• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERBANKAN EFEKTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERBANKAN EFEKTI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM PERBANKAN

EFEKTIVITAS PENGAWASAN DAN

INDEPENDENSI OJK

DALAM MENCAPAI TUJUAN

Oleh : Gusnadi

NPM : 7110296

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan yang telah disahkan dan ditetapkan menjadi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tanggal 21 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menandai suatu perubahan besar dalam Sistem Keuangan Negara. Undang-undang ini telah tertunda beberapa kali, yang sebelumnya ditetapkan paling lambat pada akhir Desember 2002 dengan nama Lembaga Pengawas Jasa Keuangan berdasarkan Pasal 34 UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal ini kemudian di amandemen melalui UU No. 3 tahun 2004 yang tetap mengamanatkan untuk membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selambat-lambatnya akhir Desember 2010.

Berlarut-larutnya pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan, selain dari pada tentu tidak terlepas dari kekhawatiran apakah lembaga ini dapat berfungsi dengan baik, juga adanya benturan kepentingan dari lembaga-lembaga tinggi negara dan partai-partai politik. Ruang lingkup lembaga pengawas ini sangat luas tidak hanya meliputi sektor perbankan, tetapi juga lembaga-lembaga keuangan non bank, asuransi dan dana pensiun disatu sisi hal ini akan mengurangi fungsi eksekutif (dalam hal ini Kemenetrian Keuangan) yang selama ini berfungsi sebagai regulator dan sebagai pengawas.

Selain dari pada itu banyaknya permasalahan yang terjadi, tidak hanya pada sektor perbankan tetapi juga sektor jasa keuangan lainnya dan kejadian tersebut mempunyai hubungan yang erat dan terkait satu sama lain. Tindakan Moral Hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya astabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sketor jasa keuangan yang terintegrasi.

Otoritas Jasa Keuangan, yang dibentuk melalui undang-undang ini diharapkan dapat menjawab tantangan dan permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini. Karena dengan otoritasnya maka permasalahan lintas sektor dapat langsung ditangani segera sesuai dengan kewenangannya.

(3)

yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetpa mempertimbangkan aspek positif globalisasi.

Otoritas jasa keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran (fairness).

B. Tujuan

(4)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Pencapaian Tujuan Organisasi, Pengendalian dan Risiko

Setiap organisasi dibentuk didasarkan pada adanya tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi tersebut. Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo, mengemukakan bahwa Organisasi adalah;

“Struktur tata pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang-orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu”.1

Dari batasan tersebut, maka yang pertama kali harus ada adalah tujuan dari organisasi. Sebuah organisasi tanpa tujuan, maka tidak dapat disebut organisasi. Karena organisasi diciptakan untuk mencapai tujuan dengan cara bekerja bersama-sama, dengan mengatur tata kerja dan hubungan kerja. Tujuan organisasi harus dicapai dengan cara yang efektif juga efisien dan ekonomis, oleh karena itulah maka dalam pengelolaannya haruslah memenuhi kriteria-kriteria tersebut sehingga hasil yang dicapai akan memuaskan.

Dalam mengelola organisasi agar tercapai tujuan maka perlu dan harus diciptakan suatu Sistem Pengendalian Internal (Sistem Pengendalian Manajemen) yang kuat. Pengendalian adalah merupakan salah satu fungsi manajemen yang penting. Pengendalian difahami sebagai usaha untuk mengarahkan dicapainya tujuan. Pengendalian Internal oleh COSO didefinsikan sebagai:

“a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personal, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the following categories:

a. Effectiveness and efficiency of operations b. Realibility of financial reporting

c. Compliance with laws and regulations”2

1 Adam I. Indrawijaya. Perilaku Organisasi. Cet. 6. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000). Hal. 4.

2 Steven J. Root., Beyond COSO Internal Control to Enhance Corporate Governance,

(5)

Internal Control versi COSO, terdiri dari 5 (lima) elemen, yaitu: a. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)

b. Penilaian Risiko (Risk Assessment)

c. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)

d. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) e. Pemantauan (Monitoring)

Disamping Pengendalian Internal, didalam kegiatan operasinya perusahaan/lembaga akan menghadapi berbagai risiko-risiko. Penerapan manajemen resiko menjadi hal yang perlu tidak hanya pada lembaga keuangan tetapi juga pada lembaga pengawas seperti OJK.

The Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commision (COSO) mengembangkan pengertian risiko sebagai suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan akan mempengaruhi suatu organisasi dalam tujuan dan sasarannya. Berkaitan dengan pengertian risiko dari COSO ini, beberapa hal pokok dari formulasi risiko yang dapat dipahami adalah:

1. Risiko berawal dari perumusani strategi dan perencanaan tujuan organisasi. 2. Risiko merupakan kemungkinan yang dapat terjadi di mana unsur

ketidakpastian merupakan hal dominan yang ada di dalamnya.

3. Risiko nantinya berkaitan erat dengan upaya pencegahan akan hal yang tidak diinginkan.

4. Risiko tidak bisa dipisahkan dalam semua aspek kehidupan dan oleh karenanya ketidakpastian itu selalu ada serta melekat di dalam aktivitas kegiatan yang dilaksanakan.

Manajemen risiko, dilakukan melalui 4 (empat) tahapan: 1. Risk Identfication

2. Quantitative or qualitative assessment of the documented risks 3. Risk priotization and responese planning

4. Risk Monitoring.3

B. Independensi

(6)

Independensi adalah hal yang selalu kita bicarakan banyak kalangan ketika membicarakan adanya suatu keberpihakan atau intervensi terhadap orang atau lembaga dalam pengambilan keputusan. Didalam UU OJK Pasal 2 ayat (2) dinyatakan “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Independen yang dimaksud dalam pasal ini adalah bebas dari campur tangan pihak lain.

Didalam Profesi Akuntan atau Auditor, independen adalah menjadi suatu persyaratan etik yang mutlak harus dipegang teguh. Independen diartikan sebagai “An unbiased viewpoint in performing audit tests, evaluating the results, and issuing the audit report.”.4 Terdapat dua hal yang di identifikasikan sebagai independen, pertamaIndependence in fact” dan “Independence in appearance”5. “Independence in fact adalah ketika auditor secara sungguh-sungguh tetap menjaga sikap yang tidak memihak (unbiased) dalam melaksanakan auditnya, sedangkan “Independence in appearance” adalah munculnya interpretasi orang terhadap auditor karena adanya hubungan antara auditor dengan yang diaudit. Baik karena hubungan darah dan kekerabatan atau karena hubungan konflik kepentingan karena keterkaitan kepemilikan auditor terhadap perusahaan atau entitas yang diauditnya.

BAB III

4 Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley. Auditing and Assurance Services, An Integrated Approach. Ninth Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 2003) , hal. 83.

(7)

ANALISA MASALAH

A. Pokok-pokok Masalah

Bank indonesia didirikan dengan tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dengan tugas; menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasi bank6. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didirikan dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan; terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan; mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.7

Dengan ditetapkannya undang-undang Otoritas Jasa Keuangan maka fungsi pengawasan bank secara individual (mikro prudensial) menjadi kewenangan OJK, namun demikian Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi makro prudensial dan tetap dapat melakukan pemeriksaan bank secara individual.

Pengalaman perbankan Indonesia dalam 20 tahun terakhir ini tentu menjadi pengalaman berharga untuk mengantisipasi krisis jika terjadi dikemudian hari. Untuk itu dalam RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan telah diatur mekanisme koordinasi dalam pencegahan dan penanganan krisis. Bank Indonesia akan ditetapkan sebagai otoritas kebijakan makro prudensial dan dibentuk Forum Koordinasi dengan lembaga terkait (Kemenkeu, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan), dalam rangka menetapkan kriteria krisis dan sistemik.

Bank Indonesia yang mempunyai tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, juga diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam pemeliharaan sistem pembayaran yang aman, lancar dan efisien.

Dari tugas dan fungsi masing-masing lembaga tersebut, OJK, Bank Inonesia, LPS dan Kementerian Keuangan terdapat fungsi-fungsi yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih dan menimbulkan permasalahan didalam pelaksanannya. Beberapa permasalahan yang menjadi pertanyaan adalah:

6 Indonesia, Undang-undang tentang Bank Inodnesia, UU No. 23, LN No. 66 Tahun 1999, TLN No. 3843.

(8)

1. Apakah rentang kendali pengawasan terhadap seluruh Lembaga Jasa Keuangan oleh OJK dapat efektif?

2. Sejauh mana koordinasi antara Bank Indonesia (macro prudential supervision) yang mengawasi kestabilan sistem keuangan dengan OJK yang mempunyai wewenang mengawasi lembaga jasa keuangan secara individual (micro prudential supervision) akan dapat efektif dalam menangani lembaga jasa keuangan bermasalah dan mencegah sampai kepada early warning system mengenai terjadinya krisis keuangan?

3. Bagaimana cara mengoptimalkan perlindungan konsumen lembaga jasa keuangan sebagai contoh kasus tewasnya Irzen Okta nasabah kartu credit City Bank oleh Debt Collector tidak terjadi lagi?

4. Apa dan bagaimana pelaksanan mengenai independensi OJK? Bagaimana perbedaan independensi BI dan independensi OJK?

5. Apakah dengan ditetapkannya UU OJK maka moral hazard yang terjadi seperti halnya kasus Reksadana Antaboga di Bank Century dan kasus Reksadana Bank Global dapat di cegah?

6. Bagaiamana cara mencegah kasus Northern Rock Bank di Inggris tidak dapat terjadi?

7. Bagaimana dengan pengawasan terhadap lembaga keuangan yang berbasis prinsip syariah karena UU OJK tidak terlalau definitif menetapkan hal-hal yang terkait dengan pengembangan Lembaga Keuangan Syariah?

8. Apakah pemberian kewenangan OJK untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan tepat dan dapat mempercepat penangan tindak pidana tersebut atau justru menambah birokrasi dalam penyidikan kasus-kasus tersebut?

B. Analisis Masalah

1. Efektivitas Rentang Kendali Pengawasan OJK

(9)

pengawasan yang selama ini dijalankan oleh BI terhadap perbankan dan fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan lainnya yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Bapepam-LK).

Efektivitas diartikan sebagai suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.8 Oleh karena itu maka tentu harus dilihat sejauh mana target yang hendak dicapai dalam pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap seluruh Lembaga Jasa Keuangan.

Dalam mencapai target dari suatu organisasi, maka ada risiko-risiko yang akan dihadapi oleh suatu organisasi. The Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commision (COSO) mengembangkan pengertian risiko sebagai suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan akan mempengaruhi suatu organisasi dalam mencapai tujuan dan sasarannya.9Pada tahun 2003, COSO menerbitkan suatu draft

paper mengenai kerangka Enteprise Risk Management (ERM), dengan tujuan menyajikan kepada manajemen model umum yang dapat diterima untuk mendiskusikan, menganalisis, dan mengevaluasi usaha-usaha untuk mengelola risiko usaha. Menurut kerangka COSO, Enterprise Risk Management (ERM) adalah proses yang dipengaruhi oleh direksi, manajer, dan seluruh personil organisasi, yang diterapkan mulai dari perencanaan strategi organisasi hingga ke seluruh tingkatan dan aspek kegiatan organisasi. Tujuan ERM adalah menyajikan keyakinan yang semestinya berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi melalui identifikasi kejadian-kejadian yang mungkin dapat mempengaruhi organisasi dan pengelolaan risiko sesuai harapan organisasi.10

Dalam konsep ERM yang terdiri dari 8 (delapan) komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Salah satu komponen tersebut adalah “lingkungan internal” (Internal Environment). Lingkungan internal merupakan dasar dari seluruh komponen ERM, beberapa sub komponen dalam komponen lingkungan internal adalah; Standar SDM, Integritas dan Nilai Etika, Komitemen terhadap kompetensi, wewenang dan tanggungjawab.

8 http://insanicita.blogspot.com/2012/05/efektivitas.html, diunduh tanggal 1 Juli 2012.

9 Tim Penyusun Modul Pendidikan Non Gelar Audit Sektor Publik, Sistem

Pengendalian Internal, Cet. 1,. (Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 2007) , hal. 87.

(10)

Oleh karena itu untuk melihat apakah rentang kendali pengawasan OJK efektif, maka yang terutama adalah adanya SDM OJK yang mempunyai kompetensi, diberikan wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, mempunyai integritas dan menjunjung tinggi nilai etika. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan risiko pada seluruh personil OJK.

2. Efektivitas Koordinasi BI dan OJK dalam Menangani Lembaga Keuangan Bermasalah dan Pencegahan krisis

Koordinasi antar organisasi dalam lembaga negara sering menjadi permasalahan krusial dalam proses pengambilan keputusan. Selain masalah kultur organisasi yang berbeda ditambah permasalahan arogansi kelembagaan menjadi hambatan dalam melakukan koordinasi.

Jika melihat struktur OJK, dimana susunan Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang, dimana anggotanya termasuk seorang anggota

Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat Eselon I Kementerian Keuangan.11 Maka diharapkan permasalahan koordinasi menjadi lebih baik, walaupun tentu bukan tidak ada hamabatan.

Struktur anggota Dewan Komisioner yang didalamnya terdapat anggota Ex-Officio justru diharapkan akan menghilangkan hambatan dalam koordinasi. Karena permasalahan yang terjadi dengan segera dapat diketahui oleh pejabat BI maupun Kemenkeu. Sistem koordinasi yang selama ini tidak jelas pengaturannya, didalam UU OJK telah didtetapkan yaitu di Bagian Kedua, Protokol Koordinasi, mulai dari Pasal 44 s.d. Pasal 46. Pada pasal-pasal tersebut ditetapkan, bahwa untuk menjaga stabilitas sistem, dibentuk sebuah Forum yang dinamai Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisisoner OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

(11)

3. Optimalisasi Perlindungan Konsumen Lembaga Jasa Keuangan

Perlindungan terhadap konsumen jasa keuangan, memang selama ini menjadi masalah. Beberapa kasus yang terjadi, mislanya kasus tewasnya Irzen Okta nasabah kartu kredit City Bank oleh Debt Collector. Intimidasi atas nasabah-nasabah yang menunggak dan penyelesaian masalah yang dilakukan di luar kerangka penyelesaian yang patut, telah mewarnai lemahnya perlindungan terhadap konsumen.

Bank Indonesia sebagai otoritas jasa keuangan perbankan, telah melakukan langkah-langkah untuk mengantisipasi permasalahan konsumen. OJK kedepan tentu diharapkan lebih lagi dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Didalam UU tentang OJK hal ini telah menjadi perhatian, dan didalam struktur komisoner terdapat seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen.

Kepala eksekutif yang duduk dalam lembaga OJK perlu menguasai perlindungan konsumen. Dengan demikian, masyarakat akan dapat terlindungi dengan baik manakala terjadi hal yang merugikan.12

Dalam rangka optimalisasi perlindungan terhadap konsumen, maka tentu OJK harus melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Yasayan atau Lembaga yang mengkhususkan diri dalam perlindungan konsumen. Regulasi yang memberikan perlindungan yang cukup kepada konsumen dengan tidak mengabaikan juga perlindungan terhadap lembaga jasa keuangan itu sendiri

4. Independensi OJK dan Perbedaan Independensi BI dengan OJK

Didalam UU OJK Pasal 2 ayat (2) dinyatakan “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Independen yang dimaksud dalam pasal ini adalah bebas dari campur tangan pihak lain. Sedangkan di dalam UU Bank Indonesia, mengenai independensi BI, pada Pasal 4 ayat (2) dinyatakan ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”.

(12)

Dilhat dari pasal-pasal yang mengatur mengenai “Independensi” OJK dengan BI, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa untuk Bank Indonesia, campur tangan pemerintah dalam pengambilan keputusan di BI adalah intervensi yang melanggar independensi, sedangkan OJK campur tangan pemerintah dapat dianggap bukan intervensi yang melanggar prinsip independensi.

Independensi dalam Penjelsan UU OJK bahwa Independensi tercermin dalam kepemimpinan OJK, yang disebutkan bahwa gambaran independen ialah adanya kepastian masa jabatan dan mekanisme seleksi pimpinan OJK yang transparan, akuntabel dan melibatkan partisipasi publik. Selain itu pada Bagian Kelima mengenai Larangan, pasal 22 huruf a diatur mengenai konflik kepentingan, hal ini salah satu penerapan dari penjagaan sikap independensi para anggota dewan komisioner.

Independensi adalah hal yang selalu menjadi perhatian banyak kalangan. Wakil Presiden RI, Boediono, dalam pidato pembukaan Seminar Nasional tentang Otoritas Jasa Keungan di Jakarta, Rabu (21/12/2011) menyatakan bahwa:

“Independensi OJK harus dimaknai secara pas. Independensi tidak berarti lepas sama sekali dengan pemerintah, BI atau DPR. Intinya adalah independensi ini adalah untuk menjaga jangan sampai ada intervensi yang tidak patut dalam pengambilan keputusan. Dalam menilai kesehatan suatu bank, OJK harus benar-benar independen. Tidak boleh ada intervensi dari pihak-pihak manapun. Namun dalam hal melaksanakan tugas sebagai bagian dari sistem pengendalian keuangan yang lebih luas, OJK harus memiliki sistem koordinasi dan komunikasi dengan lembaga terkait lainnya. Oleh sebab itu, nanti dalam operasionalisasi sangat penting independensi ini dijabarkan. Bukan lepas, tetapi sesuatu yang berkaitan dalam sistem yang lebih besar lagi.”13

Didalam Profesi Akuntan atau Auditor, independen adalah menjadi suatu persyaratan etik yang mutlak harus dipegang teguh. Independen diartikan sebagai “An unbiased viewpoint in performing audit tests, evaluating the results, and issuing the audit report.”.14 Terdapat dua hal yang di identifikasikan sebagai independen,

13

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/21/17301319/Independensi.OJK.Perlu.Di ajabarkan diunduh tanggal 1 Juli 2012.

(13)

pertama “Independence in fact” dan “Independence in appearance”15.Independence in fact” adalah ketika auditor secara sungguh-sungguh tetap menjaga sikap yang tidak memihak (unbiased) dalam melaksanakan auditnya, sedangkan “Independence in appearance” adalah munculnya interpretasi orang terhadap auditor karena adanya hubungan antara auditor dengan yang diaudit. Baik karena hubungan darah dan kekerabatan atau karena hubungan konflik kepentingan karena keterkaitan kepemilikan auditor terhadap perusahaan atau entitas yang diauditnya.

Oleh karena itu, indenpensi memang perlu diperluas, tidak hanya terhadap OJK sebagai lembaga, tetapi juga kode etik bagi para auditornya yang akan melakukan pengawasan/pemeriksaan di lembaga jasa keuangan. Baik secara “in fact” maupun secara “in appearance”. Juga harus disusun dalam kode etik (code of conduct) organisasi mengenai independensi, sehingga tidak hanya Dewan Komisioner juga karyawan OJK dapat menjaga sikap independennya..

5. Apakah Moral Hazard dapat dicegah dengan UU OJK

Beberapa kasus yang terjadi di dunia perbankan, yang pada akhirnya menyeret para pengambil keputusan di lembaga-lembaga pemerintah dengan dugaan tindak pidana, amat memprihatinkan. Moral Hazard pada kasus Reksadana Antaboga di Bank Century ataupun kasus reksadana Bank Global tentu tidak semata-mata karena lemahnya sistem akan tetapi juga karena adanya keinginan atau kehendak pelaku.

UU OJK tentu tidak dapat menghapus moral hazard, akan tetapi dengan adanya sistem pengawasaan lembaga jasa keuangan dalam satu atap akan memudahakn melokalisir permasalahan dan pencegahan lebih dini dapat dilakukan.Transaksi antar lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan lebih mudah dikorelasikan. Terpenting dari semua itu, diharapkan dengan adanya OJK maka sistem penataan antar lembaga keuangan menjadi lebih baik.

6. Pencegahan Kasus Seperti Norhtern Rock, Inggris Terjadi di Indonesia

Kasus Northern Rock, menjadi pelajaran berharga dalam penataan OJK. Jika melihat kasus tersebut, yaitu Bank of England, tidak memperoleh data sama sekali atas ekspansi kredit yang dilakukan oleh bank tersebut. Mungkin agak berbeda antara FSA (Financial Supervisory Agency) di Inggris dengan OJK, dalam

(14)

Dewan Komisioner OJK terdapat anggota yang berasal dari BI, sehingga permasalahan yang terjadi pada mikro prudensial, pejabat bank sentral dapat mengetahui secara langsung melalui anggotanya yang duduk di Dewan Komisioner. Oleh karena itu penanganan permasalahan akan lebih cepat, disamping itu wakil dari pemerintah juga duduk didalamnya, sehingga penanganan masalah bisa lebih cepat.

Tentu tidak semata-mata masalah koordinasi, masalah regulasi dalam lembaga jasa keuangan menjadi hal yang sangat penting. Regulator yang baik tentu akan menerbitkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi para

stakeholders-nya. Penerapan Good Corporate Governance pada lembaga jasa keuangan menjadi hal yang mutlak disamping manajemen resiko.

7. Pengawasan Terhadap Lembaga Keuangan yang Berbasis Prinsip Syariah Didalam UU OJK tidak secara ekplisit menegaskan pengaturan mengenai Lembaga Jasa Keuangan Syariah. Secara umum didala Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan Perbankan dalam UU ini adalah, “segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah”.

Dari definisi tersebut maka obyek pengawasan dan pengaturan yang dilakukan oleh OJK termasuk perbankan syariah. Terhadap lembaga jasa keuangan lainnya non-bank, walaupun tidak disebut secara eksplist, maka sesuai dengan tugas pokok dan fungsi OJK maka baik berbasis umum maupun syariah tetap menjadi kewenangan OJK.

8. Kewenangan OJK Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Jasa Keuangan

(15)

Ketentuan yang mengatur mengenai penyidikan adalah pada Bab XI Penyidikan, mulai dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 51. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1), bahwa penyidik yang dapat melakukan penyidikan adalah Penyidik POLRI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Pada Pasal 49 ayat (2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dala Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan.

Ketentuan mengenai penyidikan dalam UU OJK ini tidak secara jelas mengatur kedudukan dan hubungan PPNS tersebut dengan Dewan Komisioner OJK. Pada Pasal 50 PPNS menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan dan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari Jaksa wajib menindak lanjuti. Pada Pasal 51 PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulann sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara.

Penanganan perkara tindak pidana dilakukan oleh OJK dan hasilnya langsung dikirimkan kepada jaksa serta tindak lanjut jaksa maksimal 90 hari, tentu terlihat akan mempercepat penanaganan perkara tindak pidana. Namun tergantung dari pengaturan internal di dalam OJK sendiri, bagaimana proses penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS dan kedudukannya dalam struktur OJK. Jika pengaturan internal OJK menghendaki harus dibahas dan ditelaah oleh atau Kepala Eksekutif teretentu dan dibahas di Dewan Komisioner, maka akan terjadi birokrasi.

(16)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari analisis terhadap pokok-pokok masalah, yang dikemukanan pada Bab III dapat di simpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Efektivitas rentang kendali pengawasan OJK harus dilihat terutama adalah adanya SDM OJK yang mempunyai kompetensi, diberikan wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, mempunyai integritas dan menjunjung tinggi nilai etika. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan risiko pada seluruh personil OJK. 2. Struktur anggota Dewan Komisioner yang didalamnya terdapat anggota Ex-Officio

justru diharapkan akan menghilangkan hambatan dalam koordinasi. Karena permasalahan yang terjadi dengan segera dapat diketahui oleh pejabat BI maupun Kemenkeu. Sistem koordinasi yang selama ini tidak jelas pengaturannya, didalam UU OJK telah didtetapkan yaitu di Bagian Kedua, Protokol Koordinasi, mulai dari Pasal 44 s.d. Pasal 46. Pada pasal-pasal tersebut ditetapkan, bahwa untuk menjaga stabilitas sistem, dibentuk sebuah Forum yang dinamai Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisisoner OJK dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 3. Dalam rangka optimalisasi perlindungan terhadap konsumen, maka tentu OJK harus

melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Yasayan atau Lembaga yang mengkhususkan diri dalam perlindungan konsumen. Regulasi yang memberikan perlindungan yang cukup kepada konsumen dengan tidak mengabaikan juga perlindungan terhadap lembaga jasa keuangan itu sendiri.

4. Indenpensi OJK sebagai lembaga, perlu diperluas tidak hanya kepada Lembaga dan Dewan Komisionernya tetapi juga kode etik bagi para auditornya yang akan melakukan pengawasan/pemeriksaan di lembaga jasa keuangan. Baik secara “in fact” maupun secara “in appearance”. Juga harus disusun dalam kode etik (code of conduct) organisasi mengenai independensi, sehingga tidak hanya Dewan Komisioner juga karyawan OJK dapat menjaga sikap independennya.

(17)

Terpenting dari semua itu, diharapkan dengan adanya OJK maka sistem penataan antar lembaga keuangan menjadi lebih baik

6. Pencegahan terhadap masalah seperti kasus Northtern Rock, dapat dicegah dengan koordinasi antar lembaga. Tentu tidak semata-mata masalah koordinasi, masalah regulasi dalam lembaga jasa keuangan menjadi hal yang sangat penting. Regulator yang baik tentu akan menerbitkan peraturan yang memberikan perlindungan bagi para

stakeholders-nya. Penerapan Good Corporate Governance pada lembaga jasa keuangan menjadi hal yang mutlak disamping manajemen resiko

7. Dari definisi tersebut maka obyek pengawasan dan pengaturan yang dilakukan oleh OJK termasuk perbankan syariah. Terhadap lembaga jasa keuangan lainnya non-bank, walaupun tidak disebut secara eksplist, maka sesuai dengan tugas pokok dan fungsi OJK maka baik berbasis konvensional maupun syariah tetap menjadi kewenangan OJK.

8. Penanganan perkara tindak pidana dilakukan oleh OJK dan hasilnya langsung dikirimkan kepada jaksa serta tindak lanjut jaksa maksimal 90 hari, tentu terlihat akan mempercepat penanaganan perkara tindak pidana. Namun tergantung dari pengaturan internal di dalam OJK sendiri, bagaimana proses penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS dan kedudukannya dalam struktur OJK. Jika pengaturan internal OJK menghendaki harus dibahas dan ditelaah oleh atau Kepala Eksekutif teretentu dan dibahas di Dewan Komisioner, maka akan terjadi birokrasi

B. Saran

Dari kesimpulan atas analisis terhadap pokok-pokok masalah, yang dikemukanan diatas beberapa hal yang perlu disaran sebagai berikut:

1. Rekruitmen dan penempatan SDM yang kompeten, diberikan wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, mempunyai integritas dan menjunjung tinggi nilai etika.

2. Koordinasi dan kerjasama dengan Yasayan atau Lembaga yang mengkhususkan diri dalam perlindungan konsumen. Membuat regulasi yang memberikan perlindungan yang cukup kepada konsumen dengan tidak mengabaikan juga perlindungan terhadap lembaga jasa keuangan itu sendiri.

(18)
(19)

DAFTAR PUSTAKA

Arens, Alvins A. and Elder, Randal J., Beasley, Mark S.. Auditing and Assurance Services, an Integrated Approach. 9 ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Inc., 2003.

Indrawijaya, Adam I A.. Perilaku Organisasi. Cet. 6,. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000.

Tim Penyusun Modul Pendidikan Non Gelar Audit Sektor Publik, Sistem Pengendalian Internal, Cet. 1,. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 2007.

Root, Steven J., Beyond COSO Internal Control to Enhance Corporate Governance, New York: John Wiley & Sons., 1998. Muller, Robert E., COSO Enterprise Risk Management

Understanding the New Integrated ERM Framework, New York: John Wiley & Sons., 2007.

UNDANG-UNDANG

Indonesia. Undang Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU No. 21 tahun 2011. LN No. 111 tahun 2011, TLN. No.5253., Indonesia. Undang Undang Tentang Bank Indonesia. UU No. 23

tahun 1999. LN No.66 tahun 1999, TLN. No. 3843.

SITUS INTERNET

http://insanicita.blogspot.com/2012/05/efektivitas.html,

diunduh tanggal 1 Juli 2012.

http://www.infobanknews.com/2012/07/ojk-perlu-perkuat-perlindungan-konsumen/. Diunduh tgl 6 Juli 2012.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/21/17301319/Inde pendensi.OJK.Perlu.Diajabarkan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melihat hasil jawaban angket, pengolahan dan analisis data, maka penulis menyarankan : (1) Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Pontianak Diharapkan siswa

Bolabasket adalah permainan olahraga yang dilakukan secara berkelompok, terdiri atas 2 tim yang beranggotakan masing-masing 5 orang yang saling bertanding dengan

Atap kampung adalah jenis yang paling sederhana berdasar struktur dan dikenal sebagai tempat tinggal orang biasa; atap limasan merupakan ragam bentuk atap kampung

Penelitian yang dilakukan Saguni (2006) terhadap 120 mahasiswa UNY Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Jurusan Administrasi

Gagasan tersebut lantas menimbulkan sebuah kontroversi di tengah-tengah pengharaman prostitusi yang sudah ditetapkan hukumnya dalam nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

Halaman 23 dari 64 Putusan Nomor 345/PDT/2016/PT.MDN lelang, dimana dana hasil lelang tersebut digunakan sebagai pengganti pelunasan kewajiban PENGGUGAT III kepada TERGUGAT

Bahan –bahan yang digunakan untuk pembuatan mesin ini ada yang dibeli dan ada juga yang dibuat, beberapa contoh bahan yang dibeli seperti bantalan, sabuk, puli, motor

Walaupun dalam fikih terdapat empat mazhab besar, tetapi dalam penelitian ini penulis membagi mazhab tersebut menjadi dua, dengan alasan adalah ulama Mazhab