• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM RADIKAL DALAM KONTEKS SEJARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM RADIKAL DALAM KONTEKS SEJARAH"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM RADIKAL DALAM KONTEKS SEJARAH Oleh: Zainal, M.Ag1

Abstrak

Penekanan tulisan ini akan menelusuri kemunculannya radikalisme dalam Islam. Pemikiran yang berkembang tentang kemunculan radikalisme Islam banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, politik, dan ideologi. Pada pembahasan ini juga akan mengungkap genealogi radikalisme dalam Islam. Pada dasarnya radikalisme yang terjadi di dunia Muslim memiliki keterkaitan dengan radikalisme tempo dulu, seperti dengan khawarij, dan sebagainya. Tulisan ini akan membuktikan bahwa radikalisme yang melanda dunia Muslim, seperti di Indonesia ada keterkaitan dengan radikalisme sebelumnya, dan ia tidak berdiri sendiri, paling tidak dari segi ideologi ada kesinambungan dengan radikalisme sebelumnya, meskipun dilakukan orang yang berbeda dan tempat yang berlainan. Dalam mencermati radikalisme Islam pada konteks sejarah digunakan dua paradigma, yaitu: radikalisme dalam Islam dipengaruhi oleh ideologi agama melalui pemahaman keagamaan yang sempit, dan memiliki ketersinambungan dengan sejarah. Berdasarkan dua paradigma ini akan mempertegas bahwa faktor ideologi dan kesinambungan radikalisme Islam dengan peristiwa sebelumnya, menjadi pokok permasalahan dalam menelusuri radikalisme di beberapa kawasan dunia Muslim.

A. Beberapa Istilah tentang Islam Radikal

Sampai sekarang, penyematan kata radikal terhadap Islam masih dalam wilayah perdebatan, karena dengan kata radikal terkesan mengaburkan makna dasar Islam. Secara generik “Islam” berarti “tunduk”, “damai”, “keselamatan” dan seterusnya.2 Sedangkan radikal

dikonotasikan kebalikan dari kata Islam, seperti yang diungkap oleh M. Rais radikal adalah suatu sikap atau posisi dengan menggunakan ideologi atas nama agama untuk melakukan sebuah perubahan kepada sesuatu yang baru dengan cara kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang telah ada.3

1Dosen Sejarah Peradaban Islam di Fak. Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang 2Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 89.

(2)

Sehingga pada kontek ini makna normatif Islam seakan terkikis oleh prilaku menyimpang penganutnya.

Pelabelan Islam dengan kata radikal mendatangkan pro dan kontra,4 baik dari kalangan Islam maupun dari luar kalangan Islam,

sehingga terdapat banyak istilah dalam penyebutan Islam pada konteks radikal ini. Istilah yang dimunculkan para ahli dalam menyorot ekspresi Islam berhaluan radikal, paling tidak terdapat empat nama, tetapi beberapa istilah itu masih memiliki kemiripan makna dengan radikalisme dan terorisme.

Pertama, fundamentalisme, Martin Riesebrodt dalam bukunya “Fundamentalism and the Resurgence of Religion” menggunakan kata fundamentalisme dalam menyorot sikap dan prilaku kelompok masyarakat yang menggunakan tindak kekerasan dalam menyalurkan pemikiran dan aspirasinya, tanpa mempertimbangkan aspek realitas yang mengitarinya. Artinya kelompok masyarakat seperti ini, hanya menggunakan teks agama apa adanya tanpa dibarengi dengan penafsiran yang logis dalam menjawab permasalahan yang terjadi. Demikian juga halnya Oliver Roy dalam karyanya “The Failure of Political Islam” juga menggunakan kata fundamentalisme untuk mencermati Islam berhaluan keras. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ernest Gellner,5 dan Samuel Huntington6 yang juga

menggunakan istilah fundamentalisme dalam melabeli kelompok yang bergaris keras. Sementara itu, Bassam Tibi yang juga menggunakan istilah fundamentalisme, menyebutkan istilah tersebut dengan fundamentalisme Islam (Ushuliyyah al-Islamiyyah). Di dunia Arab istilah fundamentalisme lebih dikenal dengan nama “Islam

al-4Karena umumnya kata yang senada dengan radikal ini seperti “terorisme”, “fundamentalisme”, “militanisme” dan “ektremisme” pada umumnya dipopulerkan oleh para pakar sosial-politik Barat, sehingga pengaruh subjekivitasnya sulit terlepas. Lihat makalah Riza Sihbudi, “Dimensi Internasional Terorisme” (Pamulang 6 Desember 2005), 1-2.

(3)

Siyasi”, karena kelompok Muslim di sana memahami Islam bukan sebagai keimanan atau sistem etika, tetapi lebih sebagai ideologi politik.7 Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme

merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh prilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis.8

Pemakaian kata fundamentalisme dalam Islam adalah tidak lazim, karena terkesan menyamakan permasalahan yang di alami Islam dengan Kristen. Pemakaian kata fundamentalisme ini lebih melekat pada kalangan Kristen dibandingkan dengan Islam, sebab pertama kali kata ini dipakai untuk melabalei kelompok Kristen yang ortodoks atau menolak segala bentuk aktivitas rasionalitas. Kemudian istilah itu dipasangkan kepada Islam oleh para pengamat dalam menganalisis dinamika Islam kontemporer. Pada umumnya mereka yang memberikan istilah demikian kepada Islam banyak berasal dari kalangan Kristen. Di samping itu, istilah fundamentalisme sangat akrab dalam lingkungan mereka untuk menyorot kelompok garis keras yang melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem sosial, budaya, dan politik mereka yang telah ada. Kondisi ini berlangsung di Amerika Serikat pada akhir abad 20, sebagai bentuk perlawanan mereka atas penafsiran agama yang terlalu longgar oleh kalangan rasionalitas (Protestan), maka muncul gerakan pembatasan interpretasi terhadap Bible.

Dalam pandangan Karen Armstrong, gerakan fundamentalisme tidak hanya terdapat pada agama munities saja, tetapi ada juga fundamentalisme Budha, Hindu dan bahkan Kong Hu Cu. Pada intinya

7 Bassam Tibi, “Islamism, Demokrasi, and the Clash of Civilization”, dalam Chaider S. Bamualim (ed), Islam & The West, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN, 2003), 17

(4)

sama-sama menolak butir-butir nilai budaya liberal, saling berperang atas nama agama (Tuhan) dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan Negara.9

John Obert Voll sependapat dengan Muhammad Said al-Asmawi, dalam hal pengelompokan fundamentalisme, hanya saja redaksinya yang berbeda, al-Asmawi menyebutnya dengan aktivis political fundamentalisme dan rational spritualis fundamentalisme.10

Sedangkan John Obert Voll menamakannya dengan fundamentalisme tradisional dan fundamentalisme radikal. Sesungguhnya kedua pendapat ini sama menyatakan, pertama: bahwa fundamentalisme ada yang terinfiltrasi kepada kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik, contohnya adalah kelompok Islam yang merujuk pada khawarij yang pada saat itu menghendaki hukum sebagai landasan politik. Kedua: fundamentalisme yang terinfiltrasi oleh keinginan kembali kepada al-Qur’an dan tradisi sebagaimana yang dipraktekkan oleh generasi Muslim pertama.

John Obert Voll mencontoh negara yang menganut paham fundamentalis tradisional adalah Arab Saudi, karena di sana tercermin dalam monarkinya. Paham seperti ini selalu dipertahankan serta terus dikembangkan sebagai pandangan-pandangan ideologi, sehingga menjadi sebuah kekuatan sosial-politik. Sementara Negara yang mempraktekkan fundamentalisme radikal adalah Libya, karena paham kelompok ini terikat pada dalam suatu oreantasi tentang tradisi Islam, artinya radikalisme ini merupakan sintesis dari radikalisme yang telah ditransformasikan pada tahun 1960-an dengan semangat fundamentalisme Islam.

9Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Sutrisno Wahono dkk, (Jakarta Bandung: Kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001), x.

(5)

Kedua, radikalisme, Horace M Kallen11 dan Ira M. Lapidus12

memilih istilah radikalisme ketimbang fundamentalisme, mereka berpendapat bahwa radikal adalah suatu gerakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mengganti tatanan yang sudah ada dengan keyakinan yang mereka anggap benar (menarik-narik ajaran agama) dengan sikap emosional yang menjurus keras dan anarkis. Lebih tegas lagi diungkapkan bahwa radikalisme ini dapat dilihat pada dua lapis; pertama, kekerasan dan manipulasi untuk membenarkan radikalisme dengan mengutip doktrin-doktrin Islam tertentu, sehingga logis kekerasan dapat muncul karena interpretasi secara literal terhadap Islam. Kedua, penggunaan kekerasan sudah dapat dipastikan bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam.13

Radikalisme Islam, secara bahasa radikalisme berawal dari kata radikal yang berasal dari kata “radic” mempunyai arti perubahan secara mendasar dan prinsip. Dapat dipahami radikal adalah sebuah tingkah laku yang menjurus keras, radikalis adalah orang yang melakukan tindak kekerasan, sedangkan radikalisme adalah sifatnya yang terlahir dari radikal. Menurut Sartono Kartodirjo seorang sejarawan menyebutkan pemakaian kata “radikal” sering digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang ada dengan menggunakan simbol agama.14

Menurut Jhon Esposito ideologi Islam radikal atau dengan istilah lainnya “Islam Revivalis” memiliki kecendrungan sebagai berikut:

11Lihat Horace. M. Kallen, “Radicalism,” dalam Edwin R.A. Seligman, Encyclopedia of The Social Sciences, Vol. XIII-XIV (New York: The Macmillan Company, 1972), 51-54. Dapat juga ditemukan pada Huff, “The Challenge of Fundamentalism for Interreligious Dialogue,” Cross Current (Spring-Summer, 2002). Diakses dari http://www.findarticles.com/cf_0/m2096/2000_Spring-Summer/63300895/print.jhtml.

12 Dapat dilihat Ira M. Lapidus, “Islamic Political Movement: Patterns of Historical Change” dalam Edmund Burke III dan Ira. M. Lapidus (ed), Islam, Politics, and Social Movement (Berkeley: University of California Press, 1988), 3.

13Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural Indonesia” dalam Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, Nomor 2, 2012, 240.

(6)

pertama, kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik, hukum dan masyarakat, kedua, Mereka sering menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan cendrung materialistis harus ditolak. Masyarakat Muslim tidak mampu membangun masyarakat beragama ideal yang sesuai jalan lurus, malah mengikuti cara pandang Barat yang sekuler dan materialistis. Ketiga, Mereka cendrung mengajak pengikutnya untuk kembali kepada Islam sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan harus merujuk al-Qur’an dan Hadist sepenuhnya. Keempat, Peradaban dan peraturan yang dari Barat harus ditolak karena ideologinya jauh menyimpang dari Islam dan sebagai gantinya masyarakat Muslim harus menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima. Kelima, Mengagungkan kejayaan Islam di masa lalu, dan keenam, Mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menegakkan aspek perorganisasian atau pun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.

Kemudian pendapat lain menyebutkan kriteria Islam radikal adalah memiliki empat kategori, pertama, Mempunyai keyakinan ideology tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan system yang sedang berlangsung,

(7)

seringkali bergerak secara bergeriliya walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.15

Menurut Armahedi Mahzar akar radikalisme didorong oleh tiga hal: pertama, kesombongan intelektual dengan memutlakkan kebenaran pandangan sendiri (absolutism), kedua, kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog dengan pihak lain (eksklusivisme), dan ketiga, kesobongan emosional berupa sikap yang fanatik pada pandangan sendiri (fanatisme). Kenyataan yang ditangkap bahwa kekerasan yang menjurus radikal adalah ekspersi Islam eksklusivisme yang tidak mampu menerima perbedaan yang ada. Hal ini cukup beralasan apa bila berkaca pada kejadian yang mengatasnamakan Islam seperti kasus-kasus kekerasan, pada hal Islam tidak seperti yang mereka pahami.16

Berpijak pada penjelasan di atas, sesungguhnya penyebutan Islam dengan istilah “Islam radikal” tidak lain merupakan sebuah kesatuan dari berbagai fenomena sosial dan keagamaan kelompok-kelompok Muslim yang sedemikian kompleks, sehingga pemakaian kata ini hanya ditujukan sebuah titik tolak (point of departure) ketimbang sebagai sebuah penjulukan , pelabelan yang mapan dan tidak berubah terhadap fenomena tersebut, karena penyebutan label demikian tidak sepenuhnya menampilkan keberagaman gerakan-gerakan tersebut, disamping ia hanya bagian diskursus kehidupan sosial politik dan keagamaan kontemporer.17

15Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insan Press, 2006), 243.

16 Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 12 dan 75.

(8)

18Ketiga, istilah berikutnya adalah “militan”, seperti yang

dikemukakan oleh G. H. Jansen dalam bukunya “Militant Islam”, begitu dengan Adam Schwarz melalui karyanya “A Nation in Waiting: Indonesia Search for Stability”, ketika mencermati gerakan Islam yang diekspresikan oleh organisasi DDII dan KISDI. Argumen yang dikemukakan oleh masing-masing ini adalah: organisasi demikian sangat kaku dalam menafsirkan hukum, bersikap anti- Barat beserta bagiannya, dan merasa tidak senang terhadap etnis China, dan umat Kristen. Selain Jansen, Lee Kuan Yew juga menggunakan militan, ketika mengamati kelompok“ekstrem”.19

Sementara itu Yusuf Qardhawi cukup hati-hati dalam menyebut kelompok Muslim yang peduli terhadap agamanya, sebagai bentuk sikap ekstrem. Ia memberikan analisis, bahwa seseorang yang kuat pendidikan agamanya, dan dibesarkan dalam lingkungan yang kuat berpegang pada agama, niscaya perasaannya menjadi amat peka setiap kali melihat pelanggaran atau pengabaian yang bagaimanapun terhadap agama. Ia akan merasa heran bila melihat seorang Muslim tidak pernah mendirikan shalat malam atau puasa sunah di siang harinya. Oleh sebab itu tidak cocok label ekstrem dilekatkan terhadap Muslim seperti ini.20

Di sini Yusuf Qardhawi menekankan pada dua sisi tentang pelabelan ekstrem ini, pertama, sebutan ekstrem tidak bisa diberikan kepada seseorang yang mengimani agamanya yang benar, dan tidak kompromi terhadap segala bentuk kebatilan. Sesungguhnya kadar keberagamaan seseorang dan keberagamaan lingkung yang ia hidup di dalamnya, ditinjau dari sudut kekuatan dan kelemahannya, sangat mempengaruhi dalam menetapkan penilaian atas orang lain, sebagai ekstrem, moderat, ataupun menyia-nyiakan, dan “menggampangkan” 18Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)

(9)

agama. Kedua, tidak adil memberikan label ekstrem kepada orang yang memilih salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat fiqih yang agak keras (ketat), selama ia percaya bahwa itu lebih benar dan lebih baik. Mencermati pandangan Yusuf Qardhawi di atas, cukup kelihatan ia cendrung membela kelompok yang berprinsip kebenaran hanya berada kelompok Muslim yang merujuk kepada model Islam pada priode salaf, dan membatasi interaksi pemikiran Islam dengan priode kontemporer, sehingga dapat diketahui bahwa Islam yang diidolakan adalah Islam yang tertutup dari perkembangan dan kemajuan pemikiran.

(10)

digunakan “kacamata hitam”, menyembunyikan kebaikan mereka sementara membesar-besarkan keburukan mereka. Keenam, terjerumus ke dalam jurang pengafiran. Kondisi ini adalah puncak dari beberapa ciri-ciri ekstrem yang telah disebutkan di atas, sehingga hak kehormatan orang lain, jiwa dan harta orang lain sudah halal untuk dirampas dan diperlakukan dengan keras.21

Keempat, istilah “revivalis”, Fazlur Rahman22 dan Jhon L.

Esposito23 adalah orang yang cendrung melabelkan kelompok Islam

yang beraliran keras dengan istilah “Islam Revivalis”. Hal ini ditandai dengan pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, artinya tidak ada pemisahan Islam dari kehidupan politik, hukum, dan masyarakat. Tanda berikutnya adalah semua yang terkait dengan pengaruh lokal maupun yang terkait dengan global (Barat)24 harus

ditolak, karena hal ini dianggap sebagai pengikis kemurnian Islam.25

Arti kata Islam hanya dikembalikan seperti yang terpraktekkan pada zaman Nabi dan Sahabat dulu.26 Seterusnya ditandai dengan sikap

21 Yusuf Qardhawi, Membedah Islam “Ekstrem”, 29-45.

22Fazlurrahman memberi istilah gerakan radikalisme Islam dengan sebutan gerakan neorevivalisme atau neofundamentalisme, sebuah gerakan yang yang mempunyai semangat anti Barat. Lebih lanjut lihat Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1995), 162.

23John L. Esposito, Islamic Threat, Myth or Reality? (New York and Oxford: Oxford University Press, 1992), 69.

24Barat dalam konteks ini dianggap oleh sebagian kalangan Muslim yang paling bertanggung jawab atas marjinalisasi Bangsa Timur dengan ide sekularismenya yang berdampak pada dekadensi moral Bangsa Timur, pandangan ini sepenuhnya menyatakan penolakan total terhadap Barat seperti yang ditunjukkan oleh Sayyi>d Qu>tb. Lebih lanjut lihat Ibra>hi>m M. Abu> Rabi’, Intellectual Origin of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (New York: State University of New York Press, 1996), 93-137. Informasi ini juga dikemukakan oleh Mu>sa> Ash'ari>, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an (Yogyakarta: LESFI, 1992), 95.

25 Barat dalam konteks ini dianggap oleh sebagian kalangan Muslim yang paling bertanggung jawab atas marjinalisasi Bangsa Timur dengan ide sekularismenya yang berdampak pada dekadensi moral Bangsa Timur, pandangan ini sepenuhnya menyatakan penolakan total terhadap Barat seperti yang ditunjukkan oleh Sayyi>d Qu>tb. Lebih lanjut lihat Ibra>hi>m M. Abu> Rabi’, Intellectual Origin of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (New York: State University of New York Press, 1996), 93-137. Informasi ini juga dikemukakan oleh Mu>sa> Ash'ari>, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an (Yogyakarta: LESFI, 1992), 95.

(11)

pengagungan kejayaan Islam pada masa lalu tanpa memperhatikan kondisi sekarang.

Oleh karena itu dalam pembahasan ini peneliti menggunakan istilah Islam radikal dalam menelusuri genealogi, pemikiran, dan gerakan ormas Islam yang diduga beraliran keras. Radikal dalam konteks ini, tidak hanya sebatas kekerasan dalam bentuk fisik, seperti penyerangan, perusakan, pemukulan, dan lain sebagainya, tetapi kekerasan di sini juga dimasukan dalam bentuk simbolik yang terinfiltrasi dalam agitasi, provokasi, dan bahasa yang menaruh kebencian. Kenyataannya kekerasan itu secara umum berawal dari ungkap-ungkapan yang menyudutkan kelompok lainnya. Artinya dalam pembahasan ini, radikal yang dipakai adalah radikal yang telah diturunkan frekuensinya. Meskipun terlihat tidak terpotret dalam bentuk gerakan adu fisik, tetapi pernyataan yang telah bernada kebenci juga dianggap radikal dalam kajian ini.

B. Islam Radikal: Fenomena Sosial, Ekonomi, dan Politik Pada uraian berikut ini akan mempertegas bahwa Islam radikal dipengaruhi oleh persoalan sosial. Menjelaskan akar kemunculan radikalisme Islam kontemporer dalam berbagai dunia Muslim, terdapat beberapa dimensi. John L. Esposito dalam tulisannya “Religion and Global Affair” menyebutkan bahwa “kebangkitan global agama tidak hanya bersifat religious, tapi juga kebangunan sosial, dan politik, sehingga ditemukan revitalisasi agama di samping sebagai sumber pembebasan, juga sekaligus sebagai ekstremisme kekerasan. Pada konteks ini fenomena sosial cukup memberikan pengaruh kemunculan Islam radikal.

Menurut John L. Esposito kebangkitan agama juga cerminan pencarian identitas, otentisitas, dan komunitas, serta kebulatan tekad

(12)

untuk mewujudkan makna dan tatanan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Sepanjang sejarah, “politik agama (politicized religion) telah melahirkan konstruk-konstruk budaya dan hukum yang cendrung menciptakan batas sektarianisme dan komunalisme. Misalnya, konsep

ahl al-zimmah (nonmuslim yang berdiam di dalam masyarakat Muslim), dar al-Islam (wilayah yang dikuasai oleh negara Muslim), dar al-harb (wilayah perang), jihad (perang keagamaan), dan seterusnya. Berdasarkan pengkotakan masyarakat, wilayah, dan egoisme kelompok yang menjadi penyebab timbulnya kesenjangan sosial di tengah masyarakat heterogen. Kelompok yang merasa terasing dari komunitas yang mendominasi, merasa terancaman eksistensinya dalam perubahan sosial.

Kemudian Bobby S Sayyid dalam studinya menyatakan faktor-faktor yang dapat menjelaskan fenomena radikalisme Islam antara lain: pertama, kegagalan para elite nasionalis sekuler. Artinya para elite tidak mampu memenuhi aspirasi masyarakat melalui konfirmitas dengan modernitas dan Barat, yang terlanjur meremehkan masyarakat terbelakang, sehingga menimbulkan reaksi dari kalangan kelompok Muslim atas gagalnya beberapa tawaran para elit sekuler itu.

Kedua, ketiadaan partisipasi politik. Radikalisme atau disebut juga fundamentalisme, juga disebabkan oleh ketiadaan partisipasi publik dalam proses politik. Akibat keterasingan ini mereka melarikan diri dan mencari sandaran aktivisme berupa politisasi atas sebagai satu-satunya sarana ekspresi politik dan memanfaatkan jargon atau idiom keagamaan dalam proses politik.

(13)

Keempat, adanya kelimpahan kekayaan dan kesenjangan atau ketidak-merataan pembangunan ekonomi. Radikalisme atau Fundamentalisme Islam juga merupakan sebuah reaksi terhadap konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang diikuti oleh porak-porandanya pola atau struktur kehidupan tradisional dan ketidak-pastian, yang mendorong masyarakat untuk menegaskan kembali pandangan kehidupan tradisional mereka.

Kelima, efek atau akibat dari erosi kebudayaan. Integrasi Muslim dengan sistem kapitalisme dunia, yang didominasi oleh Barat, mengarahkan mereka ke pemerkuatan identitasnya sebagai Muslim. Artinya hal ini merupakan tanggapan yang alamiah terhadap pelibatan (inclusion) kaum Muslim dalam sistem dunia yang dikendalikan Barat.27

Berikut penjelasan Juergensmeyer dalam menelusuri akar kemunculan radikalisme keagamaan, dimana ia lebih memilih dengan penyebutan sebagai fenomena nasionalisme religius, walaupun dipahami dalam konteks kekecewaan terhadap realitas Negara nasionalis sekuler yang ditengarai telah gagal dalam memberikan ruang yang memadai untuk peranan agama di dalamnya. Dalam pandangan Juergensmeyer, selama ini rezim-rezim yang berkuasa sering menjauhkan agama dari politik yang diiringi dengan kepicikan para elite sekuler dalam memanipulasi simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan politiknya, sehingga dengan kondisi seperti ini, semakin meletupkan kejengkelan kalangan aktivis Islam, maka muncul keinginan untuk meruntuhkan kekuasaan yang didominasi kaum nasionalis sekuler.28

Sementara itu, menurut Bassam Tibi menjelaskan radikalisme Islam dalam spectrum yang lebih luas. Ia menyatakan bahwa

27Bobby S. Sayyid, Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism (London & New York: Zed Books, 1997), 19-22.

(14)

radikalisme Islam merupakan persoalan yang berhubungan dengan globalisasi dan fragmentasi. Seperti diketahui, globalisasi yang menembus segala bidang: ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya, telah mengakibatkan terciptanya “penyempitan bumi”, namun demikian ia ternyata tidak serta merta disertai dengan kemampuannya untuk menciptakan suatu kesatuan pandangan (yang bersifat kultural) dalam dirinya sendiri. Pada akhirnya dunia yang terglobalisasi tidak dengan sendirinya merupakan dunia yang lebih fragmentasi. Asumsi bahwa globalisasi dan fragmentasi bakal mengakibatkan suasana kacau-balau dan serba tidak menentu inilah yang oleh kalangan radikalisme dianggap sebagai ancaman. Seterusnya mereka lebih memilih bersikap menyempal dan melakukan “pembrontakan melawan Barat.29

Dalam tinjauan deprivasi sosial, juga ikut melatarbelakangi kelahiran radikalisme Islam, dalam bahasa Saad Eddin Ibrahim, militansi Islam, seperti yang diungkapkan oleh Bobby S. Sayyid dan Saad Eddin Ibrahim, bahwa faktor yang memunculkan radikalisme Islam juga disebabkan oleh deprivasi sosial. Menurut Ted Robert Gurr bahwa persepsi merasa tertinggal (sense of deprivation), dapat menimbulkan radikalisme, karena di tengah persaingan yang ketat serta dibutuhkan kompetensi yang memadai dalam memperoleh status dan materi, menyebabkan ada sebagian kelompok yang merasakan kesenjangan dan ketidakadilan.30

David F Aberle dalam mencermati deprivasi serius bagi individu dan masyarakat tertentu dapat ditemukan pada referensi mereka sebagai berikut: pertama, persepsi atas keadaan/kondisi masa lampau dibandingkan keadaan/kondisi masa sekarang. Kedua, persepsi atas keadaan/kondisi masa sekarang dibandingkan dengan keadaan/kondisi

29Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 10-11.

(15)

masa mendatang. Ketiga, persepsi atas keadaan/kondisi suatu pihak di saat ini dibandingkan dengan keadaan/kondisi pihak lain masa kini.31

Pada tataran ini, setiap kelompok atau orang-orang yang terdeprivasi relatif yang bersifat berat dan terjadi secara merata, maka keadaan itu merupakan prakondisi bagi lahirnya gerakan protes kolektif untuk mengubah keadaan. Konteks kemunculan deprivasi sosial sangat bervariasi, yang sangat dalam beberapa kasus mungkin dimotivasi oleh faktor berupa kesenjangan keadaan ekonomi atau bersifat material maupun politik, tetapi dalam kasus lainnya, faktor-faktor tersebut sangat mungkin kurang penting apabila dibandingkan dengan ancaman terhadap kepercayaan atau status sosial. Artinya radikalisme Islam dalam konteks ini disebabkan oleh faktor-faktor prakondisi dan pemicu. Faktor prakondisian disebut penyebab tidak langsung atau faktor eksternal, seperti ekonomi, militer, dan globalisasi, sedangkan faktor pemicunya adalah ketidakadilan hukum, sosial, ekonomi, dan tuna kuasa.

Faktor politik dalam artian proses memperoleh kekuasaan cendrung menjadi pemicu kemunculan radikalisme dalam Islam. Dicermati dengan seksama, sebenarnya politik merupakan beberapa persoalan yang terkait dengan berbagai bidang kenegaraan, seperti menyangkut proses menentukan tujuan, merealisasikan tujuan, dan pengambilan keputusan. Dalam rangka melaksanakan tujuan mesti ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang terkait dengan pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (alocation) dari sumber-sumber yang ada dalam proses melaksanakan tujuan

Dalam kasus Indonesia, setelah rezim Orde Baru runtuh kepentingan politik semakin beragam. Kecendrungan yang muncul adalah memanfaatkan alasan kebebasan, demokrasi, serta istilah

(16)

lainnya untuk mengeksperiskan ide dan pemikiran menurut cara masing-masing. Dampaknya kesadaran hidup dalam keberagaman mulai terlupakan, menjaga keamanan dan ketertiban umum sudah dianggap tidak penting, diperparah lagi proses demokrasi yang cukup longgar yang tidak didukung ketahanan negara

Dalam sejarah perjalanan Islam, dari empat orang sahabat ( al-Khulafa> al-Ra>shidi>n) yang melanjutkan tugas Nabi, pada masa Ali bin Abi T{alib (memerintah 36-41 H/ 656-661 M) tercatat yang mengalami persoalan yang “akut” (perang berkepanjangan yang dikenal dengan istilah al-fitnah al-kubra> berlangsung selama pemerintahanya), sehingga pada masa ini banyak terdapat fakta sejarah yang menghubungkan akar kemunculan radikalisme dalam Islam. Secara umum para peneliti menyebut bibit radikal berawal dari peristiwa perang S{iffin− antara Ali bin Abi Talib dengan Mu’awiyah bin Abi Syofyan− yang berunjung dengan arbitrase, yang dimenangkan oleh pihak Mu’awiyah, sehingga sebagian pihak yang mendukung Ali menaruh rasa kecewa atas keputusan Ali menerima perundingan damai kelompok pembrontak. Sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari barisan Ali dengan mengusung sikap ekstrem. Menurut Azra32 keputusan Ali menerima tawaran perdamaian

yang diajukan pihak Mua’wiyah mengakibatkan munculnya radikalisme dalam Islam. Kelompok yang memilih keluar dari barisan Ali ini hingga sekarang disebut dengan istilah “khawa>rij” atau “kha>riji” yang keluar.33

(17)

Setelah dicermati akar historisnya, ternyata kemunculan radikal dari kalangan khawa>rij ini didorong oleh kepentingan politik ketimbang persoalan pemahaman keagamaan. Dalam rangka melegalkan tujuan politik tersebut harus berpijak pada pemahaman keagamaan (seperti pemahaman terhadap beberapa ayat)34 secara

sempit, sehingga harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana yang tertulis. Pada hal ayat tersebut masih ada ruang untuk dipahami secara luas yang tidak mudah menggolongkan seseorang pada kelompok yang salah apalagi kafir.

Pertanyaan berikutnya kenapa kelompok Islam Baru ini menentang Islam mainstream yang ada, apakah ada dipengaruh runtuhnya rezim otoriter seperti teori yang dikemukakan oleh Mark R Woodward bahwa pemerintahan yang otoriter akan menimbulkan sikap radikal. Teori demikian bertolak belakang dengan Sidney Jones, bahwa radikalisme agama tidak memandang wilayah apakah pemerintahanya menganut sistem demokratis atau otoriter, ia cendrung tumbuh yang dipengaruhi oleh fundamentalisme agama. Dengan alasan mengaplikasikan dari kebebasan berekspresi diri di tengah kebebasan yang dimiliki, menjadikan radikalisme dapat mengakar dalam kehidupan masyarakat.

(18)

modernism yang muncul di banyak kawasan dunia Muslim sejak akhir abad ke-18 melalui ekspansi militer dan penetrasi budaya Eropa merupakan “proyek” Barat, tidak hanya untuk memaksakan peradaban mereka terhadap dunia Muslim, tetapi bahkan lebih jauh lagi untuk menyingkirkan pengaruh Islam dari pelbagai aspek kehidupan, karena modernisasi hanya akan menghasilkan sekularisasi dan sekularisme.35

C. Islam Radikal: Fenomena Teologi

Dalam mencermati fenomena radikalisme, tidak memadai kalau hanya menekankan pada aspek pelakunya, tanpa mengkaji keyakinan yang mendorong perbuatan pelakunya. Artinya, walaupun pelaku radikalisme dapat ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi kalau keyakinannya masih berkembang, maka ia terus berkesinambungan sepanjang waktu dengan pelaku yang berbeda. Demikian juga halnya dengan pergerakan radikalisme Islam di Indonesia, meskipun para pelaku kekerasan (terorisme) telah ditangkap, bahkan terbunuh, seperti: Dr. Azhari, Noordin M. Top, Imam Samudra, Ali Gufran, lantas tidak ada jaminan kesinambungan radikalisme Islam akan terhenti. Kalau dicontohkan seperti tanaman, ia bagaikan patah tumbuh, hilang berganti.

Menurut Azyumardi Azra, akar persoalan radikalisme Islam adalah berawal dari pemahaman sepotong-potong dan ad hoc

terhadap ayat-ayat al-Qur’an, sehingga pemahaman, penafsiran seperti itu hampir tidak memberikan ruang akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok Muslim lain yang umumnya moderat (mainstream).36 Contoh penafsiran yang sepotong-potong dapat

35 Azyumardi Azra, Sebuah Pengantar dalam Tariq Ramadhan, Menjadi Modern bersama Islam: Islam, Barat dan tantangan Modernitas ( Bandung: Teraju, 2003), xvi.

(19)

ditemukan dalam buku “Al-Adhwa’ ‘ala Ma Waqa’a fil Jihad min Akhtha’” yang disampaikan oleh Jama’ah Islamiyah Mesir, seperti: Shaikh Najih Ibrahim, bahwa penafsiran terhadap jihad sering keliru, karena hanya didorong oleh emosional yang tinggi tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, dan lain sebagainya. Lebih tegas lagi, radikalisme Islam ini menurut Azra, juga bersumber dari bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam masa tertentu.

Pada konteks ini, pemahaman yang sempit terhadap agama, cendrung mengalami kekakuan, dan berpotensi salah. Apalagi, pemahaman tersebut tidak dibicarakan secara terbuka. Harus diakui, bahwa faktor sentimen keagamaan, diantaranya solidaritas keagamaan yang tertindas oleh kekuatan tertentu, atau juga disebut dengan faktor emosi keagamaan yang disebabkan oleh pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif yang dicampuri oleh sifat nisbi dan subjektif.

(20)

tidak sepaham dengan mereka. Hal sama juga diungkapkan oleh Alwi Shihab dalam bukunya Islam Insklusif, sesungguhnya penyempitan terhadap ruang gerak penafsiran agama yang dilimpahkan kepada manusia, sebenarnya akan menghambat keberagaman dalam menuju kesempurnaan. Agama pada dasarnya adalah memberikan ruang yang cukup bagipenganutnya mengekspersikan Islam sesuai dengan konteks sosial yang mengitarinya.

Dalam sejarah dan perkembangan Islam Indonesia diwarnai banyak pengalaman, sekaligus menunjukkan Islam Indonesia tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak, baik itu sifatnya lokal maupun itu sifatnya transnasional. Dalam konteks ini menurut sejarawan terkemuka, M.C. Ricklefs menggambarkan telah terjadi transisi-transisi budaya keagamaan di Indonesia, yang pada gilirannya ikut memengaruhi dinamika keagamaan masyarakat di Indonesia.37

Pada sisi lain Azra melihat kondisi ini adalah sebuah potret kebangkitan Islam yang ditandai dengan munculnya pengistilahan “modernism” dan “reformisme, tetapi kemunculan istilah tersebut tidak berbanding lurus dengan perkembangan pesat kelompok-kelompok radikal di kalangan kaum Muslim.38 Sehingga kuat dugaan bahwa radikalisme

berpeluang tumbuh dan berkembang, seperti yang disebut teori sosial klasik−sosiologi, psikologi maupun politik−gerakan radikal sosial baik yang mengatas namakan agama atau murni gejala sosial dapat dianggap sebagai suatu gerakan menyimpang (defiance).39 Beberapa

tahun belakangan ini, radikalisme, anarkisme atau kekerasan berbau agama cendrung terus meningkat, tidak hanya antar agama−seperti Islam versus Kristen−tetapi juga intra agama−seperti Islam garis keras (radikal) dengan Islam mainstream (moderat)

37M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Century (Norwalk, CT: Eastbridge, 2006)

38Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 93.

(21)

Gerakan radikalisme Islam seperti mendapatkan “angin segar” pasca runtuhnya Orde Baru dan bergulirnya era reformasi. Sebagai sebuah paham, radikalisme Islam tidak dapat dipisahkan dari gerakan fundamentalisme atau revivalisme, karena keduanya merupakan gerakan keislaman yang sejiwa. Arus radikalisme Islam ini dibawa oleh kelompok Islam radikal baik skala lokal maupun skala transnasional. Seiring dengan itu, Robert N. Bellah menyebut bahwa sesungguhnya ajaran Islam terlalu modern pada zamannya sehingga sulit dipahami oleh dunia saat itu, bahkan oleh umat Islam sendiri sepeninmggal Muhammad. Sayangnya kemajuan ajaran Islam itulah yang kini diadopsi oleh umat non-Islam. Hasilnya: mereka maju, sedangkan umat Islam tertinggal.

Kecendrungan ke arah radikalisme dan militansi keagamaan dapat juga dijelaskan sebagai implikasi dari berlangsungnya disorientasi nilai-nilai yang diakibatkan oleh modernisasi. Perputaran modernisasi kehidupan masyarakat membawa berbagai perubahan secara drastis, yang tidak hanya berlangsung di negeri industri maju, tetapi juga yang tengah merambah negara-negara berkembang.

D. Islam Radikal: Dinamika Kesinambungan Sejarah

(22)

kemunculan radikalisme Islam dalam kawan dunia Muslim merupakan bagian dari ketersambungan sejarah.

Khaled Abou El Fadl dalam karyanya The Great Theft: Wrestling Islam From the Extremists, membuktikan bahwa radikalisme dalam Islam adalah keberlanjutan sejarah, sekaligus menolak, bahwa radikalisme terputus dengan sejarah. Khaled melalui karyanya ini mencontohkan adanya keterkaitan antara paham Wahabisme dengan aksi teroris yang disponsori oleh jaringan terorisme internasional Al-Qaeda dan gerakan Taliban di Afganistan. Dalam kajian ini, terungkap bahwa paham Wahabisme tidak hanya subur dan berkembang di tanah kelahirannya, tetapi ia juga tumbuh dan berkembang di negara-negara Muslim lain. Demikian juga halnya di Indonesia, paham Wahabisme mempunyai akar-akar yang kuat, baik dalam bentuk paham keagamaan yang bersifat massif, maupun dalam bentuk gerakan yang dimanifestasikan dalam berbaghai aksi kekerasan. Dalam kasus ini, dapat ditemukan bahwa pergerakan ini satu sisi memiliki semangat kembali kepada ajaran Islam murni, tetapi pada sisi lain dibarengi dengan semangat kekerasan. Model seperti ini yang menjadi persoalan, karena kondisi akan berkaitan dengan kelangsung kehidupan yang heterogen di tengah perubahan sosial.

1. Ketersambungan Islam Radikal dengan Sejarah

(23)

Pada pembahasan ini akan dibuktikan ketersambungan radikalisme Islam semenjak dari khawarij hingga kontemporer, melalui genealogi, pemikiran, dan gerakannya yang terangkum dalam fase-fase sejarah Islam radikal.

a. Khawarij

Khawarij pada awalnya merupakan kelompok yang berpihak pada Ali bin Abi> T{a>lib ketika terjadi perselisihan dengan Mu’awiyan bin Abu Syofyan, tepatnya pada priode awal Islam atau pada era pemerintahan khulafa al-Rasyidin. Namun ketika ada kesepakatan mengakhiri pertikaian ini melalui prosesi tahkim, muncul sekelompok pengikut Ali yang tidak setuju dengan keputusan ini, dan akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari Ali sekaligus melakukan perlawanan. Kelompok yang keluar ini, disebut dengan istilah khawarij. Bagi mereka konsensus menetapkan tahkim sudah termasuk dosa besar, karena proses ini tidak mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an. Menurut khawarij pemerintah Ali yang kemudian dan Mu’awiyah tidak sah, karena keduanya sudah tergolong kafir yang disebabkan keduanya telah berbuat dosa besar.40

Semenjak itu prilaku radikalisme dalam Islam mulai muncul, yang ditandai dengan pelabelan kafir terhadap golongan di luar mereka. Mereka mendefinisikan umat Islam dalam dua kategori yang sangat kaku, yaitu mukmin dan kafir. Dapat dipahami, dari prilaku keagamaan mereka seperti itu, cukup membuktikan bahwa pemahaman keagamaan mereka yang ketat berdampak pada pengelompokan masyarakat Islam yang tidak pada tempatnya. Pemahaman keagamaan mereka tidak berhenti sampai pada pembenaran golongan mereka sebagai mukmin sejati, tetapi berlanjut pada sikap terhadap golongan yang mereka kategorikan kafir, halal

(24)

darahnya untuk dibunuh atau diperangi. Di samping itu, dalam memanifestasikan keyakinan mereka, didorong oleh kegigihan dan kefanatismean berujung pada tindakan kekerasan.

b. Syi’ah

Radikalisme Islam tidak berakhir sampai pada gerakan khawarij ini, ia terus bergulir dengan subur. Estapet radikal berikutnya adalah Syi’ah. Dalam dunia Islam, kelompok Syi’ah termasuk yang paling besar. Alwi Shihab membagi kelompok Muslim pada waktu itu dengan tiga bagian: pertama khawarij, kedua Syi’ah dan ketiga Suni. Prinsip dasar yang miliki Syi’ah adalah setelah wafat Muhammad, terpikul suatu kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat Ali bin Talib dan keturunannya sebagai pemimpin bagi seluruh umat Islam, sekaligus menjadi teladan hidup sepeninggal Muhammad. Pada awalnya Syi’ah adalah aspirasi politik kemudian berubah sebuah keyakinan teologis (akidah). Artinya proses kemunculan radikalnya tidak jauh berbeda dengan khawarij, hanya terdapat perbedaan dalam mendukung dan menentang Ali. Kalau Syi’ah adalah bertahan dan berjuang untuk menjadikan keturunan Ali sebagai pemimpin umat, meskipun disertai dengan tindak kekerasan dan pembrontakan, sedangkan khawarij adalah kelompok yang menentang Ali atas keputusan Ali menyelesaikan sengketa pemerintahan dengan pihak Mu’awiyah tidak berdasarkan perintah Tuhan.

Puncak radikalisme Syi’ah terpotret dalam peristiwa Karbala (681 M) ketika tewasnya Husein putra Ali oleh pasukan Mu’awiyah untuk menyingkir Ahlu Bait dari kepemimpinan umat Islam, sehingga dengan kejadian tersebut menimbulkan kemarahan yang sangat mendalam bagi kelompok Syi’ah untuk segera membalaskannya dengan ekspresi militan dan ekstrem.41 Berdasarkan kejadian ini golongan Syi’ah terus

berjuang dengan gigih melalui aksi pembangkangan dan perlawanan

(25)

terhadap pemerintah yang berkuasa dengan haluan radikal untuk mengembalikan kepemimpian Islam kepangkuan Ahlu Bait.

c. Zanj (869-885 M)

Pemicu radikalisme Zanj memang berbeda dari dua kelompok Islam yang telah disebutkan di atas, pada umumnya disebabkan oleh masalah politik atau kekuasaan. Sedangkan golongan Zanj disebabkan oleh tekan kondisi sosial dan ekonomi yang tidak stabil. Dalam upaya peningkatan taraf kehidupan, kelompok ini berkeyakinan akan datang juru penyelamat yang diutus Tuhan memberikan keadilan bagi mereka. Ideologi ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dikembangkan oleh seseorang yang bernama Ali bin Muhammad yang mengaku sebagai keturunan Alin bin Talib.

Radikalisme kelompok Zanj adalah contoh radikalisme yang didorong oleh factor sosial-ekonomi. Pada awalnya Zanj adalah sebuah kelompok pekerja imigran dari Afrika yang hidup dari penghasilan pembuatan garam di kawasan Baghdad. Di tengah kondisi yang menyedihkan, dan didorong oleh ideologi kedatangan juru penyelamat, para pekerja tadi berhasil membangkitkan solidaritas dan kesadaran nasib mereka, sehingga merubah sikap mereka menjadi radikal dengan mengangkat senjata melawan pemerintahan yang berkuasa, pada waktu itu Dinasti Abbasiah (750-1258).42 Puncak perjuangan kelompok

Zanj ini, mereka berhasil mendirikan sebuah negara dengan pemerintahan sendiri selama 15 tahun, dan berakhir pada tahun 885 M, setelah berhasil ditumpas oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah.

d. Qaramithah

(26)

Ditinjau dari sejarah lahirnya gerakan Qaramithah ini terdapat kesamaan ideologi dengan kelompok Syi’ah. Faktor ini disebabkan, pendiri gerakan ini Hamdan Qarmath pernah berguru dengan dengan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang menganut paham Islamiliyah yang radikal. Pengaruh pengajaran al-Qaddah ini belakangan yang menjadi ideologi Hamdan beraliran radikal. Pada awalnya Qaramithah ini masih terkait dengan gerakan Zanj, sebab beberapa anggota Zanj yang berhasil menyelamatkan diri dari kejaran Dinasti Abbasiah, ikut mendukung gerakan Hamdan ini. Berdasarkan latarbelakang ia adalah seorang petani, berhasil menggalang kelompok masyarakat miskin Irak yang telah menaruh kekecewaan terhadap pemerintahan. Kombinasi antara kelompok miskin dengan bekas kelompok Zanj, Hamdan dapat membentuk organisasi kuat untuk melawan pemerintah Abbasiyah yang berkuasa.

Semula gerakan Qaramithah adalah dilakukan secara tertutup, maka pada masa kepemimpinan Abu Sa’id Hasan al-Jannabi, mulai dinyatakan secara terbuka. Setelah memperoleh pengikut yang banyak dan meluas, Qaramithah mulai berani menghadapi pemerintah secara frontal, maka di masa ini meletus pembrontak dengan mengangkat senjata. Qaramithah memiliki ideologi militan dan fanatik, perlawan Qaramithah sulit ditumpas oleh penguasa Abbasiah. Puncak gerakan Qaramithah ini adalah mereka berhasil mendirikan sebuah Negara yang berdaulat di al-Bahrain (894-977 M).

e. Assassin (1090-1256 M)

(27)

kelompok ini merekrut anggota baru dengan memanfaatkan Hasyisy (sejenis candu) agar menjadi berani dalam melancarkan gerakan. Assassin tumbuh dan berkembang di kawasan Daylam, Iran Utara. Kelompok ini dapat memanfaatkan momentum kemiskinan masyarakat pinggiran untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Dinasti Saljuk.

Di tengah derasnya tekanan penguasa terhadap keberadaan meraka, gerakan Assassin yang berada di bawah kendali Hasan al-Sabah mengajak pengikutnya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa dengan radikal demi mempertahankan eksistensi dari kepunahan dan kehancuran. Gerakan Assassin adalah contoh gerakan yang tidak memiliki pasukan yang banyak, sehingga gerakanya banyak menggunakan sistem bergeliya, dan menyusup ke dalam istana penguasa. Modus mereka beragam, ada yang berpura menjadi pelayan atau pengawal, ketika kesempatan sudah terbuka mereka langsung bergerak dengan mental siap mati. Sasaran gerakan mereka adalah penguasa yang mengancam eksistensi Assassin. Aksi berani Assassin ini menggemparkan Timur Tengah berpuluh-puluh tahun, sebab yang menjadi incaran mereka adalah para petinggi istana.43

Gerakan Assassin adalah cerminan orang tertindak, terpinggirkan di tengah perebutan kesempatan untuk menunjukkan identitas, dan komunitas. Hegemoni penguasa yang tidak member ruang bagi kelompok lain dalam mengembangkan eksistensi mereka, cendrung menjadi pendorong munculnya radikalisme. Pada dasarnya semua itu bermuara pada faktor sosial, ekonomi, dan politik. Pada konteks ini, agama dijadikan sebagai legitamasi pergerakan mereka, agar tetap berada dalam koridor menjaga kesucian agama.

f. Muwahhidun (1121-1269 M)

(28)

Muwahhidn adalah contoh kelompok yang memiliki semangat puritan agama sebagai ideologi gerakan mereka. Dinasti ini pada awalnya adalah dimaksudkan untuk membrantas praktek keagamaan yang telah menyimpang, seperti yang dilakukan oleh Dinasti Murabithun. Aktivitas pemurnian agama, terutama mengantispasi paham tajsim, mendorong mereka melakukan kegiatan dakwah dengan cara radikal. Akivitas dakwah yang dibentuk oleh Muhammad bin Tumart atau lebih dikenal dengan Ibn Tumart (1080-1130 M), mendapat sambutan baik dari suku Berber, meskipun pihak penguasa menentangnya.

Berangkat dari isu dakwah pemurnian Islam, akhirnya berkembang menjadi gerakan politik untuk menggulingkan penguasa dari kursi singgasananya, karena ditengarai mengembangkan paham keagamaan yang sesat. Pada awal gerakan kelompok Muwahhidin dapat dipatahkan oleh penguasa, namun atas kegigihannya, pada masa kepemimpinan Abdul Mukmin bin Ali (1163 M), berhasil mewujudkan cita-cita awal pendirian gerakan ini. Setelah memperoleh kekuasaan, gerakan dinasti Muwahhidun secara perlahan mulai melunak dan beralih fokus pada gerakan politik, disbanding gerakan dakwah pemurnian ajaran Islam. Menyikapi gerakan kelompok ini, terkesan memanfaat militant Islam untuk memperoleh kekuasaan politik, sehingga pada kontek ini, tidak jauh berbeda dengan gerakan kelompok Islam sebelumnya.44

g. Wahhabiyah

Kemunculan Wahhabiyah, sesungguhnya tidak jauh beda motivasinya dengan Muhawwidun, yaitu gerakan pemurnian ajaran Islam dari tradisi lokal dan bentuk penyimpangan lainnya. Artinya gerakan ini mengupayakan penampilan Islam seperti model Salafi pada priode Islam awal. Gerakan Wahhabiyah terambil dari nama pendiri

(29)

gerakan ini, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab (lahir di Nejd, 1703 M). Ia terinspirasi oleh pemikiran Ibn Taimiyah, sekaligus menjadi pengikutnya. Gerakan Wahhabiyah semakin meningkat semenjak mendapat dukungan dari Ibnu Saud, sehingga dakwahnya semakin lancar atas dukungan penguasa saat ini. Memiliki kekuatan politik dan ekonomi, gerakan Wahhabi melebar ke berbagai wilayah Hijaz dengan agenda mengembangkan paham Ibn Wahhab.

Gerakan Wahhabiyah semakin radikal setelah mendapat dukungan politik dari Ibn Saud, dengan melakukan beberapa tindakan pemusnahan dan perusakan fasilitas, termasuk beberapa makam para sahabat Nabi. Pengikut paham Wahhab konsisten menentang seluruh praktek keagamaan yang terindikasi bid’ah, kurafat, dan tahyul, dengan cara kekerasan. Gerakan Wahhabiyah yang berkarakter radikal ini mendapat tantangan dari pemerintahan Turki Usmani. Meskipun gerakan dakwah Wahhabiyah telah menjadi sebuah kekuatan politik dan berhasil menguasai beberapa wilaya, seperti sebagian besar Hijaz dan Irak, namun dapat ditumpas oleh militer Usmaniyyah dan para pemimpinnya ditangkap. Secara kekuatan politik, memang gerakan wahhabiyah tidak mengalami perkembangan untuk priode berikutnya, namun dari iedologi, pemikiran, dan gerakan dakwahnya terus bekembang dan menyebar ke seluruh dunia pada permulaan abad ke-20 an.45

h. Pan Islam

Di tengah besarnya tekanan kolonial terhadap beberapa kawasan Muslim yang dikuasai oleh Eropa, mengakibatkan kejumudan dan ketertinggalan sebagian besar Negara Muslim. Menyikapi persoalan ini, Jamaluddin al-Afghani mencetuskan ide pemersatuan seluruh negara Muslim dalam satu pemerintahan yang disebut dengan Pan Islam. Ide

(30)

ini sebenarnya berangkat dari paham politik ketika Perang Dunia II terjadi yang dituangkan oleh Jamaluddin al-Afghani dalam A’mal al-Kamilah. Kemudian berkembang menjadi gerakan memperjuangkan mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam atau disebut dengan kekhalifahan. Ide ini bertujuan membebaskan bangsa Arab sebagai budaya Arab dan umat Islam tanpa memandang etnis, yang berbeda dengan isu pan Arabisme yang bertujuan memerdekaan bangsa Arab berdasarkan semangat budaya etnis tanpa memperdulikan agama.46

Karakter radikal Pan Islam adalah adanya gerakan pembrontakan terhadap penguasa yang menindas, tanpa melalui pendekatan kompromi. Isu yang dikumandangkan oleh Pan Islam, membangkitkan semangat perjuangan bagi sebagian besar masyarakat Muslim dunia, yang pada saat itu, sebagian besar wilayah Islam berada di bawah kekuasaan Eropa. Menggemanya gerakan Pan Islam, sempat mengegerkan di kalangan penguasa kolonial di berbagai negeri-negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim. Faktor yang dikhawatirkan adalah meledaknya radikalisme keagamaan masyarakat Muslim yang di bawah kekuasaan mereka.

i. Ikhwanul Muslimin

Kawasan Timur Tengah tercatat unggul dalam penyebaran paham radikal, setelah beberapa kelompok Islam yang beraliran radikal seperti yang dikemukakan di atas, Ikhwanul Muslim juga tercatat sebagai organisasi yang menyebarkan paham radikal yang berawal dari Mesir. Hasan al-Banna adalah tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, bertepatan pada tahun 1928. Agenda pendirian Ikhwanul Muslimin adalah menyadarkan Mesir untuk konsisten menerapkan syariat Islam dengan benar, serta berjuang melepaskan diri seluruh

(31)

bentuk jajahan dari kolonial. Semula gerakan Ikhwanul Muslimin adalah gerakan dakwah, kemudian berubah menjadi gerakan politik. Tujuannya adalah untuk menampung penderitaan para buruh yang miskin yang tidak mampu melepaskan ketergantungan dengan pihak kolonial. Gerakan ini memperoleh banyak dukungan dari kalangan masyarakat yang terpinggirkan.

Kecendrungan selama ini, hidup yang penuh dengan tekanan serta ketidakberdayaan melepaskan ikatan kesengsaraan, mudah terpancing radikal. Kondisi inilah di antara factor yang mendorong sebagian pengikut Hasan al-Banna ini radikal dalam memperjuangkan aspirasi dan pemikirannya. Pada awalnya gerakan Ikhwanul Muslimin mendapat sokongan dari pemerintahan Mesir, namun Ikhwanul Muslimin menunjuk gelagat yang mencurigakan, dan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara, sampai akhirnya Ikhwanul Muslimin dinyatakan kelompok Islam terlarang hingga tahun 2011.47

Mencermati radikalisme Ikhwanul Muslimin tergambar pada misi dan gerakannya, yaitu keberanian menempuh jalur politik yang keras, dan terlebih lagi sikap pantang menyerah dan tunduk kepada penguasa.

(32)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam

(Jakarta: Paramadina, 1999)

………., “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural Indonesia” dalam Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, Nomor 2, 2012.

………., Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)

………., Sebuah Pengantar dalam Tariq Ramadhan, Menjadi Modern bersama Islam: Islam, Barat dan tantangan Modernitas ( Bandung: Teraju, 2003)

………..,“Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama”. Makalah

Ansari, Tamim, Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta: Zaman, 2010)

Al-Najjar, Amir, Aliran Khawarij, Mengungkap Akar Perselisihan Umat”

terj. A. Sholihin dan Afif Muhammad (Jakarta: Lentera, cet. I, 1994)

Al-Syahrustani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)

Ash'ari>, Mu>sa>, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur'an

(Yogyakarta: LESFI, 1992)

Armstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, terj. Sutrisno Wahono dkk, (Jakarta Bandung: Kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001)

(33)

Bamualim (ed), Islam & The West, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN, 2003)

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997)

Kartodirdjo, Sartono, Protest Movements in Rural Java (Singapore: Oxford University Press, 1973).

………., Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1992)

Efendy, Bahtiar dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998)

F Aberlee, David, “Catatan mengenai Teori Deprivasi Relatif” dalam Sylvia L. Thruup, Gebrakan Kaum Mahdi (Bandung: Pustaka, 1984)

Gurr, Ted Robert, Why Men Rebel (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1970)

Gellner, Ernest, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984)

Huntington, Samuel P.“The Clash of Civilization?”, Affair, Vol. 72, No. 3, Summer 1993, 1996)

Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gema Insan Press, 2006)

Jamhari dan Jajang Jahroni (Penyunting), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2004)

Jamaluddin Surur, Muhammad, Hayaus Siasat fid Dawlah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, cet. V, 1975)

Juergensmeyer, Mark, Menentang Negara Sekuler: Kebangkitan Global Nasionalisme Religius (Bandung: Mizan, 1998)

Kafrawi, Ridhwan, Ensiklopedi Islam, Jilid III (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994)

L. Esposito, John, Islamic Threat, Myth or Reality? (New York and Oxford: Oxford University Press, 1992)

(34)

McAdam, Doug, Political Process and the Development of Black Insurgency, 1930-1970 (Chicago: The University of Chicago Press, 1999)

Muhammad, Mustofa, asy-Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, Terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insan Press, 1995)

M. Kallen, Horace. “Radicalism,” dalam Edwin R.A. Seligman,

Encyclopedia of The Social Sciences, Vol. XIII-XIV (New York: The Macmillan Company, 1972)

Mortimer, Edward, Islam dan Kekuasaan, Terj. Enna Hadi Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1983)

M. Abu> Rabi’, Ibra>hi>m, Intellectual Origin of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (New York: State University of New York Press, 1996)

N. Ayubi, Nazih, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World

(London & New York: Routledge, 1991)

Watt, William Montgmery, Islamic Fundamentalism and Modernity

(London: T.J. Press (Padstow) Ltd, 1998)

Qardhawi, Yusuf, Membedah Islam “Ekstrem” Terj. Alwi A.M, cet. IX (Bandung: Mizan, 2001)

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982)

………, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1995)

Ricklefs, M.C., Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Century (Norwalk, CT: Eastbridge, 2006)

Roy, Oliver, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994)

Rais, Amien, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1995)

(35)

Soy’ib, Joesoef, Sejarah Daulah Abbasiah (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)

Sihbudi, Riza, “Dimensi Internasional Terorisme” Makalah, (Pamulang 6 Desember 2005)

S. Sayyid, Bobby, Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism (London & New York: Zed Books, 1997)

Referensi

Dokumen terkait

Important changes include the conversion to a rating form in metric units, the use of a height adjustment for endomorphy which is now standard procedure, and the use of equations,

Dalam menjalankan hak dan kebebasanya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin. pengakuan

Rata-rata hampir setiap hari kurang lebih 5 orang pasien yang mengalami flebitis,vhal tersebut terjadi diakibatkan banyak faktor yang mempengaruhi terjadi flebitis

Berdasarkan fenomena rendahnya kepatuhan Wajib Pajak sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa yang dapat memengaruhi

[r]

[r]

Nilai koefisien regresi variabel komunikasi interpersonal (b2) bernilai negatif, yaitu - 0,00496 ini dapat diartikan bahwa setiap peningkatan motivasi kerja sebesar 1

“tumbuh dan berkembangnya kesenian ditentukan oleh masyarakat pendukungnya”. Dengan kata lain, jika golongan muda sebagai generasi penerus suatu masyarakat tidak lagi