2. BAB II: HAKEKAT BUKU TEKS A. Pengertian dan Definisi Buku Teks
Buku teks adalah buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang merupakan buku standar, yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu buat maksud-maksud dan tujuan instruksional, yang diperlengkapi dengan sarana pengajaran ynag serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang sesuatu program pengajaran.
B. Fungsi Buku Teks
Buku–buku teks merupakan sarana penting dan ampuh bagi penyediaan dan pemenuhan pengalaman tak langsung dalam jumlah yang besar dan terorganisasi rapi. Buku teks mempunyai beberapa fungsi yaitu buku teks mencerminkan suatu sudut pandangan,
menyediakan suatu sumber yang teratur rapi dan bertahap, menyajikan pokok masalah yang kaya dan serasi, menyediakan aneka metode dan sarana pengajaran, menyajikan fiksasi awal bagi tugas dan latihan, serta menyajikan sumber bahan evaluasi dan remedial.
Keuntungan-keuntungan buku teks antara lain:
a) Kesempatan mempelajarinya sesuai dengan kecepatan masing-masing
b) Kesempatan untuk mengulangi atau meninjaunya kembali
c) Kemungkinan mengadakan pemeriksaan atau pencekam terhadap ingatan.
d) Kemudahan untuk membuat catatan-catatan bagi pemakaiannya selanjutnya
e) Kesempatan khusus yang dapat ditampilkan oleh sarana-sarana visual dalam menunjang upaya belajar dari sebuah buku.
C. Kualitas Buku Teks
Buku teks yang baik adalah buku teks yang relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Kualitas buku teks dapat dilihat dari sudut pandangan (point of view), kejelasan konsep, relevan dengan kurikulum, menarik minat siswa, menumbuhkan motivasi, menstimulasi aktivitas siswa, ilustratif, buku teks harus dimengerti oleh siswa, menunjang mata pelajaran lain, menghargai perbedaan individu, serta memantapkan nilai-nilai.
Butir-butir yang harus dipenuhi oleh suatu buku teks yang tergolong dalam kategori berkualitas tinggi ialah:
a)Buku teks harus menarik minat anak-anak, yaitu para siswa yang mempergunakannya.
b) Buku teks harus mampu memberi motivasi kepada para siswa yang memakainya.
d) Buku teks seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya.
e)Buku teks isinya harus berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya, lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan rencana, sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu.
f) Buku teks harus dapat menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang mempergunakannya.
g) Buku teks harus dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang memakainya.
h) Buku teks harus mempunyai sudut pandangan atau point of view yang jelas dan tegas sehingga juga pada akhirnya menjadi sudut pandangan para pemakainya yang setia.
i) Buku teks harus mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa.
j) Buku teks harus dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa pemakainya.
D. Keterbatasan Buku Teks
Greene dan Petty mengidentifikasikan keterbatasan-keterbatasan buku teks yaitu sebagai berikut:
a) Buku teks itu sendiri tidaklah mengajar (walaupun beberapa kegiatan belajar dapat dicapai dengan membacanya), tetapi merupakan suatu sarana pengajaran.
b) Isi yang disajikan sebagai perangkat-perangkat kegiatan belajar dipadu secara artifisial atau secara buatan saja bagi setiap kelas tertentu.
c) Latihan-latihan dan tugas-tugas praktis agaknya kurang adekuat atau kurang memadai karena keterbatasan-keterbatasan dalam ukuran buku teks dan dikarenakan begitu banyaknya praktek-praktek, latihan yang perlu dilaksanakan secara perbuatan.
d) Sarana-sarana pengajaran juga sangat sedikit dan singkat karena keterbatasan-keterbatasan ruang, tempat, atau wadah yang tersedia di dalamnya.
e) Pertolongan-pertolongan atau bantuan-bantuan yang berkaitan dengan evaluasi hanyalah bersifat sugestif dan tidaklah mengevalusi keseluruhan ataupun keparipurnaan yang
diinginkan.
E. Jenis-Jenis Buku Teks
Empat dasar atau patokan yang digunakan dalam mengklasifikasikan buku teks yaitu:
a) Berdasarkan mata pelajaran atau bidang studi (terdapat di SD, SMTP, SMTA).
c) Berdasarkan penulisan buku teks (mungkin di setiap jenjang pendidikan).
d) Berdasarkan jumlah penulis buku.
3. BAB III: BUKU KERJA
A. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Buku Kerja
“Buku teks adalah buku baku dalam bidang studi tertentu yang terdiri atas dua tipe, yaitu buku utama dan buku suplemen” (Lange, 1940). Beberapa pengertian pokok yang terkandung dalam buku kerja dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Semacam buku pedoman bagi pengoperasian instruks-instruksi atau pelajaran-pelajaran.
2) Sejenis buku yang dirancang untuk membimbing para siswa dengan pencantuman beberapa bahan pengajaran atau materi intruksional dan biasanya memuat serta menyajikan pertanyaan-pertanyaan, tugas serta pelatihan.
3) Sejenis buku yang berisikan rekaman yang bermaksud melestarikan tugas atau kerja yang telah diselesaikan dan direncanakan.
Buku kerja berfungsi pembimbing siswa dalam melaksanakan tugas-tugas, pertanyaan dan pelatihan. Kesimpulan bahwa buku kerja adalah buku pelatihan yang berfungsi sebagai alat untuk mengetahui apakah siswa sudah mengetahui, memahami, dan menguasai bahan
pelajaranyang disajikan dalam buku teks atau belum. Buku kerja adalah pasangan, pembantu, pelengakap, atau suplemen buku pokok atau buku utama. Fungsi buku kerja pada hakikatnya merupakan pedoman, pengarah, pembimbing siswa dalam melaksanakan tugas yang telah diprogramkan berdasarakan buku utama. Buku kerja pada dasarnya berupa buku tugas bagi siswa.
Gray telah mengidentifikasikan prinsip-prinsip penyusunan buku kerja, prinsip yang terpenting ialah:
1) Sang penulis haruslahmembuat setiap pelatihan
2) Sang penulis seyogianya menyediakan tipe-tipe pelatihan yang beraneka ragam
3) Sang penulis janganlah membiarakan bahan itu menjadi tujuan akhir
4) Sang penulis haruslah berupaya sedemikian rupa agar bahasa yang disajikan merupakan dasar bagi pengajaran tambahan
5) Sang penulis haruslah berupaya sedapat mungkin agar para siswa pemakai buku kerja tersebut harus mudah memahami serta menguasai.
Dari prinsip-prinsip daiatas Kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. Dan kesimpulan-kesimpulan itu adalah:
Pelatihan haruslah berguna, bermanfaat serta sesuai pula dengan kebutuhan siswa dalam setiap jenjang pendidikan atau kelas. Pelatihan harus juga sesuai dengan minat siswa yang bervariasi agar lebih menarik, memikat, dan merangsang siswa.
2. Mengenai bahan
Bahan harus padu. Artinya, bahan dari buku teks atau bahan inti ditambah dengan bahan pilihan guru, lalu dua-duanya diramu sehingga lebih lengkap, mutahir, dan relevan.
3. Mengenai pemahaman
Baik instruksi, tugas maupun pelatihan yang terkandung dalam buku teks harus dapat dan mudah dipahami siswa.
Dasar umum penyusunan buku teks adalah kurikulum. Dari kurikulumlah, diturunkan sejumlah butir dasar penulisan buku teks. Dan ini berlaku bagi setiap mata pelajaran. Dasar umum ini dilengkapi dengan dasar khusus. Dasar khusus ini dijabarkan dari mata pelajaran tertentu. Hanya berlaku bagi mata pelajaran yang relevan. Dasar-dasar penyusunan buku kerja dijabarkan dari buku pokok sehingga secara taklangsung dasar-dasar penyusunan buku kerja itu sebenarnya berasal dari kurikulum dan mata pelajaran yang bersangkutan. Jadi, dasar-dasar penyusunan buku kerja seharusnya sesuai dengan tuntutan kurikulum dan tuntutan mata pelajaran.
B. Keunggulan dan Kelemahan Buku Kerja
Keunggulan-keunggulan buku kerja yaitu bermanfaat, hemat waktu, memantapkan kebiasaan kerja, memudahkan pengawasan, menyediakan tugas yang relevan, menyediakan bahan dan pelatihan individual, menyediakan sarana penyesuaian bagi perbedaan individua,
menyediakan sarana pemeliharaan karya dan sarana umpan balik, diagnostic dan remedial, menganekaragamakan kelengkapan pengajaran, menghemat waktu dan tenaga guru, dan menghemat biaya.
Kelemahan-kelemahan buku kerja, aatara lain sadar atau tidak, buku kerja sebenarnya sudah turut membatasi programedukasional pada kelas atau siswa yang memakainya, tidak jarang buku kerja mengandung hal-hal yang tidak logis atau tidak masuk akal bila idpandang secara edukasional, sadar atau tidak sadar, buku kerja telah turut menjadi penolong bagi guru yang malas dan malangsehingga hal itu turut pula menempa mereka menjadi insane yang tidak kreatif, buku kerja sering gagal menghasilkan kemajuan-kemajuan serta perbaikan-perbaikan yang diharapkan dalam bahasa, seperti terlihat dari skor ujian bahasa, buku kerja sering gagal menghasilkan kemampuan unggul untuk menulis kalimat lengkap dan juga wacana utuh, buku kerja turut memperbanyak serta menambahkan hal-hal yang tidak perlu pada pernyataan perlengkapan instruksional, dan buku kerja gagal memelihara scara memadai perbedaan-perbedaan pribadi yang terdapat pada para siswa.
C. Penyeleksian
Buku teks meliputi dua buah yakni buku pokok dan buku kerja. Tugas buku kerja adalah melengkapi bahan dan tempat berlatih para siswa terhadap bahan pelajaran yang sudah disajikan dalam buku pokok. Greene dan Petty sudah menyusun atau mengidentifikasi sejmlah pertanyaan yang membimbing guru kearah pemilihan buku, dalam hal ini khusus buku kerja.
Mengenai bahan yang terkandung dalam buku kerja harus memenuhi beberapa criteria. Criteria-kriteria itu antara lain bahan tersusun logis dan sistematis, bahan menyediakan pelatihan yang bervariasi, bahan sesuai dengan kemampuan siswa. Dari segi metode, kita lihat bahwa buku kerja haruslah memperkaya kegiatan kelas, berisi pelatihan yang bervariasi dan memotivasi, mengarahan, instruksi jelas dan mudah dipahami.
Evaluasi yang termuat dalam buku kerja haruslah terbuka untuk dinilai dan diresensi, mempunyai cara untuk menilai penguasaan bahan oleh siswa, dan merangsang penilaian pribadi siswa. Yang berkaiatan dengan siswa, buku kerja dituntut untuk menarik, atraktif dan menambahkan keyakinan ‘berhasil’ siswa. Kriteria penyeleksian buku kerja meliputi tujuan, bahan, metode, evaluasi, dan siswa. Sebelum guru menggunakan buku kerja tersebut, diadakan terlebih dahulu suatu penyeleksian buku kerja. Criteria yang digunakan meliputi lima butir, seperti tujuan, bahan, metode, evaluasi, dan siswa.
Prinsip-prinsip penggunaan buku kerja berikut ini:
1) Sejak dini, buku kerja atau bahan pelatihan lain yang dipilihitu, harus dinilai secara teliti berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
2) Setiap pelatihan, praktik, dan tes dalam buku kerja haruslah diperiksa secepat mungkin, lebih baik lagi bila setiap siswa dapat memeriksa miliknya sendiri.
3) Penugasan suatu pelajaran atau tugas pelatihan yang dipilih secara cermat dari buku kerja sama sekali tidaklah berarti menutup atau melepaskan tanggung jawab guru.
Buku kerja berisi tugas dan bahan pelengkap. Para guru harus memanfaatkan kedua hal ini sebagai penyumbang kearah peningkatan kualitas belajar siswa melalui bahan disempurnakan atau dilengkapakan bahan pengajaran. Dengan demikian, kita sudah mengetahui paling sedikit ada sepuluh butir prinsip yang perlu diperhatikan sebelum menggunkan buku kerja.
4. BAB IV: PENYUSUNAN BUKU TEKS A. Buku Teks dan Kurikulum
Buku teks brkaitan erat sekali dengan dengan kurikulum. Keeratan hubungan buku teks dan kurikulum dapat diumpamakan, digambarkan, atau dibandingkan dengan hubungan antara iakan dan air atau air dan tebing.
Pendapat yang umum diikuti dan dianggap paling logis-nalar adalah kurikulum mendahului buku teks. Kurikulum ditetapkan atau diumumkan oleh pihak yang berwenang, para
pengarang menulis buku teks yang relevan dengan kurikulum.
2. Buku Teks Mendahului Kurikulum
Buku teks yang dianggap bermutu yang juga memang ditulis oleh para pakar di bidangnya dijadikan dasar, landasan, dan pedoman penyusunan kurikulum.
3. Buku Teks dan Kurikulum Serentak Diumumkan
Pertama, kurikulum disusun lebih dahulu, lalu disusun buku teksnya. Kedua, mungkin pula berdasarkan buku teks tertentu, lalu disusun kurikulum. Baik buku teks maupun kurikulum serentak digunakan dan diumumkan.
4. Buku Teks dan Kurikulum Lahir Sendiri-sendiri
Buku teks disusun tersendiri, lalu diterbitkan mungkin mendahului atau sesudah adanya kurikulum yang berlaku.
Menurut Brown, stevens ataupun Tarigan, ada lima butir yang tercakup dalam kurikulum yang perlu diperhatikan, yakni tujuan, pendekatan, bobot, urutan, metodologi. Pada buku pedoman kurikulum 1984, kita dapat membaca bahwa pendekatan kurikulum tersebut tidak hanya berorientasi kepada tujuan, tetapi juga kepada keterampilan proses.
B. Dasar-Dasar Penyusunan Buku Teks
Patokan penyusunan buku teks yang dijabarkan dari kedua kegiatan belajar itu merupakan patokan yang bersifat umum. Artinya, patokan itu dapat digunakan sebagai dasarpenyusunan setiap buku teks. Disimpulkan bahwa dalam penyusunan buku teks digunakan dua patokan. Patokan pertama bersifat umum yang berlaku bagi setiap buku teks. Patokan kedua bersifat khusus yang berlaku bagi buku teks tertentu saja.
Patokan umum yang berlaku bagi setiap buku teks meliputi pendekatan: keterampilan proses yang meliputi, mengamati, menginterpretasikan, mengaplikasikan konsep, tujuan: kognitif, afektif, psikomotor, bahan pengajaran, program: kelas, semester, jam pelajaran, metode, sarana dan sumber, penilaian, dan ahasa. Keterampilan proses untuk mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dijabarkan sebagai berikut: mengamati, menggolongkan, menafsirkan, menerapkan, mengomunikasikan.
Shalom,
Buku teks pelajaran tidak dapat dipisahkan dari dunia akademis. Sejak Sekolah
Dasar hingga perguruan tinggi, kita selalu membutuhkan buku ini untuk menolong
kita memahami mata pelajaran atau mata kuliah yang disampaikan. Namun, seberapa
teks yang baik?
Pada edisi kali ini, e-Penulis mengajak Pembaca sekalian untuk mengenal lebih
jauh mengenai buku teks sehingga kita dapat bersikap kritis terhadap buku teks
yang kita gunakan. Jangan lupa, simak pula tulisan Dr. Dorodjatun Kuntjoro tentang Bahasa Indonesia dan fungsinya dalam pembangunan bangsa. Kiranya apa
yang kami sajikan ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Tetaplah berkarya!
Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yudo
< yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org >
ARTIKEL: BUKU TEKS PELAJARAN DAN PERANANNYA
Pendidikan, sebagai aktor utama yang memegang peran penting bagi kemajuan bangsa, saat ini masih terus dalam tahap perbaikan dan peningkatan
kualitas.
Usaha-usaha perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan, khususnya pelajaran bahasa Indonesia, secara sistematis telah dilakukan oleh pemerintah.
Perbaikan-perbaikan tersebut dilakukan dalam berbagai hal seperti tenaga pendidik, fasilitas sekolah, dan juga penataan perangkat pendukung pembelajaran bahasa
Indonesia.
Perangkat pembelajaran bahasa Indonesia yang dianggap strategis dalam upaya peningkatan mutu pendidikan bahasa Indonesia adalah kurikulum. Kurikulum yang
dikembangkan di Indonesia selalu mengalami kemajuan yang signifikan. Kurikulum
1975 sebagai kurikulum penyempurna dari kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum
1968, merupakan kurikulum yang sudah mengalami kemajuan. Kurikulum 1975 ini merupakan awal dari terbentuknya pengajaran yang semula berorientasi pada guru,
berubah menjadi lebih berorientasi pada siswa. Hal ini terbukti dalam kurikulum
1975 yang dinamakan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kurikulum 1975 ini kemudian
disempurnakan oleh kurikulum 1984, dan selanjutnya disempurnakan lagi oleh kurikulum 1994 yang sudah diarahkan pada fungsi komunikasi. Kurikulum 2004, yang
merupakan kurikulum penyempurna kurikulum sebelumnya, lebih mengaktifkan siswa
dalam proses belajar mengajar. Kurikulum 2004 yang dikenal sebagai Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) ini menyediakan banyak sekali pembaruan dalam pembelajaran. Pembaruan pembelajaran yang dilakukan dalam kurikulum ini, misalnya dengan menerapkan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Namun, Kurikulum 2004 itu ternyata hanya berlaku selama 2 tahun saja.
Tahun 2006 dikeluarkan kembali kurikulum baru yang disebut Kurikulum Tingkat
pemerintah dengan menetapkan satuan pendidikan untuk mengelola sendiri pembelajaran yang dilakukan. Hal ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa lembaga
satuan pendidikanlah yang mengetahui potensi siswa serta mengenal siswa dan lingkungannya.
Selain dengan dikembangkannya kurikulum-kurikulum yang baru, usaha perbaikan
mutu pengajaran bahasa Indonesia harus juga ditopang oleh buku pelajaran yang
baik dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Buku teks sebagai buku penopang
dalam pembelajaran bahasa Indonesia memiliki peranan yang sangat penting, yaitu
untuk menentukan baik buruknya hasil pembelajaran yang dilakukan. Jika kualitas
buku teks yang digunakan oleh sekolah baik, besar kemungkinan kualitas pengajaran bahasa Indonesia yang dilakukan juga akan baik. Namun, jika buku teks
yang digunakan kurang baik atau bahkan buruk, pengajaran yang terjadi akan sangat sulit mencapai hasil yang diharapkan.
Berkenaan dengan pentingnya faktor buku teks dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia, timbul pertanyaan apakah buku
teks yang digunakan di sekolah-sekolah telah memenuhi standar mutu, baik dilihat
dari tolok ukur kurikulum maupun teori-teori yang relevan. Untuk mengetahui hal
tersebut, terlebih dahulu kita pahami tentang buku teks itu sendiri. Pengertian Buku Teks
Pengertian buku teks telah banyak disampaikan oleh para pakar, yang di antaranya
adalah menurut Hall-Quest (dalam Tarigan 1986:11). Menurutnya, buku teks adalah
rekaman pikiran rasial yang disusun untuk maksud-maksud dan tujuan-tujuan instruksional. Lange (dalam Tarigan 1986:11) menjelaskan bahwa buku teks adalah
buku standar, buku setiap cabang khusus, dan buku studi. Buku teks dapat terdiri
dari dua tipe, yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan. Lebih terperinci
lagi, Bacon (dalam Tarigan 1986:11) mengemukakan bahwa buku teks adalah buku
yang dirancang untuk penggunaan di kelas, disusun dengan cermat serta dipersiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang tersebut, dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi.
Buckingham (dalam Tarigan 1986:11) mengatakan bahwa buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk
menunjang suatu program pengajaran dalam pengertian modern dan yang umum dipahami. Buku pelajaran adalah buku yang dijadikan pegangan siswa pada jenjang
tertentu sebagai media pembelajaran (instruksional), berkaitan dengan bidang
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa buku teks adalah buku pelajaran yang disusun oleh para ahli atau pakar dalam
bidangnya
untuk menunjang program pengajaran yang telah digariskan oleh pemerintah. Fungsi Buku Teks
Penyusunan buku teks dalam upaya pengembangan pembelajaran di sekolah tidaklah
disusun tanpa fungsi yang jelas. Fungsi dan peranan buku teks itu adalah: (a)
Mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran,
serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan. (b)
Menyajikan suatu sumber pokok masalah yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi,
sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa. Selain itu, juga berfungsi sebagai
dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan untuk memperoleh keterampilan-keterampilan ekspresional di bawah kondisi yang menyerupai kehidupan sebenarnya. (c) Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah
pokok dalam komunikasi. (d) Metode dan sarana penyajian bahan dalam buku teks
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya, harus menarik, menantang, merangsang, dan bervariasi sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari buku teks tersebut. (e) Menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam)
awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas
praktis. (f) Di samping sebagai sumber bahan, buku teks juga berperan sebagai
sumber atau alat evaluasi dan pengajaran remidial yang serasi dan tepat guna
(Green dan Petty, dalam Tarigan 1986).
Fungsi buku teks bagi guru adalah sebagai pedoman untuk mengidentifikasi apa
yang harus diajarkan atau dipelajari oleh siswa, mengetahui urutan penyajian
bahan ajar, mengetahui teknik dan metode pengajarannya, memperoleh bahan ajar
secara mudah, dan menggunakannya sebagai alat pembelajaran siswa di dalam atau
di luar sekolah (Krisanjaya 1997:85).
Fungsi buku teks bagi siswa adalah sebagai sarana kepastian tentang apa yang
dipelajari, alat kontrol untuk mengetahui seberapa banyak dan seberapa jauh ia
menguasai materi pelajaran, sebagai alat belajar (di luar kelas buku teks berfungsi sebagai guru) untuk dapat menemukan petunjuk, teori, konsep, dan bahan-bahan latihan atau evaluasi (Krisanjaya 1997:86).
Kualitas Buku Teks
menentukan kualitas buku teks, yaitu: (1) memiliki landasan prinsip dan sudut
pandang yang berdasarkan teori linguistik, ilmu jiwa perkembangan, dan teori
bahan pembelajaran. (2) Memiliki konsep yang jelas. (3) Relevan dengan kurikulum
yang berlaku. (4) Sesuai dengan minat siswa. (5) Menumbuhkan motivasi belajar.
(6) Merangsang, menantang, dan menggairahkan aktivitas siswa. (7) Memiliki ilustrasi yang tepat dan menarik. (8) Mudah dipahami siswa, bahasanya memiliki
karakter yang sesuai dengan enam tingkat perkembangan bahasa siswa
(kalimat-kalimatnya efektif, terhindar dari makna ganda, sederhana, sopan, dan menarik).
(9) Dapat menunjang mata pelajaran lain. (10) Menghargai perbedaan individu,
kemampuan, bakat, minat, ekonomi, sosial dan budaya. (11) Memantapkan
nilai-nilai budi pekerti yang berlaku di masyarakat (Tarigan 1986:22).
Hal-hal yang berhubungan dengan kualitas buku pelajaran menurut tim penilai buku
ajar dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek, yakni (1) isi atau materi pelajaran, (2) penyajian materi, (3) bahasa dan keterbacaan, dan (4) format buku
atau grafika. Keempat aspek ini saling terkait satu sama lain (Depdiknas 2004:15). Dengan demikian, secara garis besar, standar buku pelajaran diukur
melalui aspek isi atau materi, penyajian materi, bahasa, dan keterbacaan, serta
grafik. Spiralisasi
Untuk memudahkan siswa memperoleh pemahaman yang utuh dan berkesinambungan, penulis buku pelengkap perlu menata urutan penyajiannya berdasarkan
prinsip-prinsip spiralisasi yang baik. Prinsip-prinsip-prinsip itu adalah penjenjangan dan pembobotan (Abdussamad 2002:57). Prinsip penjenjangan mengharuskan materi diurutkan dari yang lebih mudah ke yang lebih sulit, dari yang harus dikuasai
lebih dulu ke yang merupakan lanjutan, dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.
Prinsip pembobotan menyangkut keluasan dan kedalaman materi yang harus disajikan
pada setiap pembelajaran. Penerapan prinsip ini harus memperhitungkan kesinambungan program. Materi tertentu yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri atau yang sangat memerlukan keterampilan, dapat diulang penyajiannya.
Tanggal akses: 30 September 2013
POJOK BAHASA: MEMBANGUN BANGSA DENGAN BAHASA INDONESIA
Istilah pembangunan bangsa tidak hanya berkaitan dengan pembangunan di bidang
ekonomi, tetapi juga di bidang politik, sosial, dan budaya. Ada tiga hal yang
harus diperhatikan. Hal pertama yang paling penting adalah kemampuan kita untuk
berkomunikasi dengan satu sama lain. Semakin kita jauh dari proklamasi tahun
1945, mengharuskan kita untuk senantiasa memperkaya kosakata bahasa Indonesia
karena permasalahan kita semakin banyak dan kompleks sifatnya. Yang juga penting
adalah keterkaitan kita dengan daerah-daerah di seluruh Indonesia, di mana tidak
bisa keputusan-keputusan itu dibuat sendiri oleh Jakarta, tetapi juga harus menyertakan keinginan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Dalam hal ini, peran bahasa Indonesia sangat penting agar tidak timbul kesalahpahaman.
Pada waktu ini, memang terjadi rebutan dalam penggunaan bahasa dari berbagai
pihak untuk memahami apa yang terjadi di dunia. Termasuk di ASEAN, yaitu antara
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Kesulitan-kesulitan ini merupakan salah
satu penyebab timbulnya penggunaan kosakata yang campur aduk di dalam siaran TV
dan media lainnya. Bahasa yang campur aduk ini menjadi semakin sulit untuk dimengerti oleh rakyat.
Misalnya saja, mengatakan bahwa argumen yang disampaikan oleh pak menteri tidak
mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak solutif. Itu maksudnya apa? Dan banyak sekali kata-kata seperti itu.
Fenomena ini juga terjadi di Perancis. Orang Perancis sendiri merasa diserbu
oleh kosakata bahasa Inggris. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat baru
memiliki sekitar 90 ribu lema. Padahal, Roget’s Thesaurus yang dijangkar di perpustakaan karena sangat mahal harganya, memiliki hampir satu kosakata. Itu
sebabnya, bahasa Indonesia makin didesak oleh keperluan dari luar sehingga timbul penggunaan kosakata bahasa Inggris yang berlebih. Dan akhirnya, makin
menyulitkan komunikasi kita dengan rakyat.
Yang kedua, semakin jauh kita berjalan, semakin banyak persoalan yang menimbulkan makin tingginya keperluan untuk senantiasa mengembangkan bahasa Indonesia. Contohnya, "Talk Show" yang kini banyak diselenggarakan oleh media
Tetapi, memang ada sisi negatifnya, yaitu dengan menyebarnya bahasa Indonesia ke
seluruh pelosok nusantara, kini semakin banyak suku bangsa, daerah, dan kelompok
agama yang mampu mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap satu sama lain. Dalam
keadaan demikian, ada yang berpendapat konflik lebih mudah terjadi. Dahulu, tanpa bahasa pemersatu, masing-masing daerah akan sulit berkomunikasi apalagi
menyatakan kemarahan. Misalnya, antara suku Banten Selatan dengan Tapanuli Utara
atau daerah Minahasa dengan Bugis. Hal negatif lainnya adalah seperti dikemukakan oleh UNESCO, hampir 700 bahasa regional di Indonesia terancam punah.
Yang terakhir adalah, jika kita menengok dunia film, dunia sastra dan dunia teater, bahasa Indonesia membuat kesusastraan, kebudayaan, dan dunia seni Indonesia menjadi semakin kaya. Setiap lakon daerah kini bisa dibawa atau ditayangkan ke wilayah lainnya di Indonesia. Dengan teknologi multimedia, semakin banyak dorongan bagi para seniman untuk lebih kreatif menggapai pasar
Indonesia yang luas ini.
Inilah tiga soal yang harus diperhatikan mengapa bahasa Indonesia memerlukan
perluasan kosakata yang cepat dan terus-menerus sebagai bagian dari pilar pembangunan bangsa lewat pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: Bahasa Kita
Alamat URL: http://bahasakita.com/membangun-bangsa-dengan-bahasa-indonesia/
Penulis: Dr. Dorodjatun Kuntjoro Tanggal akses: 02 Oktober 2013
Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B.
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
Buku teks memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran. Oleh karena itu, setiap guru dan lebih-lebih calon guru hendaknya membekali dirinya dengan pengetahuan tentang telaah buku teks.
Kehadiran buku teks di lembaga pendidikan yang memang kondisinya sangat kompleks sudah tentu mempunyai nilai tertentu. Nilai butu teks bergantung pada bobotnya, juga pada misi, dan juga fungsinya.
Buku teks dikatakan mempunyai nilai yang tinggi dalam proses belajar mengajar karena adanya kenyataan bahwa pemegang mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tidak sedikit bukan bidangnya. Jelas, mereka menguasai bidang bahasa Indonesia sebagi materi pelajaran, tetapi tidak banyak mengeetahui strategi pengajaran bahasa Indonesia, menentukan materi pelajaran, menyajikan materi pelajaran, dan tidak bisa mengevaluasi hasil belajar-mengajar.
Dalam interaksi belajar-mengajar tidak hanya diperlukan seorang pengajar dan peserta didik, melainkan juga diperlukan sebuah alat pembelajaran. Salah satunya adalah buku teks (BT). Dengan adanya buku teks, guru dan siswa akan terbantu dalam memperlancar proses belajar-mengajar.
Seorang guru diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap kritis terhadap keberadaan buku teks sebagai pendukung kurikulum yang berlaku, yang pengadaannya semakin gencar dilakukan. Tahap selanjutnya, guru dapat mengkaji buku teks dan hubungannya dengan kurikulum sehingga guru tidak hanya sekadar menerima apa saja yang ada dalam buku teks, namun mampu memahami, mengkritisi dengan menelaah buku teks, yang pada akhirnya guru mampu menyusun sebuah buku teks sederhana. Paling tidak buku teks tersebut digunakan di lingkungan sekolah yang bersangkutan saja.
Buku teks memegang peranan penting dalam pengajaran yang dapat
memperlancar aktivitas siswa dalam pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Semakin baik kualitas buku teks, maka semakin sempurna
pengajaran mata pelajaran yang ditunjang oleh buku teks tersebut. termasuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Buku teks mengenai bahasa Indonesia yang bermutu, jelas akan meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Indonesia dan hasil pengajaran bahasa Indonesia.
Sebuah buku teks tidak hanya perlu ditelaah dari segi nilainya, tetapi juga ditelaah dari segi jangkauan materi pelajarannya. Jangkauan materi pelajaran yang dimaksud adalah luas lingkup masalah yang berhubungan dengan system dan struktur bahasa serta pemakaian bahasa.
Banyaknya pengadaan buku teks oleh pihak-pihak penerbit, menyebabkan guru kesulitan dan kebingungan dalam menentukan buku teks yang akan digunakan. Oleh karena itu, seperti hal yang penulis ungkapkan di atas, seorang guru harus pandai memilih buku teks yang sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Pengadaan buku teks yang disajikan oleh banyak penulis membuat kualitas buku teks juga menjadi beragam. Ada buku teks yang memiliki kualitas tinggi, kualitas sedang, dan ada pula buku teks yang memiliki kualitas rendah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sudah sepatutnya seorang guru memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menelaah sebuah buku teks untuk
yang berlaku sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal.
Potret pembelajaran sastra disekolah selama ini sebelum kurikulum KBK 2004 terlihat tidak seimbang. Bisa dikatakan sebagai bias gender dibanding dengan bahasa yang memiliki kekuatan yang mutlak. Bisa dikatakan bahwa sastra mengalami marginalisasi atau dipandang sebelah mata atau the second class sehingga pembelajaran sastra sekedar menjadi suplemen bagi pelajar bahasa. Selama ini pembelajaran sastra hanya sebagai sisipan sedangkan materi utamanya adalah ketatabahasaannya.
Membaca merupakan kegiatan yang sangat penting, dilihat dari fungsi membaca sendiri (Suyitno;1985. 37-38) untuk penyempurnaan teknik membaca, untuk penyempurnaan pemahaman isi bacaan, untuk mendapatkan pemahaman kosakata, untuk mendapatkan penumbuhan kesadaran untuk kepentingan membaca sebagai sarana mendapatkan informasi, dan untuk mendapatkan penumbuhan sikap suka mencari kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan batin. Artinya dalam membaca ataupun menuliskarya sastra membutuhkan daya imajinasi sekaligus penalaran manusia.
Kenyataan saat ini bahwa guru Bahasa Indonesia secara sepintas lalu umumnya hanya mengajarkan sastra secara teoritis, tidak apresiatif. Namun penulis disini juga tidak menghakimi sepenuhnya,bahwa dalam hal pembelajaran disekolah bukan kesalahan sepenuhnya terletak dari guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sendiri, namun beberapa faktor lain seperti kurikulum yang tidak memadai, tidak adanya soal pada Ujian Akhir Nasional dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menyinggung masalah pembelajaran sastra khususnya membaca puisi.
Disisilain karena guru ditargetkan untuk menyelesaikan kurikulum. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Sehingga
pembelajaran sastra hanya sekedar teoritis belaka, yang penting hanya tercapainya target saja. Adapun pembelajaran apresiasi sastra yang memerlukan wktu relative lama tidak dilakukan. Disamping alas an waktu, kemampuan apresiasi sastra sebagian guru bahasa dan sastra Indonesia yang memiliki kemampuan mengapresiasi sastra memadai sangatlah jarang .
Sejalan dengan itu aktivitas-aktivitas bersastra disekolah yang semestinya dilakukan oleh siswa pada hakikatnhya jarang sekali.Aktivitas seperti membaca, memahami, mendiskusikan, dan membicarakan sastra, menonton pentas teater/drama dan khususnya dalam bermain drama, menginterpretasi makna sastra, menuliskan hasil interpretasinya mencipta sastra dan membaca puisi khususnya dianggap tidak penting oleh guru. Yang sering terjadi adalah pembelajaran instan dengancara mengajak para siswa menjawab soal-soal lembar krja siswa (LKS). Selain itu soal-soal sastra alam UAN, UAS dan SPMB juga tidak apresiatif, yang hanya menanyakan soal teoritis saja.
siswa untuk mencintai sastra, jika gurunya sendiri tidak memiliki rasa cinta dengan sastra. Oleh karenanya guru juga di tuntut agar sekreatif mungkin dalam mengajar.
b. Fungsi sastra dan Pembelajaran sastra
Sastra sangat penting bagi siswa dalam upaya pengembangan rasa, cipta dan karsa. Fungsi utama sastra yaitu sebagai penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Sastra akan dapat memperkaya pengalaman batin pembacanya. Sebagai karya imajinatif, Meeker (1972: 8) menyatakan, sastra merupakan konstruksi unsur-unsur pengalaman hidup, di dalamnya terdapat model-model hubungan-hubungan dengan alam dan sesama manusia, sehingga sastra dapat mempengaruhi tanggapan manusia terhadapnya.
Lazar (1993: 24) menjelaskan, bahwa fungsi sastra adalah: (1) sebagai alat untuk merangsang siswa dalam menggambarkan pengalaman, perasaan, dan pendapatnya; (2) sebagai alat untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan emosionalnya dalam mempelajari bahasa; dan (3) sebagai alat untuk memberi stimulus dalam pemerolehan kemampuan berbahasa. Adapun fungsi pembelajaran sastra adalah: (1) memotivasi siswa dalam menyerap ekspresi bahasa; (2) alat simulatif dalam language acquisition; (3) media dalam memahami budaya masyarakat; (4) alat pengembangan kemampuan interpretative; dan (5) sarana untuk mendidik manusia seutuhnya (educating the whole person).
Frey (1974: 129) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran sastra yang apresiatif diharapkan pembelajaran sastra dapat membentuk pengembangan imajinasi pada siswa. Sebagai contoh melalui membaca puisi siswa dapat mengetahui makna yg terdapat dalam diksi puisi, dapat membuat dan menikmati dan merasakan apa yang ada dalam puisi khususnya emosi dari pengarangny serta nilai-nilai kearifan dalam kehidupan. Membaca puisi dengan tehnik tertentu bisa mengajak pendengar untuk merasakan apa yang kita baca.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra memiliki fungsi dan manfaat yang penting bag kehidupan. Dalam proses pembealajaran,sastra dapat dimanfaat oleh guru sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai dari kearifan dalam mengahadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi. Dimana didalamnya termasuk realitas social, lingkungan hidup, kedamaian dan perpeahan, kejujuran dan kecurangan, cinta kasih dan kebencian, kesalihan dan kezhaliman, serta ketuhanan dan kemanusiaan.
Dengan demikian melalui pembelajaran apresiasi sastra yang apresiatif, diharapkan siswa mampu membentuk dirinya menjadi manusia yang seutuhnya yang dapat diterima
eksistensinya dilingkungannya sehingga dapat hidup ditengah masyarakat dan terus berkarya demi mengisi kehidupan yang lebih bermakna.
c. Hakikat Puisi dan Membaca Puisi
diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasa. Gaya bahasa meliputi semua pengunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu yakni efek estetika atau aspek kepuitisan.
Ketika seseorang ingin mengetahui efek estetika atau aspek kepuitisan yang ada dalam sebuah puisi pastinya sesorang harus memahami sebuah karya sastra itu. Caranya adalah dengan kegiatan membaca. Jadi dalam upaya pemahaman unsure-unsur yang terdapat dalam suatu cipta sastra khususnya puisi hendaknya seorang apresiator dapat memahami hakikat membaca. Dalam teori membaca Todorov, member batasan dalam kegiatan membaca suatu cipta sastra, diantaranya : 1) proyeksi, 2) komentar, dan 3) puitika.
Dalam tahap proyeksi, kegiatan pembaca adalah memahami unsur-unsur di luar teks, tetapi yang secara kongruen atau secara laras dan bersama-sama menunjang kehadiran teks. Unsur-unsur itu meliputi kehidupan pengarang, kehidupan sosial masyarakat, yang melatari
kehidupan teks sastra serta system konvensi yang dianuti pengarangnya. Dalam tahap
komentar, seorang pembaca memahami isi paparan teks
yang terbatas pada bentuk paparan yang “tersisa” dari jangkauan pemahaman pembaca. Oleh karena itu, ada tiga tahap kegiatan yang terdapat dalam komentar, yakni:
1) Eksplikasi, yakni menguraikan isi paparan yang belum dipahami dengan jalan menghubungkannya dengan isi bagian paparan lain yang sudah dipahami.
2) Elusidasi, yakni menerangkan secara jelas hasil uraian isi paparan yang belum dipahami dalam kaitannya dengan bagian isi paparan yang lainnya ssecara umum.
3) Précis, yakni meringkas uraian panjang lebar tentang isi paparan yang belum dipahami sesuai dengan ketepatan dan keselarasannya dengan isi dalam bagian lain dari teks itu sendiri. Kegiatan terakhir adalah paraphrase.
Pada tahap puitika, pembaca harus berusaha memahami kaidah-kaidah abstrak yang secara instrinsik terdapat dalam teks sastra itu sendiri. Dalam hal ini, kaidah abstrak tersebut dapat dipahami melalui dua tahap kegiatan, antara lain, 1) inter-pretasi, dan 2) deskripsi.
Interpretasi terhadap makna dalam teks sastra dalam hal ini harus bertolak dari realitas yang ada dalam teks sastra itu sendiri.
Tahap kedua adalah deskripsi. Meskipun deskripsi itu tampak terlalu ilmiah untuk mengkaji ragam seni, tetapi menurut Todorov, isitilah tersebut memiliki nuansa arti sendiri. Bila dalam metode deskriptif adalah metode yang bertujuan memberikan perolehan realitas yang diteliti apa adanya, maka tahap pendeskripsian makna dalam teks sastra diharapkan sepenuhnya bertolak dari makna yang terkandung dalam teks sastra itu sendiri.
d. Pembelajaran Membaca Puisi
untuk mengembangkan dan teknik membaca puisi dengan jenis berbeda serta menciptakan puisi atau dalam hal menulis puisi.
Dalam langkar pra membaca siswa diajak memahami puisi yang akan dibacakan dengan membicarakan kosakata yang dianggap sukar bagi siswa. Kemudian dilanjutkan dengan membari tanda jeda pada baris-baris puisi guna mengatur pernafasan. Ketika siswa menyaksiskan video pembacaan puisi tidak lupa mendiskusikan apa yang sudah siswa saksikan. Pada tahap pasca membaca siswa dapat menerapkan keterampilannya dengan pembacaan puisi yang lain atau dengan aspek-aspek yang dipelajari dalam membaca puisi.
e. Teknik Pembelajaran Membaca Puisi
Teknik yang digunakan dalam pembelajaran membaca puisi kali ini menggunakan pendekatan structural atau disebut dengan membacakan puisi terpapar. Dimana teknik pebelajaran membaca puisi ini dilakukan secara berkesinambungan. Adapun tehnik pembelajaran membacakan puisi terpapar sebagai berikut :
Pendekatan Struktual
Sebelum melakukan pendekatan ini, siswa diharuskan untuk mencari puisi yang akan dibacakan. Siswa boleh memilih satu puisi dari berbagai macam sumber.
a. Membaca berulang-ulang
Tahap ini merupakan tahap mengenali bentuk puisi. Dengan membaca berulang-ulang, akan diketahui bentuk puisi berikut makna yang hendak disam-paikan penyair. Tipografi puisi dapat digali hingga menemukan maksud penyair.
b. Memberinya jeda
Setelah memahami bentuknya, berilah tanda jeda agar memperoleh rima yang enak didengar saat membacakan puisi nanti. Tanda jeda (/) diletakkan di antara kata yang hendak dipisah pelafalannya. Harapanya, dengan pemberian tanda jeda, dapat mempermudah untuk
menyampaikan isi dari puisi kepada pendengar (penonton). Dengan pemenggalan tanda yang tepat, setidaknya makna yang disampaikan lebih baik.
c. Mencari alur
Setiap karya sastra yang baik, tentu memiliki alur cerita yang ditandai dengan puncak alur sebagai konflik. Dalam puisi, penulis melihat adanya puncak konflik itu. Dengan menemukan alur, puisi dapat dibacakan secara tepat. Pembaca puisi harus bisa membedakan suara ketika sedang membaca-kan bait-bait yang merupakan penciptaan konflik, konflik, hingga
penyelesaian konflik. Dengan demikian, siswa akan mengetahui bait-bait mana yang harus dibacakan secara maksimal.
d.Memahami makna secara intensif
untuk mencari “nyawa” dari puisi yang dipilih, melainkan bisa memakan waktu 2-3 hari. Pada awal tahap ini harus dilakukan secara serius, kemudian boleh dilakukan di sela-sela aktivitas sehari-hari, misal sambil makan.
Bentuk dan Gaya Baca Puisi
Kegitan ini dilakukkan proses : 1) pelafalan, 2) penentuan kualitas bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, 3) tempo, dan 4) irama. Selain keempat aspek tersebut, membaca secara lisan juga melibatkan aspek tubuh, pembaca juga harus mampu menata gerak mimik atau facial expression, gerak bagian-bagian tubuh atau gesture, maupun penataan posisi tubuh atau
posture. Juga, eye contact sebagai salah satu upa-ya menciptakan hubungan batin dengan pendengarnya juga harus diperhatikan.
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi ini adalah diperkenankannya pembaca membawa teks puisi. Adapun posisi dalam bentuk dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan (1) berdiri, (2) duduk, dan (3) berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui gerakan badan, kepala, wajah, dan tangan. Intonasi baca seperti keras lemah, cepat lambat, tinggi rendah dilakukan dengan cara sederhana. Bentuk dan gaya baca puisi ini relatif mudah dilakukan.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi duduk, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan kepala: mengenadah, menunduk menoleh, (2) gerakan raut wajah: mengerutkan dahi, mengangkat alis, (3) gerakan mata: membelakak, meredup, memejam, (4) gerakan bibir: ter-senyum, mengatup, melongo, dan (5) gerakan tangan, bahu, dan badan, dilakukan seperlunya. Sedangkan intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca puisi duduk, berdiri, dan bergerak, maka yang harus dilakukan pada posisi duduk adalah (1) memilih sikap duduk dengan santai, (2) arah dan pandangan mata dilakukan secara bervariasi, dan (3) melakukan gerakan tangan dilakuakan dengan seperlunya. Sedang yang dilakukan pada saat berdiri adalah (1) mengambil sikap santai, (2) gerakan tangan, gerakan bahu, dan posisi berdiri dilakukan dengan bebas, dan (3) ekspresi wajah: kerutan dahi, gerakan mata, senyuman dilakukan dengan wajar. Yang dilakukan pada saat bergerak adalah (1) melakukan dengan tenang dan terkendali, dan (2) menghindari gerakan-gerakan yang berlebihan. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata-kata-kata tertentu.
f. Media Pembelajaran
Media pembelajran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan
Dalam proses belajar-mengajar, media mempunyai arti yang cukup penting. Karena dalam kegiatan pembelajaran, ketidakjelasan bahan yang disampaikan kepada anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan bahan pembelajaran dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Dengan demikian, anak didik lebih mu-dah mencerna bahan pembelajaran daripada tanpa menggunakan media.
Hal yang harus dipertimbangkan dalam menggunakan media adalah tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran yang berupa kompetensi dasar tertentu dalam kurikulum harus dijadikan dasar penggunaan media pembelajaran. Nana Sudjana (dalam Syiful Bahhri Djamarah dan Aswan Zain, 2006:155) menyatakan beberapa fungsi media pembelajaran. Fungsi media pembelajaran tersebut antara lain: 1) meletakkan dasar-dasar yang nyata untuk berpikir, sehingga dapat mengurangi verbalisme, 2) meletakkan dasar untuk perkembangan belajar sehingga hasil belajar bertambah mantap, 3) memberikan pengalaman yang nyata dan dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri pada setiap siswa, 4) memberikan pengalaman yang tidak mudah dengan cara lain, 5) bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga siswa akan lebih paham dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran dengan baik.
Sementara itu, Harjanto (2006:237) mengelompokkan media pembelajaran menjadi empat jenis, yaitu: 1) media grafis atau media dua dimensi, seperti gambar, foto, grafik, bagan, poster, kartun, komik, dll., 2) media tiga dimensi, yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid model), model penampang, model susun, dll., 3) media proyeksi seperti slide, filmstrip, film, OHP, video klip dll., dan 4) lingkungan.
Ketika seorang guru menggunakan media dalam pembelajarannya sebagai alat bantu dalam proses mengajar, harus didasarkan pada criteria objek. Sebab penggunaan media
pembelajaran tidak sekedar menampilkan program pengajaran didalam kelas, tetpai juga mempertimbangkan tujuan pebelajaran,, strategi yang digunakan, termasuk bahan pembelajarannya.
Lagkah-langkah dari metode belanja video
1. Siswa mengamati cuplikan tayangan video yang telah disediakan oleh guru. Kegiatan ini dilakukan secara berkelompok
2. Guru mengajak siswa untuk berdiskusi dan menjelaskan tehnik membaca puisi
3. Guru menyiapkan keranjang (sejumlah 4 buah tergantung jumlah kelompok), replika uang, replika keeping cd. Replika uang dan keranjang dibagikan kepada masing-masing kelompok. Kemudian guru memanggil ketua dari masing-masing kelompok untuk berbelanja kepingan cd yg sudh disusun rapi di depan kelas.
4. Setelah masing-masing kelompok selesai berbelanja, guru membagikan lembarakan kertas yang berisi naskah puisi.
6. Guru memberikan siswa kesempatan 15 menin untuk memahami maksud dari puisi yang akan dibaca siswa.
7. Masing-masing kelompok maju satu persatu untuk membacakan puisi dengan menggunakan irama, volume, mimik dan kinestik sesuai dengan isi puisi
8. Guru melakukan refleksi dengan cara memberikan kesempatan siswa bertanyajawab menenai materi membaca puisi
9. Sebelum menutup kesiatan guru bersama siswa menyimpulkan darihasil kegiatan yang dilakukan dan materi yang dipelajari hari ini
C. KESIMPULAN
Pembelajaran keterampilan berbicara merupakan salah satu kompetensi yang wajib dalam kurikulum BahasaIndonesia. Melalu pembelajaran membaca puisi siswa dilatih agar peka terhadap kehidupan yang terjadi dimasyarakat, berlatih meningkatkan kepercayaan diri dan melatih siswa dalam memperbanyak kosakata dari segi kebahasaannya.
Jadi pembelajaran apresiasi sastra khususnya membaca puisi tidak seharusnya dihindari oleh para guru, meskipun dpada kenyataannya soal dalam tes UN dan SPMB tidak ada, pada akhirnya siswa juga harus memiliki kepekan moral mengenai kehidupan disekitarnya. Diaharapkan dengan fenomena permsalah yang sudah dipaparkan diatas metode belanja video bisa membatu para guru dalam mencari alternatif. Sehingga guru juga mengetahui bahwa prosedur dalam memilih dan memilah bahan ajar bagi siswa haruslak selktif atau tidak manasuka.
2
eiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses kesejagatan, sastra menjadi makin penting dan urgen untuk disosialisasikan dan “dibumikan” melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran
dewasa.
Namun, secara jujur harus diakui, selama ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Selalu saja ada dalih untuk mengebirinya. Entah lantaran kurikulumnya, ketidaksiapan gurunya, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat siswa. Selalu saja muncul beberapa alasan klasik untuk menutupi nihilnya “kemauan baik” untuk memosisikan sastra pada aras yang berwibawa dan bermartabat. Yang lebih memprihatinkan, masih ada opini “menyesatkan” bahwa sastra hanya sekadar produk dunia khayalan dan lamunan yang tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan nyata.
Sastra pada hakikatnya merupakan “prasasti” kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah terlepas dari konteks sosial-budaya masyarakatnya. Dengan kata lain, teks sastra akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks sastra yang “liar”, unik, dan mencengangkan.
Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks sastra memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks sastra, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks sastra juga mampu memberikan “gizi batin” yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan “kemiskinan” nurani. Tek sastra juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan. Agaknya masuk akal kalau Danarto pernah mengatakan bahwa kaum remaja-pelajar yang suka tawuran dan selalu menggunakan bahasa kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan potret kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Mereka tak pernah membaca teks sastra sehingga tidak
memiliki kepekaan dan kearifan hidup dalam menghadapi masalah kehidupan yang mencuat ke permukaan.
Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban benar-benar sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?
berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri. Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial.
Persoalannya sekarang, sudah benar-benar dalam kondisi siapkah para guru bahasa menyajikan muatan sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Sanggupkah para guru bahasa kita memikul peran ganda; sebagai guru bahasa dan sekaligus guru sastra? Mampukah para guru bahasa kita memberikan bekal yang cukup memadai kepada anak-anak negeri ini dalam mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis sastra? Hal ini penting dikemukakan, sebab selama ini memang tidak ada spesifikasi dalam penyajian materi bahasa dan sastra. Guru bahasa dengan sendirinya harus menjadi guru sastra.
Kalau guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak siswa didiknya untuk “berlayar” menikmati samudra sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi” batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup
menghadapi kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun, secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang
memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung monoton, kaku, bahkan
membosankan. Tidak semua guru bahasa mampu menjadikan sastra sebagai “magnet” yang mampu menarik minat siswa untuk mencintai sastra. Yang lebih memprihatinkan, pengajaran sastra hanya sekadar menghafal nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya. Siswa tidak pernah diajak untuk menggumuli dan menikmati teks-teks sastra yang sesungguhnya. Kalau kondisi semacam itu terus berlanjut bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan. Implikasi lebih jauh, dambaan pendidikan untuk melahirkan manusia yang utuh dan paripurna hanya akan menjadi impian belaka.
Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru bahasa dalam pengertian yang
sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar, lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi. Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan bersama-sama, sehingga guru bahasa memperoleh gambaran konkret tentang cara menyajikan
apresiasi sastra yang sebenarnya kepada siswa. Dalam situasi demikian, guru bahasa menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diampu oleh guru yang tepat, imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, inspiratif, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan.
Imbasnya, gema apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk.
di bidang kebahasaan, sehingga mampu memberikan bekal kompetensi kebahasaan secara memadai. Sebaliknya, biarkan pengajaran sastra diurus oleh guru bahasa yang benar-benar memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Dengan spesialisasi semacam itu,
kompetensi bahasa dan sastra siswa diharapkan bisa berkembang bersama-sama tanpa ada yang dianaktirikan. ***
Kurikulum 2013: Program Studi Sastra
Ramu Kompetensi Utama di UBH
Jumat, 16 Agustus 2013 | 14:53:32 WIB Share
WAWASAN PROKLAMATOR,-Kurkulum memiliki peranan yang sangat penting di perguruan tingggi sebab keberadaannya menjadi urat nadi setiap program studi untuk dapat melahirkan lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing serta diserap langsung oleh dunia kerja
Hal tersebut diungkapkan Dra.Puspawati, M.S Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta saat memberikan sambutan Workshop KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Kompetensi Utama Program Studi Sejenis di Aula Balairung Caraka Kampus I UBH, Jumat (16/08/2013).
Dikatakan Puspawati kurikulum itu bagian penting untuk penyusunan borang dalam proses akredsitasi. Karena ada beberapa data yang berhubungan untuk profil lulusan dan kompetensi utama program studi tersebut
"Baiknya setiap program studi memiliki perkumpulannya tersendiri untuk bisa membahas dan merembukan dalam penyusunan kompetensi utama seperti yang kita lakukan saat ini," ujarnya Puspa.
Sementara itu, Tienn Immerry, SS, M.Hum, Ketua Pelaksana Workshop ini mengatakan kegiatan ini dilaksanakan untuk melakukan perancangan, pembuatan dan penetapan kompetensi utama program studi sejenis seperti program studi Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra jepang dan sastra lainnya.
"Setidakanya kita memulai terlebih dahulu untuk wilayah Kota Padang dalam menyusun kompetensi utama ini agar nantinya mudah dalam penyusunan kurikulum baru.. Meskipun memiliki program studi yang sama antar perguruan tinggi dengan cirinya masing-masing, tentunya kita akan berupaya untuk menyamakan semua kompetensi utamanya, " terangnya.
Dalam Workshop KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Kompetensi Utama Program Studi Sejenis ini menghadirkan pemateri dari Dikti yaitu Dr. Sylvi Dewajani dan diikuti oleh perwakilan dosen program studi sastra se-Kota Padang
namun perpedaannya dari kurikulum sebelumnya terletak kompetensi utama akhir pembelajaran yang sama," jelas Sylvi.
Menurutnya selama ini yang terjadi di perguruan tinggi kita ketika melahirkan lulusan dari jurusan yang sama tapi memiliki mutu yang berbeda. Untuk itu dengan adanya kompetensi utama yang sama bisa menyetarakan mutu dalam penyususan kurikulum baru.
"Maka dari itu kita perlu menyusun kompetensi utama yang sama dan kita sepakati dengan melibatkan user (pengguna lulusan perguruan tinggi tersebut)," imbuhnya.
MOHAMMAD Tabrani, tokoh pemuda dan pelopor pers Indonesia, mencipta nama Bahasa Indonesia (BI) dalam Kongres Pemuda I tanggal 2 Mei 1926. Nama itu diterima dalam sidang pleno Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 (Kridalaksana 2011).
Bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa persatuan dinyatakan melalui Soempah Pemoeda. Pada posisi itu, bahasa tersebut berarti telah berumur 85 tahun. Bahasa Indonesia diterima oleh berbagai suku untuk berinteraksi dan bekerja sama (berkomunikasi) intra-antarsuku di Indonesia. Bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara/resmi, yang dituangkan dalam UUD 1945.
Dalam kedudukan ini, Bahasa Indonesia telah berumur 68 tahun, dan digunakan antara lain dalam perundang-undangan dan pidato kenegaraan (komunikasi resmi). Konstruksi
kurikulum Bahasa Indonesia saat ini menitikberatkan pada komunikasi. Pelajaran itu lebih cenderung pada praktik-praktik komunikasi, siswa menyampaikan amanat dan mengirim berita, serta siswa juga menerima amanat/berita.
Dengan kata lain, yakni pelajaran komunikasi. Adapun Kemdikbud tak hanya merencanakan, lalu ìmelemparî ke sekolah tapi terus mengawal konstruksi kurikulum (baru) itu, dengan perubahanperubahan kecil. Kemdikbud tidak melakukan perubahan dasar atau kerangka berpikir. Hanya sekolah mengembangkannya dalam konstruksi kurikulum, dan guru menjabarkan melalui konstruksi kurikulum (mapel) secara operasional.
Inilah filosofi dan jiwa KTSP(Kurikulum 2006). Pada tataran praktis, guru bertugas
mengonstruksi kurikulum Bahasa Indonesia, melengkapinya dengan perangkat berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Konstruksi kurikulum itu mendasarkan prinsip kekomprehensifan (menyeluruh) dan keholistikan (keutuhan).
Pelajaran Bahasa Indonesia mempunyai sedikitnya 3 kekomprehensifan. Pertama; belajar Bahasa Indonesia diarahkan pada ragam resmi, berbeda dari belajar sastra Indonesia yang diarahkan pada ragam sastra supaya siswa mampu menggunakan ragam bahasa tersebut. Kedua; belajar Bahasa Indonesia mencakup telaah kebahasaan supaya siswa memahami dan menerapkan secara tepat karakteristik sistem bahasa tersebut.
Adapun belajar bersastra Indonesia dengan melakukan kegiatan-kegiatan mencipta karya sastra supaya siswa mampu mencipta karya sastra. Pelajaran Bahasa Indonesia juga
mempunyai minimal 2 keholistikan. Pertama; karakteristik dan sistem kebahasaan tersebut yang dimiliki siswa menjadi kecakapan mental yang akan mengalir secara intuitif.
Hal itu terjadi ketika siswa berberbahasa Indonesia atau berkegiatan berbahasa Indonesia, serta mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kedua, karakteristik karya sastra yang dimiliki siswa menjadi kecakapan mental yang akan mengalir secara intuitif ketika siswa mencipta karya sastra.
Kompetensi Berbahasa
Dengan peran fasilitator, guru mengajarkan kebahasaan melalui cara siswa belajar menelaah bahasa tersebut. Telaah kebahasaan dimulai dari wacana, dilanjutkan penelaahan bagian-bagian wacana paragraf, kalimat, dan kata.
Kompetensi intinya memahami karakteristik sistem bahasa. Kompetensi itu dicapai atau dimiliki siswa lewat proses belajar mengajar secara induktif. Kegiatan kebahasaan ini
mendukung kelancaran berbahasa Indonesia. Kompetensi kebahasaan itu dilanjutkan dengan pencapaian kompetensi berbahasa. Guru mengajarkan dengan melakukan praktik-praktik berbahasa. Kompetensi intinya mahir berbahasa.
Adapun kompetensi dasarnya adalah membentuk wacana dan bagianbagiannya, yaitu paragraf, kalimat, dan kata. Mengenai kesastraan, guru mengajarkan siswa untuk menelaah karya sastra. Kompetensi intinya memahami unsur pembangun sastra dan nilai-nilai
kehidupan dalam sastra. Kompetensi dasarnya adalah menganalisis unsur pembangun dongeng, cerpen, novelet, novel, pantun, puisi dan sebagainya.
Selain itu, menentukan karaktersitik dongeng, cerpen, novel, novelet, pantun, puisi, dan lain-lain. Siswa mencapai kompetensi itu lewat proses belajar mengajar secara induktif.
Tujuannya, siswa memahami karakteristik sastra Indonesia dan siswa mampu menerapkan karakteristik tersebut ke dalam kegiatan bersastra Indonesia.
Kompetensi itu juga menjadi kecakapan mental yang akan mengalir secara intuitif sewaktu siswa mencipta karya sastra. Rangka berpikir (paradigma) kajian bahasa dan sastra, kegiatan berbahasa Indonesia dan bersastra Indonesia akan memberikan dasar menentukan standar bahan kajian yang dikonstruksi dalam kurikulum pelajaran tersebut.
Selain itu, memberikan metodologi belajar aktif (active learning) pelajaran Bahasa Indonesia. Namun kegiatan belajar berbahasa Indonesia harus mempertimbangkan tingkatan sekolah (SMP atau SMA), minat, dan kecakapan awal peserta didik. (10)
— Cahyo Yusuf, Rektor Universitas Tidar Magelang
Didaktik-metodik merupakan disipllin ilmiah yang berupaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dapat diajarkan oleh guru kepaa siswa.
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunannya disesuaikan dengan keadaan dan kemapuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan.
Fungsi buku teks
g) memberikan situasi belajar yang tanpa tekanan
Fungsi dan peranan buku teks itu adalah:
(a) mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai penagjaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan,
(b) menyajikan suatu sumber pokok masalah yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan dimana
keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya,
(c) menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampila-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok dalam komunikasi,
(d) metode da sarana penyajian bahan dalam buku teks harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya harus menarik, menantang, merangsang, bervariasi sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari buku teks tersebut,
(e) menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis,
(f) di sampin sebagai sumber bahan buku teks juga berperan sebagai sumber atau alat evaluasi dan pengajaran remidial yang serasi dan tepat guna (Green dan Petty dalam Tarigan 1986)
Salah satu tujuan penyelenggraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan watak murid yang berbudi luhur. Bangsa Indonesia saat ini mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup. Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi pekerti ialah sastra. Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupanny meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu ketrampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, sert (4) menunjang pembentukan watak Rahmanto, dalam Dharmojo (2007).
standar.Kompetensi (Competencies) dengan demikian merupakan sejumlah karakteristik yang mendasari seseorang dan menunjukkan (indicate) cara-cara bertindak, berpikir, atau menggeneralisasikan situasi secara layak dalam jangka panjang.
Paradigma pembelajaran
- Pemb berbasis teks bukan hanya wacana
- Teks brnbntuk lisan,tlsn mltimodal sprt gambar
- Teks dipndng sbg satuan bahsa yg brmkna scra kontekstual
- Jenis2 teks dibedakan atas dsr tujuan Struktur teks dan ciri2 kbhsa teks
- Teks trdiri dr teks sastra dan non sastra
- Teks sastra diperinci menjdi teks crita naratif dan nonnaratif
Landasan
- Bahs sbg wahana untk mengekpresikn prsaan scr estetis dg indah shg mampu mengguh prasaan pnerimanya scr logis
- Pmhmn di tekankn pada thd jenis kaidah dan konteks suatu teks. Apa untk menggugah prasaan atau memberi pemahamn