• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kadar Leukosit, Monosit, Dan Procalcitonin Dengan Risiko Terjadi Infeksi Pada Stroke Fase Akut Dan Outcome Fungsional Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kadar Leukosit, Monosit, Dan Procalcitonin Dengan Risiko Terjadi Infeksi Pada Stroke Fase Akut Dan Outcome Fungsional Chapter III VI"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H.

Adam Malik Medan dari tanggal 24 Juni 2015 s/d 31 Oktober 2016.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit.

Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non

random secara konsekutif.

III.2.1. Populasi Sasaran

Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan CT sken kepala.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap

terpadu (Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik

(2)

III.2.3. Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus hypothesis testing-one

population mean (Lameshow dkk,1990)

Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 48 orang.

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Semua penderita stroke akut dan telah dikonfirmasi dengan

pemeriksaan CT scan kepala.

2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.

III.2.5. Kriteria Eksklusi

1. Penderita stroke dengan infeksi pada saat masuk rumah sakit.

2. Penderita stroke yang sudah menggunakan antibiotik pada saat

(3)

3. Penderita stroke rekuren.

III.3. BATASAN OPERASIONAL

1. Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan

oleh iskemik atau perdarahan berlangsung ≥24 jam atau

meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk

diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

2. Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan

infark fokal serebri, spinal dan infark retinal (Sacco dkk, 2013).

3. Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang

dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak

atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco

dkk, 2013).

4. Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan

stroke yang berlangsung sampai 1 minggu (Misbach,1999).

5. Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang merupakan

kumpulan unit yang bergerak. Sistem daya tahan tubuh ini adalah

kemampuan tubuh untuk bertahan dan menyingkirkan material

yang berbahaya dan sel-sel abnormal dalam tubuh. Jumlah normal

sel darah putih adalah 4000-11.000/µl darah (Ganong, 2003). Pada

penelitian ini akan ditetapkan:

(4)

- Tinggi apabila kadar leukosit >11000/µl

6. Monosit adalah leukosit fagositik yang juga berperan penting

dalam pertahanan terhadap organisme patogenik dan antigen.

Monosit membentuk 5 sampai 8% dari leukosit di dalam darah

(Sacher dkk, 2002). Pada penelitian ini akan ditetapkan:

- Rendah apabila kadar monosit <5%

- Normal apabila kadar leukosit 5-8%

- Tinggi apabila kadar leukosit >8%

7. Procalcitonin adalah precursor peptida dari hormon calcitonin dan

disintesis secara fisiologis oleh sel tyroid . Pada kondisi normal nilai

procalcitonin sangat rendah (0.1 ng/ml) (Kibe dkk, 2011). Pada

penelitian ini akan ditetapkan:

- Normal apabila kadar procalcitonin ≤0,1 ng/ml

- Tinggi apabila kadar procalcitonin >0,1 ng/ml

8. Outcome adalah impairments, disabilitas dan handicaps sebagai

berikut (Misbach, 2011): a. Impairments adalah suatu kehilangan

atau abnormalitas fungsi atau struktur psikologis, fisiologis

anatomis. b. Disabilitas adalah hambatan atau ketidakmampuan

akibat impairments untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang

waktu tertentu dengan cara atau yang dianggap normal untuk

orang sehat. c. Handicaps adalah gangguan yang dialami oleh

(5)

seseorang terbatas dalam melakukan suatu perannya sebagai

manusia normal.

Komponen outcome pada penelitian ini diukur menggunakan skala

mRS, dihitung pada hari ke empat belas (H-14).

9. Infeksi adalah kondisi lokal atau sistemik akibat reaksi perlawanan

terhadap adanya gen infeksius ataupun toksinnya yang muncul

sebelum pasien dirawat di tempat pelayanan kesehatan (CDC

Surveillance Definitions for Spesific Types of Infections, 2013).

Infeksi didiagnosis dengan adanya demam (T ≥ 380C) dan

peningkatan penanda nonspesifik inflamasi sistemik (leukosit ≥

11.000/mm3 , LED > 20 mm/jam dan CRP ≥ 10 mg/L (Popovic dkk,

2013).

III.4. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode

pengumpulan data secara potong lintang dengan sumber data primer

diperoleh dari semua penderita stroke akut yang dirawat di bangsal

Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

a. Studi observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran kadar

leukosit, monosit dan procalcitonin dengan risiko terjadinya infeksi

(6)

b. Studi korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar

leukosit, monosit dan procalcitonin dengan risiko terjadi infeksi

pada stroke fase akut dan outcome fungsional.

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN

III.5.1. Instrumen

- Pemeriksaan laboratorium :

Leukosit = menggunakan alat hematology analyzer merk Sysmex

S4000

Monosit = menggunakan alat hematology analyzer merk Sysmex

S4000

Procalcitonin = menggunakan alat Cobass 6000

- CT sken kepala, merk Hitachi seri W 450

- Penilaian Outcome dengan mRS.

Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala rating outcome

global dengan nilai dari 0 (tidak ada gangguan) hingga 5 (hanya

terbaring ditempat tidur, inkontinensia, membutuhkan perawatan

dan perhatian menetap) dan 6 (outcome fatal) (Weimar dkk, 2002).

Bila mRS 1-3, dikelompokkan sebagai outcome baik sedangkan

mRS 4-6 dikelompokkan sebagai outcome jelek (Painthakar &

Dabhi, 2003).

(7)

Semua penderita stroke akut, yang telah ditegakkan dengan

pemeriksaan CT sken kepala yang dirawat di Bangsal Neurologi Rindu A4

RSUP H. Adam Malik medan yang diambil secara konsekutif dan yang

memenuhi kriteria inklusi, diambil darah venanya untuk dikirim ke

Laboratorium Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 5ml

setelah penderita datang ke RSUP H. Adam Malik Medan untuk

pemeriksaan kadar leukosit, monosit dan procalcitonin, dan kemudian

diamati apakah terjadi infeksi atau tidak pada pasien tersebut. Penilaian

(8)

III.5.3. Kerangka Operasional

III.5.4. Variabel yang diamati

Variable bebas = kadar leukosit, monosit, procalcitonin Variable terikat = infeksi

outcome

III.5.5. Analisa statistik

Penderita Stroke Akut

Anamnesis Pemeriksaan neurologis

Head Ct scan

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Surat Persetujuan Ikut Penelitian

Pemeriksaan kadar leukosit, monosit dan procalcitonin

Diamati apakah terjadi infeksi atau tidak, dan pada hari ke-14 dinilai

outcome fungsional

(9)

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program computer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service). Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

a. Untuk melihat hubungan kadar leukosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut menggunakan uji Somers’d.

b. Untuk melihat hubungan kadar monosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akutmenggunakan uji Somers’d.

c. Untuk melihat hubungan kadar procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut menggunakan uji Somers’d.

d. Untuk melihat hubungan kadar leukosit pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional menggunakan uji Somers’d.

e. Untuk melihat hubungan kadar monosit pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional menggunakan uji Somers’d.

f. Untuk melihat hubungan kadar procalcitonin pada stroke fase akut dengan outcome fungsional menggunakan uji Somers’d.

g. Untuk mengetahui risiko leukosit, monosit, dan procalcitonin dengan terjadinya infeksi pada penderita stroke fase akut menggunakan uji regresi logistik.

h. Untuk mengetahui karakteristik demografi penderita stroke akut di RSUP H Adam Malik Medan menggunakan analisis deskriptif.

III.5.6. Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015 s/d 30 Oktober

2016.

(10)

Pengumpulan data : 24 Juni 2015 s/d 31 Oktober 2016

Analisis data : 01 November 2016 s/d 15 November 2016

Penyusunan laporan : 16 November 2016 s/d 10 Desember 2016

(11)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari keseluruhan pasien stroke fase akut yang di ruang rawat inap

Bangsal Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Juni 2015

hingga Oktober 2016, terdapat 50 pasien stroke akut yang memenuhi

kriteri inklusi dan eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

Dari 50 orang pasien stroke akut yang diikutsertakan dalam

penelitian didapatkan rerata usia adalah 57,20 dengan standard deviasi

7,70 tahun dengan rentang usia 40 sampai 73 tahun. Jenis kelamin pada

penelitian terbanyak adalah 27 orang laki-laki (54,0%) dan 23 orang

(46,0%) adalah perempuan.

Dari 50 orang subjek penelitian, suku terbanyak adalah suku Batak

yaitu 23 orang (46,0%) dan yang paling sedikit adalah suku Aceh yaitu 2

orang (4,0%). Berdasarkan pekerjaan subjek penelitian, pekerjaan

pegawai negeri sipil dan ibu rumah tangga paling banyak dijumpai yaitu 16

orang (32,0%) dan petani paling sedikit dijumpai yaitu 7 orang (14,0%).

Berdasarkan pendidikan subjek penelitian, pendidikan Sekolah Menengah

Umum paling banyak dijumpai yaitu 27 orang (54,0%) dan Sekolah Dasar

(12)

Dari seluruh subjek penelitian, jenis stroke yang paling banyak

dijumpai adalah stroke iskemik yaitu 41 orang (82,0%) dan stroke

hemoragik paling sedikit dijumpai yaitu 9 orang (18,0%). Pada penelitian

ini rerata kadar leukosit 11.256/mm3 dengan standard deviasi 2.677,

rerata kadar monosit 9,01% dengan standard deviasi 9,80 dan rerata

kadar procalcitonin 0,43ng/mL dengan standard deviasi 0,79. Penderita

yang terinfeksi sebanyak 28 orang (56,0%) sedangkan penderita yang

tidak terinfeksi sebanyak 22 orang (44,0%). Dan pada penelitian ini

dijumpai penderita stroke fase akut yang memiliki outcome fungsional

yang baik sebanyak 21 orang (42,0%) dan 29 orang (58,0%) yang

memiliki outcome fungsional yang buruk.

Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar leukosit penderita

stroke fase akut yang mengalami infeksi 11.718/mm3 dengan standard

deviasi 2.704, rerata leukosit yang tidak mengalami infeksi 10.668/mm3

dengan standard deviasi 2.584, rerata kadar monosit penderita stroke fase

akut yang mengalami infeksi 7,54% dengan standard deviasi 1,84, dan

yang tidak mengalami infeksi 10,87 % dengan standard deviasi 14,60, dan

rerata kadar procalcitonin yang mengalami infeksi 0,64ng/mL dengan

standard deviasi 0,98 dan rerata procalcitonin yang tidak mengalami

infeksi 0,16ng/mL dengan standard deviasi 0,30. Dan didapatkan rerata

kadar leukosit pada penderita stroke fase akut yang memiliki outcome baik

9.757/mm3 dengan standard deviasi 2.431, rerata kadar leukosit yang

(13)

rerata kadar monosit yang memiliki outcome yang baik 10,86% dengan

standard deviasi 15,39, rerata kadar monosit yang memiliki outcome buruk

7,77% dengan standard deviasi 2,04, dan rerata kadar procalcitonin pada

penderita stroke fase akut yang memiliki outcome baik 0,18ng/mL dengan

standard deviasi 0,23, dan rerata kadar procalcitonin yang memiliki

outcome buruk 0,59 ng/mL dengan standard deviasi 0,98.

Data lengkap mengenai karakteristik subjek penelitian ini disajikan

pada tabel 3.

IV.1.2. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi pada

Stroke Fase Akut

Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,

didapatkan 9 orang (39,1%) yang memiliki kadar leukosit normal terjadi

infeksi, dan 14 orang (60,9%) memiliki kadar leukosit normal tidak terjadi

infeksi. Berdasarkan kadar leukosit yang tinggi, terdapat 19 orang (70,4%)

yang terjadi infeksi dan 8 orang (29,6%) yang tidak terjadi infeksi.

Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit dengan terjadi

infeksi pada stroke fase akut (r=0,315; p=0,020), dengan kekuatan

(14)
(15)

Tidak

Outcome

Baik Buruk

21 29

42,0 58,0

Tabel 4. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi

pada Stroke Fase Akut

Infeksi r p

Ya Tidak

Leukosit

Normal 09 (39,1%) 14 (60,9%)

0,315 0,020 Tinggi 19 (70,4%) 08 (29,6%)

Uji Somers’d; p <0,05

IV.1.3. Hubungan Antara Kadar Monosit dengan Terjadi Infeksi pada

Stroke Fase Akut

Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,

didapatkan 12 orang (46,2%) yang memiliki kadar monosit normal yang

terjadi infeksi, dan 14 orang (53,8%) memiliki kadar monosit normal tidak

terjadi infeksi. Berdasarkan kadar monosit tinggi, terdapat 16 orang

(66,7%) terjadi infeksi dan 8 orang (33,3%) tidak terjadi infeksi. Terdapat

hubungan yang tidak signifikan antara kadar monosit dengan terjadi

infeksi pada stroke fase akut (r=0,208; p=0,135), dengan kekuatan

(16)

IV.1.4. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Terjadi Infeksi

pada Stroke Fase Akut

Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,

didapatkan 6 orang (25%) yang memiliki kadar procalcitonin normal dan

terjadi infeksi, dan 18 orang (75%) memiliki kadar procalcitonin normal

tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar procalcitonin yang tinggi, terdapat

22 orang (84,6%) yang terjadi infeksi dan 4 orang (15,4%) yang tidak

terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut (r=0,604;

p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat dengan menggunakan uji

Somers’d (tabel 6).

Tabel 5. Hubungan Antara Kadar Monosit dengan Terjadi Infeksi pada

Stroke Fase Akut

Infeksi

r p

Ya Tidak

Monosit

Normal 12 (46,2%) 14 (53,8%)

0,208 0,135 Tinggi 16 (66,7%) 08 (33,3%)

Uji Somers’d; p <0,05

Tabel 6. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Terjadi Infeksi

pada Stroke Fase Akut

Infeksi

r p

(17)

Procalcitonin

Normal 06 (25,0%) 18 (75,0%)

0,604 0,000 Tinggi 22 (84,6%) 04 (15,4%)

Uji Somers’d; p <0,05

IV.1.5. Hubungan Antara Kadar Leukosit pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,

didapatkan 18 orang (78,3%) yang memiliki kadar leukosit normal dan

outcome fungsional baik, dan 5 orang (21,7%) memiliki kadar leukosit

normal dan outcome fungsional buruk. Berdasarkan kadar leukosit yang

tinggi, terdapat 3 orang (11,1%) dengan outcome fungsional baik dan 24

orang (88,9%) dengan outcome fungsional buruk. Terdapat hubungan

yang signifikan antara kadar leukosit pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional (r=-0,685 p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat

dengan menggunakan uji Somers’d (tabel 7).

Tabel 7. Hubungan Antara Kadar Leukosit pada Stroke Fase Akut dengan Outcome Fungsional

Outcome

r p

Baik Buruk

Leukosit

Normal 18 (78,3%) 5 (21,7%)

-0,685 0,000 Tinggi 3 (11,1%) 24 (88,9%)

(18)

IV.1.6. Hubungan Antara Kadar Monosit pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,

didapatkan 14 orang (53,8%) yang memiliki kadar monosit normal dan

outcome fungsional baik, dan 12 orang (46,2%) memiliki kadar monosit

normal dan outcome fungsional buruk. Berdasarkan kadar monosit yang

tinggi, terdapat 7 orang (29,2%) dengan outcome fungsional baik dan 17

orang (70,8%) dengan outcome fungsional buruk. Terdapat hubungan

yang tidak signifikan antara kadar monosit pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional (r=-0,253; p=0,067), dengan kekuatan korelasi lemah

dengan menggunakan uji Somers’d (tabel 8).

Tabel 8. Hubungan Antara Kadar Monosit pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Outcome

r p

Baik Buruk

Monosit

Normal 14 (53,8%) 12 (46,2%)

-0,253 0,067 Tinggi 7 (29,2%) 17 (70,8%)

Uji Somers’d; p <0,05

IV.1.7. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Dari 50 penderita stroke fase akut yang ikut dalam penelitian ini,

(19)

dan outcome fungsional baik, dan 11 orang (45,8%) memiliki kadar

procalcitonin normal dan outcome fungsional buruk. Berdasarkan kadar

procalcitonin yang tinggi, terdapat 8 orang (30,8%) dengan outcome

fungsional baik dan 18 orang (69,2%) dengan outcome fungsional buruk.

Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar procalcitonin pada

stroke fase akut dengan outcome fungsional (r=-0,240; p=0,086), dengan

kekuatan korelasi lemah dengan menggunakan uji Somers’d (tabel 9).

Tabel 9. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Outcome

Fungsional

Outcome

r p

Baik Buruk

Procalcitonin

Normal 13

(54,2%)

11

(45,8%)

-0,240 0,086

Tinggi 08

(30,8%)

18

(69,2%)

Uji Somers’d; p <0,05

IV.1.8. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan

Terjadinya Infeksi Pada Stroke Fase Akut

Berdasarkan data dari subek penelitian didapatkan, pasien stroke

fase akut dengan kadar leukosit tinggi pada saat masuk rumah sakit

kemungkinan 3,694 kali untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan

(20)

saat masuk rumah sakit kemungkinan 2,333 kali untuk mengalami terjadi

infeksi dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar monosit normal

pada saat masuk rumah sakit. Sedangkan pasien stroke fase akut dengan

kadar procalcitonin tinggi pada saat masuk rumah sakit kemungkinan

16,500 kali untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan dengan pasien

yang memiliki kadar procalcitonin normal pada saat masuk rumah sakit

(tabel 10).

Tabel 10. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan

Terjadi Infeksi pada Stroke Fase Akut

(21)

IV.1.9. Perbandingan Risiko Antara Leukosit, Monosit, dan

Procalcitonin dengan Terjadinya Infeksi pada Stroke Fase Akut

Berdasarkan data dari subjek penelitian didapatkan, risiko terbesar

terjadinya infeksi pada stroke fase akut yang secara statistik signifikan

adalah pada variabel procalcitonin (OR 0,022; CI 95% 0,002-0,205),

dibandingkan leukosit dan monosit (OR 0,073; CI 95% 0,008-0,654, OR

1,174; CI 95% 0,244-5,644) (tabel 11).

Tabel 11. Perbandingan Risiko Antara Leukosit, Monosit, dan

Procalcitonin dengan Terjadinya Infeksi pada Stroke Fase Akut

p OR CI 95%

Leukosit 0,019 0,073 0,008-0,654

Monosit 0,841 1,174 0,244-5,644

Procalcitonin 0,001 0,022 0,002-0,205

Uji Multivariat Regresi Logistik

IV.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan tujuan

untuk melihat hubungan antara kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin

dengan risiko terjadi infeksi pada stroke fase akut dan outcome

fungsional.

(22)

pemeriksaan Head Ct-scan. Bagi pasien yang memenuhi kriteria inklusi,

dilakukan pemeriksaan leukosit, monosit, dan procalcitonin yang dilakukan

pada hari pertama saat pasien masuk rumah sakit.

IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini subjek penelitian adalah sebanyak 50 orang,

dimana didapati rerata usia adalah 57,2 tahun dengan standard deviasi

7,7 tahun dengan rentang usia 40 sampai 73 tahun. Studi dari Sen dkk

(2007) menemukan bahwa rerata usia penderita stroke iskemik adalah

64,6 tahun dengan standard deviasi 11,9 tahun. Studi Hertog dkk (2009)

menemukan bahwa rerata usia penderita stroke adalah 69,1 tahun

dengan standard deviasi 13,4 tahun. Studi dari Popovic dkk (2013)

menemukan rerata usia stroke adalah sebesar 58,4 tahun dengan

standard deviasi 15,5 tahun. Studi yang dilakukan Adeoye dkk (2014)

menemukan rerata usia penderita stroke adalah 67,3 tahun dengan

standard deviasi 14,8 tahun.

Umur dan jenis kelamin merupakan dua di antara faktor risiko

stroke yang tidak dapat dimodifikasi. Pada penelitian ini didapatkan rerata

usia adalah 57,2 tahun dengan standard deviasi 7,7 tahun dengan rentang

usia 40 sampai 73 tahun.Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan

Alchuriyah dan Wahjuni (2016), di Rumah Sakit Brawijaya Surabaya pada

tahun 2012-2013 sudah mulai terdapat penderita stroke di usia kurang

(23)

15 penderita, dengan berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi

terjadinya stroke pada usia muda. Pada kaum muda, serangan stroke

sangat berkaitan dengan gaya hidup serta temperamen yang cenderung

ambisius. Gaya hidup kaum muda yang disinyalir memicu stroke adalah

makanan-makanan siap saji, minuman beralkohol, kerja berlebihan,

kurang berolahraga dan stress, penggunaan obat perangsang, narkoba

serta kebiasaan merokok, mengkonsumsi obat perangsang dan narkoba

membuat aliran darah menjadi meningkat. Sedangkan kebiasaan merokok

menyebabkan penumpukan kotoran di bagian dalam pembuluh darah atau

aterosklerosis.

Jenis kelamin pada penelitian terbanyak adalah 27 orang laki-laki

(54,0%) dan 23 orang (46,0%) adalah perempuan. Studi dari Wartenberg

dkk (2011) penelitian pada pasien stroke iskemik menemukan dari 94

orang subjek penelitian terdapat 43 orang (45,7%) adalah laki-laki dan 51

orang (54,3%) adalah wanita. Studi Iranmanesh (2012), pada 200 pasien

stroke iskemik akut didapatkan 54% laki-laki dan 46% wanita. Sedangkan

studi Boehme dkk (2014) mendapatkan 56,9% laki-laki mengalami stroke

dibanding 42,1% wanita. Mayoritas penderita stroke berjenis kelamin

laki-laki tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Burhanudin

dkk (2012), bahwa stroke banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki 95%

sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak pasien yang berjenis

(24)

Menurut Farida & Amelia (2009), penyakit stroke sering dianggap

sebagai penyakit monopoli laki-laki, karena laki-laki berpotensi terkena

stroke dikarenakan perempuan memiliki hormon estrogen yang berperan

dalam mempertahankan kekebalan tubuh sampai menopause dan

sebagai proteksi atau pelindung pada proses aterosklerosis. Namun,

setelah perempuan tersebut mengalami menopouse, besar risiko terkena

stroke antara laki-laki dan perempuan menjadi sama.

Dari seluruh subjek penelitian, dijumpai penderita yang terinfeksi

sebanyak 28 orang (56,0%) sedangkan penderita yang tidak terinfeksi

sebanyak 22 orang (44,0%). Pada studi Wartenberg dkk (2011), dari 94

pasien stroke terdapat 42% mengalami infeksi dan 58% tidak mengalami

infeksi. Studi Fluri dkk (2012) didapatkan dari 383 subjek penelitian yang

ikut dalam penelitian dijumpai 66 orang yang terinfeksi. Terdapat dugaan

bahwa terjadinya infeksi pada stroke akut berhubungan dengan stroke

induced immunological mechanism. Dihipotesakan bahwa sistem saraf

pusat memodulasi aktivitas sistem imun melalui pathways humoral dan

neural yang kompleks, yang melibatkan hypothalamic pituitary adrenal

(HPA) axis, nervus vagus dan sistem saraf simpatis (Chamorro dkk,

2007).

Pada penelitian ini dijumpai penderita stroke fase akut yang

memiliki outcome fungsional yang baik sebanyak 21 orang (42,0%) dan 29

(25)

Pada penelitian ini rerata kadar leukosit 11.256/mm3 dengan

standard deviasi 2.677, rerata kadar monosit 9,01% dengan standard

deviasi 9,80 dan rerata kadar procalcitonin 0,43ng/mL dengan standard

deviasi 0,79. Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar leukosit penderita

stroke fase akut yang mengalami infeksi 11.718/mm3 dengan standard

deviasi 2.704, yang tidak mengalami infeksi 10.668/mm3 dengan standard

deviasi 2.584, rerata kadar monosit penderita stroke fase akut yang

mengalami infeksi 7,55% dengan standard deviasi 1,84, dan yang tidak

mengalami infeksi 10,88% dengan standard deviasi 14,60, dan rerata

kadar procalcitonin yang mengalami infeksi 0,64ng/L dengan standard

deviasi 0,98, yang tidak mengalami infeksi 0,16ng/L dengan standard

deviasi 0,30. Dan didapatkan rerata kadar leukosit pada penderita stroke

fase akut yang memiliki outcome baik 9.757/mm3 dengan standard deviasi

2.431, rerata kadar leukosit yang memiliki outcome buruk 12.255/mm3

dengan standard deviasi 2.378, rerata kadar monosit yang memiliki

outcome yang baik 10,89% dengan standard deviasi 15,39, rerata kadar

monosit yang memiliki outcome buruk 7,77% dengan standard deviasi

2,04, dan rerata kadar procalcitonin pada penderita stroke fase akut yang

memiliki outcome baik 0,18ng/mL dengan standard deviasi 0,23, dan

rerata kadar procalcitonin yang memiliki outcome buruk 0,59ng/mL

dengan standard deviasi 0,98.

Pada studi Nikanfar dkk (2012) didapatkan rerata kadar leukosit

(26)

Studi Zeller dkk (2005) didapati rerata kadar leukosit pada saat masuk

rumah sakit 9.700/mm3 dengan standard deviasi 3.700. Studi Chamorro

dkk (2006) didapatkan median kadar leukosit saat masuk rumah sakit

pada sampel mengalami infeksi terkait stroke 11.100/mm3 (8.300-14.300)

dan median kadar leukosit sampel yang tidak mengalami infeksi terkait

stroke 7.900/mm3 (6.500-9.600). Sedangkan median kadar monosit saat

masuk rumah sakit pada sampel mengalami infeksi terkait stroke 0,7%

(0,5-0,9) dan median kadar monosit sampel yang tidak mengalami infeksi

terkait stroke 0,5% (0,3-0,7). Studi Peng dkk (2011) didapatkan rerata

kadar leukosit dengan outcome baik 9.170/mm3 dengan standard deviasi

3.270, dan rerata kadar leukosit dengan outcome buruk 12.160/mm3

dengan standard deviasi 5.180.

IV.2.2. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi pada

Stroke Fase Akut

Dari penelitian ini dapatkan 9 orang (39,1%) yang memiliki kadar

leukosit normal dan terjadi infeksi, dan 14 orang (60,9%) memiliki kadar

leukosit normal tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar leukosit yang

tinggi, terdapat 19 orang (70,4%) yang terjadi infeksi dan 8 orang (29,6%)

yang tidak terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

leukosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut (r=0,315; p=0,020),

(27)

Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan Fluri dkk (2012)

menemukan bahwa dari 383 pasien stroke, 66 (17,2%) berkembang

mengalami infeksi di dalam 5 hari setelah onset stroke. Leukosit, CRP,

copeptin dan PCT merupakan predictor independent pada infeksi

pneumonia, dan infeksi saluran kemih yang berkembang paling tidak 24

jam setelah pengukuran. Dari analisa univariat kadar leukosit yang tinggi

pada saat masuk rumah sakit 3,35 kali berisiko terjadi infeksi (OR 3,35; CI

95% 2,14-5,23).

Pada studi yang dilakukan Furlan dkk (2013), didapatkan pasien

dengan kadar leukosit tinggi pada saat masuk rumah sakit lebih rentan

terhadap infeksi saluran kemih atau pernafasan dan sepsis pada hari-hari

berikutnya setelah stroke.

Menurut Emsley dkk (2002), adanya peningkatan leukosit

dihubungkan dengan risiko tinggi untuk serebral infark dan jumlah neutrofil

digambarkan signifikan dengan hubungan kejadian stroke. Pada pasien

dengan stroke iskemik akut dijumpai leukosit meningkat. Uptake leukosit

dapat meningkat pada area infark dan menginfiltrasi pada daerah yang

ada defek perfusinya.

Disregulasi respon imun pada stroke fase akut telah dilaporkan

berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk terjadinya infeksi

(28)

Perbandingan hubungan antara kadar leukosit pada stroke fase

akut dengan terjadi infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat pada

tabel 12.

IV.2.3. Hubungan Antara Kadar Monosit dengan Terjadi Infeksi pada

Stroke Fase Akut

Pada penelitian ini, didapatkan 12 orang (46,2%) yang memiliki

kadar monosit normal yang terjadi infeksi, dan 14 orang (53,8%) memiliki

kadar monosit normal tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar monosit

tinggi, terdapat 16 orang (66,7%) terjadi infeksi dan 8 orang (33,3%) tidak

terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar

monosit dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut (r=0,208; p=0,135),

dengan kekuatan korelasi lemah dengan menggunakan uji Somers’d.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chamorro dkk

(2006), terdapat 17 (15%) pasien mengalami infeksi dan menunjukkan

peningkatan kadar leukosit, neutrofil, monosit, limfosit, IL6 dan IL10 yang

meningkat seiring waktu, sementara TNF dan rasio TNF IL10 menurun.

Berdasarkan regresi logistik terdapat IL10 (OR 1,42, CI 95% 1,01-1,16),

kadar monosit (OR 1,42, CI 95% 1,08-1,87) dan skore NIHSS (OR 1,17,

CI 95% 1,05-1,31) merupakan predictor independent infeksi sistemik.

Pada studi Urra dkk (2009), peningkatan kadar monosit pada hari

ke 2 sampai ke 7 onset stroke berhubungan dengan stroke terkait infeksi.

(29)

bahwa leukosit, CRP, monosit maupun PCT yang diperiksa pada hari

pertama rawatan tidak sensitif untuk memprediksi terjadinya infeksi

berkaitan dengan stroke.

Monosit merupakan sel imun bawaan multifungsi dengan peran

yang sangat penting sekali pada regulasi dari inflamasi dan perbaikan

jaringan. Pasien dengan stroke iskemik akut, selnya meningkat di darah,

dan menggambarkan perubahan fenotif yang berkurang pada saat

ekspresi dari molekul antigen dan rendahnya produksi dari tumor nekrosis

faktor proinflamasi, juga produksi dari anti inflamasi IL-10 berubah.

Perubahan ini penting yang berhubungan dengan risiko infeksi pasca

stroke, dimana ada gangguan keseimbangan antar monosit proinflamasi

klasik CD14+ dan CD16+ untuk perbaikan monosit berhubungan dengan

outcome stroke (Chamorro dkk,2012).

Pada pasien stroke akut, terdapat peningkatan yang signifikan

kadar monosit dalam sirkulasi, dan peningkatan ini mencolok terutama

pada pasien yang mengalami infeksi terkait stroke (Urra dkk, 2009).

Perbandingan hubungan antara kadar monosit pada pasien stroke

fase akut dengan terjadi infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat

pada tabel 13.

Tabel 12. Perbandingan hubungan kadar leukosit dengan terjadi

infeksi

Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

(30)

lemah.

Fluri dkk 2012 Leukosit, CRP, copeptin dan PCT merupakan

prediktor independent pada infeksi, pneumonia,

dan infeksi saluran kemih yang berkembang paling

tidak 24 jam setelah pengukuran. Dari analisa

univariat kadar leukosit yang tinggi pada saat

masuk rumah sakit 3,35 kali berisiko terjadi infeksi

(OR 3,35; CI 95% 2,14-5,23).

Furlan dkk 2013 Pasien dengan kadar leukosit tinggi pada saat

masuk rumah sakit lebih rentan terhadap infeksi

saluran kemih atau pernafasan dan sepsis pada

hari-hari berikutnya setelah stroke.

IV.2.4. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Terjadi Infeksi

pada Stroke Fase Akut

Pada penelitian ini, didapatkan 6 orang (25%) yang memiliki kadar

procalcitonin normal dan terjadi infeksi, dan 18 orang (75%) memiliki kadar

procalcitonin normal tidak terjadi infeksi. Berdasarkan kadar procalcitonin

yang tinggi, terdapat 22 orang (84,6%) yang terjadi infeksi dan 4 orang

(15,4%) yang tidak terjadi infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan

antara kadar procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut

(r=0,604 p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat dengan menggunakan

uji Somers’d.

Procalcitonin meningkatkan prediksi terjadinya SAI dibandingkan

dengan penanda prognostik kuat yang lainnya. Kombinasi biomarker

(31)

dapat memprediksi terjadinya infeksi yang lebih akurat dari awal terjadinya

infeksi walaupun klinisnya belum jelas. Biomarker diselidiki untuk

mendeteksi infeksi sebelum tanda-tanda klinis atau paraklinikal di

diagnosis lanjut sampai mengarah ke diagnosis infeksi. Dengan demikian,

tanda tersebut dapat membantu dalam stratifikasi risiko dan dapat memilih

pasien berisiko tinggi untuk studi intervensi (Fluri dkk, 2012).

Berdasarkan latar belakang gangguan sistem imun pada pasien

stroke disatu sisi dan adanya respon inflamasi sistemik disisi lain, hal ini

benar-benar menjelaskan apakah konsentrasi PCT berubah pada pasien

stroke dengan infeksi (Miyakis dkk, 2013).

Perbandingan hubungan antara kadar procalcitonin dengan terjadi

infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 13. Perbandingan hubungan kadar monosit dengan terjadi

infeksi pada stroke fase akut.

Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

kadar monosit dengan terjadi infeksi pada

stroke fase akut (r=0,208; p=0,135), dengan

kekuatan korelasi lemah.

Chamorro dkk 2006 Terdapat 17 (15%) pasien mengalami infeksi

dan menunjukkan peningkatan kadar leukosit,

neutrofil, monosit, limfosit, IL6 dan IL10 yang

meningkat seiiring waktu.

Urra dkk 2009 Peningkatan kadar monosit pada hari ke 2

sampai ke 7 onset stroke berhubungan dengan

(32)

dkk diperiksa pada hari pertama rawatan tidak

sensitive untuk memprediksi terjadinya infeksi

berkaitan dengan stroke

IV.2.5.Hubungan Antara Kadar Leukosit pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Pada penelitian ini didapatkan didapatkan 18 orang (78,3%) yang

memiliki kadar leukosit normal dan outcome fungsional baik, dan 5 orang

(21,7%) memiliki kadar leukosit normal dan outcome fungsional buruk.

Berdasarkan kadar leukosit yang tinggi, terdapat 3 orang (11,1%) dengan

outcome fungsional baik dan 24 orang (88,9%) dengan outcome

fungsional buruk. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

leukosit pada stroke fase akut dengan outcome fungsional (r=-0,685

p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat dengan menggunakan uji

Somers’d.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Whiteley

dkk (2009) mendapatkan kadar leukosit tinggi bermakna sebagai prediktor

outcome yang buruk. Agnihotri dkk (2011), mendapatkan hubungan yang

signifikan antara kadar leukosit dengan mortalitas (r=1,083; p=0,039) serta

outcome yang buruk saat pasien pulang (r=1,357; p=0,001).

Pada studi Peng dkk (2011), terdapat hubungan yang signifikan

antara kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit pada pasien stroke

iskemik akut dengan outcome. Kadar leukosit pada saat masuk 11.0 –

(33)

risiko ketergantungan, dan 4,79 dan 5,59 kali meningkatkan risiko

kematian pada pasien stroke iskemik akut dibanding dengan kadar

leukosit <10.0 x109/L.

Nardi dkk (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit dengan

outcome fungsional (r=0,21; p=<0,001).

Mekanisme yang menghubungkan kadar leukosit dengan outcome

masih belum dimengerti. Buck dkk (2008) melaporkan bahwa, pada stroke

iskemik akut, peningkatan di awal pada total leukosit dan neutrofil

dikaitkan dengan volume yang besar pada jaringan iskemik awal.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk (2013),

menunjukkan bahwa kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk

berhubungan dengan outcome yang buruk. Hubungan terbalik diamati

antara tingkat limfosit dan outcome yang buruk layak pertimbangan

khusus. Peranan limfosit di perburukan neurologi masih belum jelas, tetapi

telah disarankan bahwa subtipe spesifik limfosit (yaitu, sel T-regulatory)

memainkan peran penting dalam membatasi respon inflamasi terlihat di

stroke. Outcome yang buruk yang diamati di pasien dengan jumlah limfosit

lebih rendah bisa saja hasil dari sel-sel T-regulatory lebih sedikit yang

tersedia untuk memodulasi respon imun, sehingga menyebabkan

kerusakan otak yang lebih besar. penelitian tambahan diperlukan untuk

(34)

Perbandingan hubungan antara kadar leukosit dengan outcome

fungsional pada pasien stroke fase akut dengan studi sebelumnya dapat

dilihat pada tabel 15.

Tabel 14. Perbandingan hubungan kadar procalcitonin dengan terjadi

infeksi pada stroke fase akut.

Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

procalcitonin dengan terjadi infeksi pada stroke

fase akut (r=0,604 p=0,000), dengan kekuatan

korelasi kuat.

Fluri dkk 2012 Leukosit, CRP, copeptin dan procalcitonin

merupakan prediktor independen untuk beberapa

infeksi, pneumonia dan infeksi saluran kemih

berkembang paling tidak setelah 24 jam setelah

pengukuran.

IV.2.6. Hubungan Antara Kadar Monosit pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Pada penelitian ini, didapatkan 14 orang (53,8%) yang memiliki

kadar monosit normal dan outcome fungsional baik, dan 12 orang (46,2%)

memiliki kadar monosit normal dan outcome fungsional buruk.

Berdasarkan kadar monosit yang tinggi, terdapat 7 orang (29,2%) dengan

outcome fungsional baik dan 17 orang (70,8%) dengan outcome

fungsional buruk. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar

monosit pada stroke fase akut dengan outcome fungsional (r=-0,253;

p=0,067), dengan kekuatan korelasi lemah dengan menggunakan uji

(35)

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Adeoye dkk (2014)

bahwa peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR4 di monosit dikaitkan dengan

outcome yang buruk setelah ICH.

Pada studi Urra dkk (2009), outcome yang buruk berhubungan

dengan peningkatan ekspresi Toll-like receptor-4 pada monosit (OR 9,61;

CI 95% 1,27-72,47). Terdapat hubungan yang independent antara

peningkatan ekspresi TLR4 di monosit dan outcome yang buruk setelah

stroke pada manusia, hal ini konsisten dengan data eksperimental

sebelumnya yang menunjukkan bahwa pengurangan TLR4 pada tikus

yang memiliki infark yang lebih kecil dan kurangnya respon inflamasi

setelah iskemik, dan kerusakan otak yang disebabkan oleh mekanisme

stroke primer melalui signal TLR4.

Perbandingan hubungan antara kadar monosit dengan outcome

fungsional pada pasien stroke fase akut dengan studi sebelumnya dapat

dilihat pada tabel 16.

IV.2.7.Hubungan Antara Kadar Procalcitonin pada Stroke Fase Akut

dengan Outcome Fungsional

Pada penelitian ini, didapatkan 13 orang (54,2%) yang memiliki

kadar procalcitonin normal dan outcome fungsional baik, dan 11 orang

(45,8%) memiliki kadar procalcitonin normal dan outcome fungsional

(36)

outcome fungsional buruk. Terdapat hubungan yang tidak signifikan

antara kadar procalcitonin pada stroke fase akut dengan outcome

fungsional (r=-0,240; p=0,086), dengan kekuatan korelasi lemah dengan

menggunakan uji Somers’d.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Deng dkk (2014), dari 378

pasien stroke, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara

kadar procalcitonin dengan outcome jangka pendek menggunakan mRs.

Procalcitonin merupakan marker prognostik independen pada outcome

fungsional yang buruk (OR 3,45; CI 95% 2,29-4,77), setelah diadjust

NIHSS dan faktor perancu lainnya pada pasien stroke iskemik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Fuentes dkk (2009), tingkat

PCT sangat terkait dengan keparahan stroke. Stroke berat berimplikasi

dengan outcome yang buruk; itu tidak mengherankan bahwa PCT juga

dikaitkan dengan outcome yang buruk. Karena PCT tetap secara

independen terkait dengan outcome bahkan setelah disesuaikan untuk

keparahan stroke, bagaimanapun, tampaknya bahwa penanda ini dapat

memberikan informasi tambahan prognostik umum.

Tingkat PCT dan CRP berhubungan dengan tingkat keparahan

disfungsi organ. Mediator inflamasi yang dihasilkan selama penyakit kritis

(misalnya, tumor necrosis factor-a, PCT) memulai kaskade sistemik

kerusakan endotel, pembentukan trombin, dan mikrovaskuler (Deng,

(37)

outcome fungsional pada stoke fase akut dengan studi sebelumnya dapat

dilihat pada tabel 17.

Tabel 15. Perbandingan hubungan kadar leukosit pada stroke fase

akut dengan outcome dengan studi sebelumnya.

Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang signifikan antara

kadar leukosit pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional (r=-0,685 p=0,000), dengan kekuatan korelasi kuat.

Whiteley dkk 2009 Kadar leukosit tinggi bermakna sebagai

prediktor outcome yang buruk.

Agnihorti dkk 2011 Terdapat hubungan yang signifikan antara

kadar leukosit dengan mortalitas (r=1,083;

p=0,039) serta outcome yang buruk saat pasien pulang (r=1,357; p=0,001).

Peng dkk 2011 Terdapat hubungan yang signifikan antara

kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit

pada pasien stroke iskemik akut dengan

outcome.

Nardi dkk 2012 Terdapat hubungan yang signifikan antara

kadar leukosit pada saat masuk rumah sakit

dengan outcome fungsional (r=0,21; p=<0,001). Kumar dkk 2013 Kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk

berhubungan dengan outcome yang buruk.

Tabel 16. Perbandingan hubungan kadar monosit pada stroke fase

(38)

kadar monosit pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional (r=-0,253; p=0,067), dengan kekuatan korelasi lemah.

Adeoye dkk 2014 Peningkatan ekspresi TLR2 dan TLR4 di monosit

dikaitkan dengan outcome yang buruk setelah ICH.

Urra dkk 2009 Outcome yang buruk berhubungan dengan peningkatan ekspresi Toll-like receptor-4 pada

monosit (OR 9,61; CI 95% 1,27-72,47).

Tabel 17. Perbandingan hubungan kadar procalcitonin pada stroke

fase akut dengan outcome

Penelitian ini 2016 Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara

kadar procalcitonin pada stroke fase akut dengan

outcome fungsional (r=-0,240; p=0,086), dengan kekuatan korelasi lemah

Deng dkk 2014 Terdapat hubungan yang signifikan secara

statistik antara kadar procalcitonin dengan

outcome jangka pendek menggunakan mRs Fuentes dkk 2009 Yingkat PCT sangat terkait dengan keparahan

stroke.

IV.2.8. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan

Terjadi Infeksi pada Stroke Fase Akut

Pada penelitian ini didapatkan, pasien stroke fase akut dengan

kadar leukosit tinggi pada saat masuk rumah sakit kemungkinan 3,69 kali

(39)

memiliki kadar leukosit normal pada saat masuk rumah sakit. Pasien

stroke fase akut dengan kadar monosit tinggi pada saat masuk rumah

sakit kemungkinan 2,33 kali untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan

dengan pasien yang memiliki kadar monosit normal pada saat masuk

rumah sakit. Sedangkan pasien stroke fase akut dengan kadar

procalcitonin tinggi pada saat masuk rumah sakit kemungkinan 16,50 kali

untuk mengalami terjadi infeksi dibandingkan dengan pasien yang

memiliki kadar procalcitonin normal pada saat masuk rumah sakit.

Berdasarkan data dari subjek penelitian didapatkan, risiko terbesar

terjadinya infeksi pada stroke fase akut yang secara statistik signifikan

adalah pada variabel procalcitonin (OR 0,022; CI 95% 0,002-0,205),

dibandingkan leukosit dan monosit (OR 0,073; CI 95% 0,008-0,654, OR

1,174; CI 95% 0,244-5,644)

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chamorro dkk

(2006),terdapat 15% pasien stroke mengalami infeksi dan terdapat

peningkatan kadar leukosit, neutrofil, monosit, limfosit, IL6 dan IL10

dengan penurunan rasio TNF- dan TNF- IL10. Dengan regresi logistik

didapatkan IL10 OR 1,08, CI 95% 1,01-1,16; kadar monosit OR 1,42, CI

95% 1,08-1,87; dan skore NIHSS pada saat masuk OR 1,17, CI 95%

1,05-1,31 yang merupakan prediktor independen untuk terjadi infeksi.

Fluri dkk (2012) menemukan bahwa dari 383 pasien stroke, 66

(40)

independent pada infeksi, pneumonia, dan infeksi saluran kemih yang

berkembang paling tidak 24 jam setelah pengukuran. Dari analisa

univariat kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk rumah sakit 3,35 kali

berisiko terjadi infeksi (OR 3,35; CI 95% 2,14-5,23), monosit dengan OR

1,43; CI 95% 1,03-2,00, CRP dengan OR 1,50; CI 95% 1,22-1,84, serta

procalcitonin dengan OR 1,91; CI 95% 1,38-2,63.

Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah awitan

(onset) iskemik dengan karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di

endotel pembuluh darah dan leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak

melewati endotel keluar dari sirkulasi dan penetrasi ke jaringan parenkim

otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi (Misbach dkk, 2011).

Inflamasi setelah proses iskemik ditandai oleh aktivasi cepat sel

mikroglia dan proses infiltrasi dari sel neutrofil serta makrofag pada daerah

yang mengalami kerusakan, beberapa mekanisme antara lain second

messenger yang teraktivasi oleh ion kalsium, peningkatan radikal bebas

oksigen dan hipoksia akan mencetuskan beberapa gen proinflamasi

melalui beberapa faktor transkipsi (Amantea dkk, 2008)

Mediator inflamasi seperti platelet activating factor, tumor necrotic

factor- , interleukin-1β dan IL-6 dihasilkan dari sel iskemik. Sebagai

akibatnya adalah teraktivasinya adhesion molecule pada endotel seperti

ICAM-1, P-selektin, dan E-selectin. Adhesion molecule akan berinteraksi

dengan komplemen pada permukaan reseptor sel neutrofil. Proses

(41)

endotel, menembus dinding pembuluh darah, dan akhirnya menuju pada

parenkim otak yang mengalami iskemik. Masuknya neutrofil akan diikuti

oleh makrofag dan monosit (Dirnagl dkk, 2005).

Proses inflamasi pasca iskemik akan memperparah kerusakan sel

pada saat iskemik melalui beberapa jalur seperti adanya blockade aliran

darah oleh neutrofil, mediator toksik yang dihasilkan oleh sel inflamasi.

Reaksi inflamasi juga akan menginduksi sel untuk melakukan kematian

sel yang terprogram atau apoptosis (Dirnagl dkk, 2005).

Walaupun respon awal lokal terhadap kerusakan otak adalah

pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi yang disertai dengan respon

inflamasi sistemik, pasien-pasien dengan lesi di SSP juga menunjukkan

adanya tanda-tanda immunodepresi (Meisel dkk, 2012).

Adanya imunodepresi setelah stroke sudah banyak dinilai namun

mekanisme penyampaian signal yang mempengaruhi sistem saraf pusat

simpatis dan aksis hypothalamic-pituitari yang meregulasi penurunan

respon imun setelah iskemia sel otak masih belum jelas. Beberapa

percobaan klinis menunjukkan adanya produksi cytokine proinflammatory

oleh jaringan otak yang rusak secara langsung menimbulkan aktivasi SSP

dan aksis hypothalamic-pituitary. Peningkatan nilai cytokine seperti

interleukin1, TNF dan interleukin 6 telah terbukti terjadi pada kerusakan

parenkim otak dan cairan serebrospinal. Karena sistem otonom pada

(42)

keadaan stroke akan terjadi kerusakan struktur susunan sistem saraf

pusat simpatis yang meliputi vegetative neuroimmunomodulation.

Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan adanya stress pada sistem saraf

pusat dan peradangan pada sistem saraf pusat merupaka penyebab

terjadinya immunodepresion system (Dirnagl dkk, 2007).

Perbandingan besar risiko leukosit, monosit, dan procalcitonin

dengan risiko terjadi infeksi dengan studi sebelumnya dapat dilihat pada

tabel 18.

IV.2.9. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan. Pertama, pada penelitian ini

pemeriksaan kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin hanya dilakukan

satu kali pada saat pasien masuk rumah sakit saja, sehingga tidak bisa

melihat perbandingan kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin pada hari

berikutnya. Kedua, jumlah sampel penelitian masih relatif sedikit untuk

memberikan hasil yang representatif.

Tabel 18. Perbandingan risiko leukosit, monosit, dan procalcitonin

dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut

Penelitian ini 2016 Didapati risiko leukosit, monosit, dan

procalcitonin dengan terjadinya infeksi pada

stroke fase akut ((OR 1,79 CI 95%

1,139-11,078), (OR 2,33 CI 95% 0,741-7,344), dan (OR

16,50 CI 95% 4,028-67,596)).

Chamorro

dkk

2006 Didapatkan IL10 OR 1,08, CI 95% 1,01-1,16;

(43)

skore NIHSS pada saat masuk OR 1,17, CI 95%

1,05-1,31 yang merupakan prediktor independen

untuk terjadi infeksi.

Fluri dkk 2012 Kadar leukosit yang tinggi pada saat masuk

rumah sakit 3,35 kali berisiko terjadi infeksi (OR

3,35; CI 95% 2,14-5,23), monosit dengan OR

1,43; CI 95% 1,03-2,00, CRP dengan OR 1,50;

CI 95% 1,22-1,84, serta procalcitonin dengan OR

(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit dengan

terjadi infeksi pada stroke fase akut secara statistik dengan

kekuatan korelasi lemah dengan korelasi positif dimana semakin

tinggi kadar leukosit semakin tinggi risiko terjadi infeksi (r=0,315;

p=0,020).

2. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar monosit

dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut secara statistik dengan

kekuatan korelasi lemah (r=0,208; p=0,135).

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar procalcitonin

dengan terjadi infeksi pada stroke fase akut secara statistik dengan

kekuatan korelasi kuat dengan korelasi positif dimana semakin

tinggi kadar procalcitonin semakin tinggi risiko terjadi infeksi

(r=0,604; p=0,000).

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit pada

stroke fase akut dengan outcome fungsional secara statistik

(45)

semakin tinggi kadar leukosit semakin buruk outcome fungsional

(r=-0,685; p=0,000).

5. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar monosit

pada stroke fase akut dengan outcome fungsional secara statistik

dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0,253; p=0,067).

6. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar procalcitonin

pada stroke fase akut dengan outcome fungsional secara statistik

dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0,240; p=0,086).

7. Pasien stroke fase akut dengan kadar leukosit tinggi pada saat

masuk rumah sakit berisiko lebih dari tiga setengah kali mengalami

infeksi dibanding dengan pasien stroke fase akut dengan kadar

leukosit normal (OR 3,69; CI 95% 1,139-11,078).

8. Pasien stroke fase akut dengan kadar monosit tinggi pada saat

masuk rumah sakit berisiko lebih dari hampir dua setengah kali

mengalami infeksi dibanding pasien stroke fase akut dengan kadar

leukosit normal (OR 2,33; CI 95% 0,741-7,344).

9. Pasien stroke fase akut dengan kadar procalcitonin tinggi pada saat

masuk rumah sakit berisiko lebih dari hampir enam belas setengah

kali mengalami infeksi dibanding pasien stroke fase akut dengan

(46)

V.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, kami mengajukan beberapa saran,

yaitu:

1. Sebaiknya pasien stroke yang dirawat inap diperiksa kadar

procalcitonin karena merupakan penanda untuk infeksi walaupun

tidak dijumpai gejala klinis pada pasien.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan studi

kohort sehingga peranan kadar leukosit, monosit, dan procalcitonin

terhadap outcome fungsional pada stroke dapat dijelaskan lebih

lanjut.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang

Gambar

Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4. Hubungan Antara Kadar Leukosit dengan Terjadi Infeksi
Tabel 9. Hubungan Antara Kadar Procalcitonin dengan Outcome
Tabel 10. Besar Risiko Leukosit, Monosit, dan Procalcitonin dengan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah tersebut lebih rendah dari pada jumlah penduduk miskin di tiga kabupaten lain di Madura yang notabene merupakan daerah penghasil migas, seperti Sumenep,

Haloho,Manna G.D., Johannes Tarigan, 2015, “ Perbandingan Kekuatan Balok Beton tanpa Perkuatan dengan Balok Beton Menggunakan Pelat Baja yang Diangkur ”, Medan.. ACI

Pada radix pulmonis dexter bronchus lobus superior berada di sebelah cranial, ramus dexter arteria pulmonalis berada di sebelah caudo-ventralnya, bronchus lobus medius dan

Proses Pengujian Penurunan Balok Normal

Di ruang rapat Universitas Sanata Dharma, dosen sedang memberikan bolpen dan buku tulis untuk mengikuti acara pendampingan tentang latihan kepemimpinan, sesuai jadual bimbingan

Terlepas Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan bahwa ritual slametan kelahiran seperti memperingati umur

Therefore, the goal of developing an alternative INS/GNSS integration scheme is to reduce the impact of remaining limiting factors of KF and improve the

Program tahap kedua diprioritaskan pada konsumen yang menengah ke atas. Produk-produknya rumah hunian yang sengaja untuk mereka yang punya kelas sosial ke atas. Maka dari itu