• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan, sikap, Dukungan Guru dan Orang Tua Terhadap Prilaku seksual Siswa SMU Di Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengetahuan, sikap, Dukungan Guru dan Orang Tua Terhadap Prilaku seksual Siswa SMU Di Medan Tahun 2011"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

2.1.1. Defenisi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Skinner dalam Notoatmodjo (2005) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

(2)

Perilaku dibedakan atas pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatamodjo, 2003) :

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Aplication)

Apikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis)

(3)

e. Sintesis (Synthesis)

Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.

2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.

Menurut Purwanto (1999) sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Ciri ciri sikap adalah :

(4)

membedakannya dengan sifat-sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dirumuskan dengan jelas.

d. Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sikap inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

(5)

a. Menerima (Receiving )

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi.

3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan.Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

(6)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

c. Mekanisme (Mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.2. Perilaku Seksual Remaja

Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dari lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Seperti yang di ketahui umumnya remaja laki-laki lebih mendominasi dalam melakukan tindak perilaku seksual bila dibandingkan dengan remaja perempuan. Hal ini di karenakan banyaknya faktor yang membuat remaja laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksualitasnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara maju menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan seksual pada usia lebih muda bila dibandingkan dengan remaja perempuan.

(7)

1. Faktor Internal

a. Tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis)

Perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun berbeda dengan anak usia 13 tahun.

b. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi

Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya.

c. Motivasi

Perilaku yang pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang misalnya Pekerja Seks Komersial (PSK).

2. Faktor Eksternal a. Keluarga

Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku menyimpang pada remaja.

b. Pergaulan

(8)

c. Media massa

Kemajuan teknologi mengakibatkan maraknya timbul berbagai macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, bioskop, warnet. Dari internet, remaja dapat dengan mudah mengakses informasi yang tidak dibatasi umur, tempat dan waktu.

Banyaknya perilaku seksual yang terjadi muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan yang tujuannya hanya untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku.

Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyudi (2004), beberapa perilaku seksual secara rinci dapat berupa:

1. Berfantasi merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.

2. Pegangan tangan dimana perilaku ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang begitu kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba perilaku lain.

3. Cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir. 4. Cium basah berupa sentuhan bibir ke bibir.

5. Meraba merupakan kegiatan pada bagian-bagian sensitive rangsang seksual seperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain.

(9)

7. Masturbasi (wanita) atau onani (laki-laki) merupakan perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual dan dilakukan sendiri.

8. Oral seks merupakan perilaku seksual dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.

9. Petting merupakan seluruh perilaku yang non intercourse (hanya sebatas pada menggesekkan alat kelamin).

10.Intercourse (senggama) merupakan aktivitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

2.3. Kesehatan Reproduksi

Sesuai dengan defenisi WHO dalam Anshor (2006), kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, yakni dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan informasi yang benar diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses-proses reproduksi yang dialaminya.

(10)

1. Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja).

2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan pasangannya.

3. Pengenalan mengenai Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi.

4. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi. 5. Peran dan pengaruh media terhadapa perilaku seksual. 6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghadapinya.

7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif.

8. Hak-hak reproduksi .

2.4. Hubungan Seksual Pra-Nikah

(11)

Menurut Depkes RI (2003) berbagai perilaku seksual remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai berikut :

1. Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual pemenuhan kenikmatan yang sering kali menimbulkan guncangan pribadi dan emosi.

2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.

3. Berbagai kegiatan yang mengarah kepada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukkan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikan atau kegagalan dalam mengalihkan dorongan tersebut kepada kegiatan lain yang masih dapat dikerjakan. Contohnya , menonton atau membaca hal-hal yang berbau pornogafi, dan berfantasi.

Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja , oleh karena itu bila ada penyaluran yang tidak sesuai (pra-nikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut. (Gunarsa, dkk, 2001).

(12)

1. Waktu / saat mengalami pubertas. Pada saat ini mereka belum sepenuhnya memahami tentang apa yang dialaminya.

2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar.

3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan, pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

4. Kondisi keluarga yang yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik.

5. Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas yang berkecukupan akan mudah mendapatkan akses ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya kelompok yang ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan, mereka mencari kesempatan memanfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.

6. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan kematangannya. Misalnya : mereka (pria) ingin menunjukkan bahwa mereka mampu membujuk pasangannya untuk melakukan hubungan seks. 7. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

8. Penerimaan aktifitas seksual dari pacarnya.

(13)

2.5. Dampak Dari Melakukan Hubungan Seksual Pra-Nikah 2.5.1 Aspek Medis

Menurut Adiningsih (2007) aspek medis melakukan hubungan seksual pra-nikah memiliki banyak konsekuensi, yaitu sebagai berikut :

1. Kehamilan yang Tidak diinginkan (KTD) pada usia muda

Mudanya usia ditambah lagi minimnya informasi tentang ”bagaimana seorang perempuan bisa hamil” , mempertinggi kemungkinan terjadinya kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Menurut data PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia), 37.700 perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Dari jumlah itu, 30% adalah masih remaja, 27,0% belum menikah, 12,5% masih berstatus pelajar dan sisanya adalah ibu rumah tangga.

2. Aborsi

(14)

3. Meningkatkan resiko terkena kanker rahim

Boyke Dian Nugroho mengungkapkan bahwa hubungan seksual yang dilakukan sebelum usia 17 tahun resiko terkena penyakit kanker mulut rahim menjadi empat hingga lima kali lipat lebih tinggi

4. Terjangkit Penyakit Menular Seksual (PMS)

PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang kepada orang lain melalui hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. Bila tidak diobati dengan benar, penyakit ini dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi, seperti terjadinya kemandulan, kebutaan pada bayi yang baru lahir bahkan kematian. Ada banyak macam penyakit yang bisa digolongkan sebagai PMS. Di Indonesia yang banyak ditemukan saat ini adalah gonore (GO), sifilis (raja singa), herpes kelamin, klamidia, trikomoniasis vagina, kutil kelamin, hingga HIV/AIDS.

2.5.2 Aspek Sosial-Psikologis

Menurut Irawaty (2005), aspek-psikologis melakukan hubungan seksual pra-nikah akan menyebabkan remaja menjadi memiliki perasaan dan kecemasan tertentu, sehingga bisa mempengaruhi kondisi kualitas sumber daya manusia (remaja) di masa yang akan datang. Kualitas SDM remaja ini adalah :

(15)

masa lalunya. Cepat menyerah pada nasib, tidak sanggup menghadapi tantangan dan ancaman hidup, rendah diri dan berkompetisi.

2. Kualitas kesehatan reproduksi. Hal ini erat kaitannya dengan dampak medis karena dampak fisik perempuan khususnya. Sedangkan laki-laki akan memiliki resiko terkena impotensi.

3. Kualitas keberfungsian keluarga. Seandainya mereka (remaja) menikah dengan cara terpaksa, akan mengakibatkan kurang dipahaminya peran-peran baru yang disandangnya untuk membentuk keluarga yang sakinah

4. Kualitas ekonomi keluarga. Kualitas ekonomi yang dibangun oleh keluarga yang menikah karena terpaksa, akan mengalami kurangnya persiapan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.

5. Kualitas pendidikan. Remaja yang terlibat perilaku seksual pra-nikah, kemudian menikah, tentunya akan memilki keterbatasan terhadap pendidikan formal. 6. Kualitas partisipasi dalam pembangunan. Karena kondisi fisik, mental dan

sosial yang kurang baik, remaja yang terlibat perilaku seksual pra-nikah, tidak dapat berpatisipasi dalam pembangunan.

2.6. Pendidikan Seksual

(16)

diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang di lazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan sekaual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar.

(17)

2.6.1. Tujuan Pendidikan Seksual

Tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksual. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu sebagai suatu yang menjijikan dan kotor.

Dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, akan tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang.

2.7. Kebijakan Pemerintah

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

(18)

pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Reproduksi terdapat pada pasal 71, dapat dilihat sebagai berikut: 1. Pasal 71:

(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan. (2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

(19)

(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

2. Pasal 72 :

(1) Setiap orang berhak:

a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.

b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.

c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.

d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

3. Pasal 73

Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk Keluarga Berencana (KB).

4. Pasal 74

(20)

aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.

(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Pasal 75 :

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang

mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

(21)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Pasal 76 :

(1) Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

7. Pasal 77

(22)

2.8. Teori Mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku 2.8.1. Teori WHO

Menurut tim kerja WHO dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 6 alasan pokok, yaitu:

1. Pengetahuan

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. 2. Kepercayaan

Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek dan nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

3. Sikap

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. 4. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang, lebih-lebih anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.

(23)

Maksudnya adalah fasilitas-fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat, yang dapat bersifat positif ataupun negatif.

6. Perilaku normal, kebiasaan nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya disebut kebudayaan.

2.8.2. Teori Belajar Sosial (Social Learning)

Pembentukan perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan proses interaksi dengan lingkungan. Cara yang kedua merupakan cara yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Terbentuknya perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan lingkungan terjadi melalui proses belajar (learning process) (Notoatmodjo, 2005).

(24)

dari itu, dalam proses ini tidak ada cara coba dan ralat (trial and error) yang berupa tingkah laku nyata, karena semuanya berlangsung secara tersembunyi dalam diri individu.

2.8.3. Teori Lawrence Green

Menurut teori Lawrence Green yang dikutip oleh Sarwono (2005), dinyatakan bahwa perilaku manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non behaviour cause). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok faktor yaitu faktor predisposisi (predisposing factor), pendukung (enabling factor) dan pendorong (reinforcing factor).

1. Faktor predisposisi (predisposing factor) mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

(25)

3. Faktor pendorong (reinforcing factor), terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Tokoh kunci dalam proses pengobatan atau penyembuhan suatu penyakit ialah petugas kesehatan, atau lebih khusus lagi adalah dokter. Bagi masyarakat awam seorang dokter dianggap mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit sehingga dia berwewenang melakukan tindakan terhadap diri si sakit demi pencapaian kesembuhannya.

Hambatan yang paling besar dirasakan adalah faktor pendukungnya (enabling factor). Dari penelitian-penelitian yang ada terungkap, meskipun kesadaran dan

pengetahuan masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktek tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masyarakat masih rendah, setelah dilakukan pengkajian oleh WHO, terutama di negara-negara berkembang, ternyata faktor pendukung atau sarana dan prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berperilaku sehat (Notoatmodjo, 2003).

2.9. Pengetahuan

(26)

lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoadmodjo, 2003).

2.10. Sikap

Menurut Sarwono (2005), sikap dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek, atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penilaian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya), disamping komponen kognitif (pengetahuan tentang objek) serta aspek apektif (kecenderungan bertindak). Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut.

Menurut Newcomb yang dikutip oleh Sibarani (1996), sikap merupakan kesiapan atau kesediaaan untuk bertindak, dan merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi dari tindakan. Sikap masih merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. 2.11. Dukungan Keluarga

Menurut Sarwono (2003), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2001), dukungan yaitu suatu usaha untuk menyokong sesuatu, atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu.

(27)

atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang di rekat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.

Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap tahap siklus kehidupan (Friedman, 2003).

Sudiharto (2007) menyatakan, setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

2.11.1. Fungsi dukungan keluarga

Caplan dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:

1. Dukungan informasional

(28)

dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.

2. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.

2. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

3. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

2.11.2. Sumber dukungan keluarga

(29)

sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).

2.11.3. Manfaat dukungan keluarga

Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

(30)

2.11.4. Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Menurut Feiring dan Lewis dalam Friedman (1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.

Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah.

2.12. Dukungan Guru

(31)

pemuda tidak siap membantu remaja menghadapi masa pubertas. Akibatnya remaja tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi berbagai perubahan gejolak dan masalah yang sering timbul pada masa remaja. Mereka kemudian terjebak dalam masalah fisik, psikologis dan emosional yang kadangkadang sangat merugikan seperti stres dan depresi, kehamilan tidak diinginkan, penyakit dan infeksi menular seksual, dan lain-lain. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi bila mereka lebih memahami berbagai proses perubahan yang akan terjadi pada dirinya sehingga lebih siap menghadapi persoalan pubertas, seksualitas dan kesehatan reproduksi (Veronika, 2009).

(32)

Guru di sekolah perlu memberikan informasi dampak penyimpangan perilaku seksual kepada anak remaja. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa informasi harus disampaikan kepada anak remaja yaitu: 1) anak remaja merupakan anak yang belum memiliki tanggung jawab sendiri terhadap hidupnya, sehingga dibutuhkan sosok yang mengarahkan dirinya dalam proses tumbuh kembang remajanya; 2) bagi anak remaja sendiri, guru merupakan pihak yang cukup berpengaruh di dalam hidupnya sebagai remaja, karena sebagian besar waktunya dihabiskan di sekolah; 3) dewasa ini pubertas lebih cepat dialami oleh remaja karena perbaikan gizi dan nutrisi sehingga guru harus lebih awal memberi pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan-perubahan pada masa remajanya; 4) anak dan remaja mudah sekali terpapar pada informasi yang buruk dan menyesatkan mengenai seks melalui berbagai media (Veronica, 2009).

(33)

2.13. Kerangka Konsep

Berdasarkan konsep Green yang dikutip oleh Sarwono (2005), peneliti memfokuskan penelitian ini pada pengaruh pengetahuan, sikap, dukungan guru dan orang tua (informasi, penilaian, instrumental, serta dukungan emosional) terhadap perilaku seksual pada siswa SMU di Medan Tahun 2011. Sesuai dengan tujuan penelitian dan tinjauan kepustakaan maka kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Pengetahuan tentang Perilaku

Seksual

1. DUKUNGAN GURU a. Dukungan informasional b. Dukungan penilaian c. Dukungan intrumental d. Dukungan emosional

2. DUKUNGAN KELUARGA a. Dukungan informasional b. Dukungan penilaian c. Dukungan intrumental d. Dukungan emosional

Perilaku Seksual

Siswa SMU di

(34)

Berdasarkan kerangka konsep dapat didefinisikan konsep-konsep yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Pengetahuan tentang perilaku seksual adalah segala sesuatu yang diketahui siswa tentang perilaku seksual.

2. Sikap Seksual Siswa adalah kecenderungan siswa untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap perilaku seksual

3. Dukungan guru adalah segala bentuk arahan, sikap dan tindakan dari guru dalam bentuk dukungan informasional, penilaiann,intrumental dan emosional yang melatarbelakangi siswa untuk melakukan perilaku seksual.

4. Dukungan orang tua adalah segala bentuk arahan, sikap dan tindakan dari orang tua dalam bentuk dukungan informasional, penilaiann, instrumental dan emosional yang melatarbelakangi siswa untuk melakukan perilaku seksual.

5. Perilaku Seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dari lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya.

2.14. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pengetahuan tentang perilaku seksual terhadap perilaku seksual siswa SMU di Medan.

2. Ada pengaruh sikap seksual siswa terhadap perilaku seksual siswa SMU di Medan

3. Ada pengaruh dukungan guru terhadap perilaku seksual siswa SMU di Medan 4. Ada pengaruh dukungan orang tua terhadap perilaku seksual siswa SMU di

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Kegiatan-kegiatan pokok RKP 2006: Dalam rangka pelaksanaan program ini

Populasi penelitian seluruh lansia yang mengalami keterbatasan rentang gerak pada lutut dan ankle yang berada di Kota Bengkulu sebanyak 60 lansia yang terdiri dari 3 kelomok

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi sastra, yaitu mendeskripsikan secara sosiologis data yang tersedia dari teks sastra dalam novel Ketika Lampu Berwarna

Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apati sampai somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan,

a) Guru masih sedikit bingung dalam memahami langkah-langkah pembuatan Mind Map sehingga mengalami kesulitan dalam membimbing siswa untuk membuat Mind Map. b) Pembelajaran masih

Pengurusan projek ditakrifkan sebagai perancangan keseluruhan, pengawalan dan koordinasi sesuatu projek daripada peringkat permulaan hingga peringkat penyiapan bagi memenuhi

Samples used in this research are commodity export companies listed in The Industry and Trade Provincial Office o f West Sumatera.. Data used fo r this research