• Tidak ada hasil yang ditemukan

131312178 firman pribadi keraton yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "131312178 firman pribadi keraton yogyakarta"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KERATON YOGYAKARTA

SEBAGAI AKAR BUDAYA BANGSA INDONESIA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Budaya Mataram

DOSEN FILSAFAT BUDAYA MATARAM : HERU WAHYU KISMOYO, SIP. MS.i

Disusun Oleh : FIRMAN PRIBADI

131312178

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Dewasa ini kebudayaan daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia hampir punah dan di tinggalkan oleh generasi muda kita, Hampir semua lapisan masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan daerah. Hal itu di sebabkan oleh pengaruh budaya asing yang mudah di pelajari masuk kenegara kita dan sangat jauh dari budaya ketimuran seperti budaya yang ada di Indonesia.

Budaya barat yang di anggap modern dan lebih mudah dipelajari telah melumpuhkan jiwa patriotisme dan nasionalis bangsa Indonesia, contoh cara berpakaian para muda-mudi sangat memprihatinkan dan jauh dari etika budaya ketimuran, Mereka menganggap bahwa budaya kita sudah kuno dan kadaluwarsa sehingga mereka sangat memuja budaya barat yang sebenarnya sangat bertentangan dengan norma dan adat istiadat kita.

Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat yang berbeda. Akibat perbedaan itu menimbulkan berbagai macam kebudayaan yang berbeda pula. Setiap kebudayaan memiliki sejarah masing-masing. Salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa, yaitu adalah Keraton Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta biasa juga di sebut Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana resmi Kasultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

(3)

Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Sleman.

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamadhungan Ler (Kamadhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Keraton Yogayakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun,taritarian, gamelan,bendabenda pusaka dan bersejarah. Sampai saat ini peninggalan -peningalan Kraton Yogyakarta masih bisa kita lihat dan juga sebagai pengingat para generasi penerus bangsa agar mereka tidak melupakan sejarah bangsa indonesia yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita.

1. B. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan sebagai wacana untuk mengingatkan kembali kebudayaan yang hapir punah karena tergerus oleh kebudayaan barat yang mungkin mudah di pahami dan tidak serumit kebudayaan di negara kita, dan Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat akar budaya di Indonesia masih tetap eksis dalam melestarikan kebudayaan bangsa.

Selain itu, makalah ini memuat fakta-fakta tentang Kraton Yogyakarta sebagai wadah untuk melestarikan kebudayaan yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari sampai saat ini.

1. C. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah berjudul Keraton Yogyakarta Sebagai Akar Budaya Bangsa Indonesia, diantaranya adalah :

 Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa mengenai peninggalan

Kraton Yogyakarta.

 Mengetahui bahwa Kraton Yogyakarta masih eksis dalam melestarikan

kebudayaan sampai sekarang.

 Memahami tentang unsur peningalan yang berada di dalam Kraton

(4)

kencana,seperangkat gamelan,upacara-upacara adat dan peninggalan bernilai seni tinggi lainya.

 Memudahkan mahasiswa dalam memahami dan mempelajari kebudayaan dan

peniggalan bersejarah di dalam Kraton Yogyakarta.

BAB II

PEMBAHASAN

1. 1 . Wujud Budaya di Keraton Yogyakarta

1) Gagasan

Peninggalan Kraton Yogyakarta yang berupa Kebudayaan berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan yang ada di Keraton Yogyakarta merupakan pemikiran, filosofi, dan mitologi yang berkaitan dengan pembangunannya.

Pemikiran mengenai Keraton Yogyakarta dituangkan pada penataan tata ruang keraton, termasuk pola dasar landascape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur, arah hadap bangunan, nama-nama benda-benda pusaka, dan benda-benda lain yang ada di dalamnya masing-masing memiliki nilai filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri.

Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara adat maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

2) Aktivitas (Tindakan)

(5)

Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata krama.

Ada beberapa wujud kebudayaan berupa aktivitas yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam berinteraksi, para penghuni Keraton menggunakan bahasa jawa. Orang yang lebih muda dan/atau orang yang berpangakat lebih rendah harus menggunakan bahasa jawa krama inggil kepada yang lebih tua dan/atau yang berpangkat lebih tinggi. Sedangkan orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi menggunakan bahasa jawa ngoko/ngoko alus kepada yang lebih muda/berpangkat lebih rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang lebih muda dan/atau berpangakat lebih rendah tidak boleh berjalan membelakangi orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi. Beberapa hal tersebut apabila dilanggar akan dikenai sanksi atau hukuman berupa teguran atau cemooh karena dianggap tidak sopan dan melanggar norma yang berlaku di dalam keraton dan di kalangan masyarakat jawa pada umumnya.

Contoh wujud kebudayaan berupa aktifitas yang lain adalah pemberian sesaji di ruang-ruang yang dianggap keramat atau suci. Ini merupakan aktifitas rutin yang tidak boleh lupa dilakukan oleh para abdi dalem keraton. Selain itu, di Keraton Yogyakarta masih diselenggarakan upacara-upacara adat yang terus dilaksankan hingga saat ini. Upacara-upacara tersebut adalah Tumplak Wajik, Grebeg, Sekaten, Jamasan Pusaka, dan Labuhan.

3) Artefak (Karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya seni semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

(6)

Gedhe Kauman dan Alun-alun Utara yang merupakan tempat diselenggarakannya upacara Grebeg dan sekaten, dan acara sakral lainnya.

a) Upacar grebek dan sekaten merupakan upacara sakral

Upacara Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara adat yang

diadakan sebagai kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi agama

Islam. Upacara yang lebih dikenal dengan nama grebeg ini pertama kali diadakan

oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I Pada tahun 1755 sampai tahun 1792.

Nama grebeg sendiri berasal dari peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari

dalam istana bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungan

kepada rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan

seperti suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi

grebeg... grebeg...grebeg...

Upacara Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang

berkaitan dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg Syawal, Grebeg Maulud,

dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur

dari keraton setelah melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut

datangnya bulan Syawal. Grebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan

memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Grebeg Besar,

diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha yang terjadi dalam bulan Zulhijah,

yang dalam kalender Jawa sering disebut sebagai bulan besar.

Upacara Grebeg ini dimulai dengan parade prajurit keraton. Di dalam Keraton

Yogyakarta, terdapat sepuluh kelompok prajurit, yakni: Wirobrojo, Daheng,

Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis,

dan Surakarsa. Satu per satu, delapan kelompok prajurit keluar dari Siti Hinggil

melewati Pagelaran dan berhenti di Alun-alun Utara dengan formasi barisan

khasnya. Masing-masing kelompok menggunakan pakaian kebesaran prajurit,

membawa senjata khusus, panji-panji, seraya memainkan alat musik. Usai

delapan kelompok prajurit keluar, barisan dilanjutkan dengan keluarnya

Manggala Yudha (panglima keraton). Di akhir parade, gunungan dibawa keluar

(7)

Gunungan merupakan tumpukan makanan yang menyerupai gunung, yang

menjadi ciri khas dalam setiap Upacara Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai

hasil bumi, dan merupakan simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang

nantinya akan dibagikan kepada rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat

enam jenis gunungan, masing-masing memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri

dari jenis makanan yang berbeda pula. Gunungan dharat merupakan gunungan

yang puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna

hitam dan di sekelilingnya ditancapi dengan ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang

berbentuk lidah. Gunungan gepak merupakan gunungan yang terdiri dari empat

puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan lima macam

warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Gunungan kutug/bromo terdiri

dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian puncaknya diberi lubang, sehingga

tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar kemenyan. Gunungan lanang

pada bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras yang disebut mustaka

(kepala). Gunungan ini terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur

itik, dan ketan. Gunungan wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka

ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan. Gunungan pawuhan merupakan

gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon, namun pada bagian

puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.

Gunungan-gunungan ini kemudian dibawa menuju Alun-alun Utara. Saat

itulah, prajurit keraton yang sudah berbaris di sana memberikan salvo (tembakan

serentak sejumlah senapan), sebagai tanda penghormatan. Usai tanda

penghormatan diberikan, dengan diiringi oleh seluruh prajurit, gunungan dibawa

menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan oleh penghulu masjid. Setelah

didoakan, gunungan diturunkan agar bisa diambil oleh pengunjung yang sudah

menantikan kedatangannya di sekitar Masjid Gedhe Kauman. Begitu diturunkan,

pengunjung segera berebut untuk mengambil makanan apapun yang disusun

dalam gunungan. Mereka yang berebut makanan ini percaya bahwa makanan

yang ada dalam gunungan tersebut dapat mendatangkan berkah dan kesejahteraan.

Beberapa jenis makanan ada yang dipercaya jika ditanam di sawah ataupun di

kebun dapat menyuburkan tanah, sehingga hasil panennya akan baik.Keseluruhan

(8)

Upacara berawal di Pagelaran Keraton Yogyakarta, kemudian berjalan melewati

Alun-alun Utara, dan berakhir di Masjid Gedhe Kauman. Semuanya terletak di

Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bagian dari Negara

Republik Indonesia.

b) Unsur penyajian berbusana adat

Keraton Yogyakarta sebagai akar budaya bangsa mempunyai motif busana sesuai dengan kedudukan atau jabatan pemakainya.Contoh Busana Kraton Yogyakarta

Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai

lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya

masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih

kalangan kraton atau bangsawan. Secara keseluruhan penampilan busana yang

megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi

power dari pemakainya, Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak

dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena itu orang

yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya hubungan dengan

raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari permaisuri satunya lahir

dari garwa ampeyan (selir).

Beberapa corak kain tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak

memiliki hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk

pribadi sultan. Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku

Buwana VII. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang

(lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang,

(gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat

(ungkapan ketabahan hati) dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau

raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu

tabah menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Hamenku Buwana VIII corak

parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan

seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen

(dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh

(9)

gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan

kewajiban dengan baik).

Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan

menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana

untuk kegiatan formal atau resmi. Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara

alit dan upacara ageng. Upacara alit misalnya tetesan (khitan untuk anak

perempun), tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan

penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa

Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton,

tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan dan sedan (pemakaman

jenazah raja).

Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri

tiga macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara

alit, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan

sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan

dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan,baju surjan,

lonthong tritik,ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari

suwasa (emas berkadar rendah).

Untuk putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja

(biasanya berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini

dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga

sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung

harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara

garebeg.

Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan

(dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa

berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah

semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang

sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.

Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan,

kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar

(10)

khusus untuk putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana

dodotan, busana kanigaran dan busana kaprajuritan. Berbagai ragam busana adat

dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak hanya sekedar

untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi

juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung

bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir,

menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka,

alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa

ujung pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada

pethat (sisir) melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya

kebahagiaan. Hiasan sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna

merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan

lambang trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.)

c) . Upacar jamasan atau mensucikan benda pusaka

Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta, keris, tombak dan semua benda pusaka peninggalan Kraton Yogyakarta wajib mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan, memberi “makan” berupa sesaji, dan mendoakan semua benda pusaka. Pelaksanaan Jamasan pusaka biasa di laksanakan tiap bulan sura di lingkungan Kraton Yogyakarta,Untuk Upacara Jamasan Kereta ini dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga museum. Kereta yang wajib dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwana IV dan dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta lain.

(11)

dipergunakan sebagai kendaraan sehari-hari penghuni keraton. Mereka sudah beralih kepada kendaraan bermesin seperti mobil untuk kendaraan sehari-hari.

Dari bahasan di atas, terdapat sebuah perubahan budaya secara akulturasi yaitu proses yang timbul apabila sekelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur kebudayaan asing sehingga lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian asli. Walaupun saat ini penghuni keraton sudah tidak lagi menggunakan kereta kuda untuk kendaraan sehari-hari, kereta kuda tetap digunakan pada saat-saat tertentu. Jadi kereta kuda tidak sepenuhnya ditinggalkan. Unsur budaya asing berupa alat transportasi mobil dapat masuk ke Keraton Yogayakarta karena besar sekali kegunaannya. Selain lebih cepat daripada kereta kuda, dengan mobil kita dapat pergi hingga luar kota tanpa memakan waktu yang terlalu lama. Bentuk proses akulturasi yang terjadi dalam kasus ini adalah originasi. Originasi merupakan perubahan yang membawa unsur budaya yang betul-betul baru.

d). Apresiasi budaya terhadap keraton yogyakarta

Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan dari Kesultanan Yogyakarta. Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada tahun 1950, Keraton Yogyakarta mulai dipisahkan dari Pemerintah Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.

(12)

Daerah lainnya. Antara 1988-1998, Guberur Dareh Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa yang juga penguasa Paku Alaman. Setelah 1999, keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Derah Istimewa. Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Keraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta tidak hanya sebuah simbol semata melainkan sebagai salah satu pusat akar budaya bangsa Indonesia khususnya budaya jawa karena di Keraton Yogyakarta masih diadakan tradisi-tradisi kebudayaan yang ada sejak awal mula Keraton berdiri. Sultan sebagai pemangku adat tertinggi juga masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta. Masyarakat modern di Yogyakarta masih banyak yang tunduk dengan apa yang diperintahkan Sultan. Apabila Sultan mendapat tekanan dari pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta dengan siap melindungi Sultan dari tekanan tersebut. Bahkan masyarakat di luar Yogyakarta juga ikut menentang saat pemerintah mengeluarkan statement bahwa sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggemparkan karena pernyataan tersebut merupakan pernyataan ketidaktahuan si pembuat pernyataan tentang perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1950.

(13)

BAB III

PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Kraton Yogyakarta menjadi salah satu akar budaya yang sangat penting bagi Negara Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai seorang warga Yogyakarta kita seharusnya dapat mengerti/mengenali dan memahami Kraton Yogyakarta dengan baik, agar kita dapat menjawab dan menceritakan jika ditanya oleh wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara mengenai sejarah Kraton Yogyakarta. Karena didalam Kraton Yogyakarta terdapat banyak sekali benda-benda peninggalan budaya zaman dahulu sampai sekarang.

Sebagai generasi muda kita harus dapat melestarikan warisan budaya,

khususnya Kraton Yogyakarta. Dengan mengunjungi kraton, melihat-lihat

benda-benda peninggalan raja-raja. Selain itu kita juga harus mengetahui sejarah raja

yang dahulu sampai sekarang yang memimpin Kraton Yogyakarta. Dan tak lupa

kita juga harus mengetahui upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta, misalnya

Grebeg dan Sekaten yang selalu ada setiap tahunnya. Itu semua harus kita lakukan

supaya Kraton Yogyakarta yang merupakan akar budaya bangsa Indonesia ini

tidak punah dan masih bisa dilihat oleh generasi penerus bangsa sebagai modal

dasar pengetahuan para generasi muda maka pihak-pihak terkait dapat selalu

mengenalkan arti pentingnya melihat peninggalan sejarah pada masa lampau

yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari tidak hanya lewat buku tetapi juga kita

bisa melihat langsung atau mengunjungi tempat-tempat bersejarah.

1. B. Saran

(14)

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat Budaya. 2006. Diakses dari www.wapedia.com. Pada 29 September 2013 jam 20.00

(sumber : http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-grebeg-keraton-yogyakarta 29

September 2013 jam 21.20 WIB)

(sumber : http://www.enformasi.com/2009/02/busana-kraton-yogyakarta.html 30

September 2013 jam 19.40 WIB

(sumber : http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-grebeg-keraton-yogyakarta 01

Referensi

Dokumen terkait

Batako mutu A2 adalah bata beton yang digunakan hanya untuk konstruksi.. seperti tersebut dalam jenis A1, hanya permukaan dinding

Tidak hanya menyediakan kalori yang diperlukan untuk metabolisme sehari-hari, tetapi merupakan sumber yang kaya akan vitamin A,B,E dan banyak mineral.. Nah jagung

Salah satu problem yang sangat penting untuk dikaji pertama kali dari sebuah ilmu adalah epistemologi, tidak terkecuali dalam ilmu keislaman khususnya ilmu tafsir1. Geliat

Seseorang yang menderita hipertensi disebabkan karena ada masalah dari dalam diri atau dari luar, kemudian penderita hipertensi tersebut memiliki keyakinan

Ringkasan: Penelitian ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan beberapa manfaat dari pembuatan lubang biopori dan sampah organik yang tersimpan didalam

Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh filtrat daun lamtoro sebagai sumber nitrogen terhadap kualitas nata de cassava, dilihat dari parameter ketebalan,

Selama bulan April 2013, sebanyak dua kelompok pengeluaran mengalami penurunan indeks harga yang mengakibatkan deflasi di Kota Kupang. Kelompok bahan makanan

Perhatian (emphaty) yang diberikan dan memiliki hubungan komunikasi yang baik serta memahami kebutuhan para pelanggan dengan mengoperasikan Bus Damri sesuai dengan