ratio juga mengalami peningkatan sebesar 0,03% dari
0,91× pada tahun 2012 menjadi 0,94× pada tahun 2013, pada periode yang sama
debt ratio mengalami penurunan 0,01 % dari 0,66% pada tahun 2012 menjadi
penurunan sebesar (0,39 %) dari -2,12% pada tahun 2013 menjadi -2,51% pada
tahun 2014, pada periode yang sama current ratio mengalami penurunan sebesar
017% dari 0,94× pada tahun 2013 menjadi 0,77× pada tahun 2014, namun pada
periode yang sama debt ratio mengalami penurunan sebesar 0,02% dari 0,65%
pada tahun 2013 menjadi 0,63% pada tahun 2014.
Perusahaan manufaktur dengan kode emiten BRPT yaitu PT. Barito
Pasific Tbk, dapat dilihat pada tabel 1.1 ROA perusahaan dengan kode BRPT
tersebut mengalami persentase yang berfluktuasi setiap tahunnya. Pada periode
tahun 2010-2011 ROA mengalami peningkatan sebesar (2,66%) dari -4,61% pada
tahun 2010 menjadi -1,95% pada tahun 2011, pada periode yang sama current
ratio mengalami peningkatan 0,54% dari 1,44× pada tahun 2010 menjadi 1,98×
pada tahun 2011, pada periode yang sama debt ratio mengalami jumlah yang tetap
sebesar 0,50%. Pada tahun 2011-2012 ROA mengalami penurunan sebesar
(3,88%) dari -1,95% pada tahun 2011 menjadi -5,83% pada tahun 2012, pada
periode yang sama current ratio mengalami penurunan sebesar 0,46% dari 1,98×
pada tahun 2011 menjadi 1,52× pada tahun 2012, namun pada periode yang sama
debt ratio mengalami peningkatan sebesar 0,15% dari 0,50 pada tahun 2012
menjadi 0,65 pada tahun 2012.
Pada tahun 2012-2013 ROA mengalami peningkatan sebesar (4,42%) dari
-5,83% pada tahun 2012 menjadi -1,41% pada tahun 2013, namun pada periode
yang sama current ratio mengalami penurunan sebesar 0,18% dari 1,52× pada
tahun 2012 menjadi 1,34× pada tahun 2013, pada periode yang sama debt ratio
0,74% pada tahun 2013. Pada tahun 2013-2014 ROA perusahaan tersebut
mengalami peningkatan sebesar 1,35% dari 1,41% pada tahun 2013 menjadi
-0.06% pada tahun 2014, pada periode yang sama current ratio perusahaan
tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,06% dari 1,34× pada tahun 2013
menjadi 1,40× pada tahun 2014, pada periode yang sama debt ratio perusahaan
tersebut mengalami penurunan sebesar 0,03% dari 0,74% pada tahun 2013
menjadi 0,71% pada tahun 2014.
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita lihat bahwa kedua perusahaan
manufaktur tersebut mengalami laba operasi negatif yang berfluktuasi selama
beberapa tahun berturut – turut. Meskipun Return on Asset (ROA) perusahan
tersebut cenderung mengalami kenaikan, tetapi ROA perusahaan tersebut masih
negatif, dimana ROA yang negatif merupakan tanda dari terkena financial distress
(Luciana,2003). Selain itu, kinerja keuangan perusahaan yang baik ditunjukkan
dengan penurunan debt ratio (Sugiono dan Untung, 2008:63), hal ini bertentangan
dengan debt ratio yang cenderung mengalami peningkatan.
Tabel 1.2
Perkembangan Laba Operasi Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Tahun 2010-2014 No.
Nama Perusahaan Kode Emiten
Berdasarkan Tabel 1.2, kita dapat melihat bahwa laba operasi PT. Lotte
Barito Pasific Tbk, perusahaan ini juga mengalami laba operasi negatif yang
cenderung turun. Laba operasi yang negatif merupakan ciri – ciri perusahaan yang
terkena financial distress (Sari, 2005).
Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan memanfaatkan rasio
keuangan sebagai alat yang digunakan dalam memprediksi terjadinya financial
distress pada perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Andre (2013)
menunjukkan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh negatif dan signifikan
dalam memprediksi financial distress, likuiditas tidak berpengaruh dalam
memprediksi financial distress, leverage mempunyai pengaruh positif dan
signifikan dalam memprediksi financial distress pada perusahaan aneka industri
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Widhiari dan Merkusiwati (2015)
menunjukkan bahwa rasio likuiditas, operating capacity dan sales growth
berpengaruh negatif terhadap financial distress pada perusahaan manufaktur.
Sedangkan rasio leverage tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Dari penelitian diatas terdapat perbedaan hasil penelitian dimana pada
penelitian yang dilakukan oleh Andre (2013) likuiditas tidak mempunyai
pengaruh sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Widhiari dan
Merkusiwati (2015) dikatakan bahwa likuiditas mampu mempegaruhi financial
distress dengan arah negatif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Andre (2013)
juga dikatakan bahwa leverage mempunyai pengaruh positif dan signifikan dalam
Widhiari dan Merkusiwati (2015) dikatakan bahwa rasio leverage tidak mampu
mempengaruhi kemungkinan terjadinya financial distress.
Berdasarkan pada fenomena-fenomena pada paparan diatas maka peneliti
tertarik melakukan penelitian terkait kondisi financial distress dengan judul
“Analisis Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage dalam Memprediksi Financial Distress pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia.”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Apakah profitabilitas, likuiditas
dan leverage secara parsial dan simultan memiliki pengaruh dalam memprediksi
financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui
dan menganalisa Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage dalam memprediksi
Financial Distress pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan berguna bagi:
1. Bagi Perusahaan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan masukan
atau saran dan juga sebagai bahan pertimbangan bagi manajemen
perusahaan guna untuk memprediksi kondisi financial distress merupakan
antisipasi dan sistem peringatan dini bagi manajemen perusahaan terhadap
terjadinya kebangkrutan
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan suatu kesempatan bagi peneliti untuk melihat dan
lebih memahami dan juga membandingkan antara teori-teori dan literatur
yang penulis dapatkan di bangku perkuliahan dengan fenomena yang ada
di lapangan. Dengan demikian akan menambah pemahaman peneliti dalam
bidang keuangan (financial), khususnya tentang faktor-faktor penyebab
terjadinya financial distress.
3. Bagi Pihak Lain
Di harapkan penelitian ini dapat menambah pemahaman dan memperluas
pengetahuan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya financial
distress pada perusahaan bagi siapapun yang membaca penelitian ini, dan
juga dapat menjadi bahan referensi dan dapat memberikan kontribusi
yang positif bagi penelitian lanjutan khususnya yang membahas mengenai