• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kadar Leukosit, Monosit, Dan Procalcitonin Dengan Risiko Terjadi Infeksi Pada Stroke Fase Akut Dan Outcome Fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kadar Leukosit, Monosit, Dan Procalcitonin Dengan Risiko Terjadi Infeksi Pada Stroke Fase Akut Dan Outcome Fungsional"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. STROKE II.1.1. Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh

iskemik atau perdarahan berlangsung ≥24 jam atau meninggal, tapi tidak

memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan

infark fokal serebri, spinal dan infark retinal. Dimana infark SSP adalah

kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia,

berdasarkan:

- Patologi, imaging atau bukti objektif dari focal injury iskemik pada

serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular

tertentu.

- Atau bukti klinis dari focal injury iskemik pada serebral, medulla

spinalis atau retina berdasarkan symptom yang bertahan ≥ 24 jam

atau meninggal dan etiologis lainnya telah dieksklusikan (Sacco dkk,

2013).

Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang

dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak atau

(2)

II.1.2. Epidemiologi

Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di eropa, diperkirakan

terdapat 100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun

(Hacke dkk, 2003). Insiden stroke pada pria lebih tinggi dari pada wanita,

pada usia muda, namun tidak pada usia tua. Rasio insiden pria dan wanita

adalah 1,25 pada kelompok usia 55-64 tahun, 1,50 pada kelompok usia

65-74 tahun, 1,07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0,76 pada

kelompok usia diatas 85 tahun. Negara Amerika diperkirakan terdapat

lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari

160.000 kematian per tahun, dengan 4,8 juta penderita stroke yang

bertahan hidup (Goldstein dkk, 2006).

Di Indonesia, insiden stroke sebesar 51.6/100.000 penduduk.

Penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, dan profil usia di

bawah 45 tahun: 11,8 %, usia 45-64 tahun: 54,2% dan usia lebih dari 65

tahun: 33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang

berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan

secara nasional di kemudian hari (Misbach dkk, 2011).

II.1.3. Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai

faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya

stroke. Faktor risiko timbulnya stroke (Sjahrir, 2003)

1. Non modifiable risk factors

(3)

a. Usia

b. Jenis Kelamin

c. Keturunan/genetik

2. ModifiableRisk Factors

a. Behavioural Risk Factors

- Merokok

- Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat,

kolesterol, kurang buah

- Alkoholik

- Obat-obatan: narkoba (kokain), antikoagulansia, anti

platelet, obat kontrasepsi

- Aktifitas yang rendah

b. PhysiologicalRisk Factors

- Penyakit hipertensi

- Penyakit jantung

- Diabetes mellitus

- Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

- Gangguan ginjal

- Kegemukan (obesitas)

- Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit

perdarahan

- Kelainan anatomi pembuluh darah

(4)

II.1.4. Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab setiap jenis

stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang

berbeda, walaupun patogenesisnya sama.

1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

a. Stroke Iskemik

- Transient Ischemic Attack (TIA)

- Thrombosis serebri

- Emboli serebri

b. Stroke Hemoragik

- Perdarahan intraserebral

- Perdarahan subarachnoid

2. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Stroke inevolution

c. Completed stroke

3. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

a. Sistem karotis

b. Sistem vertebrobasiler

4. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu

a. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

b. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)

(5)

d. Posterior Circulation Infarct (POCI)

5. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti

TOAST (Sjahrir, 2003).

a. Aterosklerosis Arteri Besar

Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan

(>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang

arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis.

Gambaran computed tomography (CT) sken kepala/MRI

menunjukkan adanya infark dikortikal, serebellum, batang

otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm

dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.

b. Kardioembolisme

Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber

embolus dari jantung terdiri dari :

1. Risiko tinggi

- Prostetik katub mekanik

- Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi

- Fibrilasi atrial

- Atrial kiri/atrial appendage thrombus

- Sick sinus syndrome

- Miokard infark baru (<4 minggu)

- Thrombus ventrikel kiri

(6)

- Segmen ventricular kiri akinetik

- Atrial myxoma

- Infeksi endokarditis

2. Risiko sedang

- Prolaps katub mitral

- Kalsifikasi annulus mitral

- Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial

- Turbulensi atrial kiri

- Aneurisma septal atrial

- Paten foramen ovale

- Atrial flutter

- Lone atrial fibrillation

- Katub kardiak bioprostetik

- Trombotik endokarditis non bacterial

- Gagal jantung kongestif

- Segmen ventrikuler kiri hipokinetik

- Miokard infark (>4 minggu, <6 bulan)

c. Oklusi Arteri kecil

Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus

mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak

mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral.

(7)

normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di

daerah batang otak atau subkortikal.

d. Stroke akibat dari Penyebab lain yang menentukan

1. Non-Aterosklerosis vaskulopati

- Non inflamasi

- Inflamasi non infeksi

- Infeksi

2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat

ditentukan

II.1.5. Patofisiologi

Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak

menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi

berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur

pendukungnya (Misbach, 2011).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian

inti (core) dengan tingkat iskemik terberat dan berkorelasi di sentral.

Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada

reperfusi. Diluar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik.

Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat

berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis.

(8)

(luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi

sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel

otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan

jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur

mengalami kematian (Misbach, 2011).

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara

bertahap, yaitu: (Sjahrir, 2003)

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis

ion

Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut mempunyai

pengaruh buruk yang memperberat bagi perkembangan infark

serebri. Berbagai penelitian menunjukkan adanya perubahan

kadar sitokin pada penderita stroke iskemik akut. Mikroglia

merupakan makrofag serebral yang merupakan sumber sitokin

(9)

merupakan protein atau glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu

sel dan mempengaruhi sel lain dalam suatu proses inflamasi,

contohnya limfokin dan interleukin (IL-1 beta, IL-6, IL-8,

TNF-yang merupakan sitokin pro-inflamatorik. Adanya IL-8 tersebut

merupakan diskriminator terkuat yang membedakan kasus stroke

dengan non stroke. Produksi sitokin yang berlebih mengakibatkan

plugging mikrovaskuler serebral dan pelepasan mediator

vasokontruktif endothelin sehingga memperberat penurunan aliran

darah, juga mengakibatkan eksaserbasi kerusakan blood brain

barier dan parenkim melalui pelepasan enzim hidrolitik, proteolitik

dan produksi radikal bebas yang akan menambahkan neuron

yang mati.

Tahap 4 : Apoptosis

II.2. LEUKOSIT

Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang merupakan

kumpulan unit yang bergerak. Sistem daya tahan tubuh ini adalah

kemampuan tubuh untuk bertahan dan menyingkirkan material yang

berbahaya dan sel-sel abnormal dalam tubuh (Sherwood dkk, 2012).

Leukosit atau sel darah putih berfungsi untuk membantu tubuh

melawan berbagai penyakit infeksi dan sebagian dari sistem kekebalan

tubuh, leukosit tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara

(10)

terdiri dari neutrofil, basofil, eosinofil, monosit dan limfosit (Baratawidjaja,

2004).

Leukosit dan turunannya serta protein plasma membentuk sistem

imun yang merupakan sistem yang dapat mengenal, menghancurkan dan

menetralisir material yang seharusnya tidak terdapat dalam tubuh

(Sherwood dkk, 2012).

Jumlah normal leukosit adalah 4000-11.000/µl darah manusia,

dimana diantara ini semua sel granulosit (sel polimorfonuklear/PMS)

adalah yang paling banyak. Sel granulosit muda ini memiliki bentuk seperti

tapal kuda dan akan berubah menjadi sel multilobus. Sebagian besar dari

sel polimorfonuklear ini terdiri dari granul (neutrophil), dan sebagian kecil

lagi adalah eusinofil, basophil, limposit yang memiliki inti sel yang lebar

dengan sedikit sitoplasma serta monosit dengan sitoplasma dalam jumlah

besar dan nukleus berbentuk ginjal. Seluruh sel ini akan melindungi tubuh

dengan bekerja sama melawan tumor, virus, bakteri dan infeksi parasit

(Ganong, 2003).

II.2.1. Peranan Leukosit pada Stroke

Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah awitan

(onset) iskemik dengan karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di

endotel pembuluh darah dan leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak

melewati endotel keluar dari sirkulasi dan penetrasi ke jaringan parenkim

(11)

Infiltrasi leukosit pada iskemik serebral telah diuji secara

eksperimental pada hewan percobaan. Jumlah leukosit yang tinggi pada

darah perifer dinyatakan sebagai prediktor risiko stroke berikutnya (Wang

dkk, 2015).

II.3. MONOSIT

Monosit adalah leukosit fagositik yang juga berperan penting dalam

pertahanan terhadap organisme patogenik dan antigen. Sel yang paling

awal dibentuk monoblas, mengalami proses pematangan melalui

promonosit untuk menjadi monosit matang. Disumsum tulang normal,

prekusor monosit biasanya tidak tampak mencolok. Monosit keluar dari

sumsum tulang setelah matang dan masuk ke sinusoid-sinusoid vena

untuk bersirkulasi dalam darah perifer. Sel-sel ini beredar selama sekitar

12 sampai 14 jam sebelum bermigrasi ke jaringan (Sacher dkk, 2002).

Monosit di bentuk 5 sampai 8% dari leukosit di dalam darah. Setiap

saat, hanya sejumlah kecil monosit yang beredar. Sel-sel ini berasal dari

sel bakal yang sama dengan asal neutrofil, tetapi jalur pematangannya

kemudian terpisah. Sel prekursor (monoblas) mudah terlihat dengan

pewarnaan esterase. Monosit matang beredar secara singkat di dalam

darah perifer dan kemudian masuk ke jaringan untuk menjadi makrofag

(Sacher dkk, 2002).

Peradangan dapat merangsang monosit bermigrasi dari darah ke

(12)

Migrasi ini paling mencolok pada peradangan subakut atau kronis. Sel-sel

ini berperan penting dalam banyak mekanisme pertahanan pejamu.

Sel-sel ini sangat aktif dalam fagositosis dan pemusnahan mikroorganisme,

serta dalam banyak interaksi kompleks dengan imunogen dan dengan

konstituen selular dan protein sistem imun. Sel ini mungkin memulai dan

mengatur tingkat respon imun. Sel ini juga bertanggung jawab dalam

pengenalan dan pengolahan antigen. Dengan mengolah dan menyajikan

antigen kepada limfosit-T dan B, monosit memulai respons imun selular

dan humoral. Juga mensekresikan berbagai substansi larut yang aktif

secara biologis yang disebut monokin, diantaranya adalah interleukin -1.

Faktor ini meningkatkan respons proliferative dan ekspresi reseptor

membran sel T. Interaksinya dengan limfosit, terutama limfosit-T, sangat

terintegrasi dan kompleks (Sacher dkk,2002).

II.3.1. Peranan Monosit/Makrofag pada Stroke

Monosit/makrofag mempunyai peranan langsung pada stroke. Sel

mikroglia yang berasal dari makrofag dan blood-derived monocyte/

macrophages mempunyai peranan morfologi dan fungsional pada stroke.

Sel mikroglia diaktivasi cepat sebagai respon dari kerusakan otak.

Aktivasi terjadi dalam beberapa menit dari onset iskemik dan menginduksi

produksi dari sitokin inflamasi yaitu interleukin-1-β (IL-1β) dan Tumor

Necrosis Factor-

(13)

/macrophages menginfiltrasi ke jaringan otak dalam beberapa jam sampai

beberapa hari. Studi lain ada yang menunjukkan bahwa blood-derived

monocyte/macrophages banyak terdapat pada jaringan yang mengalami

iskemik, pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah stroke. Sebaliknya sel

mikroglia meningkat pada hari pertama setelah iskemik serebri. Sel

mikroglia bisa bertahan pada lesi iskemik hari ke-4 sampai ke-7 (Chiba

dan Umegaki, 2013).

II.4. PROCALCITONIN

Procalcitonin (PCT) adalah precursor peptida dari hormon calcitonin

dan disentesis secara fisiologis oleh sel tyroid. Pada kondisi normal nilai

procalcitonin sangat rendah (0.1 ng/ml) akan tetapi pada infeksi bakteri,

procalcitonin akan disintesis pada jaringan neuroendokrin extratyroid.

Procalcitonin adalah komponen sel inflamasi yang berespon secara

spesifik terhadap infeksi bakteri sitemik. Infeksi bakteri sistemik akan

menimbulkan peningkatan nilai procalcitonin yang tinggi terutama pada

infeksi bakteri gram negatif. Pada infeksi virus ataupun infeksi bakteri

intraseluler seperti mycoplasma pneumonia hanya akan menimbulkan

peningkatan yang tidak berarti. Pada keadaan sepsis nilai procalcitonin ini

tidak terpengaruh terhadap penggunaan steroid secara signifikan. Pada

infeksi bakteri, nilai serum procalcitonin akan meningkat dalam waktu 4

jam setelah onset infeksi dan mencapai puncaknya setelah 8-24 jam (Kibe

(14)

II.5. OUTCOME STROKE

Tahun 1890 World Health Organization (WHO) membuat definisi

impairments, disabilitas dan handicaps sebagai berikut (Misbach, 2011):

1. Impairments adalah suatu kehilangan atau abnormalitas fungsi

atau struktur psikologis, fisiologis anatomis.

2. Disabilitas adalah hambatan atau ketidakmampuan akibat

impairments untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang

waktu tertentu dengan cara atau yang dianggap normal untuk

orang sehat.

3. Handicaps adalah gangguan yang dialami oleh individu akibat

impairment” atau “disabilitas” tersebut, sehingga seseorang

terbatas dalam melakukan suatu perannya sebagai manusia

normal.

Untuk kemudahan dan keseragaman pengukuran kemajuan dari

fungsi otak terdapat beberapa penilaian berdasarkan skoring yang telah

digunakan secara luas didunia. Skoring atau skala yang telah dipakai di

unit stroke dan sudut stroke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah

National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel Index dan

modified Rankin Scale. Penelitian klinis tentang stroke secara rutin

menggunakan mortalitas sebagai outcome, namun terdapat outcome

lainnya yang penting untuk investigasi klinis dan relevan dengan pasien,

(15)

Modified Rankin Scale (mRS) mengukur tingkat keterbatasan

fungsional pasca stroke. Hasil penelitiannya adalah secara umum, terdiri

dari 0-6 dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti

cacat/ketidakmampuan yang berat, 6 berarti meninggal (Jood dkk, 2008).

Bila mRS 1-3, dikelompokkan sebagai outcome baik sedangkan

mRS 4-6 dikelompokkan sebagai outcome jelek (Painthakar dkk, 2003).

II.6. INFEKSI PADA STROKE FASE AKUT II.6.1. Inflamasi dan Infeksi

Inflamasi SSP memegang peranan penting dalam proses

patofisiologi setelah onset iskemik serebral pada stroke iskemik,

subarachnoid hemorrhage, dan head injury. Selain itu, inflamasi pada SSP

atau perifer dapat menjadi faktor risiko untuk pengembangan awal iskemik

serebral ( Emsley dan Tyrrell, 2002).

Inflamasi setelah proses iskemik ditandai oleh aktivasi cepat sel

mikroglia dan proses infiltrasi dari sel neutrofil serta makrofag pada daerah

yang mengalami kerusakan, beberapa mekanisme antara lain second

messenger yang teraktivasi oleh ion kalsium, peningkatan radikal bebas

oksigen dan hipoksia akan mencetuskan beberapa gen proinflamasi

melalui beberapa faktor transkripsi (Amantea dkk, 2008).

Mediator inflamasi seperti platelet activating faktor, tumor necrotic

faktor- (TNF- interleukin- (IL-1β) dan IL-6 dihasilkan dari sel

(16)

endotel seperti ICAM-1, P-selectin, dan E-selectin. Adhesion molecule

akan berinteraksi dengan komplemen pada permukaan reseptor sel

neutrofil. Proses selanjutnya adalah neutrofil teraktivasi dan melakukan

perlekatan pada endotel, menembus dinding pembuluh darah, dan

akhirnya menuju pada parenkim otak yang mengalami iskemik. Masuknya

neutrofil akan diikuti oleh makrofag dan monosit. Sel pertahanan lokal juga

ikut teraktivasi pada proses inflamasi, sekitar 4-6 jam pasca iskemik, sel

astrosit akan menjadi hipertrofik, kemudian sel mikroglia dengan tonjolan

atau prosesusnya akan membentuk struktur ameboid yang berarti menjadi

bentuk aktif (Dirnagl dkk, 2005).

Setelah stroke fase akut, infeksi sistemik dapat mempersulit proses

pemulihan dan menyebabkan outcome klinis yang lebih buruk, termasuk

risiko kematian yang lebih tinggi. Post Stroke Infection (PSI)

bertanggungjawab terutama pada kejadian mortalitas yang terjadi antara 1

minggu dan 1 bulan setelah stroke, puncaknya pada akhir minggu kedua.

Efek dari PSI pada outcome jangka panjang dan aspek lain dari

pemulihan, seperti kognisi, mood dan kualitas hidup sebagian besar tidak

diketahui. Meskipun telah ada kemajuan dalam pemahaman dasar

tentang mekanisme patofisiologi PSI, studi klinis belum memberikan

guidline dengan metode terbaik untuk manajemen atau preventif dari PSI.

(Kwan dkk, 2008).

Setelah stroke fase akut, pasien memiliki risiko tinggi

(17)

paling umum adalah PSI. Komplikasi ini serius dapat memperpanjang dan

mempersulit proses pemulihan serta meningkatkan risiko mortalitas dan

morbiditas. Pada penelitian dalam jumlah besar pada RS di Jerman,

komplikasi medis yang serius yang paling sering terjadi pada minggu

pertama rawat inap adalah stroke berulang dan pneumonia. Dalam

sebuah penelitian yang berbasis besar di Inggris, pneumonia dan infeksi

saluran kemih (ISK) adalah komplikasi medis yang paling sering terjadi.

(Kwan dkk, 2008).

II.6.2. Efek inflamasi pada status imunologis

Otak dan sistem kekebalan tubuh secara fungsional dihubungkan

melalui jalur sistem saraf dan sistem humoral, penurunan fungsi sistem

kekebalan tubuh dan tingginya kejadian infeksi telah ditunjukkan pada

keadaan-keadaan yang disebabkan gangguan fungsi saraf akut. Cedera

pada SSP, baik di otak maupun medulla spinalis dapat mengakibatkan

pelepasan mediator-mediator inflamasi pada SSP, atau gangguan dalam

pengontrolan sirkuit neural-immune, keduanya mengakibatkan penurunan

sistem imunitas, baik innate immunity maupun adaptive immunity, hal ini

menyebabkan defisiensi dari sistem kekebalan tubuh, sehingga individu

tersebut menjadi rentan terhadap invasi mikroorganisme. Walaupun

respon awal lokal terhadap kerusakan otak adalah pelepasan

(18)

pasien-pasien dengan lesi di SSP juga menunjukkan adanya tanda-tanda

immunodepresi (Meisel dkk, 2005).

II.6.3. Stroke sebagai faktor risiko untuk mengembangkan infeksi

Meskipun infeksi sering terjadi setelah stroke dan beberapa studi

menemukan hubungan antara stroke dan infeksi yang didapat ketika

dirawat di rumah sakit. Tidak ada bukti yang jelas, apakah stroke akut

secara tidak langsung meningkatkan risiko infeksi sistemik, atau apakah

peningkatan risiko infeksi sebagai akibat dari konsekuensi kondisi yang

tidak baik (misalnya, imobilitas dan status gizi buruk). Hal ini juga diketahui

bahwa kondisi medis akut non-stroke lainnya juga dapat menyebabkan

infeksi didapat di rumah sakit, dan studi telah melaporkan variasi yang

sangat luas dalam frekuensi terjadinya infeksi, dari sangat rendah (2-10%)

untuk tingkat yang ditemukan diantara studi stroke dengan cohort (~20%)

(Kwan dkk, 2008).

II.6.4. Kondisi yang dapat menyebabkan infeksi setelah stroke

Setelah stroke akut, defisit neurologis dan fungsional yang

menyebabkan tingkat ketergantungan yang tinggi dapat berpotensi

mengalami kecendrungan untuk terjadinya PSI. Dalam satu penelitian

terbaru, disfagia, inkontinensia urin (dan kateterisasi urin) dan penurunan

kesadaran yang ditemukan merupakan faktor predisposisi PSI. Disfagia

(19)

malnutrisi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa sekitar

setengah dari semua pasien stroke dengan disfagia akan mengalami

aspirasi, dan lebih dari sepertiga dari pasien ini akan mengembangkan

aspirasi pneumonia dan sekitar setengah akan berkembang menjadi

malnutrisi. Pasien dengan penurunan kesadaran dapat meningkatkan

risiko aspirasi oleh karena menurunnya pengaturan refleks batuk pasien,

sehingga menyebabkan rendahnya pembersihan sekresi. Intervensi

seperti nasogastrik, yang secara tradisional dianggap sebagai metode

yang aman memberikan nutrisi bagi pasien yang berisiko aspirasi, telah

terbukti hanya memberikan perlindungan yang terbatas terhadap aspirasi

pneumonia (Kwan dkk, 2008).

Inkontinensia urin, yang sangat umum setelah stroke akut, dapat

menyebabkan maserasi perineum dan kerusakan kulit. Meskipun

hubungan sebab akibat yang jelas antara kateterisasi urin dan urinary

tract infection (UTI), pasien stroke akut umumnya masih dikelola dengan

menggunakan kateter urin, terutama selama periode awal. Kateterisasi

urin tidak hanya mendorong pertumbuhan bakteri, tetapi pembentukan

biofilm yang terbentuk pada bagian dalam kateter juga berfungsi untuk

melindungi bakteri dari pertahanan tubuh dan terapi antibiotik, dan ini

merupakan keuntungan terhadap kelangsungan hidup bakteri. Pada tahun

2007, Kwan dkk menunjukkan bahwa kateterisasi urin meningkatkan

kemungkinan pengembangkan UTI pasca stroke tiga sampai empat kali

(20)

cenderung mengalami PSI termasuk malnutrisi, penggunaan kateter vena

perifer atau pusat, hiperglikemia dan bedrest berkepanjangan (Kwan dkk,

2008).

II.6.5. Diagnosis Infeksi Pada Stroke Fase Akut

Deteksi dan pengobatan dini PSI telah disorot sebagai salah satu

alasan mengapa stroke unit care terorganisir sehingga didapatkan

kelangsungan hidup dan outcome yang lebih baik, dan tentu saja telah

dimasukkan sebagai salah satu elemen utama dalam manajemen stroke

fase akut. Aspek yang paling penting dari manajemen dari PSI adalah

ambang yang rendah untuk menegakkan diagnosis PSI. Namun, dalam

praktek klinis dapat sangat sulit untuk memastikan diagnosis, terutama

karena gejala klinis dan tanda-tanda bisa sulit untuk didapatkan, dan apa

yang mungkin dianggap sebagai temuan klinis yang abnormal dari infeksi

sebenarnya bisa merupakan sequele yang sering setelah stroke (tidak

terkait dengan infeksi). Misalnya, gejala pneumonia biasanya termasuk

batuk produktif dan demam. Namun, setelah stroke, refleks batuk mungkin

ditekan, suara ditransmisikan saluran nafas bagian atas dapat sering

didengar karena sulit menelan dan demam yang sering dapat diamati

tanpa adanya infeksi (Kwan dkk, 2008).

Di Copenhagen Stroke Study, 25% pasien stroke akut mengalami

demam, dan ini hanya 16% telah membuktikan terjadinya infeksi

(21)

pneumonia, seperti crackles inspirasi dan penurunan suara napas, sangat

tidak spesifik dan sering bisa ditemukan pada pasien tanpa pneumonia

(Kwan dkk, 2008).

A. Pneumonia setelah stroke

Diagnosis pneumonia ditentukan oleh :

1. Pemeriksaan paru yang abnormal, infiltrasi paru pada foto thorak

2. Batuk yang produktif dengan sputum purulen, pada kultur

ditemukan mikrobiologi positif ataupun kultur darah (Harms dkk,

2010).

Tabel 1. Kriteria untuk Definisi Klinis Pneumonia berdasarkan Centers for Disease Control

Dikutip dari : Harms H, Halle E, Andreas Meisel A. 2010. Post-Stroke Infections – Diagnosis, Prediction, Prevention And Treatment To Improve Patient Outcomes. European Neurological Review;5(1):39–43

B. Infeksi Saluran Kemih

Diagnosis infeksi saluran kemih ditentukan oleh :

1. Demam ≥ 380

C

(22)

3. Leukosituria > 40/µL ataupun ada bakteriuria ≥ 104

/mL

Tabel 2. Kriteria untuk Infeksi Saluran Kemih berdasarkan Centers for Disease Control

Dikutip dari: Dikutip dari : Harms H, Halle E, Andreas Meisel A. 2010. Post-Stroke Infections – Diagnosis, Prediction, Prevention And Treatment To Improve Patient Outcomes. European Neurological Review;5(1):39–43

C. Infeksi lainnya

Diagnosis ini ditentukan oleh :

1. Suhu ≥ 380 C

2. Leukosit ≥ 11.000/mL

(23)

II.7. HUBUNGAN KADAR LEUKOSIT DAN MONOSIT DENGAN INFEKSI PADA STROKE FASE AKUT

Beberapa tahun ini, infeksi seperti pneumonia telah diketahui

merupakan komplikasi tersering pada stroke iskemik. Namun, studi

terbaru menunjukkan bahwa inflamasi sistemik mungkin juga menjadi

faktor risiko untuk terjadinya stroke iskemik. Secara khusus, leukositosis

awal dan neutrofilia yang ditemukan terkait dengan volume jaringan infark

sebagaimana dinilai dengan diffusion-weighted magnetic resonance

imaging di antara pasien dengan stroke iskemik akut. Limfopenia dan

monositosis yang terjadi pada awal stroke berkorelasi dengan volume

infark dan juga mungkin meningkatkan kerentanan pasien terhadap

infeksi. Selain itu, peningkatan jumlah leukosit dan neutrofil perifer

dilaporkan dikaitkan dengan kejadian stroke iskemik berulang yang lebih

tinggi. Sampai saat ini, tidak ada penelitian yang secara definitive

menunjukkan bahwa tingkat peradangan sistemik pada saat masuk rumah

sakit dikaitkan dengan kelangsungan hidup, derajat kerusakan dan

kecacatan setelah stroke iskemik akut karena ada beberapa perancu

potensial untuk leukositosis (Furlan dkk, 2013).

Infeksi peripheral, yang biasanya mempengaruhi saluran kemih dan

pernapasan pada beberapa hari dan beberapa minggu setelah stroke

iskemik akut, telah dihubungkan dengan tingkat keparahan stroke, usia

yang lebih tua, disfagia dan aspirasi. Disregulasi respon imun setelah

(24)

infeksi pasca stroke. Data dasar peneliti mengkonfirmasi bahwa pasien

dengan peningkatan leukosit pada awal masuk lebih rentan terhadap

infeksi saluran kemih atau pernapasan dan sepsis pada hari-hari

berikutnya setelah stroke iskemik akut. Cross-talk antara sistem saraf

pusat dan sistem kekebalan tubuh dikenal dengan baik dan setidaknya

sebagian dapat menjelaskan penurunan kemampuan sistem imun akibat

stimulus stress yang diikuti perburukan dari sistem saraf pusat termasuk

cedera otak traumatik, cedera tulang belakang traumatik dan stroke.

Sementara mediator inflamasi yang ditemukan pada tingkat rendah pada

jaringan otak yang sehat, insult otak iskemik menginduksi sitokin

proinflamasi, kemokin dan perekrutan sel imun ke dalam sistem saraf

pusat. Sel-sel inflamasi yang telah diaktivasi terlibat dalam perkembangan

sekunder lesi otak dan prognosis kurang menguntungkan setelah insult

dari sistem saraf pusat. Ini adalah penjelasan yang paling mungkin untuk

temuan penelitian Furlan J.C dkk yang sebagian besar menunjukkan

hubungan antara tingginya leukosit dalam darah dan outcome yang lebih

buruk setelah stroke iskemik akut (Furlan dkk, 2013).

Imunitas dan peradangan memainkan peran penting dalam

patogenesis stroke akut. Berbagai elemen dari sistem kekebalan tubuh

yang terlibat dalam semua tahap kaskade iskemik, dari peristiwa

intravaskular akut proses parenkim, menyebabkan kerusakan otak dan

memperbaiki jaringan. Sebagai contoh, ekspresi berbagai sitokin di lokasi

(25)

tumor necrosis factor (TNF) -

dan faktor pertumbuhan. Di perifer setelah stroke, aktivasi sistemik dari

sistem kekebalan tubuh terjadi dengan tingkat peningkatan sitokin seperti

IL-1β, IL-6, TNF- -10, IL-17 dan transforming growth factor (TGF)-sS.

Selain itu, studi sebelumnya telah menyarankan bahwa masuknya sel

kekebalan yang berbeda, termasuk sel-sel T, sel B, monosit, dan sel

dendritik, serta sitokin yang diproduksi di otak dapat memberi efek

imunomodulator pada peradangan paska-iskemik (Kaito dkk, 2013).

Ada konsensus yang menyatakan bahwa stroke dapat

menyebabkan imunosupresi dalam tahap awal, meningkatkan risiko

infeksi dan juga akan memberikan kontribusi untuk mencegah

perkembangan kerusakan otak selanjutnya. Beberapa studi menunjukkan

bahwa monosit beredar sebagai antigen-presenting leukosit, memainkan

peran yang penting dalam inflamasi, diferensiasi sel T, fagositosis, dan

imunitas bawaan. Data eksperimen telah menunjukkan bahwa monosit

perifer akut direkrut ke daerah infark dalam 24 jam pertama iskemia

jaringan berasal dari reservoir limpa dan mungkin bermanfaat untuk

mengurangi stroke yang disebabkan cedera otak. Selain itu, deactivation

fungsional monosit cepat dan berkepanjangan telah diamati setelah stroke

akut pada manusia, yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi human

leukocyte antigen (HLA)-Dr dan rendahnya produksi TNF-

(26)

II.8. HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN DENGAN RISIKO TERJADI INFEKSI PADA STROKE FASE AKUT

Mekanisme tentang sintesa dan peran PCT setelah peradangan

sampai sekarang sama sekali tidak diketahui. Selama infeksi mikroba,

akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan

pelepasan PCT dari seluruh jaringan parenkim dan seluruh sel

terdeferensiasi di seluruh tubuh. Pelepasan PCT pada saat peradangan

diinduksi dalam dua jalur utama yaitu: cara langsung diinduksi oleh toksin

atau lipopolisakarida yang dilepaskan oleh mikroba, dan induksi tidak

langsung melalui respon imun penjamu yang bersifat cell-mediated yang

dimediasi oleh sitokin inflamasi (seperti interleukin-1β [IL-1β], interleukin-6

[IL-6], tumor necrosis factor- -

Procalcitonin meningkatkan prediksi terjadinya SAI dibandingkan

dengan penanda prognostik kuat yang lainnya. Kombinasi biomarker

mungkin lebih baik dari pada pemeriksaan satu biomarker saja sehingga

dapat memprediksi terjadinya infeksi yang lebih akurat dari awal terjadinya

infeksi walaupun klinisnya belum jelas. Biomarker diselidiki untuk

mendeteksi infeksi sebelum tanda-tanda klinis atau paraclinical di

diagnosis lanjut sampai mengarah ke diagnosis infeksi. Dengan demikian,

tanda tersebut dapat membantu dalam stratifikasi risiko dan dapat memilih

pasien berisiko tinggi untuk studi intervensi (Fluri dkk, 2012).

Sebagai biomarker diagnostik pada sepsis bakteri, substansi yang

(27)

infeksi bakteri, konsentrasi PCT serum akan mulai naik sejak 4 jam

setelah onset infeksi, dan mencapai puncaknya 8 atau 24 jam setelahnya.

Kebalikannya, CRP dengan leukosit sebagai pengecualiannya merupakan

biomarker infeksi yang paling sering digunakan di Inggris ditentukan

meningkat secara perlahan dan mencapai puncaknya hingga 36 jam

setelah terjadinya perubahan endotoksin (Kibe dkk, 2011).

II.9. HUBUNGAN KADAR LEUKOSIT DENGAN OUTCOME FUNGSIONAL

Menurut penelitian yang dilakukan Nardi K dkk (2012) menunjukkan

bahwa jumlah leukosit meningkat pada awal fase akut stroke yang

merupakan prediktor independent yang signifikan pada tingkat keparahan

yang jelek pada awal stroke, dan outcome klinis yang buruk setelah 72

jam, dan menimbulkan kecacatan. Untuk pertama kalinya, penelitian ini

mendukung nilai prognostik leukositosis pada fase akut iskemik untuk

outcome awal. Studi ini menjelaskan leukositosis pada awal fase akut

stroke.

Pada penelitian yang dilakukan Nardi K dkk (2012), pada 811

pasien, outcome fungsional menunjukkan interaksi yang kuat dengan level

leukosit pada saat masuk. Sebuah korelasi yang kuat antara jumlah

leukosit yang lebih tinggi dan kecacatan ditemukan dengan menggunakan

Spearman rank correlation (r=0,21; p<001). Korelasi tetap baik dalam

(28)

independen mRS, seperti usia (NS), jenis kelamin (NS), dan NIHSS (p

<0,0001). Berfokus pada berbagai syndrome klinis stroke, pasien total

Anterior Cerebral Stroke (TACS) dengan tingkat leukosit yang lebih tinggi

saat masuk lebih cenderung memiliki outcome fungsional yang jelek. Pada

pasien TACS, korelasi antara tingkat leukosit dan mRS kuat

menggunakan Spearman rank correlation (r=0,27; p=0,003). Sebaliknya,

pasien Partial Anterior Cerebral Stroke (PACS), Posterior Cerebral Stroke

(POCS), dan Lacunar Cerebral Stroke (LACS) tidak memiliki interaksi

yang signifikan antara jumlah leukosit dan mRS (p = NS).

Peng Y dkk (2011) melakukan penelitian dengan sampel yang

besar pada hubungan antara jumlah leukosit saat masuk dan outcome

jangka pendek pada pasien infark serebral akut. Peningkatan jumlah

leukosit pada saat masuk ditemukan secara independen berkaitan

dengan kematian di rumah sakit dan dependency antara pasien dengan

infark serebral akut. Jumlah leukosit lebih tinggi pada kasus kematian dari

pada kasus dependency, dan lebih tinggi dalam kematian dan kasus

dependency dari kasus non-dependent. Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa jumlah leukosit saat masuk mungkin memprediksi terjadinya

outcome yang buruk di jangka pendek antara pasien infark serebral akut.

Pada 763 pasien stroke yang tidak diseleksi, datang dalam waktu

24 jam dari onset, Kammersgaard dkk, secara prospektif mempelajari

hubungan antara jumlah leukosit dan outcome klinis. Temuan mereka

(29)

keparahan stroke tapi tidak dengan outcome, jumlah leukosit saat masuk

tampaknya hanya menggambarkan keparahan awal stroke dan biasanya

ini merupakan respon stress tanpa pengaruh independen pada outcome.

Studi Kazmierski dkk (2004) menunjukkan bahwa peningkatan

jumlah leukosit dalam waktu 12 jam sejak onset stroke iskemik merupakan

faktor prognostik yang kuat untuk mortalitas di rumah sakit pada 400

penderita stroke akut.

Di Northern Manhattan Stroke Study (Elkind dkk, 2004), 655 pasien

dengan stroke iskemik dilakukan uji prospektif selama 5 tahun untuk

mengetahui terjadinya stroke berulang, infark miokard atau kematian.

Temuan mereka menunjukkan bahwa jumlah leukosit tinggi pada saat

stroke iskemik memprediksi terjadinya stroke berulang, infark miokard

atau kematian.

Studi T Uraj dkk (2006), menunjukkan bahwa jumlah leukosit

adalah prediktor independen dari kasus fatalitas selama satu tahun pada

900 pasien dengan stroke iskemik yang datang ke rumah sakit dalam

waktu 24 jam setelah timbul gejala.

Dalam penelitian Agnihotri dkk (2011), jumlah leukosit perifer

secara independen memprediksi outcome fungsional yang buruk dalam

pengurangan Modified Barthel Index (MBI) pada 3 bulan. Hal ini

menunjukkan bahwa aktivasi sistem kekebalan tubuh perifer dapat

meningkatkan cedera setelah ICH. Namun, perubahan jumlah leukosit

(30)

terpanjang yang berkorelasi dengan biomarker sampai saat ini pada

pasien ICH.

II.10. HUBUNGAN KADAR MONOSIT DENGAN OUTCOME FUNGSIONAL

Dalam studi klinis, total jumlah leukosit perifer telah dikaitkan

dengan volume awal perdarahan, awal kerusakan neurologis, dan

outcome fungsional setelah Intracerebral hemorrhage (ICH). Neutrofil dan

monosit adalah leukosit yang dominan, neutrofil perifer dan infiltrasi

monosit telah ditemukan berkontribusi terhadap secondary injury pada

percobaan yang menggunakan hewan yang mengalami ICH. Monosit

dalam aliran darah memainkan peran utama dalam patogenesis

aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Peredaran monosit juga

mengungkapkan sejumlah besar faktor jaringan berinteraksi dengan

trombosit dan memodulasi trombosis dan hemostasis. Sebuah studi klinis

terbaru menemukan bahwa peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR4 di

monosit dikaitkan dengan outcome yang buruk setelah ICH (Adeoye dkk,

2014).

Jika tersedia biomarker yang langsung bisa digunakan untuk

menghitung jumlah monosit dan neutrofil perifer, yang dapat digunakan

sebagai prediktif yang kuat terhadap luasnya perdarahan, edema serebral,

dan/atau outcome pada ICH, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan dalam

(31)

jumlah leukosit. Dalam penelitian Adeoye dkk, ditemukan hubungan

leukosit perifer, monosit dan jumlah neutrofil dengan baseline volume ICH

dan mengalami perburukan dalam 30 hari. Penelitian Adeoye dkk,

berhipotesis bahwa jumlah leukosit, absolute monocyte count (AMC) dan

absolute neutrophil count (ANC) pada presentasi dan perubahan monosit

dan neutrofil yang dihitung dari presentasi sampai 24 jam pertama

dikaitkan dengan menyajikan volume ICH dan mengalami perburukan

dalam 30 hari (Adeoye dkk, 2014).

Hal ini menunjukkan bahwa hubungan jumlah monosit dengan

kasus kematian mungkin karena kontribusi monosit pada secondary injury

setelah ICH. Temuan baru ini dapat meningkatkan pemahaman tentang

patofisiologi dan klinis ICH dan menyebabkan penyelidikan lebih lanjut jika

dikonfirmasi dalam sebuah set data independen (Adeoye dkk, 2014).

Secondary injury setelah ICH dapat dihasilkan dari ekspansi

hematoma atau edema serebral. Meskipun Adeoye dkk tidak menemukan

hubungan jumlah monosit dengan ekspansi hematoma dalam laporan ini,

studi prospektif yang cukup kuat diperlukan untuk menyelidiki hubungan

jumlah monosit dan kasus kematian ICH. Terkecuali ada hubungan yang

jelas antara jumlah monosit dengan ekspansi hematoma dan/atau edema

serebral, mekanisme monosit dapat berkontribusi untuk outcome yang

jelek dan kasus yang fatal setelah ICH termasuk peningkatan perlekatan

monosit pada endotel pembuluh darah, sehingga merusak sawar darah

(32)

chemoattractant monosit yang diekspresikan dalam pembuluh darah otak

dan dikenal untuk memfasilitasi kematian neuronal dan mencetuskan

terjadinya cedera pembuluh darah setelah berikatan dengan monosit dan

total ekspresi dari TLRs 2 dan 4 (antara molekul pro-inflamasi lainnya)

berkontribusi terhadap edema serebral dan outcome yang buruk (Adeoye

dkk, 2014).

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Adeoye dkk; menemukan

bahwa jumlah leukosit dan neutrofil awal yang lebih tinggi berhubungan

secara signifikan dengan volume ICH awal yang lebih besar. Berbeda

dengan laporan sebelumnya, ini tidak independen terkait dengan outcome

setelah disesuaikan dengan jumlah monosit. Adeoye dkk tidak

menemukan hubungan antara perubahan awal leukosit, neutrofil atau

jumlah monosit dan volume ICH atau kasus kematian. Namun, hasil ini

mungkin karena ukuran sampel yang kecil, dan data untuk pemeriksaan

laboratorium ulang tidak tersedia, hanya data awal yang tersedia,

sehingga tidak ada data untuk perbandingan (Adeoye dkk, 2014).

II.11. HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN DENGAN OUTCOME FUNGSIONAL

Miyakis dkk (2004) pada studi percontohan pada nilai prognostik

PCT pada stroke akut. Kadar serum serial tidak berkorelasi dengan

(33)

Procalcitonin telah digunakan dalam guidline terapi penggunaan

antibiotik, tetapi tidak pada stroke akut. Pada pasien di ruang gawat

darurat dengan gejala infeksi saluran pernapasan bawah, PCT diukur dan

hanya pasien dengan konsentrasi PCT >0,25 ng/mL atau >0,5 ng/mL

yang diberikan terapi antibiotik (Christ-Crain dkk, 2004).

Dengan latar belakang terganggunya fungsi kekebalan tubuh pada

pasien stroke disatu sisi dan adanya respon inflamasi sistemik setelah

stroke pada sisi lainnya, hal ini benar-benar menjelaskan apakah

konsentrasi PCT berubah pada pasien dengan infeksi pasca stroke. Pada

penelitian dari tingkat PCT serum pada pasien stroke akut tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara hari rawat inap dan hari

(34)

II.12. KERANGKA TEORI

STROKE AKUT

Misbach dkk, 2011: glukosa & O2 (-) gangguan

homeostasis kematian sel secara tidak langsung

MIsbach dkk, 2011: stroke iskemik aliran darah ke otak hipoksemia kematian sel-sel otak.

KERUSAKAN JARINGAN

Amantea dkk, 2008: daerah yang mengalami kerusakan inflamasi aktivasi cepat sel mikroglia & proses infiltrasi dari sel netrofil serta makrofag

Misbach dkk, 2011: inflamasi dimulai beberapa jam sesudah awitan iskemik ekspresi adhesi molekul di endotel pembuluh darah & leukosit di sirkulasi.

Caplan , 2009: sitokin komponen kunci pada aktivasi dan pengerahan leukosit di SSP.

Dirnagl dkk, 2005: inflamasi neutrofil teraktivasi & melakukan perlekatan pada endotel dinding pembuluh darah & akhirnya parenkim otak yang mengalami iskemik. Masuknya neutrofil akan diikuti oleh makrofag & monosit.

Watenberg dkk, 2011: leukosit, CRP, edema serebal & outcome yang buruk

Chamorro et inflamasi & makrofag akan menyerbu & memfagositosis sisa-sisa sel.

PROSES INFLAMASI

Amantea dkk,2005: inflamasi aktivasi cepat sel mikroglia & proses infiltrasi dr sel neutrofil serta makrofag daerah yang mengalami kerusakan

Suzuki dkk : terdpt hubungan linear antara jumlah leukosit & volume hematoma.

(35)

II.13. KERANGKA KONSEP

STROKE AKUT

KADAR LEUKOSIT, MONOSIT DAN PROCALCITONIN

INFEKSI PADA STROKE FASE AKUT

Gambar

Tabel 1. Kriteria untuk Definisi Klinis Pneumonia berdasarkan Centers for Disease Control
Tabel 2. Kriteria untuk Infeksi Saluran Kemih berdasarkan Centers for  Disease Control

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah tersebut lebih rendah dari pada jumlah penduduk miskin di tiga kabupaten lain di Madura yang notabene merupakan daerah penghasil migas, seperti Sumenep,

Haloho,Manna G.D., Johannes Tarigan, 2015, “ Perbandingan Kekuatan Balok Beton tanpa Perkuatan dengan Balok Beton Menggunakan Pelat Baja yang Diangkur ”, Medan.. ACI

Pada radix pulmonis dexter bronchus lobus superior berada di sebelah cranial, ramus dexter arteria pulmonalis berada di sebelah caudo-ventralnya, bronchus lobus medius dan

Penetapan status daerah khusus ibukota negara dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak warga, percepatan

Di ruang rapat Universitas Sanata Dharma, dosen sedang memberikan bolpen dan buku tulis untuk mengikuti acara pendampingan tentang latihan kepemimpinan, sesuai jadual bimbingan

Terlepas Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan bahwa ritual slametan kelahiran seperti memperingati umur

STUDI TENTANG PERAN KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA (KAMMI) DALAM MEREVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Setelah dilakukan pemasangan pathok jumat mendatang /maka pada tanggal 15 januari 2009 / pembukaan pasar malam perayaan sekaten akan dilakukan dan sejak senin tanggal Senin