• Tidak ada hasil yang ditemukan

NUANSA MADZAB AHLI HADIS SUNNI DALAM TAS (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NUANSA MADZAB AHLI HADIS SUNNI DALAM TAS (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

NUANSA MADZAB AHLI HADIS SUNNI DALAMTASHHIH AL RIWAYAH

(Sukardi)*

Mukadimah

Al-Suyuthi mengatakan bahwa Alquran memerlukan al-Sunnah, tetapi tidak sebaliknya1. Sementara jauh sebelum itu, Ali Ibn Abi Thalib menasehati Abdullah Ibn Abbas supaya menjadikan al-Sunnah sebagai alat untuk menghadapi orang-orang yang gemar memperdebatkan nuansa makna yang tersembunyi di dalam teks-teks Alquran2. Pernyataan al-Suyuthi tersebut menegaskan signifikansi aspek fungsionalitas al-Sunnah terhadap Alquran.

Ulama umumnya memiliki pandangan yang sama tentang kedudukan Al Sunnah dalam system ajaran Islam. Al-Sunnah dipandang sebagai sumber hukum di samping Alquran, dan merupakan bentuk faktualisasi ajaran langit yang dalam banyak hal memang dapat melahirkan ragam tafsir di kalangan para pembacanya, bahkan pada ayat-ayat yang dikategorikan muhkamat sekalipun. Ada banyak kasus dimana para sahabat mengalami kesulitan memaknai dan memahami teks-teks tertentu yang mengharuskan mereka melakukan klarifikasi langsung kepada Nabi saw.

Berdasarkan alasan-alasan itulah kemudian para ahli dalam bidang kajian ushul fiqh menyebut dua tugas pokok yang dibebankan kepada Nabi saw, yaitu: pertama, muwafiqan wa muakkidan (pasif menyepakati dan sekedar memastikan tentang keberadaan teks Alquran); dan kedua, mubayyinan (aktif memberikan penjelasan melalui mekanisme

takhsish, tafshil ataupun taqyid). Namun, di luar tugas tersebut, para ahli ushul (meski tidak mencapai kata sepakat) melihat adanya fakta dan problematika sosial ketika itu yang menuntut Nabi saw. – sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya – menetapkan sendiri suatu keputusan hukum atas persoalan-persoalan termaksud.

Pandangan, pendapat, sikap, prilaku, dan deskripsi fisikal Nabi saw nyaris disepakati para ulama sebagai al-Sunnah. Dalam konteks pemeliharaan al-Sunnah, hadis-hadis Nabi saw. dan praktek kehidupan sahabat menempati posisi dan peran yang sangat menentukan. Para sahabat adalah mata rantai pertama dari sebuah transmisi dalam sistem periwayatan hadis, riwayat al-hadits.

1 Al-Suyuthi, Jalal al-Din al-Imam, Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi al-Sunnah, Cet. Ke-3, Jamiat

al-Islamiyah, Madinah, 1979. Terjemah: As-Sunnah sebagai Sumber dan Dasar Hukum, Cetakan Pertama, Drs. Hafizh Utsman, Sinar Baru, Bandung, 1985.

(2)

Hadis telah banyak ditulis dan dihimpun (meski dalam kondisi serba terbatas dan sangat sederhana) selama masa hidup Nabi saw. Para sahabat – termasuk para isteri beliau saw – adalah orang-orang yang mendapat keistimewaan memperoleh pengajaran al-Sunnah secara langsung dari beliau. Mereka menggunakan semua cara yang mungkin untuk mendapatkan, menyimpan dan menyampaikan al-Sunnah.

Praktik penghimpunan, penyimpanan dan penyampaian sebuah komunike profetik menuntut adanya tanggung jawab etis personal dan akurasi individual dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal demikian karena seorang individu dalam kultur pembelajaran Islam mengemban tiga fungsi sekaligus, yaitu menjadi penerima, pelaksana

dan penyampai ajaran.

Oleh karena itu, sejak awal para ahli hadis melalui konvensi yang mereka bangun telah menetapkan aneka kriteria ( umum dan khusus ) yang harus dipenuhi oleh seseorang yang terlibat dalam proses transformasi hadis. Masing-masing ulama hadis membuat dan menetapkan ragam kriteria tahqiq al-riwayah (yang meliputi proses takhrij dan tashhih) berdasar pada obyektifitas lingkungan yang menelikungnya. Persfektif tahqiq al-riwayah

yang beragam seperti itu, sudah barang pasti memunculkan pandangan dan penilaian yang berbeda pula terhadap hasil akhirnya. Itulah pula mengapa kemudian lahir ragam

mushthalahat (terminologi) di kalangan sunni seperti: hadis shahih, hasan, jayyid, yuhtaju bih, dha’if, ashahhu syay’in fi hadza al-bab, ahsanu syay’in fi hadza al-bab, dan lain sebagainya.

Menurut Anees dan Athar3, ilmu hadis dapat dianggap sebagai pendahulu bagi seluruh gaya literatur biografis Arab dan penentuan silisilah. Isnad (rantai periwayat) menjadi obyek utama kajian dan penelitiannya. Ilmu Hadis adalah bidang kajian mulitidisiplin. Selain ilm rijal al-hadits – ilmu biografi hadis (yang terdiri dari ilmu tarikh ruwat – biografi periwayat; dan al-jarh wa al-ta`dil – kritik transmisi), ilmu hadis melahirkan pula ilmu-ilmu lainnya yang merupakan cabang-cabangnya, seperti: ilm sabab wurud al-hadits, tarikh al-matn, al-nasikh wa al-mansukh, mukhtalaf al-hadits, musykilat al-hadits, `ilal al-hadits.

Kritik Hadis (naqd al-hadits, pada periode klasik disebut tamyiz al-hadits ) – selanjutnya ditulis Kritik – adalah bagian terpenting dari ilmu hadis. Kritik sesungguhnya

3 Munawar A. Anees dan Alia N. Athar, Pedoman bagi Literatur Hadis dan Sirah dalam Bahasa-bahasa

(3)

telah dimulai sejak jaman Rasulullah saw. Kasus Dimam Ibn Tsa`labah4 mengklarifikasi

informasi profetik yang disampaikan kepadanya oleh seseorang yang mengaku diutus oleh Rasulullah saw adalah wajah kritik dalam bentuknya yang paling sederhana. Kritik pada masa Nabi saw disebut oleh Azami sebagai proses konsolidasi dengan tujuan menenteramkan kaum muslimin5.

Kritik merupakan kerja cerdas para peneliti hadis dalam usaha mereka memastikan otentisitas sebuah riwayat yang dikatakan dari Nabi saw. Dengan kata lain, kerja kritik hadis berputar pada bagaimana sebuah riwayat dapat menemukan otentisitas, orisinalitas serta validitasnya sebagai sebuah komunike relijius yang merupakan produk kenabian Muhammad saw.

Menurut Ibn Rajab, kritik mengalami perkembangan demikian pesat ketika memasuki pertengahan abad ke-2 Hijrah. Ibn Rajab menyebutkan bahwa kritik memiliki dua unsur pokok, yakni: `ilm al-jarh wa al-ta`dil dan `ilm `ilal al-hadits. Disampaikan oleh Ibn Rajab bahwa `ilm `ilal al-hadits memiliki ekstensifitas kajian melebihi `ilm al-jarh wa al-ta`dil6. Berbeda dengan al-jarh wa al-ta`dil yang menilai suatu hadis semata-mata bersandar pada penandaan subyektif ‘baik dan buruk’ terhadap para periwayat dari seorang atau komunitas kritisi hadis, maka tidak demikian dengan `ilm `ilal al-hadits. `Ilm al-`ilal

dalam menilai suatu hadis – bila obyeknya transmisi – tidak berhenti pada penandaan lahir yang mengemuka, tetapi menembus fakta-fakta – yang secara sengaja maupun tidak – disembunyikan oleh simbol-simbol periwayatan. Di samping itu, `ilm al-`ilal ini juga bekerja mengkritisi pesan, komunike atau informasi (matan) yang dibawa oleh sebuah transmisi yang telah dinilai sahih.

Spektrum Kritik

Spektrum kritik bila demikian menjangkau keseluruhan unsur hadis dengan segala pernak-pernik di dalamnya. Spektrum kritik yang demikian luas – dalam proses kerjanya – sudah barang tentu membutuhkan peran serta disiplin ilmu lainnya (yang masih merupakan rumpun ilmu hadis sebagaimana yang telah disebutkan di atas, interdisipliner). Bahkan

4 Muslim Ibn al-Hajjaj al-Nisaburiy, al-Shahih: Bab Bayan al-Iman bi Allah wa Syara`i al-Din, Vol. I, hal.

24-25, Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyyah, Indonesia, tt.

5 Muhammad Musthafa Azami, M.A. P.hd., Metodologi Kritik Hadis, Terjemahan: Drs. A. Yamin, hal. 82,

Pustaka Hidayah, Jakarta Pusat, 1992.

6 Ibn Rajab, al-Imam Abu al-Farj Zayn al-Din Abd al-Rahman Ibn Ahmad [736-795 H], Syarh `Ilal

(4)

ketika masuk pada wilayah aplikasi, membutuhkan pula disiplin ilmu-ilmu lainnya, multidisipliner.

Wilayah atau spektrum kritik menjangkau dua aspek, yaitu transmisi (sanad) dan komunike, pesan, informasi (matan).

1. Transmisi [sanad]

Wilayah kritik transmisi dipusatkan pada pencermatan, analisis dan penilaian terhadap tingkat akurasi personal dan intelektual periwayat (`adalat al-rawiy wa

dhabthuh), serta mekanisme perujukkan yang digunakan oleh para periwayat dalam suatu sistem transmisi (isnad al-khabar).

2. Komunike, pesan atau informasi [matan] Kerja kritik matan difokuskan pada:

a. upaya menentukan hadis yang dinilai paling sahih matan-nya;

b. usaha menetapkan maksuddari matn al-hadits yang dinilai paling tepat dan mendekati kebenaran didasarkan pada hasil analisis kebahasaan dan konteks

tarikh serta wurud-nya; dan

c. membuat sinergi antara hadis sebagai teksyang rigid dengan kerja fiqh yang bernuansa.

Kritik diterapkan secara prosedural dengan menggunakan metode-metode tertentu. Menurut Azami, sejauh menyangkut kritik dokumen – selain dengan merasionalisasi teks – terdapat beberapa metode, tetapi hampir semua metode tersebut dapat dimasukkan dalam kategori ‘perbandingan’7. Metode ini dipraktikan dengan beberapa cara, yakni:

1. Membandingkan dokumen berbagai pihak yang berasal dari sumber yang sama; 2. Membandingkan pernyataan-pernyataan seorang narasumber yang disampaikannya

dalam waktu yang berbeda;

3. Membandingkan penyampaian seorang narasumber secara lisan dengan dokumen tertulis miliknya; dan

4. Membandingkan antara dokumen dengan ayat Alquran.

Sementara terkait dengan kritik transmisi dapat memanfaatkan metode telaah dokumen8 dan inkuiri9. Metode telaah dokumen digunakan untuk mengetahui catatan

7 Azami, ibid, hal. 86.

8 Al-Suyuthiy dalam Jamal al-Din al-Qasimiy, al-Jarh wa al-Ta`dil, hal.17, Dar al-Hadis, Kairo, tt.

9 Meminjam istilah yang digunakan dalam pembelajaran dan penelitian Geografi sebagaimana yang disebut

(5)

historis para periwayat; mulai dari aspek integritas periwayat, kredibilitas hingga aspek kapabilitasnya. Sementara itu, metode inkuiri dalam kritik digunakan untuk mengamati dan mengeksplorasi mekanisme dan simbol periwayatan yang digunakan oleh narasumber dalam sebuah transmisi, sehingga dapat diketahui utuh atau tidaknya sebuah transmisi.

Kritik sanad maupun matan akan menentukan kualifikasi suatu hadis. Hadis-hadis yang lolos kritik dengan sangat baik akan diberi predikat shahih, hadis yang lolos kritik dengan catatan diberi nilai hasan, sementara hadis-hadis yang tidak lolos kritik dinyatakan

dha`if (lemah), atau bahkan mawdhu` (palsu) atau bathil (rusak).

Hadis-hadis dengan kualifikasi shahih dan hasan dinyatakan maqbul (diterima), dan oleh karenanya dapat dioperasionalisasi dalam bentuk sikap, pendirian dan tindak laku masyarakat yang meruang-waktu (singularitas keberagamaan). Sedangkan hadis-hadis yang dha`if10, mawdhu atau bathil dikategorikan mardud (ditolak), dan karena itu pula tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk bersikap, berpendirian dan bertindak laku oleh masyarakat, bahkan keberadaannya harus diabaikan.

Kritik Transmisi

Seperti disebutkan terdahulu, kritik transmisi menjangkau dua hal, yakni: pertama, tingkat akurasi personal dan intelektual periwayat (`adalat al-rawiy wa dhabthuh); dan kedua, mekanisme perujukkan yang digunakan oleh para periwayat dalam suatu sistem transmisi (isnad al-khabar).

Kritik transmisi yang terkait dengan pengujian tingkat akurasi personal dan intelektual periwayat (al-Jarh wa al-Ta`dil) mulai dilakukan sejak paruh ketiga Abad Kedua Hijriah. Ibn al-Mubarak (118-181H). Pada abad ketiga hijriah kritik transmisi kian masif dilakukan oleh para ahli hadis. Al-Jawzajaniy, kolega al-Bukhari adalah salah satu tokoh yang telah melakukan kerja ini. Kritik transmisi kemudian secara berkesinambungan dilakukan oleh para ulama hadis dan berpuncak di akhir Abad Kedelapan hingga memasuki paruh ketiga Abad Kesembilan Hijriah. Tokoh terpopuler dalam pekerjaan ini pada masa itu adalah Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalaniy (773-852 H).

Penilaian dan penjenjangan terhadap para penutur hadis yang dilakukan oleh ulama generasi awal Islam dipandang kurang teliti dan terlalu global. Jika ulama terdahulu hanya mengklasifikasi para penutur hadis ke dalam empat tingkatan, maka ulama berikutnya

10 Mengenai keberlakuan hadis dha`if ini, umat Islam tidak bersepakat. Ada pihak yang menolak secara

(6)

membaginya menjadi enam tingkat berjenjang. Bahkan Ibn Hajar al-Asqalani menjenjangkannya dalam dua belas tingkatan, yakni11:

1. Sahabat Nabi saw.

2. Kelompok yang digelari tsiqatun-tsabtun atau awtsaq al-nas. 3. Mereka yang dianugerahi predikat tsiqatun-mutqinun.

4. Orang-orang yang digelari shaduq.

5. Kelompok orang yang dinilai dengan sebutan shaduq yahim.

6. Orang-orang yang periwayatannya sedikit dan tidak dikomentari mengenai ihwal dirinya dan tingkat akurasinya. Orang-orang dalam kualifikasi ini disebut maqbul, sementara jika penuturannya dibenarkan oleh ulama lainnya, maka diberi nama

layyin.

7. Seorang guru hadis dalam pada mana ihwalnya tidak dikenal secara luas di kalangan ahli hadis, meskipun hadisnya ditransmisikan melalui dua orang. Ulama dengan kondisi seperti ini dinyatakan majhul al-hal.

8. Orang yang dipandang negatif oleh ulama lainnya dan digelari dha`if.

9. Seorang guru hadis yang tidak mendapat penilaian apa pun dari ahli hadis mana pun, sementara tidak ada penutur lain yang meriwayatkan hadis-hadisnya kecuali muridnya seorang. Guru hadis dengan keadaan seperti ini dinyatakan majhul al-`ayn.

10. Seorang periwayat yang dituduh melakukan kebohongan oleh seseorang atau beberapa orang ahli hadis [tidak merata]. Orang seperti ini dinyatakan matruk

(ditinggalkan). Manakala tuduhan tersebut bersifat merata dan umum, maka pelakunya disebut pendusta dan hadisnya dinyatakan Mawdhu` (palsu)12. Di samping itu, masih dikatakan matruk apabila seorang rawi banyak berbuat keliru dalam penuturan, lalai serta berlaku fasik, dan tidak didapati transmisi lain kecuali yang melaluinya. Hadis matruk dikenal juga dengan istilah mathruh (dibuang).

11 Azami, Metodologi, hal.99.

(7)

11. Periwayat yang dinilai terlalu banyak melakukan kesalahan dan banyak lalai dalam menyampaikan hadis, bahkan diidentifikasi sebagai pelaku bid`ah13, dan dinyatakan

munkar al-hadits.

12. Orang yang dipredikati pembohong (kadzdzab) atau wadhdha` (pemalsu).

Nuansa Madzhab Ahli Hadis [Sunni] Dalam Tashhih Al-Riwayah

Penilaian seorang ahli hadis terhadap sebuah riwayat tidak dapat dilepaskan dari nuansa subyektifitas dirinya.

Sementara itu minat, perhatian dan kepentingan sektarian, politik dan logika-logika fikih yang berkembang dalam lingkungan kerja dan telikung sosial seorang kritisi hadis dapat pula memengaruhi penilaiannya terhadap sebuah riwayat yang sampai kepadanya.

Nuansa subyektifitas yang membalut suasana batin para pembelajar hadis tersebut pada gilirannya melahirkan sikap-sikap kritis yang berbeda di kalangan mereka sendiri dalam mengapresiasi, menilai dan menyikapi seluruh riwayat yang diterimanya. Di antara ahli hadis – dalam kerja ilmiahnya – ada yang bersikap keras (tasyaddud), ada yang

ta’annut (keras cenderung kasar), ada yang ber-tawasuth (moderat), dan ada juga kritisi yang mengambil sikap tasahul (serba memudahkan).

Meski demikian, secara umum sebuah riwayat baru dinyatakan sahih manakala memenuhi empat kriteria besar (major criterium ), yakni: pertama, memiliki kesinambunan mata rantai rawi hingga puncak transmisi; kedua, dibawa oleh orang-orang yang memiliki keandalan etis personal dan intelektual; ketiga, komunike yang dibawanya tidak menyelisihi komunike yang dibawa oleh rawi yang memiliki kualifikasi dan kopetensi yang lebih tinggi; dan keempat, tidak didapati kekeliruan atau kesalahan fatal yang terendapkan (baik pada sanad ataupun matan-nya) dari pandangan sementara para ahli hadis lainnya.

Keempat kriteria besar di atas sebenarnya adalah kesepakatan ideal yang dibangun dari ketidaksepakatan. Konsep ittishal al-sanad, misalnya, al-Bukhari – meminjam istilah

13Bid`ah adalah sikap, pendirian dan perilaku baru dalam keberagamaan seseorang atau sekelompok orang

yang didasari oleh kaidah-kaidah tertentu, yang merupakan produk pemahaman atas teks tertentu dalam Alquran dan hadis, atau hasil rekayasa sendiri. Bid`ah – sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthiy dalam

(8)

dalam teoi hukum – menerapkan prinsip pembuktian terbalik, sebuah prinsip pemikiran dimana setiap transmisi dipandang bermasalah kecuali ada bukti otentik (harus membuktukan diri) bahwa ia tidak bermasalah. Oleh karena itu, al-Bukhari menuntut adanya bukti positif berupa informasi yang memastikan bahwa benar-banar telah terjadi pertemuan, interaksi, dan komunkasi pembelajaran hadis antar para perawi dalam transmisi tersebut. Sementarta di pihak lain, Muslim al-Nisaburi menggunakan teori praduga tidak bersalah (meski digunakan secara terbatas dan tidak merata). Dalam sudut pandang Muslim, sebuah transmisi dinyatakan valid bila di dalamnya terdiri dari orang-rang yang memiliki kualifikasi sama dalam keandalan etis personal dan akurasi intelektualnya

(tsiqat). Bagi Muslim invaliditas sebuah transmisi baru terjadi manakala didapati adanya bukti kuat yang menyebutkan bahwa orang-orang yang terdapat dalam transmisi tersebut (meski satu dua orang) benar-benar tidak saling bertemu.

Pandangan yang berbeda terjadi pula ketika para ahli hadis mengkaji konsep ‘adalat al-rawiy (tangung jawab etis personal penutur hadis). Ulama Syi’ah pada umumnya – kecuali Syi’ah Zaydiyah – menolak segala riwayat dari kalangan komunitas

sunni, demikian pun sebaliknya. Bahkan di kalangan sunni sendiri terdapat varian pendapat ketika menyikapi hadis-hadis yang berasal dari kalangan madzhab-madzhab kalam dan aliran politik tertentu di luar dirinya. Abu Ghassan Muhammad Ibn Amr al-Razi menyebutkan bahwa Jarir Ibn Abdul Hamid biasa melakukan kontak dan komunikasi dengan Jabir Ibn Yazid al-Ju’fi (menurut penuturan Zuhair dan Salam Ibn Ali Muthi, Jabir mengoleksi sekitar lima puluh ribu hadis yang keseluruhannya diperoleh dari Abu Ja’far al-Hasyimi al Madani), tetapi Jarir tidak menulis satupun riwayat darinya dengan alasan bahwa Jabir adalah seorang murjiah. Demikian pun Abu Abdirrahman al-Salmi yang menolak segala penuturan hadis Syaqiq al-Khariji dengan alasan karena ia seorang Khawarij14.

Nuansa seperti itu pun mengemuka pada penilaian aspek ke-dhabith-an seorang periwayat ketika berada dalam sebuah transmisi. Ini mengemukakan sebuah pendapat bahwa bisa jadi seorang penutur tsiqat dinyatakan kurang – atau bahkan tidak – valid oleh seorang ahli hadis ketika ia meriwayatkan dari seorang penutur atau kelompok penutur tertentu. Contoh untuk kasus ini, misalnya, pandangan al-Tarmidzi terhadap transmisi yang memuat informasi profetik tentang bersuci dengan batu. Al-Tarmidzi menilai bahwa riwayat Israil dan Qais Ibn Al-Rabi’ yang melalui Abu Ishaq [Amr Ibn Abdillah al-Sabi’iy] 14 Muslim, Ibn Hajjaj al-Nisaburi al-Imam, Shahih Muslim: Muqaddimah, hal. 12, Dar Ihya Kutub

(9)

lebih kokoh dan terpelihara dibanding riwayat siapa pun yang mengotorisasi riwayatnya dari Abu Ishaq. Sedangkan al-Bukhari meriwayatkan hadis tersebut menggunakan otoritas Zuhair dari Abu Ishaq. Pendapat al-Tarmidzi tentang transmisi tersebut menyepakati penilaian Abdurrahman Ibn Mahdi15.

Kasus lainnya dialami oleh Ismail Ibn Ayyasy. Al-Bukhari menilai bahwa bila Ismail munfarid (menyendiri) dalam periwayatannya, sementara riwayat tersebut diterimanya dari kelompok penutur Hijaz dan Iraq, maka hadisnya harus dipandang lemah. Namun tidak demikian jika Ismail meriwayatkannya dari komunitas Syam. Argumentasi al-Bukhari didasarkan pada hasil analisanya, bahwa Ismail banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar dari kedua komunitas penutur itu. Sementara Ahmad Ibn Hanbal melihat, dibanding Baqiyyah, Ismail Ibn Ayyasy masih lebih baik (ashlah). Ahmad mengemukakan alasannya bahwa Baqiyyah banyak sekali menyampaikan riwayat-riwayat munkar dari para perawi tsiqat (secara marata, tanpa menyebut komunitas tertentu asal perawi).

Eksplorasi dan survey yang dilakukan seorang kritisi hadis terhadap rawi tertentu adakalanya menemui jalan buntu. Dalam kondisi ini sudah barang pasti kerja menilainya pun jadi terhenti, dan materi hadis itu pun menjadi dalam kondisi status quo tanpa penilaian. Situasi ini pernah dialami Al-Bukhari, ketika ia menyatakan ‘tidak tahu’ (atau mungkin ragu untuk menyebut dan memastikan) nama kakeknya Adi Ibn Tsabit yang disodorkan oleh al-Tarmidzi. Kemudian al-Bukhari tidak menyangkal ketika al-Tarmidzi menyebutkan bahwa menurut Yahya Ibn Main nama kakek Adi adalah Dinar16.

Nuansa para ahli dalam melihat, mengapresiasi, menilai dan menyikapi sebuah riwayat sebagaimana tersebut di atas menggambarkan dinamika kritik dalam sebuah fragmen ilmiah yang dikenal dengan transformasi hadis. Perbedaan-perbedaan tersebut oleh mereka kemudian secara bertanggung jawab di-intoroduced kepada masyarakat pembaca dan pemerhati hadis untuk mendapatkan umpan balik yang positif. Hasil akhir yang ingin dicapainya adalah menemukan hadis-hadis Nabi saw. yang dapat diterima dan terpelihara, serta memenuhi kebutuhan syar’i yang ada pada setiap tingkat keperluan dan kepentingan masyarakat muslim.

Perspektif Muslim Al-Nisaburi

15 Al-Tirmidzi, Abu Ishaq Muhammad Ibn Ishaq, al-Jami` al-Shahih: bab ma ja-a fi al-hajarayn, Putera

Semarang, Indonesia, tt.; dan al-Bukhari, Muhammad Ibn Ismail al-Imam, al-Jami` al-Shahih: bab la yastanji bi al-rawts, Putera Semarang, Indonesia, tt.

(10)

Imam Muslim membangun perspektif tashhih al-riwayah-nya dengan mendasarkan pada pemahamannya terhadap bunyi ayat dalam Alquran surah 49:6, 2:286, 65:2.

Ketiga ayat tersebut kemudian dielaborasi sedemikian rupa oleh Muslim dan menghasilkan tiga kualifikasi riwayat yang dapat dinyatakan sahih, yaitu:

Pertama, riwayat sahih adalah riwayat yang bukan berasal dari para penutur fasiq; Kedua, riwayat itu diterima dari orang-orang yang tidak tertuduh melakukan kebohongan atau tindakan buruk lainnya dalam lingkungan kerja dan lingkungan sosialnya; dan

Ketiga, riwayat tersebut disampaikan oleh individu-individu yang memiliki sifat adil. Selanjutnya Muslim mengharuskan setiap individu umat Islam untuk melakukan upaya kritis terhadap apapun riwayat yang diterimanya. Diharapkan dengan sikap kritis tersebut setiap individu memiliki kemampuan melakukan identifikasi dan diferensiasi riwayat-riwayat yang sahih dan lemah, serta memilah para penutur yang tsiqat dan orang-orang yang tertuduh melakukan ragam ketidakpatutan. Para pelaku bid’ah ( teologis ) dan para pengingkar syariat termasuk yang disebalkan riwayatnya oleh Musim.

Pada bagian lain, Muslim mengharuskan dilakukannya uji materil terhadap riwayat-riwayat tertentu dari para penutur tsiqat tertentu. Hal demikian perlu dilakukan karena adakalanya seorang penutur hadis menyampaikan satu atau beberapa informasi tambahan (ziyadah al-`ilm) pada materi tertentu dan periwayatannya. Menurut Muslim, uji materil itu dapat dilakukan dengan melakukan cross refrence (pengecekan referensi secara silang) terhadap riwayat-riwayat lain yang semaksud dari para penutur lain yang memiliki kualifikasi dan kompetensi melebihi dirinya. Apabila terbukti bahwa pada riwayat-riwayat lainnya materi yang disampaikan oleh penutur tersebut tidak menyelisihi para penutur yang disebut kemudian, maka informasi tambahan itu dapat diterima.

Muslim termasuk ahli hadis yang memerhatikan betul pandangan-pandangan para ahli lainnya. Bagi Muslim, tidak setiap riwayat yang sahih menurut pandangan ilmiahnya dapat dicatat di dalam kitabnya. Di dalam kitabnya, Muslim hanya mencantumkan hadis-hadis yang memiliki aksepibilitas di kalangan mayoritas ahli hadis-hadis17.

17 Muslim, al-Shahih: I:173.

(11)

Profil Penulis:

Penulis dilahirkan di Sukamandi Ciasem Kabupaten Subang Jawa Barat tanggal 14

Juli 1968. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di SD Negeri Sukamandi VII Ciasem

Subang tahun 1981 dan SMP PGRI 1 Padalarang Bandung tahun 1984, penulis

melanjutkan studinya di STM Negeri 5 Bandung dan selesai tahun 1987.

Penulis melakukan perlawatan ke Jawa Timur dari November 1987 sampai Juni

1988 mengunjungi Pesantren Persis Bangil dan berperan sebagai peserta Kursus Tertulis

Studi Hukum Islam Pesantren Persis Bangil, Mustami` di Pesantren Salafiyah Lirboyo

Kediri, Pesantren al-Ikhlash Wuluhan Jember, dan Pesantren al-Hasan Panti Jember.

September 1988 mendaftar ke Pondok Pesantren Tinggi (PPT) Persatuan Islam di

Bandung. Tahun 1993 terdaftar sebagai mahasiswa Ushuluddin Dakwah STAI Persis

Bandung (sebelumnya STIU Persis) dan selesai tahun 1997. Di Pascasarjana UIN Sunan

Gunung Djati Bandung, penulis mengambil program S2 Konsentrasi Hadits, selesai tahun

2013.

Selain mengajar di STAI Persis Bandung (mata kuliah Hadis dan Ilmu Hadis),

penulis aktif sebagai da`i di lingkungan jam`iyyah Persatuan Islam dan masyarakat muslim

lainnya, serta pemrasaran dalam berbagai diskusi tentang hadis dan memberikan

Referensi

Dokumen terkait

Alel l yang mengekspresikan rambut panjang memiliki frekuensi alel sangat rendah pada populasi kucing di Jakarta Timur, yaitu 10.5%, namun alel ini merupakan alel baru yang

Dalam penjelasan sebelumnya bahwa pola tanaman atau sistem pertanian yang dilakoni oleh petani di Kabupaten Tapanuli Selatan beronientasi pada permintaan pasar

Dalam Tugas Akhir ini, dilakukan simulasi untuk mengamati kerusakan pada thyristor dalam suatu rangkaian penyearah tiga fasa terkontrol penuh, dengan beban yang digunakan yaitu

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian

Menurut para wanita lajang tersebut, kendala- kendala yang dihadapi, antara lain: tidak memiliki cukup biaya dan waktu untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih

dapat disimpukan bahwa secara umum infaq konsumsi memiliki relevansi dengan konsumsi perspektif ekonomi Islam baik dalam hal definisi, konsep kebutuhan, tujuan dan

Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien Hemodialisa terhadap terapi gagal ginjal di RSUD Blambangan, terutama dukungan emosional yang

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa, ekstrak tongkol jagung memiliki potensi sebagai fitokimia antioksidan karena