19 November 2012 Filsafat Romantisme
Romantisme sebenarnya mendahului idealisme secara kronologis. Romantisme adalah apa yang sering disebut sebagai tren filsafat atau suasana peradaban rasionalitas pada waktu itu, yang lebih mengedepankan perasaan, nafsu, hasrat, kehendak, passion, yang berhubungan dengan keindahan. Jadi romantisme di sini bukan soal seperti yang dipahami umum, yaitu yang berkaitan dengan percintaan. Romantisme dapat disebut sebagai periode filosofis yang menanggapi rasionalisme Kantian. Kant bernuansa seolah-olah dunia itu selesai dalam akal budi, bahkan juga pengetahuan selesai dalam struktur rasional akal budi manusia. Kant luar biasa dalam sistem filsafat, tetapi Kant tidak cukup memberi semacam respons terhadap kedahagaan manusia. Jadi romantisme bisa disebut sebagai kelanjutan atau reaksi atas filsafat Kantian. Romantisme pertama-tama menyeruak dalam bentuk-bentuk keindahan.
Keindahan yang paling jelas, muncul pada misalnya musik, lukisan. Musik dan lukisan, kita tidak hanya bicara soal nada yang indah atau gambar yang indah, tetapi kita juga bicara mengenai kedalaman persepsi. Musik bukan nada yang digabung-gabung dan lantas menjadi keindahan, namun sesungguhnya adalah cetusan keindahan yang terekam dalam kapasitas manusia. Musik adalah hujan titik-titik embun hasrat manusia.
Mozart, misalnya, seolah-olah lahir sebagai musik itu sendiri. Dia bagaikan badai keindahan.Salah satu contoh lain, Beethoven ketika menuliskan dirinya dalam simfoni no. 9, di mana Beethoven tidak mendengarkan musik, melainkan melihat musik. Bach juga tidak menulis musik tentang sengsara Yesus, tetapi ia sedang mengarahkan diri pada Passio Christi. Seolah-olah musik romantisme membawa kita pada suasana musik itu sendiri. Mata dan hati tertuju pada satu titik fokus di mana musik itu diarahkan. Lagu Ave Maria Schubert, seperti mengajak kita betul-betul berada dalam pelukan Bunda Maria, seperti dalam lindungan Bunda Maria. Musik Halleluya Handell, seolah-olah menjadi teologi dalam musik.
Jadi musik, sebenarnya merupakan ekspresi batin, passion, kapasitas rasa jiwa manusia. Dalam romantisme keindahan itu seolah melibatkan semuanya.
biara, seolah-olah aroma dedaunan musim gugur itu bisa terasa. Seolah-olah sastra mampu melibatkan seluruh kerja indra, yang membuat hati manusia terangkat, dan matanya terbelalak. Inilah gaya filsafat romantisme.
Berbeda dengan Kant di mana filsafatnya berhenti pada rasionalitas akal budi. Perasaan manusia, cita-citanya, keinginannya seolah-olah bukan bagian dari kehidupan manusia. Padahal kita tahu bahwa semuanya itu tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia.
Romantisme masuk dalam berbagai bidang seni, termasuk musik, lukisan, pahatan, dan sastra. Romantisme mencetuskan sebuah filsafat yang menjadi tak lain keterlibatan pengalaman dan kapasitas rasa manusia. Dalam romantisme, cita-cita menjadi begitu penting. Mimpi-mimpi menjadi urutan pertama dalam filsafat. Kemarahan, kesedihan, pengalaman cemas, ketakutan itu dihargai. Pendek kata, manusia adalah manusia dengan segala cetusan kapasitas keindahan. Kecemasan dimaknai sedemikian rupa, tidak ditolak namun diterima sebagai bagian hidup dan keindahan hidup itu sendiri. Keindahan bukan sebatas kenikmatan. Indah tidak disamakan dengan nyaman. Kenyamanan bukan keindahan dalam romantisme. Kita tahu bahwa Allah dimaknai sebagai tremendum et fascinosum. Tremendum artinya Tuhan itu menakutkan, menggentarkan, membuat manusia bergetar. Tetapi pada saat yang sama Tuhan adalah Dia yang memikat, Dia yang begitu indah, Dia yang jika memelukmu tak akan mau kamu lepaskan dan tak mau melepaskanmu. Dia adalah keindahan itu sendiri. Fascinosum adalah segala yang dirindukan oleh manusia. Maka kita tahu dengan baik bahwa Teologi pada masa romantisme itu mengurai relasi-relasi yang sangat kompleks dan mendalam antara manusia dengan Tuhan.