• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyoal Prospek Program Wajib Belajar 12 (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menyoal Prospek Program Wajib Belajar 12 (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Menyoal Prospek Program Wajib Belajar 12 Tahun Ignatius Dharta Ranu Wijaya

Pendahuluan

Program wajar di Indonesia secara historis telah diselenggarakan selama dua kali periode

yaitu program wajar sekolah dasar (SD) dan program wajib belajar pendidikan dasar. Program

wajar SD sebagai program wajib belajar 6 tahun, dicanangkan pada 2 Mei 1984. Pemerintah

memperluas wajar 6 tahun menjadi wajar 9 tahun, yakni program wajib belajar pendidikan dasar

(SD dan SMP). Pada tahun 2009, secara nasional program wajar 9 tahun oleh pemerintah

dicanangkan telah tuntas. Ketuntasan program wajar 9 tahun didasarkan indikator pencapaian

APM SD/setara dan APK SMP/setara sudah melampaui angka di atas 95 persen. Sekalipun

program wajar 9 tahun telah dinyatakan tuntas, angka putus sekolah masih tergolong tinggi. Pada

tahun 2010, UNESCO melaporkan ada 160.000 anak Indonesia yang putus sekolah. Angka putus

sekolah meningkat pada tahun 2011 menjadi 260.000 anak. Tingginya angka putus sekolah

berdampak pada timbulnya masalah-masalah sosial seperti maraknya anak jalanan, tingginya

anak yang bekerja.

Pendidikan di jenjang SMA/SMK/MA dirasakan masih sulit dijangkau karena masalah

biaya sekolah. Hal ini terlihat dari angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah tahun

2009/2010 yang baru mencapai 69,6 persen. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah

pada tahun 2012 mulai memberikan dana BOS bagi setiap siswa SMA, SMK, dan MA.

Kapasitas SMA dan SMK baik sekolah baru, ruang kelas baru maupun guru-guru juga ditambah

oleh pemerintah di tahun 2013 dengan harapan APK pendidikan menengah semakin meningkat

dari tahun ke tahun. Program ini juga sering dikenali dengan nama program rintisan Pendidikan

Menengah Universal (PMU). Penyebutan ini seringkali dianggap belum memberikan dasar

imperatif bagi pemerintah pusat atau daerah untuk memberikan jaminan pendidikan menengah

gratis seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Konsep universal dalam program PMU

bertujuan untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi warga negara untuk memperoleh

pendidikan yang lebih tinggi setingkat SMA/SMK. Dengan demikian, pemerintah tidak

(2)

Dasar Kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun

Wajib belajar yang disingkat sebagai wajar adalah suatu kewajiban untuk belajar.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), wajib belajar

adalah kewajiban yang dibebankan kepada warga negara Indonesia berusia 7-12 tahun. Dalam

istilah pembangunan pendidikan di Indonesia, wajar merupakan program wajib belajar seperti

program wajar 6 tahun yaitu wajib bersekolah dasar dan wajar 9 tahun yaitu wajib belajar pada

tingkat sekolah dasar (SD) dan SMP. Istilah wajib belajar merujuk pada konsep compulsory yang

terdapat pada Deklarasi HAM sedunia pasal 26. Ada dua konsep yang mendasari hak asasi

memperoleh pendidikan dasar yaitu free dan compulsory. Pendidikan dasar (elementary

education) dilaksanakan secara gratis dan diwajibkan. Di dalam UUD 1945, setiap warga negara

diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar. Di samping itu, mewajibkan pula kepada

pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dasar. Pasal 31 ayat (2) menyebutkan

bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya.”

Kewajiban mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban yang dibebankan kepada

warga negara yang berusia 7-15 tahun atau usia SD sampai SMP. Kewajiban mengikuti jenjang

pendidikan dasar menurut pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas adalah program wajib belajar minimal

yang harus diikuti setiap warga negara, dimanan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin

terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan

pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (ayat 3). Program wajib belajar dalam sejarah

pembangunan pendidikan di Indonesia telah dilaksanakan dalam dua kali periode, yaitu program

wajib belajar 6 tahun dan program wajib belajar 9 tahun. Program wajar 6 tahun telah

mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan sekolah dasar yang lebih dikenal

dengan SD Inpres. Program Wajar 6 tahun dinilai berhasil dalam mempercepat pembangunan

pendidikan dan bangsa pada umumnya. Fokus utama wajar 6 tahun yakni memberikan

pemerataan pendidikan dasar ke seluruh pelosok Indonesia.

Pencanangan program wajar 9 tahun berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1994,

sebagai gerakan nasional. Menurut Pedoman Pelaksanaan Wajar Dikdas, wajib belajar

pendidikan dasar diselenggarakan dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya

(3)

merupakan program perluasan wajar 6 tahun yang telah dilaksanakan sejak 2 Mei 1984.

Perluasan Wajar 6 tahun menjadi 9 tahun dengan pertimbangan, antara lain adalah adanya 1)

tuntutan dan tantangan yang terus meningkat dan 2) menguatnya kecenderungan globalisasi yang

berdampak dalam persaingan global. Kecenderungan tersebut mengharuskan adanya

peningkatkan kualitas manusia Indonesia agar dapat bertahan dan hidup bermartabat.

Memasuki tahun 2013, pemerintah mencanangkan program Pendidikan Menengah

Universal (PMU). Program PMU digulirkan untuk memperluas akses masyarakat memperoleh

pendidikan menengah (SMA/SMK). Perluasan akses diperlukan karena rendahnya angka

partisipasi kasar APK pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK). Sasaran PMU tercapai APK

pendidikan menengah sekurang-kurangnya mencapai 97% adalah pada tahun 2020. Program

PMU sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun. Penggunaan konsep PMU dikarenakan

program wajib belajar 12 tahun tidak memiliki dasar hukum dalam UU Sisdiknas. Program wajar

12 tahun, jika ditinjau dari RPJPN merupakan implementasi prioritas kedua pembangunan

nasional pendidikan yaitu peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan menengah.

Dalam konteks pentahapan pembangunan pendidikan program wajar 12 tahun merupakan

strategi pembangunan pendidikan untuk peningkatan daya saing regional pada periode 2014

-2019.

Pendidikan dasar di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa

mencakup pendidikan di tingkat sekolah dasar (primary school) hingga sekolah menengah

(senior high school). Di Amerika Serikat, pendidikan dasar berlangsung selama 14 tahun, sejak

usia PAUD sampai sekolah menengah. Sedangkan di Negara-negara Eropa penyelenggaraan

pendidikan dasar berlangsung selama 12 tahun.

Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa pendidikan dasar harus diikuti warga

negara Indonesia. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 17 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan

dasar merupakan pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Bentuk pendidikan

dasar disebutkan dalam pasal 17 ayat (2) yaitu berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah

Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan

Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Adapun yang dimaksud

pendidikan menengah pada pasal 18 merupakan kelanjutan pendidikan dasar (ayat 1). Pendidikan

menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan (ayat 2).

(4)

sekolah menengah kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain

yang sederajat.

Konsep pendidikan dasar yang dianut UU Sisdiknas tidak mencakup pendidikan

menengah (SMA/SMK). Bentuk pendidikan dasar hanya pada tingkat sekolah dasar dan sekolah

menengah pertama. Penyelenggaraan pendidikan dasar berlangsung selama 9 tahun. Kewajiban

mengikuti pendidikan dasar (pendidikan 9 tahun) menjadi wajib belajar bagi warga negara yang

berusia 7-15 tahun. Kewajiban belajar di Indonesia tidak mencapai tingkat pendidikan menengah

(SMA/SMK) seperti di sejumlah negara, melainkan hanya sampai SMP. Banyak pihak yang

kemudian merasa perlunya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru atau revisi

sehingga dapat diperjuangkan oleh DPR. Di dalam UU revisi itu perlu disebutkan wajib belajar

menjadi 12 tahun. Hal ini terkait dengan penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji

materi Pasal 6 ayat (1) UU N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait wajib

belajar 9 tahun menjadi 12 tahun (Kompas, 2015) yang dilayangkan oleh Network For Education

Watch Indonesia (New Indonesia) atau Jaringan Pendidikan Indonesia (JPPI).

Konsekuensi terhadap Anggaran Pendidikan

Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan masyarakat yang meliputi penyelenggara

satuan pendidikan, peserta didik, orang tua atau wali dan pihak lain yang peduli terhadap

pendidikan. Pemerintah bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan dengan mengalokasikan

anggaran pendidikan pada APBN maupun APBD. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

13/PUU-VI I 2008, mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan minimal 20% dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya

tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem

pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti

kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi

pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat

(5)

kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan

menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf dan

distribusi alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah

pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya (Abbas Ghozali, 2011)

Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana

sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan dididik

dan beberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa

yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang

paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggungjawab pemerintah

dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap para

peserta didik. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan,

tanggungjawab orang tua dalam menyekolahkan versus manfaat sosial secara luas, pengaruh

faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan.

Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber

daya diperoleh dan dialokasi kan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang

berbeda-beda di sektor pendidikan, maka dapat terlihat konsekuensinya terhadap pembiayaan

pendidikan, yatu:

 Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan.

 Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik.

 Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan.

 Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung pembiayaan sekolah.

Dua hal pokok yang kemudian menjadi pertimbangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di

atas adalah bagaimana sumber daya akan diperoleh dan bagaimana sumber daya akan

dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan atau tipe sekolah yang sesuai dengan

kondisi daerah yang berbeda. Kriteria yang dapat digunakan untuk menganalisis setiap hal

tersebut, yaitu efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan

kesejahteraan masyarakat dan keadilan yang terkait dengan keuntungan dan biaya yang

(6)

Pembiayaan program wajib belajar menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pasal 34

ayat (2) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib

belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar

merupakan tanggung jawab negara yang di selenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat (ayat 3). Namun, seperti yang diberitakan di Kompas (2010)

bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan program wajib belajar 12 tahun terganjal

masalah anggaran pendidikan. Anggaran fungsi pendidikan yang mencapai sekitar Rp 400 triliun

tidak hanya ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga sebagian besar dikirim

ke daerah sebagai dana transfer daerah. Anggaran yang ada di Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan pada tahun 2010 hanya Rp 49 triliun (Kompas, 2010).

Pembahasan

Berdasarkan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945, program wajar pendidikan dasar menjadi

tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan biaya pendidikan. Program pendidikan dasar 9

tahun (SD-SMP) yang diatur pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas diselenggarakan secara gratis atau

cuma-cuma. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pendidikan menengah (SMA/SMK) di luar

tanggung jawab pemerintah.

Warga negara berusia 16-17 tahun atau dalam usia pendidikan menengah tidak

memperoleh pendidikan secara cuma-cuma. Jaminan pembiayaan program pendidikan dasar 9

tahun yang diatur dalam UU Sisdiknas pasal 34 ayat 2 membatasi hak untuk memperoleh

pendidikan seluas-luasnya. Dalam UU Perlindungan Anak pasal 53, pemerintah bertanggung

memberikan biaya pendidikan anak. Usia anak yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak

yakni sampai usia di bawah 18 tahun atau usia sekolah menengah. Sebab itu, anak usia

pendidikan menengah berhak memperoleh pembiayaan pendidikan dari pemerintah atau Negara

Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar hingga pendidikan menengah

(SMA/SMK) berdasarkan perspektif perundangan-undangan (Sisdiknas) tidak memiliki landasan

hukum. Sejumlah pasal UU Sisdiknas tidak akomodatif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan

12 tahun sebagai wajib belajar. Sejumlah pasal UU Sisdiknas tersebut, yaitu:

1. Pasal 6: Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib

(7)

2. Pasal 34 ayat 2: Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib

belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar, ada dua

cara pertimbangan konstitusional dapat dilakukan yaitu sebagian menyebutkan perlunya langkah

judicial review dan sebagian menempuh langkah amandemen sejumlah pasal UU Sisdiknas.

Upaya hukum berupa judicial review kepada Mahkamah Konstitusi berdasarkan pertimbangan

bahwa pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas yang bertentangan/melanggar hak-hak anak untuk

memperoleh pendidikan seluas-luasnya sebagaimana dinyatakan pasal 28C, pasal 31 ayat 1 UUD

1945.

Jaminan pembiayaan pendidikan oleh negara/pemerintah seharusnya mencakup seluruh

anak sebagai warga negara RI sebagaimana diatur pasal 53 UU No. 23 tahun 2002. Untuk

memenuhi jaminan pembiayaan pendidikan, mengusulkan kepada pemerintah (Presiden dan

DPR) untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemenuhan hak-hak pendidikan anak

sesuai batasan usia anak sesuai UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak PBB 1989.

Pertimbangan kedua yaitu perlu adanya perubahan (amandemen). Pemerintah, dalam

menyikapi kekosongan landasan hukum untuk menyelenggarakan program wajib belajar 12

tahun, berencana melakukan upaya amandemen terhadap UU Sisdiknas. ”Ada rencana segera

mengamandemen UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama yang berkaitan

dengan wajib belajar. Pemerintah akan meningkatkan wajib belajar 9 tahun jadi 12 tahun,”

menurut M. Nuh (Kompas, 2010). Langkah amandemen menurut Yusuf Hidayat merupakan

langkah yang dapat diterima, sebab secara konstitusional pasal-pasal yang mengatur program

wajib belajar 9 tahun tidak bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Namun upaya

ini tidak berhasil karena pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak uji materi

Pasal 6 ayat (1) UU N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan

pertimbangan bahwa program wajib belajar 12 tahun adalah kebijakan hukum terbuka atau open

legal policy (Kompas, 2015).

Kebijakan wajar 12 tahun sesungguhnya dapat menjadi salah satu upaya dalam

menghadapi krisis ekonomi dunia karena pendidikan kemudian dapat menunjukkan

konstribusinya dalam pembangunan. Mengantisipasi era global dunia pendidikan menuntut juga

Sumber Daya Manusia yang kompeten untuk dapat bersaing di era global dan dengan adanya

(8)

bangsa menjadi semakin baik. Implikasinya bagi pemerintahan daerah kemudian adalah proses

demokrasi yang semakin berkembang, dimana setiap perubahan dan penyesuaian sistem

pendidikan nasional akan selalu memperhatikan kebutuhan atau keadaan daerah peserta didik

serta peningkatan partisipasi masyarakatnya.

Secara singkat, mewujudkan layanan pendidikan di sekolah menengah yang terjangkau

dan bermutu bagi semua lapisan masyarakat dalam rangka mendukung Rintisan Program

Sekolah Menengah Universal (Wajib Belajar) 12 Tahun akan mampu mengurangi angka putus

sekolah di tingkat SMA/SMK. Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa sekolah di

sekolah menengah dengan membebaskan dan/atau membantu tagihan biaya sekolah bagi siswa

miskin di sekolah menengah. Semua ini jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah (affimative

action) bagi siswa miskin di bidang pendidikan dan memberikan kesempatan yang setara (equal

opportunity) bagi siswa miskin di sekolah menengah untuk mendapatkan layanan pendidikan

yang terjangkau dan bermutu sebagaimana harapan pemerintahan di masa Presiden Jokowi saat

ini.

Peluang Wajib Belajar 12 Tahun di masa depan

Berdasarkan uraian di atas, kebutuhan pendidikan 12 tahun dalam bentuk program wajib

belajar penting bagi bangsa Indonesia dewasa tidak saja dalam konteks sosial budaya tetapi juga

dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dewasa ini. Program ini menjadi tanggung jawab

negara yang di selenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintahan daerah dan

masyarakat. Pelaksanaannya tentu menuntut komitmen semua pihak secara seimbang sehingga di

tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota akan selalu mengacu kepada program di tingkat yang lebih

tinggi yaitu pada tingkat provinsi. Desentralisasi sesungguhnya memberikan peluang Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam mensiasati dan mengelola pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun

sesuai dengan kondisi sosial budaya, ekonomi dan geografis mereka.

Beberapa hal yang kemudian dapat memperbesar peluang pelaksanaan Program Wajib

Belajar 12 Tahun di kemudian hari adalah:

1. Pengambilan Data Sasaran Wajar 12 Tahun

Berjalannya sebuah rencana program dan tepatnya dalam pembuatan sebuah rencana

tergantung dari seberapa valid data tersebut didapatkan. Rekapitulasi data wajib belajar usia

(9)

dilakukan dengan menduplikasi atau mendata kembali seluruh kepala keluarga yang ada di suatu

kelurahan. Data mengenai wajib belajar usia sekolah menengah juga dapat digunakan untuk

mendistribusikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi setiap anak Indonesia.

2. Sosialisasi Program Wajar 12 Tahun

Pendidikan merupakan tanggung jawab semua kalangan baik pemerintah maupun masyarakat

sehingga masyarakat harus dilibatkan dan diakomodasikan hak mereka dalam mengemukakan

pandangan melalui jalur-jalur komunikasi yang ada. Jejaring pemerintahan daerah, seperti baik

tingkat kecamatan, kelurahan hingga RT/RW adalah tingkat sosialisasi yang paling efektif.

Sementara jejaring organisasi sosial lainnya baik organisasi politik, kemasyarakatan atau LSM

juga harus dilibatkan secara aktif sehingga mereka dapat dioptimalkan untuk mensosialisasikan

program Wajib Belajar 12 Tahun.

3. Peran Pendidikan Formal

Jalur pendidikan formal di tingkat sekolah menengah (SMA/SMK) merupakan ujung tombak

program wajar 12 tahun. Sekolah SMA/SMK mempunyai distribusi akses yang besar dalam

melayani dan melaksanakan program wajar 12 tahun. Sekalipun wajar 12 tahun tidak

sepenuhnya gratis karena terkendala oleh berbagai hal, namun perlu dipertimbangkan juga

mengenai:

a. tidak membebani biaya operasional pada peserta didik dari keluarga yang

sungguh-sungguh tidak mampu,

b. meningkatkan keadaan daya tampung di sekolah dengan membenahi infrastruktur sebagai

kebutuhan belajar di sekolah,

c. memprioritaskan peserta didik di tingkat sekolah menengah yang tidak mampu tanpa

syarat dan alasan apapun untuk mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sehingga

dapat mengakses pendidikan di tingkat menengah.

4. Peran Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal merupakan lapis kedua yang harus dipersiapkan bila kapasitas dan

daya tampung pada pendidikan formal belum mampu melayani kebutuhan pendidikan setiap

warga Negara di semua jenjang pendidikan yang ada. Ini sesuai dengan TAP MPR No. 09 Tahun

2006, bahwa pendidikan yang dapat dibantu oleh anggaran negara adalah pendidikan formal,

informal dan pendidikan non formal. Bahkan UUD 1945 pasal 31 pun menyatakan bahwa setiap

(10)

5. Pendanaan Program

Bergulirnya sebuah program secara nasional memerlukan perencanaan anggaran secara

nasional pula dan pelaksanaan program wajar 12 tahun mensyaratkan peran aktif pemerintahan

daerah bersama pemerintahan pusat dalam mengalokasikan dana pendidikan untuk keberhasilan

program wajar 12 tahun. Anggaran pendidikan harus dapat mendanai seluruh biaya pendidikan

12 tahun di satuan pendidikan baik di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, maupun

sekolah menengah atas/kejuruan yang diselenggarakan pemerintah maupun yang

diselenggarakan masyarakat, sehingga peserta didik tidak dipungut biaya. Alokasi anggaran

pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD kemudian dapat dianggap cukup untuk memenuhi

kebutuhan anggaran pendidikan 12 tahun. Besar anggaran Rp 368,899 triliun pada tahun 2014

dapat menutupi anggaran pendidikan 12 tahun sekitar Rp 284.674.753.283.769,00 (Kompas

2014).

Kesimpulan

Pendidikan pada hakikatnya merupakan hak asasi setiap warga negara yang memerlukan

jaminan secara luas berdasarkan UUD 1945/konstitusi dan sumber hukum internasional. Pada

saat yang sama, setiap warga Negara berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar.

Pendidikan dasar memiliki sudut pandang yang berbeda

Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar (compulsory) yang diselenggarakan

secara gratis (free) dan universal dari pertimbangan konstitusional belum memiliki payung

hukum, untuk itu diperlukan berbagai langkai strategis, mengingat langkah konstitusional berupa

judicial review atau amandemen UU Sisdiknas telah ditolak oleh MK.

Pendidikan 12 tahun sebagai program wajib belajar dari pertimbagan sosial kultural

diperlukan untuk mengatasi tinggi angka putus sekolah, menekan laju pertumbuhan pekerja anak,

dan memfasilitasi anak-anak dari keluarga miskin untuk bersekolah serta menyiapkan

sumberdaya manusia yang kompetitif di dunia internasional. Pendidikan 12 tahun sebagai

program wajib belajar dari pertimbangan mutu pendidikan diperlukan untuk meningkatkan

sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas sehingga mampu bersaing dengan

(11)

Daftar Pustaka

1. Ghozali, Abbas. “Strategi Pembiayaan dan Pendanaan Pendidikan di Indonesia.”

Semiloka Sektor Review tentang “Standar Biaya Minimum Pendidikan Siswa:Kebijakan,

Anggaran, dan Mutu Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan

Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Bogor, 14 dan 15 Desember

2011.

2. Supriadi, Dedi. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2006.

3. Suryadi, Ace. Mewujudkan Masyarakat Pembelajar (Konsep, Kebijakan, Implementasi).

Jakarta: Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional.

2007.

4. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

5. UUD 1945.

6. United Nations Universal Declaration of Human Right 1948.

7. World Declaration on Education For All. 1990.

Sumber Internet:

 “12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah.”

http://austinsfoundation.wordpress.com/2013/02/24/12-juta-anak-indonesiaputus-sekolah/

 http://edukasi.kompas.com/read/2011/09/27/10335033/Wajib.Belajar.12.Tahun.Dirintis. Mulai.2012?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd

 http://edukasi.kompas.com/read/2012/08/30/09353752/Wajar.12.Tahun.Belum.Layak.Di mulai?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd

Referensi

Dokumen terkait

1. Keberadaan UKM kerajinan bambu di kampung Pajeleran kelurahan Sukahati telah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi, diperkirakan telah ada sejak

Dalam konteks arsitektur tropis masa kini, di mana yang dibicarakan adalah bangunan modern, yang digunakan mewadahi aktifitas modern, serta lokasi bangunan pada

Sebagai contoh hama utama pada tanaman padi dapat berupa wereng coklat, penggerek batang, ganjur karena serangga hama tersebut dapat menimbukan kerugian yang cukup besar

Secara simultan bunga bank, bagi hasil dan pengetahuan mengenai produk bank bank syariah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat menggunakan produk bank

Dari Tabel 1 diatas, industri nasional memiliki potensi dan kemampuan yang cukup besar untuk memasok komponen elektrikal untuk sistem ketenagalistrikan khususnya untuk

a. Bimbingandi Tanah Air.. Sebelum berangkat ke tanah suci para calon jamaah haji diajarkan dan dibekali ilmu pengetahuan dan makna-makna yang terkandung dalam ibadah

Hasil uji beda rataan interaksi varietas dengan pemberian beberapa bahan organik terhadap pertambahan panjang ubi jalar 5 MST dapat dilihat pada Tabel 1.. Tabel

Perbedaan nilai uji hedonik pada setiap sampel jahe tersebut disebabkan karena perbedaan kandungan dan kadar kandungan zat aktif dari masing- masing