BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
A.
Sejarah dan Perkembangan Perlindungan Konsumen Pada Transaksi
E-Commerce
Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.29
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari Amerika Serikat yang tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan mengenai masalah perlindungan konsumen. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19. Pada tahun 1891 di New York terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali dan pada tahun 1898 di
29
tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang secara pesat sehingga pada tahun 1903. Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 6 cabang yang meliputi 20 Negara Bagian.30
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu FTC (Federal Trade Commision) pada tahun 1914. Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an (dapat dianggap era pergolakan konsumen) mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen dari pendidik yang dimulai dengan penulisan buku-buku konsumen dan perlindungan konsumen disertai dengan riset-riset yang mendukungnya.31
5.
Irlandia:
Consumers Information Act
, Tahun 1978.
Era ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (Consumers Law). Pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumers message dalam kongres dan kemudian dianggap era baru gejolak konsumen. Era ketiga tersebut menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk undang-undang perlindungan konsumen. Beberapa undang-undang perlindungan konsumen negara-negara di dunia adalah sebagai berikut:
1.
Singapura:
The Consumer Protection
(
Trade Description and Safety
Requirement Act
, Tahun 1975).
2.
Thailand:
Consumer Act
, Tahun 1979.
3.
Jepang:
The Consumer Protection Fundamental
, Tahun 1968.
4.
Australia:
Consumers Affairs Act
, Tahun 1978.
30
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 7.
31
6.
Finlandia:
Consumer Protection Act
, Tahun 1978.
7.
Inggris:
The Consumers Protection Act
, Tahun 1970, kemudian
diamandemen pada Tahun 1971.
8.
Kanada:
The Consumers Protection Act dan The Consumers Protection
Amandement Act,
Tahun 1971.
Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap produksi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Gerakan ini dimulai dari desakan masyarakat agar diadakannya pengawasan-pengawasan sehingga masyarakat tidak dirugikan dalam kegiatan promosi ini. Atas dasar inilah dimulai gerakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Setelah sekian lama suara-suara tersebut terdengar oleh pemerintah negara Indonesia, akhirnya pasca reformasi mulailah dibentuk RUU yang mengacu kepada perlindungan konsumen. Tidak lama RUU ini diajukan, Presiden Indonesia sendiri langsung mengesahkan Undang-Undang yang termasuk salah satu aturan Nasional di negara kita pada tanggal 20 April 1999 yang dinamakan dengan “Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Aturan itupun berlaku efektif satu tahun kemudian.
yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen saja tetapi juga pelaku usaha yang tersebut. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha saja tetapi juga merugikan konsumen yang baik.
Proses lahirnya suatu undang-undang perlindungan konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal membutuhkan waktu 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari:32
32
Az. Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No. 8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.
1.
Seminar pusat studi hukum dagang, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15-16
Desember 1975.
2.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,
penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek tahun
1979-1980).
3.
DPHN – Departemen Kehakiman, naskah akademis peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (proyek tahun 1980-1981).
4.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang perlindungan
konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan
Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, pada tahun 1981.
5.
Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, RUU tentang Perlindungan Konsumen, pada tahun
6.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rancangan
Undang-undang usulan inisiatif DPR tentang Undang-Undang-undang Perlindungan
Konsumen, pada 1998.
Selain pembahasan-pembahasan diatas, masih terdapat berbagai lokakarya, penyuluhan, seminar, di dalam dan di luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan berujung pada disetujuinya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) tersebut yang disahkan oleh DPR RI dan Presiden RI.
B.
Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen secara yuridis dapat di temukan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”33
33
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit.,hlm. 38.
. Sementara pada angka 2 yang dimaksud dengan “Konsumen” adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
1. Asas kemanfaatan,
2. Asas keadilan,
3. Asas keseimbangan,
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, serta
5. Asas kepastian hukum.
Asas kemanfaatan mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan menghendaki agar kepentingan konsumen, produsen-pelaku usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
warga masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan sama oleh negara atau penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak sewenang-wenang.34
Dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi.
Dalam diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen ini tidak berarti mengabaikan hak-hak atau kepentingan pelaku usaha karena dalam undang-undang ini selain hak konsumen juga diatur tentang kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha. Hak konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 4 yang terdiri dari 10 (sepuluh) ayat, sedangkan kewajibannya diatur dalam Pasal 5 yang terdiri dari 5 (lima) ayat. Sementara hak pelaku usaha diatur dalam pasal 6 yang terdiri dari 5 (lima) ayat dan kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 7 yang terdiri dari 6 (enam) ayat. Dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menghendaki terjadinya simbiosis mutualisme antara konsumen dan pelaku usaha.
35
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.
34
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 26.
35
Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang dibuat diatas kertas.36
Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang dimaksud oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak Oleh karena itu kewajiban perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi elektronik baik dalam bentuk e-payment, card payment, maupun mobile payment harus disamakan dengan perlindungan konsumen pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
C.
Bentuk-bentuk Kerugian Konsumen dalam Transaksi E-Commerce
Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-commerce, tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian yang diderita konsumen dapat berupa :
Wanprestasi
36
konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha ini antara lain :37
D.
Upaya Hukum Apabila Timbulnya Kerugian Konsumen
1.
Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan Dilakukan
Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan wanprestasi.
2.
Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat
Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada
nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat
dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.
Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan
sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.
3.
Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan
Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi
konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh
penjual tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh
konsumen sendiri dan
cookies
yang berasal dari situs penjual. Penyebaran
terhadap informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan konsumen,
terlebih lagi terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.
37
Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu
masalah hukum. Dalam e-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :38
“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
1.
Upaya hukum preventif
Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang
dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan
yang tidak diinginkan. Dalam transaksi
e-commerce
, keadaan yang
tidak diinginkan ini adalah terjadinya kerugian, khususnya
kerugian pada pihak konsumen.Upaya preventif perlu untuk
diterapkan mengingat penyelesaian sengketa
e-commerce
relatif
sulit, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan
tidak jarang memerlukan biaya yang tinggi. Sebagai contoh dua
orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 bulan untuk
mendapatkan
refund
(pembayaran kembali) atas barang yang dibeli.
Maka dari itu, sengketa
e-commerce
sebisa mungkin harus dicegah.
Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian
langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :
a.
Pembinaan Konsumen
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
38
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen bertujuan untuk :
1.
Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dengan konsumen.
2.
Berkembangnya lembaga konsumen swadaya
masyarakat.
3.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
meningkatkan kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak-haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara sehat. Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk mengatasi cybe rcrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tidak hanya berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui kejahatan-kejahatan internet (cybe rcrimes). Hal-hal yang perlu diberikan dalam edukasi terhadap konsumen adalah :
1.
Hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak
terkait. Baik konsumen, pelaku usaha, maupun bank
2.
Pentingnya menjaga keamanan password seperti
misalnya :
a.
Merahasiakan dan tidak memberitahukan
PIN/password
kepada siapapun termasuk
kepada petugas penyelenggara.
b.
Menggunakan
PIN/password
yang tidak
mudah ditebak.
c.
Melakukan perubahan
PIN/password
secara
berkala.
d.
Tidak mencatat
PIN/password
dalam bentuk
fisik.
e.
PIN/password
untuk satu akun hendaknya
berbeda dengan akun lainnya.
3.
Edukasi mengenai berbagai modus
cyber crime
Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri-menteri teknis terkait (Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Namun dalam prakteknya, peranan pemerintah dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen untuk menuntut pelaku usaha.
b.
Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun
Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan tercantum dalam Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa:
“Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
Perlindungan oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (backup) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap data elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini terlihat dalam :
1.
Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang
memblokir konten-konten internet yang
mengandung unsur pornografi dan konten yang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik).
2.
Pengawasan terhadap bank yang memiliki data
elektronik yang strategis dilakukan oleh Bank
Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik).
Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.
Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.
2.
Upaya hukum represif
Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.
penyelesaian sengketa secara pantas (Pasal 4 butir e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (Pasal 7 butir f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang dapat menimbulkan suatu sengketa sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik e-commerce yang bersifat borderless.
Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional
Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa.39
39
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, para pihak berwenang untuk menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apabila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan pilihan hukum, ada batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut :40
40
Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 70-71.
1.
Partijautonomie
Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar negara, seperti Eropa, Eropa Timur, Negara-negara Asia-Afrika, termasuk Indonesia.
2.
Bonafide
Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.
3.
Real Connection
4.
Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.
5.
Ketertiban Umum
Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional, teori tersebut adalah :41
Hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat.Teori
ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek
pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang
berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu
tempat (
contract between absent person
).Dapat saja mereka berkontrak
melalui telepon atau sarana-sarana lainnya.Alternatif yang tersedia bagi
1.
Teori
Lex loci contractus
41
kelemahan teori ini adalah pertama, teori
post box
dan teori penerimaan.
Menurut teori
post box
, hukum yang berlaku adalah hukum tempat
post
box
di mana pihak yang menerima penawaran (
offer
) itu memasukkan
surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut
teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana
pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan
penawaran dari pihak yang menerima tawaran.
2.
Teori
Lex loci solutionis
Hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian
dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani.Kesulitan
utama kontrak ini adalah jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu
tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak
(penjual dan pembeli) yang berada di negara berbeda, dan dengan sistem
hukum yang berbeda pula.
3.
Teori
the proper law of contract
Hukum yang berlaku adalah hukum negara yang paling wajar berlaku bagi
kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (
center of gravity
) atau
titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.
4.
Teori
the most characteristic connection
Hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi
yang paling karakteristik.Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini
dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan
kualifikasi
lex loci contractus atau lex loci solutionis
, di samping itu juga
Upaya hukum Apabila Timbulnya Kerugian Konsumen
1.
Non Litigasi
Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur non-litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
“jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha sendiri.42
YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen (Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan dari
42
empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor YLKI, dan email.43
Perbedaannya adalah pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem fill up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Disini YLKI bertindak sebagai mediator.
Sistem kedua yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem fill up.
Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian.
43
dengan ancaman pencabutan izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk menindaklanjuti permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata disediakan oleh Disperindag.44
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir pengaduan, nantinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan mengundang para pihak yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah 21 hari sejak pengaduan diterima (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7 hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut.45
44
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 45.
45
Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer service. Akan tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak dapat memuaskan konsumen.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang tersedia telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan kesadaran bagi konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya, dimana dalam praktek konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-haknya.
2.
Litigasi
Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa:
“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan
berupa gugatan perdata (Pasal 39 ayat 1).
“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :
a.
Bukti transfer atau bukti pembayaran.
b.
SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan
pembelian.
c.
Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.
Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam sengketa konsumen menurut pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
a.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya.
b.
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang
tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk kepentingan
konsumen.
d.
Pemerintah atau instansi terkait.
a.
Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan
ke pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian
yang diderita, hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal
berikut :
464.
bahwa pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, hal ini
karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menganut asas pertanggungan
jawab produk (
product liability
) sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ini berbeda dengan
teori beban pembuktian pada acara biasa, dimana beban
pembuktian merupakan tanggung jawab penggugat
(konsumen) untuk membuktikan adanya unsur
kesalahan.Dengan adanya prinsip
product liability
ini,
maka konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku
usaha cukup menunjukkan bahwa produk yang diterima
dari pelaku usaha telah mengalami kerusakan pada saat
1.
Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat
diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya.
2.
Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi
siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan
3.
Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan.
46
diserahkan oleh pelaku usaha dan kerusakan tersebut
menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si
konsumen.
47Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang diperbuatnya. Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa kompensasi/ganti rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau jasa sejenis atau yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
47
BAB IV
KESEIMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK PADA TRANSAKSI E-COMMERCE
A.
Legalitas Transaksi
E-Commerce
E-Commerce
lahir berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara
elektronik antara penjual dan pembeli.Hingga saat ini masih terjadi kekosongan
hukum di Indonesia perihal transaksi elektronik, sebab belum terakomodir tentang
syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara khusus.
48Namun, prinsip dasar pemberlakuan suatu kontrak di Indonesia mengacu
pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga dapat pula
diterapkan pada kontrak elektronik. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
49Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam
e-commerce
diukur melalui
pembeli yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet.Hal
ini dapat diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah
hubungan hukum.
e-commerce
ini secara tertuang dalam kontrak baku
dengan prinsip
take it or leave it
, sebab seluruh penawaran beserta
persyaratan pembelian suatu produk sudah tercantum dan pembeli dapat
menyetujuinya atau tidak. Persetujuan yang diberikan oleh pembeli ini
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
48
Yosefin Mulyaningtyas, Aspek Hukum E-Commerce/ Hukum Jual Beli Online, http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-E-Commerce-hukum-jual-beli-online, diakses pada 12 Februari 2017.
menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga kesepakatan
dalam kontrak elektronik lahir.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum,
yaitu seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak
dibawah pengampuan. Unsur kecapakan dalam
e-commerce
sulit untuk
diukur, sebab setiap orang (tanpa dibatasi dengan umur tertentu) dapat
mejalankan transaksi elektronik sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronik (“UU
ITE”). Berdasarkan ketentuan ini, anak-anak yang masih di bawah umur
dapat melakukan transaksi
e-commerce
dan tidak memenuhi syarat
subjektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Oleh
karena itu, kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang
mengajukan pembatalan di pengadilan.
3.
Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan
dapat ditentukan jenisnya.Produk yang ditawarkan secara online tertuang
dalam bentuk gambar atau foto yang disertai dengan spesifikasi produk
tersebut.Namun, tidak ada jaminan bahwa produk tersebut pasti
dikirimkan kepada pembeli sekalipun telah membayar melalui sistem
4.
Suatu sebab yang halal
Maksud dari suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan
Undang-Undang, kesusilaan, dan kepentingan umum.Dalam
e-commerce
harus dipastikan bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad
baik oleh penjual dan pembeli.Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka
kontrak elektronik batal demi hukum.
E-Commerce telah sah menurut hukum sepanjang memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sebab melekat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam e-commerce. Sedangkan, syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena melekat pada objek dalam e-commerce. Apabila syarat pertama dan/atau syarat kedua tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu selama 5 (lima) tahun sesuai dengan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal syarat ketiga dan/atau syarat keempat tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada dan tidak ada dasar untuk menuntut.50
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah kesesuaian kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.51
50
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 16.
51
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Legal Officer Bukalapak.com, Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., transaksi pada situs Bukalapak dianggap telah sah secara hukum setelah pembeli klik “Beli” pada halaman pembelanjaan suatu produk. Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar.” Walaupun demikian, Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan”. Dengan demikian, pada saat setelah klik tombol “Beli”, Pembeli harus segera mengirimkan dana produk dalam waktu 1x24 jam guna diproses pengiriman barang oleh Penjual/Pelapak sehingga kepemilikan barang dapat berpindah.52
Adapun pihak PT. Bukalapak.com mengharuskan pihak Penjual/Pelapak dan Pembeli menyetujui aturan penggunaan pada situs Bukalapak.com, yaitu “BL Payment System” yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :53
52
Hasil wawancara penulis dengan Legal Officer PT. Bukalapak.com, Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., pada PT. Bukalapak.com tanggal 1 Maret 2017.
53
Gambar 4.2. Jaminan Bukalapak “BL Payment System”:
Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antar pihak, yaitu:54
54
1.
Teori kehendak (
wilstheorie
) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan
surat.
2.
Teori pengiriman (
verzendtheorie
) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran.
3.
Teori pengetahuan (
vernemingstheorie
) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima.
4.
Teori kepercayaan (
vertrouwenstheorie
) mengajarkan bahwa kesepakatan
itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh
pihak yang menawarkan.
Dalam hukum perjanjian ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas, yaitu:55
55
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, 1994, hlm. 58.
1.
Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian
kehendakmempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan
mengenai barangnya.
2.
Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau
tindakan.Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas
maka perjanjian dapat dibatalkan.
3.
Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi
ke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru.Penipuan tidak sekedar
bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata
4.
Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau
seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus
seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang,
keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman tergerak untuk
melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya
mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.
B.
Faktor – Faktor Penyebab Ketidakseimbangan Kedudukan Para
Pihak dalam Transaksi E-Commerce
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. “Keseimbangan” dimengerti sebagai “keadaan hening atau keselarasan karena dari pelbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen menguasai lainnya”.56
Dalam atau melalui suatu janji, seseorang secara kejiwaan (psyche) menempatkan dirinya dalam suatu situasi dengan keyakinan bahwa “sebagai akibat dari kondisi yang menguntungkan” secara nalar akan dapat diupayakan akibat yang memang dikehendaki. Tentu kehendak dan keyakinan tersebut harus dialami sebagai sesuatu yang memang layak atau nalar. Jika sebaliknya seseorang membayangkan kondisi yang “tidak layak atau tidak masuk akal” (onredelijk), risiko yang muncul ialah kekecewaan bagi pihak yang memiliki bayangan tidak masuk akal tersebut. Semua ini membawa kita pada ihwal keterikatan kontraktual yang layak dibenarkan (gerechtvaardige). Sekaligus hal ini berarti bahwa janji antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi pada asas adanya keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan
56
umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.57
Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara absah. Adapun akibat ketidaksetaraan prestasi dalam perjanjian bertimbal balik ialah ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih kuat tersebut berpengaruh terhadap perhubungan prestasi satu dengan lainnya, dan hal mana mengacaukan keseimbangan dalam perjanjian, hal ini bagi pihak yang dirugikan akan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan perjanjian.58
Faktor-faktor yang dapat mengganggu keseimbangan perjanjian ialah cara terbentuk perjanjian yang melibatkan pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara dan/atau ketidaksetaraan prestasi-prestasi yang dijanjikan timbal balik. Pada prinsipnya, dengan melandaskan diri pada asas-asas pokok hukum kontrak dan asas keseimbangan, faktor yang menentukan bukanlah kesetaraan prestasi yang diperjanjikan, melainkan kesetaraan para pihak, yakni jika keadilan pertukaran perjanjianlah yang hendak dijunjung tinggi.59
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Legal Officer Bukalapak.com, Bapak Rehansya Agusvirta, S.H., Faktor penyebab penyimpangan dalam suatu transaksi di Bukalapak.com adalah sangat subjektif ke pelaku itu sendiri. Biasanya faktor penyebab adalah dikarenakan adanya itikad tidak baik dalam suatu transaksi, motif ekonomi hingga persaingan usaha yang tidak sehat diantara Penjual/Pelapak yang satu dengan yang lainnya.60
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Product Administrator Bukalapak.com, Ibu Ria Adryani, laporan penyimpangan transaksi dapat mencapai lebih kurang 100 laporan per hari. Adapun bentuk penyimpangan yang biasa dilakukan adalah:61
1.
Phising.
Phising
merupakan metode yang digunakan Pelaku untuk mencuri
password
dengan cara mengelabui korban menggunakan
fake form
login
pada situs palsu yang menyerupai situs aslinya. Tujuan utama Pelaku
adalah untuk masuk kedalam akun pribadi Bukalapak guna mencairkan
dana di Buka Dompet Korban ke nomor rekening Pelaku.
2.
Fraudulence
(penipuan).
Bentuk penipuan dalam transaksi Bukalapak biasanya dilakukan oleh
Pembeli dengan tujuan memanipulasi suatu transaksi. Biasanya Pelaku
memanipulasi bukti transfer untuk mengecoh pihak Bukalapak guna
meloloskan pelunasan pembayaran suatu produk.
3.
Miss Auto-Paid.
Miss Auto-Paid
merupakan suatu kecurangan yang dilakukan
Penjual/Pelapak yang satu terhadap Penjual/Pelapak yang lain guna
menghabiskan sisa stok produk pada toko Penjual/Pelapak tersebut
sehingga ketika Pembeli yang asli ingin membeli produk tersebut, Pembeli
tidak dapat meneruskannya dikarenakan produknya telah habis sedangkan
pembelian tersebut tidak diteruskan pembayarannya.
61
C.
Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Transaksi E-Commerce
Ditinjau dari Hukum Kontrak
Berdasarkan cara terjadinya, ada beberapa kontrak elektronik (e-contract) yang selama ini banyak dilakukan, yaitu:62
Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur, yaitu :
1.
Kontrak elektronik (
e-contract
) yang dilakukan melalui komunikasi surat
elektronik (
). Dalam kontrak elektronik ini penawaran dan
penerimaan dipertukarkan melalui surat elektronik atau dikombinasi
dengan media komunikasi elektronik lainnya.
2.
Kontrak elektronik (e
-contract
) yang dilakukan melalui website dan jasa
online lainnya.Dalam bentuk kontrak ini penawaran dilakukan melalui
website dan konsumen melakukan penerimaan penawaran dengan mengisi
formulir yang terdapat dalam website tersebut.
Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian.
63
1.
Unsur Esensialia, yaitu unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena
tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak ada
kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan
mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang
62
Fairuzel Said, https://fairuzelsaid.files.wordpress.com/2011/01/hukum-kontrak.pdf., diakses pada 7Januari2017. pukul 11.40.
63
dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum
karena tidak ada hal yang diperjanjikan.
2.
Unsur Naturalia, yaitu unsur yang telah diatur dalam Undang-Undang
sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian,
Undang-Undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini
merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.Sebagai contoh,
jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara
otomatis berlaku ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
bahwa penjual harus menanggung cacat tersembunyi.
3.
Unsur Aksidentalia, yaitu unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak
jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam jual-beli
dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai
membayar utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan,
dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut,
barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditor tanpa melalui
pengadilan.Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan
dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang esensialia dalam
kontrak tersebut.
Di dalam hukum perjanjian dikenal banyak asas, antara lain:64
Asas konsensualisme diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat
terjadinya kesepakatan.Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan
antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum
1.
Asas Konsensualisme
64
dilaksanakan pada saat itu juga.Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka
atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah bersifat obligatoir,
yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian
tersebut.
2.
Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
di antaranya:
a.
Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.
b.
Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.
c.
Bebas menentukan isi klausul perjanjian.
d.
Bebas menentukan bentuk perjanjian.
e.
Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
f.
Asas Mengikatnya Suatu Kontrak (
Pacta Sunt Servanda
)
Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi
perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang.Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Di Belanda dan Jerman, itikad baik
menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.
Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada
tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap
tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat
diperhatikan oleh pihak lainnya.
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.65
Wanprestasi dapat berupa:66
a.
Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
b.
Prestasi tidak dilakukan dengan sempurna.
c.
Terlambat memenuhi prestasi.
d.
Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian.
Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi, antara lain:67
a.
Pemenuhan perjanjian;
b.
Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
c.
Ganti rugi saja;
d.
Pembatalan Perjanjian;
e.
Pembatalan disertai ganti rugi.
Menurut Budhiyanto sebagaimana dikutip oleh Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom mengidentifikasikan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce terdiri dari:68
68
Didik M. Arief Mansyur & Elisatris Gultom, Op. Cit.,hlm. 152-154.
1.
Penjual (
merchant
), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan
produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka seseorang
harus membuka rekening pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan
agar merchant dapat menerima dana pembayaran dari customer.
2.
Konsumen/
card holder
, yaitu orang – orang yang ingin memperoleh
produk (barang/jasa) melalui pembelian secara online. Konsumen yang
akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan atau perusahaan.
Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan
dalam transaksi
e-commerce
adalah bagaimana sistem pembayaran yang
digunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan mempergunakan
credit
card
(kartu kredit) atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara
manual/transfer bank. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak
semua konsumen yang akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu
kredit/
card holder
. Pemegang kartu kredit (
card holder
) adalah orang
yang namanya tercetak pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit
3.
Acquirer
, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit)
dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).Perantara
penagihan adalah pihak yang meneruskan penagihan kepada penerbit
berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual
barang/jasa. Pihak perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit)
adalah bank dimana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik kartu
kredit/
card holder
, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan
mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit
(
issuer
).
4.
Issuer
, yaitu perusahaan kartu kredit yang menerbitkan kartu. Di indonesia
ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu
Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua bank dapat
menerbitkan credit card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari
Card
International
, dapat menerbitkan
credit card
, seperti
Master Card
dan
VisaCard
.
5.
Certification Authorities,
yaitu pihak ketiga yang netral yang memegang
hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada
merchant
,
issuer
dan dalam
beberapa hal diberikan kepada
card holder
.
yang keterlibatannya tidak secara langsung dalam transaksi e-commerce yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).69
Jadi sebelum melakukan transaksi elektronik, para pihak diharuskan menyepakati sistem elektronik yang akan digunakan untuk melakukan transaksi (dalam hal ini Penjual/Pelapak dan Pembeli diharuskan menyepakati “BL Payment System”)
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa:
“para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati”.
70
Tahapan selanjutnya setelah dicapainya persetujuan dari para pihak adalah melakukan pembayaran. Pembayaran dilakukan dengan melakukan pembayaran ke Bukalapak melalui BukaDompet, Mandiri ClickPay, BCA KlikPay, CIMB Clicks, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Maka, dalam hal ini transaksi elektronik baru terjadi jika adanya pembelian yang diproses setelah Pembeli klik “Beli” pada halaman suatu produk tertentu.
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa :
“Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik”
69
Ibid., hlm. 154.
70
Rekening ponsel CIMB Niaga, Kartu berlogo VISA/MasterCard, Indomaret, Mandiri E-cash, atau Transfer lewat bank maupun lewat ATM.71
Hak-hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
Apabila pembayaran telah selesai, maka barang akan dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan menggunakan jasa pengiriman. Biaya pengiriman bisa ditanggung pembeli atau penjual tergantung promo yang diberikan penjual atau Bukalapak.com.
Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam transaksi E-Commerce :
1.
Hak dan Kewajiban Konsumen
72
f.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.
e.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
71
Bukalapak.com, Panduan Pembeli, https://panduan.bukalapak.com/buyer/4, diakses pada tanggal 3 Maret 2017.
72
g.
Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
h.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban Konsumen dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban konsumen, yaitu :73
Pasal 6 UU Nomor 8 tahun 1999 menyatakan hak pelaku usaha,
yaitu :
a.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
b.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
2.
Hak dan Kewajiban Pelapak/Penjual (Pelaku Usaha)
74
a.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
b.
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad buruk.
c.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
e.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban pelaku usaha, yaitu :75
75
Ibid., hlm. 51.
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku.
e.
Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan
f.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
g.
Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila
barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
3.
Hak dan Kewajiban Bukalapak
Hak Bukalapak selaku media/sarana penunjang bisnis penyedia fitur
dan layanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan para pengguna
adalah sebagai berikut :
76c. Jika Pengguna gagal untuk mematuhi setiap ketentuan dalam Aturan
Penggunaan di Bukalapak ini, maka Bukalapak berhak untuk
a. Bukalapak memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan yang
dianggap perlu terhadap akun yang diduga dan/atau terindikasi
melakukan penyalahgunaan, memanipulasi, dan/atau melanggar
Aturan Penggunaan di Bukalapak, mulai dari melakukan moderasi,
menghentikan layanan “Jual Barang”, membatasi jumlah pembuatan
akun, membatasi atau mengakhiri hak setiap Pengguna untuk
menggunakan layanan, maupun menutup akun tersebut tanpa
memberikan pemberitahuan atau informasi terlebih dahulu kepada
pemilik akun yang bersangkutan.
b. Bukalapak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas
permasalahan yang terjadi pada setiap transaksi.
76
mengambil tindakan yang dianggap perlu termasuk namun tidak
terbatas pada melakukan moderasi, menghentikan layanan “Jual
Barang”, menutup akun dan/atau mengambil langkah hukum
selanjutnya.
d. Bukalapak berhak meminta data-data pribadi Pengguna jika
diperlukan.
e. Aturan Penggunaan Bukalapak dapat berubah sewaktu-waktu dan/atau
diperbaharui dari waktu ke waktu tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu. Dengan mengakses Bukalapak, Pengguna dianggap
menyetujui perubahan-perubahan dalam Aturan Penggunaan
Bukalapak.
f.
Bukalapak.com berhak menggunakan data dan informasi para
pengguna situs demi meningkatkan mutu dan pelayanan di
Bukalapak.com.
Kewajiban Bukalapak selaku media/sarana penunjang bisnis penyedia fitur dan layanan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan para pengguna adalah sebagai berikut :77
b.
Melindungi segala hak pribadi yang muncul atas informasi mengenai
suatu produk yang ditampilkan oleh pengguna layanan
a.
Melindungi segala informasi yang diberikan pengguna pada saat
pendaftaran, mengakses, dan menggunakan seluruh layanan
Bukalapak.com.
77
Bukalapak.com, baik berupa berupa foto, username, logo, dan
lain-lain.
c.
Memberitahukan data dan informasi yang dimiliki oleh para
pengguna situs bila diwajibkan dan/atau diminta oleh institusi yang
berwenang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, perintah
resmi dari pengadilan, dan/atau perintah resmi dari instansi/aparat
yang bersangkutan.
d.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat kekeliruan sistem pada Bukalapak yang menyebabkan
kerugian terhadap Pihak Pembeli maupun Penjual.
e.
Tunduk pada Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
pada setiap sistem yang dijalankan pada platform Bukalapak.com.
Dalam transaksi di situs Bukalapak.com, tentu saja konsumen telah sangat dimanjakan oleh pihak Bukalapak perihal keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi. Namun perlu diingat bahwa kurangnya pemahaman konsumen mengenai aturan penggunaan yang telah ditegaskan oleh pihak Bukalapak membuat konsumen merasa dirugikan pada berbagai posisi.