• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN EKONOMI DAN PERBANKAN SYARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGEMBANGAN EKONOMI DAN PERBANKAN SYARI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN EKONOMI DAN PERBANKAN SYARIAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Dr. Abdul Aziz, M.Ag

(Dosen Program Pascasarjana dan S1 Ekonomi Perbankan Islam IAIN SNJ Cirebon) Email: razi_ratnaaziz@yahoo.co.id

Email: abdulazizmuanwwar11@gmail.com Website: nyongnewablogaddres.blogspot.com

Pendahuluan

Puji syukur alhamdulillah atas ridla dan karunia-inayah-Nya, pada kesempatan ini saya diberi kehormatan menjadi pembahas pada “Seminar Nasional” dan Bedah Buku “Hukum Perbankan Syariah”, karya Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag., sekaligus sebagai narasumber untuk tema “Peranan Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Pengembangan Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Pada tema ini, saya melihat ada tiga kata kunci penting, yaitu (1) pengembangan ekonomi, (2) perbankan syariah, dan (3) kearifan lokal. Pengembangan ekonomi dan perbankan syariah dibingkai dalam konteks keindonesiaan. Karena berbicara masalah kearifan lokal (local wisdom), maka berbicara tentang ke-Indonesiaan.

Berbicara tentang keindonesiaan tentu menarik, sebelum penulis bahas masalah pengembangan ekonomi dan perbankan syariah. Pertama, karena Indonesia merupakan bangsa besar mayoritas Muslim yang kaya akan keberagamanan (kemajemukan-kebinekatunggalikaan). Kata “Keberagaman”, bisa ditinjau dari pengistilahan “ke-ber-ragaman”, artinya aneka budaya, aneka bahasa, aneka suku, aneka kepulaan dan sejenisnya, sementara istilah “ke-ber-agamaan”, berarti Indonesia banyak agama yang diakui, seperti agama Islam, agama Kristen Katholik dan Protestan, agama Hindu dan Budha, agama Khonghucu. Kedua, konteks ke-Indonesiaa yang merupakan suatu bangsa dan negara memiliki suatu ideologi dan falsafah hidup yang berakar dari inti agama dan budaya “keberagaman” tersebut, yaitu Pancasila. Inilah yang hemat penulis, bahwa Pancasila seharusnya menjadi sumber segala sumber dan acuan dalam sistem berkehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh dalam konteks Indonesia. Karena itu, pancasila merupakan akar dari local wisdom (kearifan lokal) dalam konteks negeri ini, yaitu bangsa Indoensia.

Jika Amerika saja misalnya, dengan sistem kapitalismenya yakin dapat membantu dirinya untuk meningkatkan perekonomian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. AS bahkan dengan tanpa malu dan rasa percaya diri yang tinggi dengan sistemnya itu berkeinginan untuk menyebarluaskan pada bangas-bangsa Eropa yang kalah perang dunia II, sehingga ia harus “dengan tangan besi” menggunakan Marshall Plan1 (George Marshall menteri luar negeri

(2)

semasa Harry S. Truman, presiden AS tahun 1947) sebagai model pembangunan terencana yang harus diikuti oleh negara-negara Eropa Barat (Yunani, Turki, Jerman, Italia, Inggris dan seterusnya). Amerika Serikat konsisten dengan nilai, prinsip dan tata aturan yang dibangun secara menyeluruh, komitmen dan yakin bahwa model yang ditawarkan dapat membawa kemajuan negara-negara Eropa yang kalah perang, dan berhasil. Misi AS untuk “menolong” berhasil menghantarkan negara-negara Eropa Barat menjadi negara maju dan sistem kapitalis dengan dalih baju demokrasi dapat mengambil alih sistem politik negara sekaligus. Bahkan negara-negara Eropa Barat menjalin kerjasama yang solid dengan membentuk European Economic Community (EEC) pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma, Italia.

Dan, keberhasilan Marshall Plan di negara-negara Eropa Barat yang telah mampu me-recovery dan mengkonstruksi negara tersebut, akhirnya diteruskan kepada negara-negara berkembang yang tentu secara geografis, budaya, ideologis dan faktor lain sangat berbeda karakternya.

Sejalan dengan itu, Uni Soviet sebagai negara adidaya kedua setelah Amerika Serikat membanggakan sistem sosialis dan menyebarkluaskannya pada negara-negara Eropa lainnya, dengan baju komunismenya sebagai sistem negara. Jika pada Amerika ada Marshall Plan, maka di Uni Soviet ada Molotov Plan (Molotov, menteri luar negari US saat itu). Molotov Plan merupakan suatu program negara adidaya (US) dalam rangka membantu meringankan beban dan sekaligus program pemulihan untuk negara-negara Eropa Timur dari kehancuran akibat perang dunia kedua, dengan mengirimkan bantuan-bantuan paket ekonomi berupa perkreditan. Karenanya, untuk soliditas mereka membentuk Commintern Economi (Comicon). Dan, “berhasil”.

Jadi, kedua program Plan baik Marshall Plan pada Amerika Serikat maupun Molotov Plan untuk Uni Soviet dengan masing-masing programnya telah menyebar luaskan paham demokrasi dan komunismenya pada tataran politik kenegaraan, sementara disektor perekonomian menumbuhsuburkan sistem kapitalisme dan sosialis. Hal ini yang tentu hemat penulis dapat dicatat. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mari kita diskusikan.

Pengembangan ekonomi

Jika AS mampu menanamkan ideologi kapitalis menjadi sistem ekonomi dan demokrasi

menjadi soko guru sistem kenegaraan dalam politiknya yang mampu disebarluaskan melalui “Marshall Plan”nya, maka US dapat menerapkan pada sekutunya itu sistem sosialis untuk

sektor perekonomian dan baju komunis pada sistem kenegaraannya.

Maka, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara, sama seperti Amerika, Uni Soviet (kini Rusia), Jerman, Italia, Perancis, Yunani, Turki dan seterusnya yang tentu pernah mengalami dampak perang dunia kedua dan mengalami pahit getirnya negara jajahan selama berabad-abad, kini dengan telah merdeka pada tahun 1945 sampai mengalami 7 (tujuh) pergantian presiden selama 71 tahun kemerdekaannya, belum beranjak dari negara berkembang menjadi negara “maju”. Tentu pertanyaannya adalah kenapa, ada apa dan bagaimana ini? Mari kita lihat perjalanan panjang (secara selintas) era kepemimpinan bangsa Indonesia dan bagaimana pengembangan ekonominya.

(3)

ideologi yang perlu ditegakkan adalah tiada lain Pancasila. Karena, Pancasila sejak Indonesia merdeka menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan termasuk merupakan ideologi bangsa yang ini tentu sejak era Soekarno, seorang insiyur (Ir) yang kemudian disebut sebagai Orde Lama (21 tahun) menyakini bahwa Pancasila sebagai keputusan final menjadi dasar negara (falsafah hidup untuk kebangsaan Indonesia) yang didampingi oleh wakilnya M. Hatta seorang ekonom telah menggagas dan mencetuskan sistem ekonomi kerakyatan berbasis

koperasi sesuai dengan ideologi bangsa, yaitu Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Sekali lagi, jika Amerika dengan sistem kapitalisnya mampu menjadi tolok ukur perencanaan di bidang ekonomi, di bidang politik sistem demokrasi menjadi “darah daging”, meskipun hanya 2 partai politik saja yang berperan (Partai Republik dan Partai Demokrat) menjadi tuntunan kehidupan politik yang dipertahankan, kalau tidak dikatakan didewakan.

Orde Baru di era Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya, sekali lagi Pancasila masih tetap menjadi acuan dan pedoman hidup bangsa – terlepas dari seperti apa dan bagaimana cara menerjemahkannya – mampu menghantarkan bangsa Indonesia “membangun” (devlopment country) melalui GBHN-nya dan P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) sebagai cara menyakinkan kepada rakyat dalam mensosialisasikan dan memahami isi kandungan Pancasila. Namun faktanya, apa yang diharapkan dan diinginkan oleh “Pancasila” sebagai ideologi dan falsafah negara sebagaimana yang diterjemahkan era Soeharto belum mampu mensejahterakan rakyat Indonesia, kesenjangan sosial masih ada keadilan sosial belum sepenuhnya tercapai. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa apa yang menjadi cita-cita perekonomian dengan asas kekeluargaan melalui KOPERASI dapat tumbuh-surut- berkembang2.

Meskipun sekali lagi, demam kapitalis melalui IMF3-nya dengan dalih bantuan untuk

pemulihan perekonoman dan pembangunan pada negara-negara berkembang dan dorongan “kaspat” DEMOKRASI – istilah yang sekarang sedang booming yang diperankan kanjeng Brajamukti – tidak dapat dihindari di”PAKSAKAN” agar dijadikan sebagai sistem politik tersebut, sebagaimana apa yang diinginkan oleh MARSHALL PLAN-nya Amerika berhasil mengganti tatanan sosial bangsa Indonesia, yaitu PANCASILA dan EKONOMI KERAKYATAN.

22 Pada tahun 1945 – 1958 gagasan ekonomi kerakyatan cenderung mengalami proses pasang surut, apalagi 1949 ketika kaum penjajah belum sepenuhnya rela meningalkan Indonesia. Sementara tahun 1950 – 1958, meskipun pada 1955 berlangsung sukses pemilihan umum. Indonesia terlanjur terjebak ke dalam kancah pergulatan politik internal yang hampir tiada henti. Pada tahun 1959 – 1965 di era ekonomi dan demokrasi terpimpin, semangat ekonomi kerakyatan cenderung mengalami politisasi besar-besaran sehingga memunculkan gerakan G 30 S/PKI, puncaknya terjadi alih kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 11 Maret 1966. Di awal kepemimpinannya, ekonomi kerakyatan dengan secara tegas menamakan koperasi dengan munculnya UU Koperasi No. 12/1967. Namun sebelumnya telah diterbitkan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Dikutip dari tulisan Revrisond Baswir berjudul Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Rakyat dan Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional.

(4)

Akhirnya di era reformasi pada tahun 1997, apa yang menjadi “cita-cita” era orde lama dan orde baru dalam rangka menyakinkan kepada rakyatnya bahwa Pancasila sejatinya adalah ideologi bangsa dan dasar negara, serta ekonomi kerakyatannya dengan wujud “koperasi” dihancur leburkan atau paling tidak dilihat sebelah mata oleh rakyatnya sendiri, terutama IDEOLOGI BANGSA “PANCASILA” dilempar jauh-jauh dengan cara, misalnya P4 dihapuskan dari sekolah dan GBHN dihilangkan. Meskipun koperasi tetap masih eksis bahkan menunjukkan perkembangannya, akan tetapi tidak sejalan dengan ideologinya. Artinya, jika – lagi-lagi – sistem kapitalis akan dapat berjaya dan dapat berbuat banyak menjadi sistem ekonomi suatu bangsa jika ditopang dan didorong oleh sistem politiknya, yaitu demokrasi. Seperti halnya Amerika (“dewanya negara maju), INI FAKTA. Sementara di Indonesia tidak berjalan secara berkelindan. Yakni, ekonomi kerakyatan tidak di back up oleh Pancasila yang melahirkannya. Justru, sistem Pancasila diganti sistem Demokrasi, atau paling tidak agar supaya tidak menyalahi dasar negara ditambah-tambah, yaitu DEMOKRASI PANCASILA4 ATAU DEMOKRASI EKONOMI.

Hemat penulis, apa yang menjadi milik bangsa, jati diri bangsa yang mencerminkan karakter bangsa dan ideologi bangsa yaitu PANCASILA disanding-sanding dengan DEMOKRASI, yang bukan milik bangsa, karakter bangsa bahkan jatidiri bangsa Indonesia. DEMOKRASI mungkin sangat cocok dengan karakter bangsa jati diri bangsa lain, sehingga bisa jadi sesuatu yang bukan bajunya dipakai, maka tidak akan pas, bisa jadi kedodoran. Apalagi sistem KAPITALIS, yang jauh dengan jati diri bangsa Indonesia yang guyub, tepo seliro, santun, rerewangan, gotong royong, paroan, pertelonan, dan sejenisnya dalam bidang pertanian, yang kecil menghormati yang tua, yang tua menyanyangi yang kecil. Misalnya, di Aceh masyarakat sangat menghormati dan patuh pada tokoh, Cut Nya Dien, Cik Di Tiro, di Padang Imam Bonjol di Jawa Tengah dengan Pangeran Dipenogoro sampai Papua semua tokoh-tokoh masyarakat dipatuhi ditaati dan dihormati sehingga keterwakilan menjadi karakter dan budaya bangsa dipaksakan menjadi sistem kapitalis yang sekuler yang sangat berbeda dengan nilai-nilai tersebut di atas.

Kenapa Pancasila layak dipertahankan dan harus dipertaruhkan sebagai dasar negara, falsafah hidup bangsa, bukan Islam misalnya karena Indonesia mayoritas Muslim. Paling tidak, seperti apa yang menjadi kegelisahan dan keperihatinan Mubyarto pada teori-teori ekonomi yang bersumber pada “KAPITALIS”, khususnya teori neoklasik teori-teori Neoklasik banyak menggantungkan pada kekuatan pasar untuk melaksanakan alokasi sumber daya dalam masyarakat yang dianggap oleh para pengamat lebih banyak menumbuhkan golongan ekonomi kuat, dan kurang mampu meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah. Sementara dengan PANCASILA sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, didalamnya menurut Mubyarto, memiliki prinsip dasar ekonomi yang jelas, seperti:

1. Etika/Bermoral (Spirituality) 2. Manusiawi (Humanity)

3. Nasionalisme ekonomi (Economic Nationalism) 4. Demokrasi ekonomi/ekonomi kerakyatan 5. Keadilan sosial (Social justice)

(5)

Juga sangat jelas karakteristik dan tatan budaya pada sistem ekonomi Pancasila mencerminkan pada:

1) Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan sosial dan moral. 2) Ada tekad kuat seluruh bangsa utk mewujudkan kemerataan sosial. 3) Ada nasionalisme ekonomi.

4) Koperasi merupaka sokoguru ekonomi nasional.

5) Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi nasional dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.

Inilah nilai-nilai dasar dari ekonomi Pancasila versi Mubyarto atau ekonomi kerakyatannya M. Hatta dengan koperasinya yang secara pasti-akurat sesuai dengan budaya dan karakter bangsa Indonesia, bukan Kapitalis atau pun Sosialis, Demokrasi maupun Komunis. Karenanya, para pengikut sekaligus murid-murid beliau selalu mendukung dan menyebarluaskan ide dan gagasannya itu. Untuk itu dikenal sebagai mazhab UGM, karena Mubyarto seorang lulusan ekonomi pertanian.

Begitu juga pengakuan Yuyun Wirasasmita bahwa pada sistem kapitalis yang dilematik pada aspek kepemilikan (ownership) dimana setiap orang diberikan kebebasan mutlak baik untuk memilikinya maupun penggunaannya yang menimbulkan berbagai masalah seperti eksternalitas (masalah kerusakan lingkungan, monopoli dan lain-lain), serta sosialis yang cenderung membatasi kepemilikan individu sehingga menimbulkan kemandegan ekonomi. Ini pun telah terbukti secara sadar atau tidak, menimbulkan masalah yang tak kunjung selesai, terutama bagi negara-negara berkembang yang mau dipaksakan “harus” mengikuti pola demokrasi ala Kapitalis atau pun pola komunis ala Sosialis.

Namun berakhirnya orde baru pada tahun 1997 dan beralihnya orde reformasi, dimana warisan orba dengan hutang luar negeri yang begitu menganga dengan sistem demokrasi pancasila yang gagal menunjukkan Pancasila “sakti” sesuai dengan nilai-nilai silanya. Hampir seluruh produk yang “berbau” ORBA dihilangkan. Kini telah 18 tahun yang diawali dengan era reformasi, mulai masa transisi BJ. Habibie sampai era Jokowi kehilangan pijakan dan arah pembangunan di bidang ekonomi. Pemerataan ekonomi masih berpihak pada kaum kuat, meskipun kaum lemah beranjak tetapi sangat lambat bergeser pada sedikit seditik menuju kaum menengah. Munculnya korupsi merajalela dari tingkat desa sampai pejabat tinggi negara, tindak kriminalitas meningkat ditandai dengan adanya ulah geng motor yang tak pernah kunjung dipecahkan, pergaulan bebas semarak tak kenal tempat, alih-alih seksualitas yang dilakukan anak pada anak dan terhadap anak oleh orang dewasa muncul setiap saat. Dari berbagai permasalahaan dan persoalan seakan-akan tidak mampu untuk diurai dari mana harus memulai, dan kapan harus diobati.

Sejatinya kalau dirunut dari fakta sejarah, memang tidak lepas dari bagaimana peran para tokoh, terutama para akademisi sumbangsihnya pada pengembangan teori khususnya di bidang ekonomi. Mereka mencoba untuk mengerahkan segenap ide, gagasan dan pikiran sehingga melahirkan teori-teori ekonomi. Lahirnya ekonomi klasik tidak lepas dari Adam Smith sebagai embahnya ekonomi modern denga disebarluaskan – baik melalui kritikan perbaikan – oleh para pelanjut dan murid-muridnya, seperti: Thomas Robert Malthus (1766 – 1834), David Ricardo (1772 – 1823), Jean Baptiste Say (1767 – 1832) dan John Stuart Mill (1806 – 1873)5 melahirkan sistem Kapitalis yang banyak dan telah memberikan sumbangsih

(6)

mazhah-besar pada negara Adidaya Amerika Serikat, dengan Demokrasi sebagai bungkus pemerintahnnya. Karl Marx dengan pengembangan dari teori sosialis uthopis mampu menampilkan sistem sosialisme menjadi sistem ekonomi yang dibungkus dengan sistem pemerintahan komunis6.

Lantas bagaimana dengan sistem Pancasila dan ekonomi kerakyatan yang miskin akan ide dan gagasan serta pelanjut dan jenderal lapangan yang mau “berkorban” untuk setidaknya pada konteks keindonesiaan mau dengan “suka rela”, khususnya para ekonom untuk mencuatkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa menjadi sistem ekonomi lokal, alih—alih sistem ekonomi dunia, ekonomi kerakyatan menjadi pengajawantah sistem ekonomi Pancasila.

Kenapa harus sistem ekonomi Pancasila

Sebagaimana Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, maka bagaimana pun kita harus konsisten dengan seluruh aspek di dalamnya. Prinsip, nilai dan karakteristik yang terkandung didalmnya harus diimplementasikan dalam wujud nyata berbangsa dan bernegara. Pancasila yang lahir dari asli rahim perwakilan tokoh agama, budaya, akademisi dan represenatif dari bangsa Indonesia – terlepas dari kontroversinya, ketika 7 kata di dalamnya, yang disebut piagam Jakarta – kini telah diakui secara konstitusi. Artinya, senang tidak senang harus dipedomani secara konsisten.

Mayoritas Muslim Indonesia khususnya telah menerima bahkan diakui dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan wujud dari ketahuidan dalam ajaran islam. Yaitu Allah Ahad, Allah Tuhan Yang Maha Esa. Sila ini tentu menjadi spirit keagamaan bagi semua warga negara yang ada di dalam tubuh yang bernama Indonesia, spirit moral dalam keberagamaan, budaya, sosial ekonomi yang merupakan pilar dalam menyemangati kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi nilai etis oleh perilaku manusia-manusia Indonesia. Maka jika, dalam ekonomi konvensional semangat atas homoeconomicus dalam Pancasila menjadi homopanasilus, kalau bukan homosolius yang bisa ditafsirkan sebagai manusia sebagai khalifah fi ardli. Artinya, perilaku warga negara Indonesia harus didasari atas landasan moral Pancasila, tanpa harus diselewengkan tanpa harus diduakan dengan lainnya. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila paralel dengan sistem ekonomi Islam dilihat dari aksiomatik sistem nilai ajaran Islam, yaitu TAUHID.

Disisi lain dalam sila-sila lain, sebagaimana pula jelaskan dan ditafsirkan oleh banyak tokoh dan begawan ekonomi seperti yang telah disebutkan, misalnya Sarbini Sumawinata pelanjut dari gagasan ekonomi kerakyatan M. Hatta, berlanjut pada Prof. Mubyarto dan Sri Edi Swasono dengan banyak lagi para pengikutnya yang kemudian “angin-anginan” dalam

mazhab pemikiiran sampai matangnya pada John Maynard Keynes (1883 – 1946) dengan teori ekonomi yang terkenal tentang Teori Uang. Buku yang sangat monumental The General Theory of Employment, Interest, and Money merupakan buku penyempurna metode klasik dan neoklasik. Peran besar Keynes adalah saat pembentukan IMF (International Monetary Fund), sehingga dengan jasanya itu ia dianugerahi gelar “BARON”, suatu gelar kebangsaan yang sangat tinggi dalam masyarakat Eropa, sehingga ia mendapat banyak dukungan seperti Alvin Harvey Hansen (1887 – 1975), Simon Kuznets (1901 – 1985), John R. Hicks (1904-) dengan memperjelas analisis teori IS-LM, Wassily Leontief (1906 -) dan Paul Sameulson (1915 -) dan seterusnya. Lih. Deliarnov dalam buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi, 1997.

(7)

menyebarluaskan ide dan gagasannya itu. Maka, akan sangat lama waktu yang dibutuhkan dalam rangka paling tidak bertahan dari serbuan gelomban sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis yang diperjuangkan leat demokrasi dan komunis dalam sistem penyelenggaraan negara, apalagi menggesernya. Mesikupun adanya sistem ekonomi Islam (SEI) telah memberikan angin segar dengan ada dan muncul kembangnya kelembagaan ekonomi Islam baik perbankan maupun non perbankannya. Namun hemat penulis, proses ini akan memakan waktu yang sangat lama, karena disisi lain sistem ekonomi Islam hanya diterapkan pada bidang ekonomi saja, tanpa dibarengi dengan sistem politik kenegaraan apalagi perundang-undangannya. Mengingat Indonesia bukan negara agama, apalagi negara Islam. Meskipun tentu sebagai bagian dari Muslim ini merupakan ijtihad di bidang ekonomi.

Semangat umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah (universal), dengan catatan tidak mengikuti langkah-langkah syetan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak proporsional paling tidak itu akan menghambat. Hal ini telah terbukti berkali-kali dalam sejarah kita. Hemat penulis, Pancasila sebagai bagian dari inti dari ajaran Islam paling tidak akan mampu secara menyeluruh untuk menjadikan sistem ekonomi menjadi sistem ekonomi nasional dan dunia, dengan syarat para pendekar dan begawan, baik dari kalangan politisi, agamawan, teknokrat, dan para ekonomi semuanya bahu membahu tanpa batas agama, ras, suku dan lainnya seperti halnya mereka para tokoh “mensukseskan” masing-masing ideologi Kapitalis maupun Sosialis.

Syarat lain adalah pertentangan Pancasila dan Islam yang telah berkesudahan harus menjadi momentum baik dalam pengembangan ekonomi berbasis kebijakan lokal (local wisdom) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Jika sistem ekonomi Islam menjadi bagian penting dalam rangka Pancasila membentuk dirinya pada sistem ekonomi nasional, maka secara politik Islam dapat menjadi sistem politik dalam bingkai transpormasi Pancasila dengan memproduk perundang-undangan dan peraturan pemerintah secara Islami. Karena itu, Pancasila merupakan sumber inspiratif kearifan lokal (Pancasila as Inspiring of local wisdom).

Perbankan Syariah vs Koperasi

Terlepas apakah perbankan syariah sesuai dengan “hukum Islam” atau tidak, “belum sesuai” atau “sudah sesuai”, di Indonesia perkembangan kelembagaan ini secara kuantitatif telah menunjukkan peningkatannya. Misalnya, sejak tahun 1991 dimana dimulainya babak baru munculnya perbankan syariah dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri tahun 1990 (1998 berlakunya UU PS) sampai dengan tahun 2016 telah mencapai jumlah yang signifikan, yaitu dari 1 perbankan menjadi 12 perbankan (BUS). Dan, harus diakui secara formal yuridis perkembangan perbankan syariah dengan peraturan perundang-undangannya, baik oleh pemerintah maupun fatwa-fatwanya banyak diadopsi pada produk-produknya.

Pertumbuhan perbankan syariah yang signifikan ini tidak terlepas setelah adanya perubahan Undang-Undang perbankan Nomor 10 tahun 1998, sebagai Undang-undang pengganti UU Nomor 7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus yang mengatur perbankan Syariah.

(8)

Indikasi KP/UUS1998 KP/UUS2003 KP/UUS2004 KP/UUS2005 KP/UUS2006 KP/UUS2007 KP/UUS2008 KP/UUS2009 KP/UUS2014 KP/UUS2015 KP/UUS2016

BUS 1 2 3 3 3 3 5 6 12 12 12

UUS – 8 15 19 20 25 27 25 22 22 22

BPRS 76 84 88 92 105 114 131 139 163 163 165

Sumber : OJK-BI, Statistik Perbankan Syariah, 2016.

Keterangan :

BUS = Bank Umum Syariah UUS = Unit Usaha Syariah

BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah

Dari tabel di atas, dapat dilihat secara kuantitas baik BUS dan BPRS menunjukkan peningkatannya, berbeda dengan UUS ada penurunan terutama pada tahun 2008 dengan jumlah 27 tahun berikutnya 22. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi islam dengan sistem kelembagaan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat yang kecenderungannya konvensionalisme produk kapitalis demokrasi, melalui lembaga-lembaga perbankannya. Lalu dimana peran Pancasilanya, meskipun sistem ekonomi Pancasila belum muncul secara yuridis karena memang harus atas ketok palu DPR, setidaknya dalam perbankan Islam menjadi representatif ekonomi Pancasila. Bisakah? ini PR kita bersama, terutama bagi yang setuju akan hal ini.

Demikian pula koperasi yang merupakan bagian dari wujud ekonomi kerakyatan dalam sistem ekonomi Pancasila, bait al-mal wa tamwil (BMT) dalam konteks ekonomi Islam (syariah) menjadi soko guru perekonomian nasional harus diakui. Meskipun sebenarnya lembaga perbankan lebih menjurus pada “melenganggengkan” sistem Kapitalis, setidaknya koperasi syariah plus ekonomi kerakyatan lagi-lagi perlu didorong agar betul-benar menjadi soko guru perekonomian nasional, “bukan” lembaga perbankan. Hal ini telah jelas disebutkan secara tidak langsung pada Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Jadi, hanya koperasi yang paling tidak mendekati apa yang dikehendaki oleh UU tersebut, bukan perbankan karena asas kekeluargaan dengan wujud “ANGGOTA” menjadi slogan koperasi, sementara “NASABAH” menjadi slogan perbankan.

Dalam konteks perbankan syariah dengan sistem bagi hasil (al-qiradh/mudharabah atau musyarakah, muzara’ah, mukhabarah dan musyaqah) dan sistem jual beli (murabahah dan lainnya) fee (jasa) menjadi hal yang menarik dalam konteks pembeda pada perbankan konvensional. Maka perlu kita perjelas dengan model berikut ini:

Gambar 1 BH/BRH 100 % dalam 8 Tahun 100 %

50 %

30 %

20 %

10 %

0 1 2 3 4 5 6 7 8

BH / BRH

100 %

50 %

30 %

20 %

10 %

0 1 2 3 4 5 6 7 8

(9)

Gambar 2 BH/BRH 50% cicilan dlm 8 Tahun

Gambar 3 BH/BRH 30 % cicilan dalam 8 Tahun

Gambar 4 BRH/BH < 20 % cicilan dalam 8 Tahun

Dari ilustari 1 sd. 4 tersebut menjelaskan tentang bagaimana prinsip bagi hasil atau bagi rugi hasil dan atau produk perbankan syariah lainnya dengan adanya tambahan (ziyadah, atau dengan dalih apa pun ulama sepakat sebagai “riba”) dalam konteks kekinian di Indonesia dikenal dengan terang benderang sebagai “BUNGA” dalam konvensional. Apakah dengan ini adalah peristilahan lain, terutama bagaimana rumusan sistem ekonomi Pancasila dapat menjawab isu ini. PR panjang? Lalu bagaimana dengan koperasi?

Inilah bahan-bahan diskusi lanjutan untuk kita bahas dan dengan tekun pelajari agar harapan kita menjadikan apakah SEI ataukah SEP dengan ekonomi kerakyataannya yang dipertegas oleh sistem politik yang berdasarkan PANCASILA bukan demokrasi ala Kapitalis membumi di Indonesia, tanah kelahiran sendiri, bukan tanah kelahiran Adam Smith, bukan juga tanah kelahiran Karl H Marx.

Penutup

Dari bahasan tersebut di atas, maka dalam hal ini penulis ingin sharing bahwa ide dan gagasan apapun yang muncul dan dituangkan dalam bentuk pemikiran merupakan suatu amal ibadah jika diniatkan untuk pencerahan, peneyelesaian suatu masalah apalagi yang menyangkut keumatan, terlebih dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca dikritik dan

100 %

50 %

30 %

20 %

10 %

0 1 2 3 4 5 6 7 8

BH / BRH

100 %

50 %

30 %

20 %

10 %

0 1 2 3 4 5 6 7 8

(10)

didiskusikan. Islam sebagai ajaran rahmatan lil alamin telah mengarahkan kepada pendiri bangsa memunculkan ide dan gagasan berupa PANCASILA menjadi akhir dari perdebatan ideologi dan dasar negara bagi bangsa Indonesia. Akankah disia-siakan? Tidak bisakah dari ideologi bangsa dan dasar negara tersebut tidak bisa diwujudkan dalam kesejahteraan ekonomi, kedamaian sosial dalam kerangka perpolitikan negara, sistem negara, hukum negara dan seterusnya. Seperti halnya ide dan gagasan seorang diri Adam Smith bagi penyelesaian akan kehancuran suatu bangsa dengan munculnya sistem KAPITALIS yang diperbuat dengan DEMOKRASI, menjadi solusi. Amerikat Serikat dengan negara-negara Eropa Barat lainnya. Ataukah seorang Karl Marx dengan ide cemerlang menggagas ide sosialis menjadi sistem perekonomian SOSIALIS dengan bantuan “kediktatoran” negara menjadi “KOMUNIS”, yang diimplementasikan dalam bentuk negara Uni Soviet, kini RUSIA.

Pengembangan ekonomi dan perbankan syariah sebagaimana dalam diskusi ini memulai sedini mungkin, meskipun sudah jauh dari lainnya mulai mencari pegangan dan basis pada local wisdom (kearifan lokal) yang tentu penulis cenderung memilih sebagai basis PANCASILA, sebagaiman juga telah selalu dibahas di kampus-kampus. Wallahu a’lam bi sawab.

Daftar Referensi Diperkaya Oleh Tulisan:

Berbahasa Inggris:

Kindleberger, Charles, P. 1968. “the Marshall Plan and the Cold War”, International Journal, Vol. 23, No.3, pp.369-382

Kunz, Diane B. 1997. “the Marshall Plan Reconsidered: a Complex of Motives”, Foreign Affairs, Vol.76 No.3, pp.162-170

Bryan, Ferald J. 1991. “George C. Marshall at Harvard: a Study of the Origin and Construction of the Marshall Plan Speech”, Presidential Studies Quarterly, Vol. 21, No. 3, pp. 21-38

Machado, Barry 2007, In Search of a Usable Past: The Marshall Plan and Postwar Reconstruction Today, George C. Marshall Foundation, Lexington, VA. Pp. 51-63

Milward, Alan S. 1984, The Reconstruction of Western Europe, 1945-1951, Methuen, London.

Berghahn, Volker R. 2008, The Marshall Plan and the Recasting of Europe’s Postwar,

Berbahasa Indonesia:

Nataatmadja, Hidayat, dkk. 1984. Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. PLP2M, Jakarta.

_________________, 2001. Inteligensi Spiritual. Perenial Press, Jakarta.

_________________, T.Th. Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Ideologi. Iqro, Bandung.

________________, 1984. Pemikiran Kearah Ekonomi Humanistik. PLP2M Ygoyakarta. Rahardjo, Dawam, 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Dong-Sung Cho dan Hwy-Chang Moon, 2000. From Adam Smith to Michael Porter Evolusi Teori Daya Saing. Salemba Empat, Jakarta.

(11)

Kindleberger, Charles, P. 1968. “the Marshall Plan and the Cold War”, International Journal, Vol. 23, No.3, pp.369-382

Kunz, Diane B. 1997. “the Marshall Plan Reconsidered: a Complex of Motives”, Foreign Affairs, Vol.76 No.3, pp.162-170

Gambar

Gambar 1 BH/BRH 100 % dalam 8 Tahun
Gambar 2 BH/BRH 50% cicilan dlm 8 Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Bab V ini merupakan simpulan dari hasil kajian dan penelitian penulis mengenai “Partisipasi Warga Negara dalam Melaksanakan Peraturan Daerah sebagai Upaya Membina

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, keruntuhan bronjong tejadi pada awal dan akhir tikungan, dan setelah diperkuat dengan perkuatan gabungan arah horizontal dan

Mukosa adalah lapisan jaringan epitel yang melapisi bagian tubuh yang memiliki kontak dengan udara. Jaringan mukosa bersifat lembab karena adanya glandula yang

Diagram 4: Literarni sistem – Tone Pavček: Kaj vse je tata Boža Krakar Vogel, Milena Mileva Blažić: Sistemska didaktika književnosti v teoriji in praksi... – Tolovaj iz

DI KOTA PALEMBANG TERI.{ADAP UNDANG-UNDANG NOMO*.23 TAIIUN 2OO2 TENTAI{G PERLINDUNGAN

Pengolahan data debit mata air dengan menggunakan metode tampung dapat dicari menggunakan rumus volume tabung maupun rumus kubus, hal tersebut bergantung pada bentuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari bukti empiris bahwa proporsi jaminan yang dibebankan kepada penerima pinjaman dipengaruhi secara positif oleh besar

Terdapat empat objektif utama yang akan membantu bagi menyempurnakan kajian ini iaitu mengenal pasti isu yang ketara terhadap permintaan dan penawaran komponen Sistem