• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keseimbangan Kedudukan Hukum Para Pihak Pada Transaksi E-Commerce (Studi Pada PT. Bukalapak.Com) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keseimbangan Kedudukan Hukum Para Pihak Pada Transaksi E-Commerce (Studi Pada PT. Bukalapak.Com) Chapter III V"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

A.

Sejarah dan Perkembangan Perlindungan Konsumen Pada Transaksi

E-Commerce

Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.29

Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari Amerika Serikat yang tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan mengenai masalah perlindungan konsumen. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19. Pada tahun 1891 di New York terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali dan pada tahun 1898 di

29

(2)

tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang secara pesat sehingga pada tahun 1903. Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 6 cabang yang meliputi 20 Negara Bagian.30

Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu FTC (Federal Trade Commision) pada tahun 1914. Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an (dapat dianggap era pergolakan konsumen) mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen dari pendidik yang dimulai dengan penulisan buku-buku konsumen dan perlindungan konsumen disertai dengan riset-riset yang mendukungnya.31

5.

Irlandia:

Consumers Information Act

, Tahun 1978.

Era ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (Consumers Law). Pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumers message dalam kongres dan kemudian dianggap era baru gejolak konsumen. Era ketiga tersebut menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk undang-undang perlindungan konsumen. Beberapa undang-undang perlindungan konsumen negara-negara di dunia adalah sebagai berikut:

1.

Singapura:

The Consumer Protection

(

Trade Description and Safety

Requirement Act

, Tahun 1975).

2.

Thailand:

Consumer Act

, Tahun 1979.

3.

Jepang:

The Consumer Protection Fundamental

, Tahun 1968.

4.

Australia:

Consumers Affairs Act

, Tahun 1978.

30

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 7.

31

(3)

6.

Finlandia:

Consumer Protection Act

, Tahun 1978.

7.

Inggris:

The Consumers Protection Act

, Tahun 1970, kemudian

diamandemen pada Tahun 1971.

8.

Kanada:

The Consumers Protection Act dan The Consumers Protection

Amandement Act,

Tahun 1971.

Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap produksi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Gerakan ini dimulai dari desakan masyarakat agar diadakannya pengawasan-pengawasan sehingga masyarakat tidak dirugikan dalam kegiatan promosi ini. Atas dasar inilah dimulai gerakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.

Setelah sekian lama suara-suara tersebut terdengar oleh pemerintah negara Indonesia, akhirnya pasca reformasi mulailah dibentuk RUU yang mengacu kepada perlindungan konsumen. Tidak lama RUU ini diajukan, Presiden Indonesia sendiri langsung mengesahkan Undang-Undang yang termasuk salah satu aturan Nasional di negara kita pada tanggal 20 April 1999 yang dinamakan dengan “Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Aturan itupun berlaku efektif satu tahun kemudian.

(4)

yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen saja tetapi juga pelaku usaha yang tersebut. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha saja tetapi juga merugikan konsumen yang baik.

Proses lahirnya suatu undang-undang perlindungan konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal membutuhkan waktu 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari:32

32

Az. Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No. 8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.

1.

Seminar pusat studi hukum dagang, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15-16

Desember 1975.

2.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,

penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek tahun

1979-1980).

3.

DPHN – Departemen Kehakiman, naskah akademis peraturan

perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (proyek tahun 1980-1981).

4.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang perlindungan

konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan

Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, pada tahun 1981.

5.

Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, RUU tentang Perlindungan Konsumen, pada tahun

(5)

6.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rancangan

Undang-undang usulan inisiatif DPR tentang Undang-Undang-undang Perlindungan

Konsumen, pada 1998.

Selain pembahasan-pembahasan diatas, masih terdapat berbagai lokakarya, penyuluhan, seminar, di dalam dan di luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan berujung pada disetujuinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) tersebut yang disahkan oleh DPR RI dan Presiden RI.

B.

Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen secara yuridis dapat di temukan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”33

33

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit.,hlm. 38.

. Sementara pada angka 2 yang dimaksud dengan “Konsumen” adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

(6)

1. Asas kemanfaatan,

2. Asas keadilan,

3. Asas keseimbangan,

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, serta

5. Asas kepastian hukum.

Asas kemanfaatan mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

Asas keseimbangan menghendaki agar kepentingan konsumen, produsen-pelaku usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

(7)

warga masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan sama oleh negara atau penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak sewenang-wenang.34

Dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi.

Dalam diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen ini tidak berarti mengabaikan hak-hak atau kepentingan pelaku usaha karena dalam undang-undang ini selain hak konsumen juga diatur tentang kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha. Hak konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 4 yang terdiri dari 10 (sepuluh) ayat, sedangkan kewajibannya diatur dalam Pasal 5 yang terdiri dari 5 (lima) ayat. Sementara hak pelaku usaha diatur dalam pasal 6 yang terdiri dari 5 (lima) ayat dan kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 7 yang terdiri dari 6 (enam) ayat. Dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menghendaki terjadinya simbiosis mutualisme antara konsumen dan pelaku usaha.

35

Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

34

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 26.

35

(8)

Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang dibuat diatas kertas.36

Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang dimaksud oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak Oleh karena itu kewajiban perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi elektronik baik dalam bentuk e-payment, card payment, maupun mobile payment harus disamakan dengan perlindungan konsumen pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

C.

Bentuk-bentuk Kerugian Konsumen dalam Transaksi E-Commerce

Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-commerce, tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang diderita konsumen dapat berupa :

Wanprestasi

36

(9)

konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha ini antara lain :37

D.

Upaya Hukum Apabila Timbulnya Kerugian Konsumen

1.

Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan Dilakukan

Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan wanprestasi.

2.

Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat

Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada

nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat

dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.

Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan

sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

3.

Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan

Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi

konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh

penjual tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh

konsumen sendiri dan

cookies

yang berasal dari situs penjual. Penyebaran

terhadap informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan konsumen,

terlebih lagi terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.

37

(10)

Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu

masalah hukum. Dalam e-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :38

“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin

1.

Upaya hukum preventif

Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang

dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan

yang tidak diinginkan. Dalam transaksi

e-commerce

, keadaan yang

tidak diinginkan ini adalah terjadinya kerugian, khususnya

kerugian pada pihak konsumen.Upaya preventif perlu untuk

diterapkan mengingat penyelesaian sengketa

e-commerce

relatif

sulit, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan

tidak jarang memerlukan biaya yang tinggi. Sebagai contoh dua

orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 bulan untuk

mendapatkan

refund

(pembayaran kembali) atas barang yang dibeli.

Maka dari itu, sengketa

e-commerce

sebisa mungkin harus dicegah.

Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian

langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :

a.

Pembinaan Konsumen

Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat

1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:

38

(11)

diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta

dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.

Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan untuk :

1.

Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat

antara pelaku usaha dengan konsumen.

2.

Berkembangnya lembaga konsumen swadaya

masyarakat.

3.

Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan

meningkatkan kegiatan penelitian dan

pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak-haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara sehat. Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk mengatasi cybe rcrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tidak hanya berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui kejahatan-kejahatan internet (cybe rcrimes). Hal-hal yang perlu diberikan dalam edukasi terhadap konsumen adalah :

1.

Hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak

terkait. Baik konsumen, pelaku usaha, maupun bank

(12)

2.

Pentingnya menjaga keamanan password seperti

misalnya :

a.

Merahasiakan dan tidak memberitahukan

PIN/password

kepada siapapun termasuk

kepada petugas penyelenggara.

b.

Menggunakan

PIN/password

yang tidak

mudah ditebak.

c.

Melakukan perubahan

PIN/password

secara

berkala.

d.

Tidak mencatat

PIN/password

dalam bentuk

fisik.

e.

PIN/password

untuk satu akun hendaknya

berbeda dengan akun lainnya.

3.

Edukasi mengenai berbagai modus

cyber crime

Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri-menteri teknis terkait (Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Namun dalam prakteknya, peranan pemerintah dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen untuk menuntut pelaku usaha.

b.

Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun

(13)

Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan tercantum dalam Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa:

“Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Perlindungan oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (backup) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap data elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini terlihat dalam :

1.

Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang

memblokir konten-konten internet yang

mengandung unsur pornografi dan konten yang

(14)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik).

2.

Pengawasan terhadap bank yang memiliki data

elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank

Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik).

Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.

Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.

2.

Upaya hukum represif

Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.

(15)

penyelesaian sengketa secara pantas (Pasal 4 butir e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (Pasal 7 butir f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang dapat menimbulkan suatu sengketa sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.

Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik e-commerce yang bersifat borderless.

Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional

Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa.39

39

(16)

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, para pihak berwenang untuk menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apabila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan pilihan hukum, ada batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut :40

40

Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 70-71.

1.

Partijautonomie

Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar negara, seperti Eropa, Eropa Timur, Negara-negara Asia-Afrika, termasuk Indonesia.

2.

Bonafide

Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.

3.

Real Connection

(17)

4.

Larangan Penyelundupan Hukum

Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.

5.

Ketertiban Umum

Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.

Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional, teori tersebut adalah :41

Hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat.Teori

ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek

pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang

berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu

tempat (

contract between absent person

).Dapat saja mereka berkontrak

melalui telepon atau sarana-sarana lainnya.Alternatif yang tersedia bagi

1.

Teori

Lex loci contractus

41

(18)

kelemahan teori ini adalah pertama, teori

post box

dan teori penerimaan.

Menurut teori

post box

, hukum yang berlaku adalah hukum tempat

post

box

di mana pihak yang menerima penawaran (

offer

) itu memasukkan

surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut

teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana

pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan

penawaran dari pihak yang menerima tawaran.

2.

Teori

Lex loci solutionis

Hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian

dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani.Kesulitan

utama kontrak ini adalah jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu

tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak

(penjual dan pembeli) yang berada di negara berbeda, dan dengan sistem

hukum yang berbeda pula.

3.

Teori

the proper law of contract

Hukum yang berlaku adalah hukum negara yang paling wajar berlaku bagi

kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (

center of gravity

) atau

titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.

4.

Teori

the most characteristic connection

Hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi

yang paling karakteristik.Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini

dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan

kualifikasi

lex loci contractus atau lex loci solutionis

, di samping itu juga

(19)

Upaya hukum Apabila Timbulnya Kerugian Konsumen

1.

Non Litigasi

Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur non-litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:

“jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha sendiri.42

YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen (Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan dari

42

(20)

empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor YLKI, dan email.43

Perbedaannya adalah pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem fill up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Disini YLKI bertindak sebagai mediator.

Sistem kedua yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem fill up.

Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian.

43

(21)

dengan ancaman pencabutan izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk menindaklanjuti permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata disediakan oleh Disperindag.44

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir pengaduan, nantinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan mengundang para pihak yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah 21 hari sejak pengaduan diterima (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7 hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut.45

44

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 45.

45

(22)

Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer service. Akan tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak dapat memuaskan konsumen.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang tersedia telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan kesadaran bagi konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya, dimana dalam praktek konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-haknya.

2.

Litigasi

Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa:

“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan

berupa gugatan perdata (Pasal 39 ayat 1).

(23)

“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.

Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :

a.

Bukti transfer atau bukti pembayaran.

b.

SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan

pembelian.

c.

Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.

Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam sengketa konsumen menurut pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :

a.

Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya.

b.

Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

c.

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang

tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk kepentingan

konsumen.

d.

Pemerintah atau instansi terkait.

(24)

a.

Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan

ke pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian

yang diderita, hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal

berikut :

46

4.

bahwa pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, hal ini

karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menganut asas pertanggungan

jawab produk (

product liability

) sebagaimana diatur dalam

Pasal 19 juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ini berbeda dengan

teori beban pembuktian pada acara biasa, dimana beban

pembuktian merupakan tanggung jawab penggugat

(konsumen) untuk membuktikan adanya unsur

kesalahan.Dengan adanya prinsip

product liability

ini,

maka konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku

usaha cukup menunjukkan bahwa produk yang diterima

dari pelaku usaha telah mengalami kerusakan pada saat

1.

Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat

diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya.

2.

Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi

siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan

3.

Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan.

46

(25)

diserahkan oleh pelaku usaha dan kerusakan tersebut

menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si

konsumen.

47

Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang diperbuatnya. Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa kompensasi/ganti rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau jasa sejenis atau yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.

47

(26)

BAB IV

KESEIMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK PADA TRANSAKSI E-COMMERCE

A.

Legalitas Transaksi

E-Commerce

E-Commerce

lahir berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara

elektronik antara penjual dan pembeli.Hingga saat ini masih terjadi kekosongan

hukum di Indonesia perihal transaksi elektronik, sebab belum terakomodir tentang

syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara khusus.

48

Namun, prinsip dasar pemberlakuan suatu kontrak di Indonesia mengacu

pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga dapat pula

diterapkan pada kontrak elektronik. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:

49

Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam

e-commerce

diukur melalui

pembeli yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet.Hal

ini dapat diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah

hubungan hukum.

e-commerce

ini secara tertuang dalam kontrak baku

dengan prinsip

take it or leave it

, sebab seluruh penawaran beserta

persyaratan pembelian suatu produk sudah tercantum dan pembeli dapat

menyetujuinya atau tidak. Persetujuan yang diberikan oleh pembeli ini

1.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

48

Yosefin Mulyaningtyas, Aspek Hukum E-Commerce/ Hukum Jual Beli Online, http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-E-Commerce-hukum-jual-beli-online, diakses pada 12 Februari 2017.

(27)

menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga kesepakatan

dalam kontrak elektronik lahir.

2.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum,

yaitu seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak

dibawah pengampuan. Unsur kecapakan dalam

e-commerce

sulit untuk

diukur, sebab setiap orang (tanpa dibatasi dengan umur tertentu) dapat

mejalankan transaksi elektronik sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronik (“UU

ITE”). Berdasarkan ketentuan ini, anak-anak yang masih di bawah umur

dapat melakukan transaksi

e-commerce

dan tidak memenuhi syarat

subjektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Oleh

karena itu, kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang

mengajukan pembatalan di pengadilan.

3.

Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan

dapat ditentukan jenisnya.Produk yang ditawarkan secara online tertuang

dalam bentuk gambar atau foto yang disertai dengan spesifikasi produk

tersebut.Namun, tidak ada jaminan bahwa produk tersebut pasti

dikirimkan kepada pembeli sekalipun telah membayar melalui sistem

(28)

4.

Suatu sebab yang halal

Maksud dari suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan

Undang-Undang, kesusilaan, dan kepentingan umum.Dalam

e-commerce

harus dipastikan bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad

baik oleh penjual dan pembeli.Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka

kontrak elektronik batal demi hukum.

E-Commerce telah sah menurut hukum sepanjang memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sebab melekat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam e-commerce. Sedangkan, syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena melekat pada objek dalam e-commerce. Apabila syarat pertama dan/atau syarat kedua tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu selama 5 (lima) tahun sesuai dengan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal syarat ketiga dan/atau syarat keempat tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada dan tidak ada dasar untuk menuntut.50

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah kesesuaian kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.51

50

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 16.

51

(29)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Legal Officer Bukalapak.com, Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., transaksi pada situs Bukalapak dianggap telah sah secara hukum setelah pembeli klik “Beli” pada halaman pembelanjaan suatu produk. Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu

belum diserahkan dan harganya belum dibayar.” Walaupun demikian, Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan”. Dengan demikian, pada saat setelah klik tombol “Beli”, Pembeli harus segera mengirimkan dana produk dalam waktu 1x24 jam guna diproses pengiriman barang oleh Penjual/Pelapak sehingga kepemilikan barang dapat berpindah.52

Adapun pihak PT. Bukalapak.com mengharuskan pihak Penjual/Pelapak dan Pembeli menyetujui aturan penggunaan pada situs Bukalapak.com, yaitu “BL Payment System” yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :53

52

Hasil wawancara penulis dengan Legal Officer PT. Bukalapak.com, Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., pada PT. Bukalapak.com tanggal 1 Maret 2017.

53

(30)
(31)
(32)

Gambar 4.2. Jaminan Bukalapak “BL Payment System”:

Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antar pihak, yaitu:54

54

(33)

1.

Teori kehendak (

wilstheorie

) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada

saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan

surat.

2.

Teori pengiriman (

verzendtheorie

) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima

tawaran.

3.

Teori pengetahuan (

vernemingstheorie

) mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima.

4.

Teori kepercayaan (

vertrouwenstheorie

) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh

pihak yang menawarkan.

Dalam hukum perjanjian ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas, yaitu:55

55

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, 1994, hlm. 58.

1.

Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian

kehendakmempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan

mengenai barangnya.

2.

Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau

tindakan.Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas

maka perjanjian dapat dibatalkan.

3.

Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi

ke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru.Penipuan tidak sekedar

bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata

(34)

4.

Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau

seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus

seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang,

keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman tergerak untuk

melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya

mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.

B.

Faktor – Faktor Penyebab Ketidakseimbangan Kedudukan Para

Pihak dalam Transaksi E-Commerce

Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. “Keseimbangan” dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya”.56

Dalam atau melalui suatu janji, seseorang secara kejiwaan (psyche) menempatkan dirinya dalam suatu situasi dengan keyakinan bahwa “sebagai akibat dari kondisi yang menguntungkan” secara nalar akan dapat diupayakan akibat yang memang dikehendaki. Tentu kehendak dan keyakinan tersebut harus dialami sebagai sesuatu yang memang layak atau nalar. Jika sebaliknya seseorang membayangkan kondisi yang “tidak layak atau tidak masuk akal” (onredelijk), risiko yang muncul ialah kekecewaan bagi pihak yang memiliki bayangan tidak masuk akal tersebut. Semua ini membawa kita pada ihwal keterikatan kontraktual yang layak dibenarkan (gerechtvaardige). Sekaligus hal ini berarti bahwa janji antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada asas adanya keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan

56

(35)

umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.57

Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Adapun akibat ketidaksetaraan prestasi dalam perjanjian bertimbal balik ialah ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih kuat tersebut berpengaruh terhadap perhubungan prestasi satu dengan lainnya, dan hal mana mengacaukan keseimbangan dalam perjanjian, hal ini bagi pihak yang dirugikan akan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan perjanjian.58

Faktor-faktor yang dapat mengganggu keseimbangan perjanjian ialah cara terbentuk perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara dan/atau ketidaksetaraan prestasi-prestasi yang dijanjikan timbal balik. Pada prinsipnya, dengan melandaskan diri pada asas-asas pokok hukum kontrak dan asas keseimbangan, faktor yang menentukan bukanlah kesetaraan prestasi yang diperjanjikan, melainkan kesetaraan para pihak, yakni jika keadilan pertukaran perjanjianlah yang hendak dijunjung tinggi.59

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Legal Officer Bukalapak.com, Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., Faktor penyebab penyimpangan dalam suatu transaksi di Bukalapak.com adalah sangat subjektif ke pelaku itu sendiri. Biasanya faktor penyebab adalah dikarenakan adanya itikad tidak baik dalam suatu transaksi, motif ekonomi hingga persaingan usaha yang tidak sehat diantara Penjual/Pelapak yang satu dengan yang lainnya.60

(36)

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Product Administrator Bukalapak.com, Ibu Ria Adryani, laporan penyimpangan transaksi dapat mencapai lebih kurang 100 laporan per hari. Adapun bentuk penyimpangan yang biasa dilakukan adalah:61

1.

Phising.

Phising

merupakan metode yang digunakan Pelaku untuk mencuri

password

dengan cara mengelabui korban menggunakan

fake form

login

pada situs palsu yang menyerupai situs aslinya. Tujuan utama Pelaku

adalah untuk masuk kedalam akun pribadi Bukalapak guna mencairkan

dana di Buka Dompet Korban ke nomor rekening Pelaku.

2.

Fraudulence

(penipuan).

Bentuk penipuan dalam transaksi Bukalapak biasanya dilakukan oleh

Pembeli dengan tujuan memanipulasi suatu transaksi. Biasanya Pelaku

memanipulasi bukti transfer untuk mengecoh pihak Bukalapak guna

meloloskan pelunasan pembayaran suatu produk.

3.

Miss Auto-Paid.

Miss Auto-Paid

merupakan suatu kecurangan yang dilakukan

Penjual/Pelapak yang satu terhadap Penjual/Pelapak yang lain guna

menghabiskan sisa stok produk pada toko Penjual/Pelapak tersebut

sehingga ketika Pembeli yang asli ingin membeli produk tersebut, Pembeli

tidak dapat meneruskannya dikarenakan produknya telah habis sedangkan

pembelian tersebut tidak diteruskan pembayarannya.

61

(37)

C.

Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Transaksi E-Commerce

Ditinjau dari Hukum Kontrak

Berdasarkan cara terjadinya, ada beberapa kontrak elektronik (e-contract) yang selama ini banyak dilakukan, yaitu:62

Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur, yaitu :

1.

Kontrak elektronik (

e-contract

) yang dilakukan melalui komunikasi surat

elektronik (

e-mail

). Dalam kontrak elektronik ini penawaran dan

penerimaan dipertukarkan melalui surat elektronik atau dikombinasi

dengan media komunikasi elektronik lainnya.

2.

Kontrak elektronik (e

-contract

) yang dilakukan melalui website dan jasa

online lainnya.Dalam bentuk kontrak ini penawaran dilakukan melalui

website dan konsumen melakukan penerimaan penawaran dengan mengisi

formulir yang terdapat dalam website tersebut.

Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian.

63

1.

Unsur Esensialia, yaitu unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena

tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak ada

kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan

mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang

62

Fairuzel Said, https://fairuzelsaid.files.wordpress.com/2011/01/hukum-kontrak.pdf., diakses pada 7Januari2017. pukul 11.40.

63

(38)

dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum

karena tidak ada hal yang diperjanjikan.

2.

Unsur Naturalia, yaitu unsur yang telah diatur dalam Undang-Undang

sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian,

Undang-Undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini

merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.Sebagai contoh,

jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara

otomatis berlaku ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata

bahwa penjual harus menanggung cacat tersembunyi.

3.

Unsur Aksidentalia, yaitu unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak

jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam jual-beli

dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai

membayar utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan,

dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut,

barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditor tanpa melalui

pengadilan.Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan

dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang esensialia dalam

kontrak tersebut.

Di dalam hukum perjanjian dikenal banyak asas, antara lain:64

Asas konsensualisme diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat

terjadinya kesepakatan.Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan

antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum

1.

Asas Konsensualisme

64

(39)

dilaksanakan pada saat itu juga.Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya

kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka

atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah bersifat obligatoir,

yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian

tersebut.

2.

Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

di antaranya:

a.

Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.

b.

Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.

c.

Bebas menentukan isi klausul perjanjian.

d.

Bebas menentukan bentuk perjanjian.

e.

Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

f.

Asas Mengikatnya Suatu Kontrak (

Pacta Sunt Servanda

)

Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi

perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus

dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya

undang-undang.Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

(40)

Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik. Di Belanda dan Jerman, itikad baik

menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan

memperhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.

Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada

tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap

tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat

diperhatikan oleh pihak lainnya.

Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.65

Wanprestasi dapat berupa:66

a.

Sama sekali tidak memenuhi prestasi.

b.

Prestasi tidak dilakukan dengan sempurna.

c.

Terlambat memenuhi prestasi.

d.

Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian.

Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi, antara lain:67

a.

Pemenuhan perjanjian;

b.

Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

(41)

c.

Ganti rugi saja;

d.

Pembatalan Perjanjian;

e.

Pembatalan disertai ganti rugi.

Menurut Budhiyanto sebagaimana dikutip oleh Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom mengidentifikasikan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce terdiri dari:68

68

Didik M. Arief Mansyur & Elisatris Gultom, Op. Cit.,hlm. 152-154.

1.

Penjual (

merchant

), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan

produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka seseorang

harus membuka rekening pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan

agar merchant dapat menerima dana pembayaran dari customer.

2.

Konsumen/

card holder

, yaitu orang – orang yang ingin memperoleh

produk (barang/jasa) melalui pembelian secara online. Konsumen yang

akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan atau perusahaan.

Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan

dalam transaksi

e-commerce

adalah bagaimana sistem pembayaran yang

digunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan mempergunakan

credit

card

(kartu kredit) atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara

manual/transfer bank. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak

semua konsumen yang akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu

kredit/

card holder

. Pemegang kartu kredit (

card holder

) adalah orang

yang namanya tercetak pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit

(42)

3.

Acquirer

, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit)

dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).Perantara

penagihan adalah pihak yang meneruskan penagihan kepada penerbit

berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual

barang/jasa. Pihak perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit)

adalah bank dimana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik kartu

kredit/

card holder

, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan

mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit

(

issuer

).

4.

Issuer

, yaitu perusahaan kartu kredit yang menerbitkan kartu. Di indonesia

ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu

Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua bank dapat

menerbitkan credit card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari

Card

International

, dapat menerbitkan

credit card

, seperti

Master Card

dan

VisaCard

.

5.

Certification Authorities,

yaitu pihak ketiga yang netral yang memegang

hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada

merchant

,

issuer

dan dalam

beberapa hal diberikan kepada

card holder

.

(43)

yang keterlibatannya tidak secara langsung dalam transaksi e-commerce yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).69

Jadi sebelum melakukan transaksi elektronik, para pihak diharuskan menyepakati sistem elektronik yang akan digunakan untuk melakukan transaksi (dalam hal ini Penjual/Pelapak dan Pembeli diharuskan menyepakati “BL Payment System”)

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa:

“para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”.

70

Tahapan selanjutnya setelah dicapainya persetujuan dari para pihak adalah melakukan pembayaran. Pembayaran dilakukan dengan melakukan pembayaran ke Bukalapak melalui BukaDompet, Mandiri ClickPay, BCA KlikPay, CIMB Clicks, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Maka, dalam hal ini transaksi elektronik baru terjadi jika adanya pembelian yang diproses setelah Pembeli klik “Beli” pada halaman suatu produk tertentu.

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa :

“Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik”

69

Ibid., hlm. 154.

70

(44)

Rekening ponsel CIMB Niaga, Kartu berlogo VISA/MasterCard, Indomaret, Mandiri E-cash, atau Transfer lewat bank maupun lewat ATM.71

Hak-hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

Apabila pembayaran telah selesai, maka barang akan dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan menggunakan jasa pengiriman. Biaya pengiriman bisa ditanggung pembeli atau penjual tergantung promo yang diberikan penjual atau Bukalapak.com.

Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam transaksi E-Commerce :

1.

Hak dan Kewajiban Konsumen

72

f.

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

a.

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan/atau jasa.

b.

Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan.

c.

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

d.

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan.

e.

Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

71

Bukalapak.com, Panduan Pembeli, https://panduan.bukalapak.com/buyer/4, diakses pada tanggal 3 Maret 2017.

72

(45)

g.

Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

h.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Kewajiban Konsumen dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban konsumen, yaitu :73

Pasal 6 UU Nomor 8 tahun 1999 menyatakan hak pelaku usaha,

yaitu :

a.

Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan.

b.

Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

c.

Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d.

Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

2.

Hak dan Kewajiban Pelapak/Penjual (Pelaku Usaha)

74

a.

Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

(46)

b.

Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad buruk.

c.

Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d.

Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan.

e.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban pelaku usaha, yaitu :75

75

Ibid., hlm. 51.

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b.

Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c.

Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

d.

Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku.

e.

Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan

(47)

f.

Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan.

g.

Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila

barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

3.

Hak dan Kewajiban Bukalapak

Hak Bukalapak selaku media/sarana penunjang bisnis penyedia fitur

dan layanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan para pengguna

adalah sebagai berikut :

76

c. Jika Pengguna gagal untuk mematuhi setiap ketentuan dalam Aturan

Penggunaan di Bukalapak ini, maka Bukalapak berhak untuk

a. Bukalapak memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan yang

dianggap perlu terhadap akun yang diduga dan/atau terindikasi

melakukan penyalahgunaan, memanipulasi, dan/atau melanggar

Aturan Penggunaan di Bukalapak, mulai dari melakukan moderasi,

menghentikan layanan “Jual Barang”, membatasi jumlah pembuatan

akun, membatasi atau mengakhiri hak setiap Pengguna untuk

menggunakan layanan, maupun menutup akun tersebut tanpa

memberikan pemberitahuan atau informasi terlebih dahulu kepada

pemilik akun yang bersangkutan.

b. Bukalapak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas

permasalahan yang terjadi pada setiap transaksi.

76

(48)

mengambil tindakan yang dianggap perlu termasuk namun tidak

terbatas pada melakukan moderasi, menghentikan layanan “Jual

Barang”, menutup akun dan/atau mengambil langkah hukum

selanjutnya.

d. Bukalapak berhak meminta data-data pribadi Pengguna jika

diperlukan.

e. Aturan Penggunaan Bukalapak dapat berubah sewaktu-waktu dan/atau

diperbaharui dari waktu ke waktu tanpa pemberitahuan terlebih

dahulu. Dengan mengakses Bukalapak, Pengguna dianggap

menyetujui perubahan-perubahan dalam Aturan Penggunaan

Bukalapak.

f.

Bukalapak.com berhak menggunakan data dan informasi para

pengguna situs demi meningkatkan mutu dan pelayanan di

Bukalapak.com.

Kewajiban Bukalapak selaku media/sarana penunjang bisnis penyedia fitur dan layanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan para pengguna adalah sebagai berikut :77

b.

Melindungi segala hak pribadi yang muncul atas informasi mengenai

suatu produk yang ditampilkan oleh pengguna layanan

a.

Melindungi segala informasi yang diberikan pengguna pada saat

pendaftaran, mengakses, dan menggunakan seluruh layanan

Bukalapak.com.

77

(49)

Bukalapak.com, baik berupa berupa foto, username, logo, dan

lain-lain.

c.

Memberitahukan data dan informasi yang dimiliki oleh para

pengguna situs bila diwajibkan dan/atau diminta oleh institusi yang

berwenang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, perintah

resmi dari pengadilan, dan/atau perintah resmi dari instansi/aparat

yang bersangkutan.

d.

Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat kekeliruan sistem pada Bukalapak yang menyebabkan

kerugian terhadap Pihak Pembeli maupun Penjual.

e.

Tunduk pada Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia

pada setiap sistem yang dijalankan pada platform Bukalapak.com.

Dalam transaksi di situs Bukalapak.com, tentu saja konsumen telah sangat dimanjakan oleh pihak Bukalapak perihal keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi. Namun perlu diingat bahwa kurangnya pemahaman konsumen mengenai aturan penggunaan yang telah ditegaskan oleh pihak Bukalapak membuat konsumen merasa dirugikan pada berbagai posisi.

Gambar

Gambar 4.0. Panduan Pembeli pada “BL Payment System”:
Gambar 4.1. Panduan Pelapak/Penjual pada “BL Payment System”:
Gambar 4.2. Jaminan Bukalapak “BL Payment System”:

Referensi

Dokumen terkait

Artinya, jika penyusutan aset tetap memiliki nilai ekonomi lebih besar dari aset operasional (kas, piutang, persediaan dan lain sebagainya) maka berpotensi menjadi

Pembuatan etanol dari bahan baku limbah serat/empulur sagu akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka salah satu faktor

~llelalui kesempatan ini F raksi Karya Pembangunan Komisi II, sehubungan dengan hal tersebut di atas mengingatkan, bahwa latar belakang daerah Propinsi Irian Jaya

selaku Akademisi Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung, tanggal 06 Maret 2018.. Berdasarkan hasil wawancara para narasumber menurut penulis bahwa upaya penanggulangan

Websocket sanggat cocok untuk sebuah aplikasi grup chatting, karena dengan fitur dan kelebihan yang dimiliki cocok dengan karakteristik chatting, seperti real time,

Perilaku moralis Indonesia yang membiarkan lautnya dieksplorasi serta fakta bahwa laut Indonesia memiliki potensi sedemikian besar dinilai telah membuat Amerika Serikat

Terdapat hasil dari peneliti yang mendukung pada penelitian ini yakni yang menjelaskan adanya hu- bungan dari pemahaman yakni peraturan perpajakan terhadap kepatuhan WP pada

Sebab selain menyediakan lapangan kerja, juga diharapkan akan timbul kegiatan lain yang nantinya akan lebih bermanfaat bagi masyarakat (misalnya adanya warung di sekitar