BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H.
Adam Malik Medan dari tanggal 24 Juni 2015 s/d 31 Oktober 2016.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit.
Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non
random secara konsekutif.
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan CT sken kepala.
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap
terpadu (Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik
III.2.3. Besar Sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus hypothesis testing-one
population mean (Lameshow dkk,1990)
Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 48 orang.
III.2.4. Kriteria Inklusi
1. Semua penderita stroke akut dan telah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan CT scan kepala.
2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.
III.2.5. Kriteria Eksklusi
1. Penderita stroke dengan infeksi pada saat masuk rumah sakit.
2. Penderita stroke yang sudah menggunakan antibiotik pada saat
3. Penderita stroke rekuren.
III.3. BATASAN OPERASIONAL
1. Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan
oleh iskemik atau perdarahan berlangsung ≥24 jam atau
meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk
diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
2. Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan
infark fokal serebri, spinal dan infark retinal (Sacco dkk, 2013).
3. Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang
dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak
atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco
dkk, 2013).
4. Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan
stroke yang berlangsung sampai 1 minggu (Misbach,1999).
5. Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang merupakan
kumpulan unit yang bergerak. Sistem daya tahan tubuh ini adalah
kemampuan tubuh untuk bertahan dan menyingkirkan material
yang berbahaya dan sel-sel abnormal dalam tubuh. Jumlah normal
sel darah putih adalah 4000-11.000/µl darah (Ganong, 2003). Pada
penelitian ini akan ditetapkan:
- Tinggi apabila kadar leukosit >11000/µl
6. Monosit adalah leukosit fagositik yang juga berperan penting
dalam pertahanan terhadap organisme patogenik dan antigen.
Monosit membentuk 5 sampai 8% dari leukosit di dalam darah
(Sacher dkk, 2002). Pada penelitian ini akan ditetapkan:
- Rendah apabila kadar monosit <5%
- Normal apabila kadar leukosit 5-8%
- Tinggi apabila kadar leukosit >8%
7. Procalcitonin adalah precursor peptida dari hormon calcitonin dan
disintesis secara fisiologis oleh sel tyroid . Pada kondisi normal nilai
procalcitonin sangat rendah (0.1 ng/ml) (Kibe dkk, 2011). Pada
penelitian ini akan ditetapkan:
- Normal apabila kadar procalcitonin ≤0,1 ng/ml
- Tinggi apabila kadar procalcitonin >0,1 ng/ml
8. Outcome adalah impairments, disabilitas dan handicaps sebagai
berikut (Misbach, 2011): a. Impairments adalah suatu kehilangan
atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisiologis
anatomis. b. Disabilitas adalah hambatan atau ketidakmampuan
akibat impairments untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang
waktu tertentu dengan cara atau yang dianggap normal untuk
orang sehat. c. Handicaps adalah gangguan yang dialami oleh
seseorang terbatas dalam melakukan suatu perannya sebagai
manusia normal.
Komponen outcome pada penelitian ini diukur menggunakan skala
mRS, dihitung pada hari ke empat belas (H-14).
9. Infeksi adalah kondisi lokal atau sistemik akibat reaksi perlawanan
terhadap adanya gen infeksius ataupun toksinnya yang muncul
sebelum pasien dirawat di tempat pelayanan kesehatan (CDC
Surveillance Definitions for Spesific Types of Infections, 2013).
Infeksi didiagnosis dengan adanya demam (T ≥ 380C) dan
peningkatan penanda nonspesifik inflamasi sistemik (leukosit ≥
11.000/mm3 , LED > 20 mm/jam dan CRP ≥ 10 mg/L (Popovic dkk,
2013).
III.4. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode
pengumpulan data secara potong lintang dengan sumber data primer
diperoleh dari semua penderita stroke akut yang dirawat di bangsal
Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
a. Studi observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran kadar
leukosit, monosit dan procalcitonin dengan risiko terjadinya infeksi
b. Studi korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar
leukosit, monosit dan procalcitonin dengan risiko terjadi infeksi
pada stroke fase akut dan outcome fungsional.
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN
III.5.1. Instrumen
- Pemeriksaan laboratorium :
Leukosit = menggunakan alat hematology analyzer merk Sysmex
S4000
Monosit = menggunakan alat hematology analyzer merk Sysmex
S4000
Procalcitonin = menggunakan alat Cobass 6000
- CT sken kepala, merk Hitachi seri W 450
- Penilaian Outcome dengan mRS.
Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala rating outcome
global dengan nilai dari 0 (tidak ada gangguan) hingga 5 (hanya
terbaring ditempat tidur, inkontinensia, membutuhkan perawatan
dan perhatian menetap) dan 6 (outcome fatal) (Weimar dkk, 2002).
Bila mRS 1-3, dikelompokkan sebagai outcome baik sedangkan
mRS 4-6 dikelompokkan sebagai outcome jelek (Painthakar &
Dabhi, 2003).
Semua penderita stroke akut, yang telah ditegakkan dengan
pemeriksaan CT sken kepala yang dirawat di Bangsal Neurologi Rindu A4
RSUP H. Adam Malik medan yang diambil secara konsekutif dan yang
memenuhi kriteria inklusi, diambil darah venanya untuk dikirim ke
Laboratorium Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 5ml
setelah penderita datang ke RSUP H. Adam Malik Medan untuk
pemeriksaan kadar leukosit, monosit dan procalcitonin, dan kemudian
diamati apakah terjadi infeksi atau tidak pada pasien tersebut. Penilaian
III.5.3. Kerangka Operasional
III.5.4. Variabel yang diamati
Variable bebas = kadar leukosit, monosit, procalcitonin Variable terikat = infeksi
outcome
III.5.5. Analisa statistik
Penderita Stroke Akut
Anamnesis Pemeriksaan neurologis
Head Ct scan
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Surat Persetujuan Ikut Penelitian
Pemeriksaan kadar leukosit, monosit dan procalcitonin
Diamati apakah terjadi infeksi atau tidak, dan pada hari ke-14 dinilai
outcome fungsional
Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program computer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service). Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :
a. Untuk melihat hubungan kadar leukosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut menggunakan uji Somers’d.
b. Untuk melihat hubungan kadar monosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akutmenggunakan uji Somers’d.
c. Untuk melihat hubungan kadar procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut menggunakan uji Somers’d.
d. Untuk melihat hubungan kadar leukosit pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional menggunakan uji Somers’d.
e. Untuk melihat hubungan kadar monosit pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional menggunakan uji Somers’d.
f. Untuk melihat hubungan kadar procalcitonin pada stroke fase akut dengan outcome fungsional menggunakan uji Somers’d.
g. Untuk mengetahui risiko leukosit, monosit, dan procalcitonin dengan terjadinya infeksi pada penderita stroke fase akut menggunakan uji regresi logistik.
h. Untuk mengetahui karakteristik demografi penderita stroke akut di RSUP H Adam Malik Medan menggunakan analisis deskriptif.
III.5.6. Jadwal Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015 s/d 30 Oktober
2016.
Pengumpulan data : 24 Juni 2015 s/d 31 Oktober 2016
Analisis data : 01 November 2016 s/d 15 November 2016
Penyusunan laporan : 16 November 2016 s/d 10 Desember 2016
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. HASIL PENELITIAN
IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Dari keseluruhan pasien stroke fase akut yang di ruang rawat inap
Bangsal Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Juni 2015
hingga Oktober 2016, terdapat 50 pasien stroke akut yang memenuhi
kriteri inklusi dan eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.
Dari 50 orang pasien stroke akut yang diikutsertakan dalam
penelitian didapatkan rerata usia adalah 57,20 dengan standard deviasi
7,70 tahun dengan rentang usia 40 sampai 73 tahun. Jenis kelamin pada
penelitian terbanyak adalah 27 orang laki-laki (54,0%) dan 23 orang
(46,0%) adalah perempuan.
Dari 50 orang subjek penelitian, suku terbanyak adalah suku Batak
yaitu 23 orang (46,0%) dan yang paling sedikit adalah suku Aceh yaitu 2
orang (4,0%). Berdasarkan pekerjaan subjek penelitian, pekerjaan
pegawai negeri sipil dan ibu rumah tangga paling banyak dijumpai yaitu 16
orang (32,0%) dan petani paling sedikit dijumpai yaitu 7 orang (14,0%).
Berdasarkan pendidikan subjek penelitian, pendidikan Sekolah Menengah
Umum paling banyak dijumpai yaitu 27 orang (54,0%) dan Sekolah Dasar
Dari seluruh subjek penelitian, jenis stroke yang paling banyak
dijumpai adalah stroke iskemik yaitu 41 orang (82,0%) dan stroke
hemoragik paling sedikit dijumpai yaitu 9 orang (18,0%). Pada penelitian
ini rerata kadar leukosit 11.256/mm3 dengan standard deviasi 2.677,
rerata kadar monosit 9,01% dengan standard deviasi 9,80 dan rerata
kadar procalcitonin 0,43ng/mL dengan standard deviasi 0,79. Penderita
yang terinfeksi sebanyak 28 orang (56,0%) sedangkan penderita yang
tidak terinfeksi sebanyak 22 orang (44,0%). Dan pada penelitian ini
dijumpai penderita stroke fase akut yang memiliki outcome fungsional
yang baik sebanyak 21 orang (42,0%) dan 29 orang (58,0%) yang
memiliki outcome fungsional yang buruk.
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar leukosit penderita
stroke fase akut yang mengalami infeksi 11.718/mm3 dengan standard
deviasi 2.704, rerata leukosit yang tidak mengalami infeksi 10.668/mm3
dengan standard deviasi 2.584, rerata kadar monosit penderita stroke fase
akut yang mengalami infeksi 7,54% dengan standard deviasi 1,84, dan
yang tidak mengalami infeksi 10,87 % dengan standard deviasi 14,60, dan
rerata kadar procalcitonin yang mengalami infeksi 0,64ng/mL dengan
standard deviasi 0,98 dan rerata procalcitonin yang tidak mengalami
infeksi 0,16ng/mL dengan standard deviasi 0,30. Dan didapatkan rerata
kadar leukosit pada penderita stroke fase akut yang memiliki outcome baik
9.757/mm3 dengan standard deviasi 2.431, rerata kadar leukosit yang
rerata kadar monosit yang memiliki outcome yang baik 10,86% dengan
standard deviasi 15,39, rerata kadar monosit yang memiliki outcome buruk
7,77% dengan standard deviasi 2,04, dan rerata kadar procalcitonin pada
penderita stroke fase akut yang memiliki outcome baik 0,18ng/mL dengan
standard deviasi 0,23, dan rerata kadar procalcitonin yang memiliki
outcome buruk 0,59 ng/mL dengan standard deviasi 0,98.
Data lengkap mengenai karakteristik subjek penelitian ini disajikan
pada tabel 3.
IV.1.2. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi pada
Stroke Fase Akut
Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,
didapatkan 9 orang (39,1%) yang memiliki kadar leukosit normal terjadi
infeksi, dan 14 orang (60,9%) memiliki kadar leukosit normal tidak terjadi
infeksi. Berdasarkan kadar leukosit yang tinggi, terdapat 19 orang (70,4%)
yang terjadi infeksi dan 8 orang (29,6%) yang tidak terjadi infeksi.
Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit dengan terjadi
infeksi pada stroke fase akut (r=0,315; p=0,020), dengan kekuatan
Tidak
Outcome
Baik Buruk
21 29
42,0 58,0
Tabel 4. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi
pada Stroke Fase Akut
Infeksi r p
Ya Tidak
Leukosit
Normal 09 (39,1%) 14 (60,9%)
0,315 0,020 Tinggi 19 (70,4%) 08 (29,6%)
Uji Somers’d; p <0,05
IV.1.3. Hubungan Antara Kadar Monosit dengan Terjadi Infeksi pada
Stroke Fase Akut
Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,
didapatkan 12 orang (46,2%) yang memiliki kadar monosit normal yang
terjadi infeksi, dan 14 orang (53,8%) memiliki kadar monosit normal tidak
terjadi infeksi. Berdasarkan kadar monosit tinggi, terdapat 16 orang
(66,7%) terjadi infeksi dan 8 orang (33,3%) tidak terjadi infeksi. Terdapat
hubungan yang tidak signifikan antara kadar monosit dengan terjadi
infeksi pada stroke fase akut (r=0,208; p=0,135), dengan kekuatan
IV.1.4. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Terjadi Infeksi
pada Stroke Fase Akut
Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,
didapatkan 6 orang (25%) yang memiliki kadar procalcitonin normal dan
terjadi infeksi, dan 18 orang (75%) memiliki kadar procalcitonin normal
tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar procalcitonin yang tinggi, terdapat
22 orang (84,6%) yang terjadi infeksi dan 4 orang (15,4%) yang tidak
terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut (r=0,604;
p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat dengan menggunakan uji
Somers’d (tabel 6).
Tabel 5. Hubungan Antara Kadar Monosit dengan Terjadi Infeksi pada
Stroke Fase Akut
Infeksi
r p
Ya Tidak
Monosit
Normal 12 (46,2%) 14 (53,8%)
0,208 0,135 Tinggi 16 (66,7%) 08 (33,3%)
Uji Somers’d; p <0,05
Tabel 6. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Terjadi Infeksi
pada Stroke Fase Akut
Infeksi
r p
Procalcitonin
Normal 06 (25,0%) 18 (75,0%)
0,604 0,000 Tinggi 22 (84,6%) 04 (15,4%)
Uji Somers’d; p <0,05
IV.1.5. Hubungan Antara Kadar Leukosit pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,
didapatkan 18 orang (78,3%) yang memiliki kadar leukosit normal dan
outcome fungsional baik, dan 5 orang (21,7%) memiliki kadar leukosit
normal dan outcome fungsional buruk. Berdasarkan kadar leukosit yang
tinggi, terdapat 3 orang (11,1%) dengan outcome fungsional baik dan 24
orang (88,9%) dengan outcome fungsional buruk. Terdapat hubungan
yang signifikan antara kadar leukosit pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional (r=-0,685 p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat
dengan menggunakan uji Somers’d (tabel 7).
Tabel 7. Hubungan Antara Kadar Leukosit pada Stroke Fase Akut dengan Outcome Fungsional
Outcome
r p
Baik Buruk
Leukosit
Normal 18 (78,3%) 5 (21,7%)
-0,685 0,000 Tinggi 3 (11,1%) 24 (88,9%)
IV.1.6. Hubungan Antara Kadar Monosit pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,
didapatkan 14 orang (53,8%) yang memiliki kadar monosit normal dan
outcome fungsional baik, dan 12 orang (46,2%) memiliki kadar monosit
normal dan outcome fungsional buruk. Berdasarkan kadar monosit yang
tinggi, terdapat 7 orang (29,2%) dengan outcome fungsional baik dan 17
orang (70,8%) dengan outcome fungsional buruk. Terdapat hubungan
yang tidak signifikan antara kadar monosit pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional (r=-0,253; p=0,067), dengan kekuatan korelasi lemah
dengan menggunakan uji Somers’d (tabel 8).
Tabel 8. Hubungan Antara Kadar Monosit pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Outcome
r p
Baik Buruk
Monosit
Normal 14 (53,8%) 12 (46,2%)
-0,253 0,067 Tinggi 7 (29,2%) 17 (70,8%)
Uji Somers’d; p <0,05
IV.1.7. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,
dan outcome fungsional baik, dan 11 orang (45,8%) memiliki kadar
procalcitonin normal dan outcome fungsional buruk. Berdasarkan kadar
procalcitonin yang tinggi, terdapat 8 orang (30,8%) dengan outcome
fungsional baik dan 18 orang (69,2%) dengan outcome fungsional buruk.
Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar procalcitonin pada
stroke fase akut dengan outcome fungsional (r=-0,240; p=0,086), dengan
kekuatan korelasi lemah dengan menggunakan uji Somers’d (tabel 9).
Tabel 9. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Outcome
Fungsional
Outcome
r p
Baik Buruk
Procalcitonin
Normal 13
(54,2%)
11
(45,8%)
-0,240 0,086
Tinggi 08
(30,8%)
18
(69,2%)
Uji Somers’d; p <0,05
IV.1.8. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan
Terjadinya Infeksi Pada Stroke Fase Akut
Berdasarkan data dari subek penelitian didapatkan, pasien stroke
fase akut dengan kadar leukosit tinggi pada saat masuk rumah sakit
kemungkinan 3,694 kali untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan
saat masuk rumah sakit kemungkinan 2,333 kali untuk mengalami terjadi
infeksi dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar monosit normal
pada saat masuk rumah sakit. Sedangkan pasien stroke fase akut dengan
kadar procalcitonin tinggi pada saat masuk rumah sakit kemungkinan
16,500 kali untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan dengan pasien
yang memiliki kadar procalcitonin normal pada saat masuk rumah sakit
(tabel 10).
Tabel 10. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan
Terjadi Infeksi pada Stroke Fase Akut
IV.1.9. Perbandingan Risiko Antara Leukosit, Monosit, dan
Procalcitonin dengan Terjadinya Infeksi pada Stroke Fase Akut
Berdasarkan data dari subjek penelitian didapatkan, risiko terbesar
terjadinya infeksi pada stroke fase akut yang secara statistik signifikan
adalah pada variabel procalcitonin (OR 0,022; CI 95% 0,002-0,205),
dibandingkan leukosit dan monosit (OR 0,073; CI 95% 0,008-0,654, OR
1,174; CI 95% 0,244-5,644) (tabel 11).
Tabel 11. Perbandingan Risiko Antara Leukosit, Monosit, dan
Procalcitonin dengan Terjadinya Infeksi pada Stroke Fase Akut
p OR CI 95%
Leukosit 0,019 0,073 0,008-0,654
Monosit 0,841 1,174 0,244-5,644
Procalcitonin 0,001 0,022 0,002-0,205
Uji Multivariat Regresi Logistik
IV.2. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan tujuan
untuk melihat hubungan antara kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin
dengan risiko terjadi infeksi pada stroke fase akut dan outcome
fungsional.
pemeriksaan Head Ct-scan. Bagi pasien yang memenuhi kriteria inklusi,
dilakukan pemeriksaan leukosit, monosit, dan procalcitonin yang dilakukan
pada hari pertama saat pasien masuk rumah sakit.
IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Pada penelitian ini subjek penelitian adalah sebanyak 50 orang,
dimana didapati rerata usia adalah 57,2 tahun dengan standard deviasi
7,7 tahun dengan rentang usia 40 sampai 73 tahun. Studi dari Sen dkk
(2007) menemukan bahwa rerata usia penderita stroke iskemik adalah
64,6 tahun dengan standard deviasi 11,9 tahun. Studi Hertog dkk (2009)
menemukan bahwa rerata usia penderita stroke adalah 69,1 tahun
dengan standard deviasi 13,4 tahun. Studi dari Popovic dkk (2013)
menemukan rerata usia stroke adalah sebesar 58,4 tahun dengan
standard deviasi 15,5 tahun. Studi yang dilakukan Adeoye dkk (2014)
menemukan rerata usia penderita stroke adalah 67,3 tahun dengan
standard deviasi 14,8 tahun.
Umur dan jenis kelamin merupakan dua di antara faktor risiko
stroke yang tidak dapat dimodifikasi. Pada penelitian ini didapatkan rerata
usia adalah 57,2 tahun dengan standard deviasi 7,7 tahun dengan rentang
usia 40 sampai 73 tahun.Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan
Alchuriyah dan Wahjuni (2016), di Rumah Sakit Brawijaya Surabaya pada
tahun 2012-2013 sudah mulai terdapat penderita stroke di usia kurang
15 penderita, dengan berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi
terjadinya stroke pada usia muda. Pada kaum muda, serangan stroke
sangat berkaitan dengan gaya hidup serta temperamen yang cenderung
ambisius. Gaya hidup kaum muda yang disinyalir memicu stroke adalah
makanan-makanan siap saji, minuman beralkohol, kerja berlebihan,
kurang berolahraga dan stress, penggunaan obat perangsang, narkoba
serta kebiasaan merokok, mengkonsumsi obat perangsang dan narkoba
membuat aliran darah menjadi meningkat. Sedangkan kebiasaan merokok
menyebabkan penumpukan kotoran di bagian dalam pembuluh darah atau
aterosklerosis.
Jenis kelamin pada penelitian terbanyak adalah 27 orang laki-laki
(54,0%) dan 23 orang (46,0%) adalah perempuan. Studi dari Wartenberg
dkk (2011) penelitian pada pasien stroke iskemik menemukan dari 94
orang subjek penelitian terdapat 43 orang (45,7%) adalah laki-laki dan 51
orang (54,3%) adalah wanita. Studi Iranmanesh (2012), pada 200 pasien
stroke iskemik akut didapatkan 54% laki-laki dan 46% wanita. Sedangkan
studi Boehme dkk (2014) mendapatkan 56,9% laki-laki mengalami stroke
dibanding 42,1% wanita. Mayoritas penderita stroke berjenis kelamin
laki-laki tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Burhanudin
dkk (2012), bahwa stroke banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki 95%
sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak pasien yang berjenis
Menurut Farida & Amelia (2009), penyakit stroke sering dianggap
sebagai penyakit monopoli laki-laki, karena laki-laki berpotensi terkena
stroke dikarenakan perempuan memiliki hormon estrogen yang berperan
dalam mempertahankan kekebalan tubuh sampai menopause dan
sebagai proteksi atau pelindung pada proses aterosklerosis. Namun,
setelah perempuan tersebut mengalami menopouse, besar risiko terkena
stroke antara laki-laki dan perempuan menjadi sama.
Dari seluruh subjek penelitian, dijumpai penderita yang terinfeksi
sebanyak 28 orang (56,0%) sedangkan penderita yang tidak terinfeksi
sebanyak 22 orang (44,0%). Pada studi Wartenberg dkk (2011), dari 94
pasien stroke terdapat 42% mengalami infeksi dan 58% tidak mengalami
infeksi. Studi Fluri dkk (2012) didapatkan dari 383 subjek penelitian yang
ikut dalam penelitian dijumpai 66 orang yang terinfeksi. Terdapat dugaan
bahwa terjadinya infeksi pada stroke akut berhubungan dengan stroke
induced immunological mechanism. Dihipotesakan bahwa sistem saraf
pusat memodulasi aktivitas sistem imun melalui pathways humoral dan
neural yang kompleks, yang melibatkan hypothalamic pituitary adrenal
(HPA) axis, nervus vagus dan sistem saraf simpatis (Chamorro dkk,
2007).
Pada penelitian ini dijumpai penderita stroke fase akut yang
memiliki outcome fungsional yang baik sebanyak 21 orang (42,0%) dan 29
Pada penelitian ini rerata kadar leukosit 11.256/mm3 dengan
standard deviasi 2.677, rerata kadar monosit 9,01% dengan standard
deviasi 9,80 dan rerata kadar procalcitonin 0,43ng/mL dengan standard
deviasi 0,79. Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar leukosit penderita
stroke fase akut yang mengalami infeksi 11.718/mm3 dengan standard
deviasi 2.704, yang tidak mengalami infeksi 10.668/mm3 dengan standard
deviasi 2.584, rerata kadar monosit penderita stroke fase akut yang
mengalami infeksi 7,55% dengan standard deviasi 1,84, dan yang tidak
mengalami infeksi 10,88% dengan standard deviasi 14,60, dan rerata
kadar procalcitonin yang mengalami infeksi 0,64ng/L dengan standard
deviasi 0,98, yang tidak mengalami infeksi 0,16ng/L dengan standard
deviasi 0,30. Dan didapatkan rerata kadar leukosit pada penderita stroke
fase akut yang memiliki outcome baik 9.757/mm3 dengan standard deviasi
2.431, rerata kadar leukosit yang memiliki outcome buruk 12.255/mm3
dengan standard deviasi 2.378, rerata kadar monosit yang memiliki
outcome yang baik 10,89% dengan standard deviasi 15,39, rerata kadar
monosit yang memiliki outcome buruk 7,77% dengan standard deviasi
2,04, dan rerata kadar procalcitonin pada penderita stroke fase akut yang
memiliki outcome baik 0,18ng/mL dengan standard deviasi 0,23, dan
rerata kadar procalcitonin yang memiliki outcome buruk 0,59ng/mL
dengan standard deviasi 0,98.
Pada studi Nikanfar dkk (2012) didapatkan rerata kadar leukosit
Studi Zeller dkk (2005) didapati rerata kadar leukosit pada saat masuk
rumah sakit 9.700/mm3 dengan standard deviasi 3.700. Studi Chamorro
dkk (2006) didapatkan median kadar leukosit saat masuk rumah sakit
pada sampel mengalami infeksi terkait stroke 11.100/mm3 (8.300-14.300)
dan median kadar leukosit sampel yang tidak mengalami infeksi terkait
stroke 7.900/mm3 (6.500-9.600). Sedangkan median kadar monosit saat
masuk rumah sakit pada sampel mengalami infeksi terkait stroke 0,7%
(0,5-0,9) dan median kadar monosit sampel yang tidak mengalami infeksi
terkait stroke 0,5% (0,3-0,7). Studi Peng dkk (2011) didapatkan rerata
kadar leukosit dengan outcome baik 9.170/mm3 dengan standard deviasi
3.270, dan rerata kadar leukosit dengan outcome buruk 12.160/mm3
dengan standard deviasi 5.180.
IV.2.2. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi pada
Stroke Fase Akut
Dari penelitian ini dapatkan 9 orang (39,1%) yang memiliki kadar
leukosit normal dan terjadi infeksi, dan 14 orang (60,9%) memiliki kadar
leukosit normal tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar leukosit yang
tinggi, terdapat 19 orang (70,4%) yang terjadi infeksi dan 8 orang (29,6%)
yang tidak terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
leukosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut (r=0,315; p=0,020),
Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan Fluri dkk (2012)
menemukan bahwa dari 383 pasien stroke, 66 (17,2%) berkembang
mengalami infeksi di dalam 5 hari setelah onset stroke. Leukosit, CRP,
copeptin dan PCT merupakan predictor independent pada infeksi
pneumonia, dan infeksi saluran kemih yang berkembang paling tidak 24
jam setelah pengukuran. Dari analisa univariat kadar leukosit yang tinggi
pada saat masuk rumah sakit 3,35 kali berisiko terjadi infeksi (OR 3,35; CI
95% 2,14-5,23).
Pada studi yang dilakukan Furlan dkk (2013), didapatkan pasien
dengan kadar leukosit tinggi pada saat masuk rumah sakit lebih rentan
terhadap infeksi saluran kemih atau pernafasan dan sepsis pada hari-hari
berikutnya setelah stroke.
Menurut Emsley dkk (2002), adanya peningkatan leukosit
dihubungkan dengan risiko tinggi untuk serebral infark dan jumlah neutrofil
digambarkan signifikan dengan hubungan kejadian stroke. Pada pasien
dengan stroke iskemik akut dijumpai leukosit meningkat. Uptake leukosit
dapat meningkat pada area infark dan menginfiltrasi pada daerah yang
ada defek perfusinya.
Disregulasi respon imun pada stroke fase akut telah dilaporkan
berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk terjadinya infeksi
Perbandingan hubungan antara kadar leukosit pada stroke fase
akut dengan terjadi infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat pada
tabel 12.
IV.2.3. Hubungan Antara Kadar Monosit dengan Terjadi Infeksi pada
Stroke Fase Akut
Pada penelitian ini, didapatkan 12 orang (46,2%) yang memiliki
kadar monosit normal yang terjadi infeksi, dan 14 orang (53,8%) memiliki
kadar monosit normal tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar monosit
tinggi, terdapat 16 orang (66,7%) terjadi infeksi dan 8 orang (33,3%) tidak
terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar
monosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut (r=0,208; p=0,135),
dengan kekuatan korelasi lemah dengan menggunakan uji Somers’d.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chamorro dkk
(2006), terdapat 17 (15%) pasien mengalami infeksi dan menunjukkan
peningkatan kadar leukosit, neutrofil, monosit, limfosit, IL6 dan IL10 yang
meningkat seiring waktu, sementara TNF dan rasio TNF IL10 menurun.
Berdasarkan regresi logistik terdapat IL10 (OR 1,42, CI 95% 1,01-1,16),
kadar monosit (OR 1,42, CI 95% 1,08-1,87) dan skore NIHSS (OR 1,17,
CI 95% 1,05-1,31) merupakan predictor independent infeksi sistemik.
Pada studi Urra dkk (2009), peningkatan kadar monosit pada hari
ke 2 sampai ke 7 onset stroke berhubungan dengan stroke terkait infeksi.
bahwa leukosit, CRP, monosit maupun PCT yang diperiksa pada hari
pertama rawatan tidak sensitif untuk memprediksi terjadinya infeksi
berkaitan dengan stroke.
Monosit merupakan sel imun bawaan multifungsi dengan peran
yang sangat penting sekali pada regulasi dari inflamasi dan perbaikan
jaringan. Pasien dengan stroke iskemik akut, selnya meningkat di darah,
dan menggambarkan perubahan fenotif yang berkurang pada saat
ekspresi dari molekul antigen dan rendahnya produksi dari tumor nekrosis
faktor proinflamasi, juga produksi dari anti inflamasi IL-10 berubah.
Perubahan ini penting yang berhubungan dengan risiko infeksi pasca
stroke, dimana ada gangguan keseimbangan antar monosit proinflamasi
klasik CD14+ dan CD16+ untuk perbaikan monosit berhubungan dengan
outcome stroke (Chamorro dkk,2012).
Pada pasien stroke akut, terdapat peningkatan yang signifikan
kadar monosit dalam sirkulasi, dan peningkatan ini mencolok terutama
pada pasien yang mengalami infeksi terkait stroke (Urra dkk, 2009).
Perbandingan hubungan antara kadar monosit pada pasien stroke
fase akut dengan terjadi infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat
pada tabel 13.
Tabel 12. Perbandingan hubungan kadar leukosit dengan terjadi
infeksi
Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
lemah.
Fluri dkk 2012 Leukosit, CRP, copeptin dan PCT merupakan
prediktor independent pada infeksi, pneumonia,
dan infeksi saluran kemih yang berkembang paling
tidak 24 jam setelah pengukuran. Dari analisa
univariat kadar leukosit yang tinggi pada saat
masuk rumah sakit 3,35 kali berisiko terjadi infeksi
(OR 3,35; CI 95% 2,14-5,23).
Furlan dkk 2013 Pasien dengan kadar leukosit tinggi pada saat
masuk rumah sakit lebih rentan terhadap infeksi
saluran kemih atau pernafasan dan sepsis pada
hari-hari berikutnya setelah stroke.
IV.2.4. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Terjadi Infeksi
pada Stroke Fase Akut
Pada penelitian ini, didapatkan 6 orang (25%) yang memiliki kadar
procalcitonin normal dan terjadi infeksi, dan 18 orang (75%) memiliki kadar
procalcitonin normal tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar procalcitonin
yang tinggi, terdapat 22 orang (84,6%) yang terjadi infeksi dan 4 orang
(15,4%) yang tidak terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan
antara kadar procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut
(r=0,604 p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat dengan menggunakan
uji Somers’d.
Procalcitonin meningkatkan prediksi terjadinya SAI dibandingkan
dengan penanda prognostik kuat yang lainnya. Kombinasi biomarker
dapat memprediksi terjadinya infeksi yang lebih akurat dari awal terjadinya
infeksi walaupun klinisnya belum jelas. Biomarker diselidiki untuk
mendeteksi infeksi sebelum tanda-tanda klinis atau paraklinikal di
diagnosis lanjut sampai mengarah ke diagnosis infeksi. Dengan demikian,
tanda tersebut dapat membantu dalam stratifikasi risiko dan dapat memilih
pasien berisiko tinggi untuk studi intervensi (Fluri dkk, 2012).
Berdasarkan latar belakang gangguan sistem imun pada pasien
stroke disatu sisi dan adanya respon inflamasi sistemik disisi lain, hal ini
benar-benar menjelaskan apakah konsentrasi PCT berubah pada pasien
stroke dengan infeksi (Miyakis dkk, 2013).
Perbandingan hubungan antara kadar procalcitonin dengan terjadi
infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat pada tabel 14.
Tabel 13. Perbandingan hubungan kadar monosit dengan terjadi
infeksi pada stroke fase akut.
Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara
kadar monosit dengan terjadi infeksi pada
stroke fase akut (r=0,208; p=0,135), dengan
kekuatan korelasi lemah.
Chamorro dkk 2006 Terdapat 17 (15%) pasien mengalami infeksi
dan menunjukkan peningkatan kadar leukosit,
neutrofil, monosit, limfosit, IL6 dan IL10 yang
meningkat seiiring waktu.
Urra dkk 2009 Peningkatan kadar monosit pada hari ke 2
sampai ke 7 onset stroke berhubungan dengan
dkk diperiksa pada hari pertama rawatan tidak
sensitive untuk memprediksi terjadinya infeksi
berkaitan dengan stroke
IV.2.5.Hubungan Antara Kadar Leukosit pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Pada penelitian ini didapatkan didapatkan 18 orang (78,3%) yang
memiliki kadar leukosit normal dan outcome fungsional baik, dan 5 orang
(21,7%) memiliki kadar leukosit normal dan outcome fungsional buruk.
Berdasarkan kadar leukosit yang tinggi, terdapat 3 orang (11,1%) dengan
outcome fungsional baik dan 24 orang (88,9%) dengan outcome
fungsional buruk. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
leukosit pada stroke fase akut dengan outcome fungsional (r=-0,685
p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat dengan menggunakan uji
Somers’d.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Whiteley
dkk (2009) mendapatkan kadar leukosit tinggi bermakna sebagai prediktor
outcome yang buruk. Agnihotri dkk (2011), mendapatkan hubungan yang
signifikan antara kadar leukosit dengan mortalitas (r=1,083; p=0,039) serta
outcome yang buruk saat pasien pulang (r=1,357; p=0,001).
Pada studi Peng dkk (2011), terdapat hubungan yang signifikan
antara kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit pada pasien stroke
iskemik akut dengan outcome. Kadar leukosit pada saat masuk 11.0 –
risiko ketergantungan, dan 4,79 dan 5,59 kali meningkatkan risiko
kematian pada pasien stroke iskemik akut dibanding dengan kadar
leukosit <10.0 x109/L.
Nardi dkk (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit dengan
outcome fungsional (r=0,21; p=<0,001).
Mekanisme yang menghubungkan kadar leukosit dengan outcome
masih belum dimengerti. Buck dkk (2008) melaporkan bahwa, pada stroke
iskemik akut, peningkatan di awal pada total leukosit dan neutrofil
dikaitkan dengan volume yang besar pada jaringan iskemik awal.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk (2013),
menunjukkan bahwa kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk
berhubungan dengan outcome yang buruk. Hubungan terbalik diamati
antara tingkat limfosit dan outcome yang buruk layak pertimbangan
khusus. Peranan limfosit di perburukan neurologi masih belum jelas, tetapi
telah disarankan bahwa subtipe spesifik limfosit (yaitu, sel T-regulatory)
memainkan peran penting dalam membatasi respon inflamasi terlihat di
stroke. Outcome yang buruk yang diamati di pasien dengan jumlah limfosit
lebih rendah bisa saja hasil dari sel-sel T-regulatory lebih sedikit yang
tersedia untuk memodulasi respon imun, sehingga menyebabkan
kerusakan otak yang lebih besar. penelitian tambahan diperlukan untuk
Perbandingan hubungan antara kadar leukosit dengan outcome
fungsional pada pasien stroke fase akut dengan studi sebelumnya dapat
dilihat pada tabel 15.
Tabel 14. Perbandingan hubungan kadar procalcitonin dengan terjadi
infeksi pada stroke fase akut.
Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke
fase akut (r=0,604 p=0,000), dengan kekuatan
korelasi kuat.
Fluri dkk 2012 Leukosit, CRP, copeptin dan procalcitonin
merupakan prediktor independen untuk beberapa
infeksi, pneumonia dan infeksi saluran kemih
berkembang paling tidak setelah 24 jam setelah
pengukuran.
IV.2.6. Hubungan Antara Kadar Monosit pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Pada penelitian ini, didapatkan 14 orang (53,8%) yang memiliki
kadar monosit normal dan outcome fungsional baik, dan 12 orang (46,2%)
memiliki kadar monosit normal dan outcome fungsional buruk.
Berdasarkan kadar monosit yang tinggi, terdapat 7 orang (29,2%) dengan
outcome fungsional baik dan 17 orang (70,8%) dengan outcome
fungsional buruk. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar
monosit pada stroke fase akut dengan outcome fungsional (r=-0,253;
p=0,067), dengan kekuatan korelasi lemah dengan menggunakan uji
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Adeoye dkk (2014)
bahwa peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR4 di monosit dikaitkan dengan
outcome yang buruk setelah ICH.
Pada studi Urra dkk (2009), outcome yang buruk berhubungan
dengan peningkatan ekspresi Toll-like receptor-4 pada monosit (OR 9,61;
CI 95% 1,27-72,47). Terdapat hubungan yang independent antara
peningkatan ekspresi TLR4 di monosit dan outcome yang buruk setelah
stroke pada manusia, hal ini konsisten dengan data eksperimental
sebelumnya yang menunjukkan bahwa pengurangan TLR4 pada tikus
yang memiliki infark yang lebih kecil dan kurangnya respon inflamasi
setelah iskemik, dan kerusakan otak yang disebabkan oleh mekanisme
stroke primer melalui signal TLR4.
Perbandingan hubungan antara kadar monosit dengan outcome
fungsional pada pasien stroke fase akut dengan studi sebelumnya dapat
dilihat pada tabel 16.
IV.2.7.Hubungan Antara Kadar Procalcitonin pada Stroke Fase Akut
dengan Outcome Fungsional
Pada penelitian ini, didapatkan 13 orang (54,2%) yang memiliki
kadar procalcitonin normal dan outcome fungsional baik, dan 11 orang
(45,8%) memiliki kadar procalcitonin normal dan outcome fungsional
outcome fungsional buruk. Terdapat hubungan yang tidak signifikan
antara kadar procalcitonin pada stroke fase akut dengan outcome
fungsional (r=-0,240; p=0,086), dengan kekuatan korelasi lemah dengan
menggunakan uji Somers’d.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Deng dkk (2014), dari 378
pasien stroke, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara
kadar procalcitonin dengan outcome jangka pendek menggunakan mRs.
Procalcitonin merupakan marker prognostik independen pada outcome
fungsional yang buruk (OR 3,45; CI 95% 2,29-4,77), setelah diadjust
NIHSS dan faktor perancu lainnya pada pasien stroke iskemik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fuentes dkk (2009), tingkat
PCT sangat terkait dengan keparahan stroke. Stroke berat berimplikasi
dengan outcome yang buruk; itu tidak mengherankan bahwa PCT juga
dikaitkan dengan outcome yang buruk. Karena PCT tetap secara
independen terkait dengan outcome bahkan setelah disesuaikan untuk
keparahan stroke, bagaimanapun, tampaknya bahwa penanda ini dapat
memberikan informasi tambahan prognostik umum.
Tingkat PCT dan CRP berhubungan dengan tingkat keparahan
disfungsi organ. Mediator inflamasi yang dihasilkan selama penyakit kritis
(misalnya, tumor necrosis factor-a, PCT) memulai kaskade sistemik
kerusakan endotel, pembentukan trombin, dan mikrovaskuler (Deng,
outcome fungsional pada stoke fase akut dengan studi sebelumnya dapat
dilihat pada tabel 17.
Tabel 15. Perbandingan hubungan kadar leukosit pada stroke fase
akut dengan outcome dengan studi sebelumnya.
Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang signifikan antara
kadar leukosit pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional (r=-0,685 p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat.
Whiteley dkk 2009 Kadar leukosit tinggi bermakna sebagai
prediktor outcome yang buruk.
Agnihorti dkk 2011 Terdapat hubungan yang signifikan antara
kadar leukosit dengan mortalitas (r=1,083;
p=0,039) serta outcome yang buruk saat pasien pulang (r=1,357; p=0,001).
Peng dkk 2011 Terdapat hubungan yang signifikan antara
kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit
pada pasien stroke iskemik akut dengan
outcome.
Nardi dkk 2012 Terdapat hubungan yang signifikan antara
kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit
dengan outcome fungsional (r=0,21; p=<0,001). Kumar dkk 2013 Kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk
berhubungan dengan outcome yang buruk.
Tabel 16. Perbandingan hubungan kadar monosit pada stroke fase
kadar monosit pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional (r=-0,253; p=0,067), dengan kekuatan korelasi lemah.
Adeoye dkk 2014 Peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR4 di monosit
dikaitkan dengan outcome yang buruk setelah ICH.
Urra dkk 2009 Outcome yang buruk berhubungan dengan peningkatan ekspresi Toll-like receptor-4 pada
monosit (OR 9,61; CI 95% 1,27-72,47).
Tabel 17. Perbandingan hubungan kadar procalcitonin pada stroke
fase akut dengan outcome
Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara
kadar procalcitonin pada stroke fase akut dengan
outcome fungsional (r=-0,240; p=0,086), dengan kekuatan korelasi lemah
Deng dkk 2014 Terdapat hubungan yang signifikan secara
statistik antara kadar procalcitonin dengan
outcome jangka pendek menggunakan mRs Fuentes dkk 2009 Yingkat PCT sangat terkait dengan keparahan
stroke.
IV.2.8. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan
Terjadi Infeksi pada Stroke Fase Akut
Pada penelitian ini didapatkan, pasien stroke fase akut dengan
kadar leukosit tinggi pada saat masuk rumah sakit kemungkinan 3,69 kali
memiliki kadar leukosit normal pada saat masuk rumah sakit. Pasien
stroke fase akut dengan kadar monosit tinggi pada saat masuk rumah
sakit kemungkinan 2,33 kali untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan
dengan pasien yang memiliki kadar monosit normal pada saat masuk
rumah sakit. Sedangkan pasien stroke fase akut dengan kadar
procalcitonin tinggi pada saat masuk rumah sakit kemungkinan 16,50 kali
untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan dengan pasien yang
memiliki kadar procalcitonin normal pada saat masuk rumah sakit.
Berdasarkan data dari subjek penelitian didapatkan, risiko terbesar
terjadinya infeksi pada stroke fase akut yang secara statistik signifikan
adalah pada variabel procalcitonin (OR 0,022; CI 95% 0,002-0,205),
dibandingkan leukosit dan monosit (OR 0,073; CI 95% 0,008-0,654, OR
1,174; CI 95% 0,244-5,644)
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chamorro dkk
(2006),terdapat 15% pasien stroke mengalami infeksi dan terdapat
peningkatan kadar leukosit, neutrofil, monosit, limfosit, IL6 dan IL10
dengan penurunan rasio TNF- dan TNF- IL10. Dengan regresi logistik
didapatkan IL10 OR 1,08, CI 95% 1,01-1,16; kadar monosit OR 1,42, CI
95% 1,08-1,87; dan skore NIHSS pada saat masuk OR 1,17, CI 95%
1,05-1,31 yang merupakan prediktor independen untuk terjadi infeksi.
Fluri dkk (2012) menemukan bahwa dari 383 pasien stroke, 66
independent pada infeksi, pneumonia, dan infeksi saluran kemih yang
berkembang paling tidak 24 jam setelah pengukuran. Dari analisa
univariat kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk rumah sakit 3,35 kali
berisiko terjadi infeksi (OR 3,35; CI 95% 2,14-5,23), monosit dengan OR
1,43; CI 95% 1,03-2,00, CRP dengan OR 1,50; CI 95% 1,22-1,84, serta
procalcitonin dengan OR 1,91; CI 95% 1,38-2,63.
Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah awitan
(onset) iskemik dengan karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di
endotel pembuluh darah dan leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak
melewati endotel keluar dari sirkulasi dan penetrasi ke jaringan parenkim
otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi (Misbach dkk, 2011).
Inflamasi setelah proses iskemik ditandai oleh aktivasi cepat sel
mikroglia dan proses infiltrasi dari sel neutrofil serta makrofag pada daerah
yang mengalami kerusakan, beberapa mekanisme antara lain second
messenger yang teraktivasi oleh ion kalsium, peningkatan radikal bebas
oksigen dan hipoksia akan mencetuskan beberapa gen proinflamasi
melalui beberapa faktor transkipsi (Amantea dkk, 2008)
Mediator inflamasi seperti platelet activating factor, tumor necrotic
factor- , interleukin-1β dan IL-6 dihasilkan dari sel iskemik. Sebagai
akibatnya adalah teraktivasinya adhesion molecule pada endotel seperti
ICAM-1, P-selektin, dan E-selectin. Adhesion molecule akan berinteraksi
dengan komplemen pada permukaan reseptor sel neutrofil. Proses
endotel, menembus dinding pembuluh darah, dan akhirnya menuju pada
parenkim otak yang mengalami iskemik. Masuknya neutrofil akan diikuti
oleh makrofag dan monosit (Dirnagl dkk, 2005).
Proses inflamasi pasca iskemik akan memperparah kerusakan sel
pada saat iskemik melalui beberapa jalur seperti adanya blockade aliran
darah oleh neutrofil, mediator toksik yang dihasilkan oleh sel inflamasi.
Reaksi inflamasi juga akan menginduksi sel untuk melakukan kematian
sel yang terprogram atau apoptosis (Dirnagl dkk, 2005).
Walaupun respon awal lokal terhadap kerusakan otak adalah
pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi yang disertai dengan respon
inflamasi sistemik, pasien-pasien dengan lesi di SSP juga menunjukkan
adanya tanda-tanda immunodepresi (Meisel dkk, 2012).
Adanya imunodepresi setelah stroke sudah banyak dinilai namun
mekanisme penyampaian signal yang mempengaruhi sistem saraf pusat
simpatis dan aksis hypothalamic-pituitari yang meregulasi penurunan
respon imun setelah iskemia sel otak masih belum jelas. Beberapa
percobaan klinis menunjukkan adanya produksi cytokine proinflammatory
oleh jaringan otak yang rusak secara langsung menimbulkan aktivasi SSP
dan aksis hypothalamic-pituitary. Peningkatan nilai cytokine seperti
interleukin1, TNF dan interleukin 6 telah terbukti terjadi pada kerusakan
parenkim otak dan cairan serebrospinal. Karena sistem otonom pada
keadaan stroke akan terjadi kerusakan struktur susunan sistem saraf
pusat simpatis yang meliputi vegetative neuroimmunomodulation.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan adanya stress pada sistem saraf
pusat dan peradangan pada sistem saraf pusat merupaka penyebab
terjadinya immunodepresion system (Dirnagl dkk, 2007).
Perbandingan besar risiko leukosit, monosit, dan procalcitonin
dengan risiko terjadi infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat pada
tabel 18.
IV.2.9. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan. Pertama, pada penelitian ini
pemeriksaan kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin hanya dilakukan
satu kali pada saat pasien masuk rumah sakit saja, sehingga tidak bisa
melihat perbandingan kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin pada hari
berikutnya. Kedua, jumlah sampel penelitian masih relatif sedikit untuk
memberikan hasil yang representatif.
Tabel 18. Perbandingan risiko leukosit, monosit, dan procalcitonin
dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut
Penelitian ini 2016 Didapati risiko leukosit, monosit, dan
procalcitonin dengan terjadinya infeksi pada
stroke fase akut ((OR 1,79 CI 95%
1,139-11,078), (OR 2,33 CI 95% 0,741-7,344), dan (OR
16,50 CI 95% 4,028-67,596)).
Chamorro
dkk
2006 Didapatkan IL10 OR 1,08, CI 95% 1,01-1,16;
skore NIHSS pada saat masuk OR 1,17, CI 95%
1,05-1,31 yang merupakan prediktor independen
untuk terjadi infeksi.
Fluri dkk 2012 Kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk
rumah sakit 3,35 kali berisiko terjadi infeksi (OR
3,35; CI 95% 2,14-5,23), monosit dengan OR
1,43; CI 95% 1,03-2,00, CRP dengan OR 1,50;
CI 95% 1,22-1,84, serta procalcitonin dengan OR
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit dengan
terjadi infeksi pada stroke fase akut secara statistik dengan
kekuatan korelasi lemah dengan korelasi positif dimana semakin
tinggi kadar leukosit semakin tinggi risiko terjadi infeksi (r=0,315;
p=0,020).
2. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar monosit
dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut secara statistik dengan
kekuatan korelasi lemah (r=0,208; p=0,135).
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar procalcitonin
dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut secara statistik dengan
kekuatan korelasi kuat dengan korelasi positif dimana semakin
tinggi kadar procalcitonin semakin tinggi risiko terjadi infeksi
(r=0,604; p=0,000).
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit pada
stroke fase akut dengan outcome fungsional secara statistik
semakin tinggi kadar leukosit semakin buruk outcome fungsional
(r=-0,685; p=0,000).
5. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar monosit
pada stroke fase akut dengan outcome fungsional secara statistik
dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0,253; p=0,067).
6. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar procalcitonin
pada stroke fase akut dengan outcome fungsional secara statistik
dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0,240; p=0,086).
7. Pasien stroke fase akut dengan kadar leukosit tinggi pada saat
masuk rumah sakit berisiko lebih dari tiga setengah kali mengalami
infeksi dibanding dengan pasien stroke fase akut dengan kadar
leukosit normal (OR 3,69; CI 95% 1,139-11,078).
8. Pasien stroke fase akut dengan kadar monosit tinggi pada saat
masuk rumah sakit berisiko lebih dari hampir dua setengah kali
mengalami infeksi dibanding pasien stroke fase akut dengan kadar
leukosit normal (OR 2,33; CI 95% 0,741-7,344).
9. Pasien stroke fase akut dengan kadar procalcitonin tinggi pada saat
masuk rumah sakit berisiko lebih dari hampir enam belas setengah
kali mengalami infeksi dibanding pasien stroke fase akut dengan
V.2. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, kami mengajukan beberapa saran,
yaitu:
1. Sebaiknya pasien stroke yang dirawat inap diperiksa kadar
procalcitonin karena merupakan penanda untuk infeksi walaupun
tidak dijumpai gejala klinis pada pasien.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan studi
kohort sehingga peranan kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin
terhadap outcome fungsional pada stroke dapat dijelaskan lebih
lanjut.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang