• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB I"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I

Pendahuluan

(2)

berkehendak melakukan perencanaan suatu pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia dengan hasil yang lebih efektif.

Latar Belakang Masalah

(3)
(4)

pendekatan local state government yang memposisikan masyarakat desa hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah. Hal ini tercermin melalui Undang-undang (UU) No.5 Tahun 1979 yang mengarahkan kebijakan pengelolahan pemerintah desa menjadi penyeragaman atau sentralisasi dalam pembangunan masyarakat yang seharusnya masyarakat desa diberi wewenang untuk melakukan pemerintahannya bersama dengan masyarakat desa lokal (self governing community).

(5)

menghasilkan model pembangunan yang sesuai dengan tujuan Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dengan kata lain, suatu pembangunan masyarakat desa dapatlah disebut berhasil dalam pembangunan masyarakatnya apabila dalam kehidupan masyarakat desanya terjadi suatu perubahan sosial atau transformasi sosial yang dapat terindikasikan dalam bentuk kemampuan dari setiap anggota masyarakatnya untuk mencapai

“kesejahteran hidup atau mutu hidup” (Mardikanto & Soebiato 2013; Soetomo 2013). Dalam kaitan pemahaman ini, Todaro (2000:18-20)

mengartikan pencapaian “kesejahteraan hidup atau mutu hidup” adalah

(6)

masyarakat tersebut mampu menciptakan kesejahteraan seluruh anggota masyarakatnya, yaitu suatu pembangunan yang dihasilkan dari rakyat dan bagi rakyat.

Jika demikian, maka konsep tujuan pembangunan masyarakat desa, sebagaimana di anjurkan oleh Todaro (Nurman 2015:94-95), haruslah dimulai dari suatu konsep terjadinya perubahan-perubahan atas struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga, baik dari tingkat daerah hingga di tingkat nasional, sehingga pembangunan akan mampu menghadirkan realita baru bagi kehidupan masyarakat yang melakukan pembangunan tersebut, yaitu bahwa tujuan pembangunan bukan hanya diarahkan untuk peningkatan pendapatan keuangan (income) bagi seseorang atau kelompok tertentu dari masyarakatnya, tetapi lebih kepada pemerataan hasil pembangunan yang dapat dirasakan oleh segenap komponen masyarakat baik dalam sektor perekonomian, namun juga mencakup aspek rasa aman dan keseimbangan tingkat sosialnya. Dengan demikian, hasil dari pembangunan tersebut juga akan mampu memperhatikan peningkatan aspek kebutuhan dimensi non-material masyarakat, seperti

peningkatan “Life sustenance” suatu masyarakat, yakni kemampuan setiap anggota masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan bukan saja dasar hidupnya berupa sandang, pangan dan papan; namun juga

dalam peningkatan aspek kemanusian berkenaan dengan “Self-Esteem” dalam diri setiap anggota masyarakatnya, yaitu kemampuan untuk memiliki rasa kepribadian yang holistic, dalam hal ini adalah memiliki harga diri, kemampuan intelektual, dan fisik yang sehat; dan akhirnya

adanya rasa “Freedom From Servitude” dari setiap anggota masyarakat, yaitu kemampuan diri untuk melakukan berbagai pilihan dalam hidup dan yang tidak merugikan orang lain.

(7)

masyarakat yang berhasil adalah pembangunan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan individu (pemberdayaan individu) yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan untuk menciptakan masa depannya sendiri, yaitu terjadinya suatu kegerakkan partisipasi aktif dari setiap anggota masyarakatnya sehingga tercipta suatu pergerakan modal sosial, yakni berupa pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakatnya dimana hasil-hasilnya pembangunan masyarakat tersebut pada puncak pencapaian tujuannya dapat dirasakan oleh segenap anggota masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pembangunan masyarakat tersebut bukan saja diarahkan untuk pencapaian dalam penambahan dan peningkatan dalam pendapatan aspek ekonomi semata melainkan juga telah mampu mencapai tujuan utama dari pembangunan masyarakat, yaitu pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan sosial masyarakat dan adanya realitas sustainable dalam seluruh pemberdayaan atas sumber daya alam yang menjamin kepastian ketersediaan sumber daya alam dan lingkunan alam sekitarnya bagi generasi di mada depan.

(8)

hingga di tingkat nasional. Selanjutnya, karakteristik yang ketiga adalah Empowerment (Pemberdayaan), yaitu keberhasilan pembangunan masyarakat yang berdampak dalam peningkatan daya kreatifitas masyarakat lokal, hal ini menyangkut pembangunan yang mengutamakan pola struktur pembangunan yang memberdayakan masyarakat loka agar dapat menjadi aktif dalam memperjuangkan nasib dirinya dan bagi seluruh anggota masyarakat. Dan karakteristik yang keempat dari keberhasilan suatu pembangunan masyarakat adalah Suistanable (Berlanjutan), yaitu keberhasilan pembangunan masyarakat yang mampu mempertahankan dan mengembangkan pembangunan dalam masyarakat itu sendiri, hal ini menyangkut pembangunan masyarakat yang senantiasa mengusahakan pelestarian lingkungan dari pembangunan di masyarakatnya.

Peranan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan

(9)

sumber daya manusia dalam pembangunan masyarakat yang bersangkutan. Dan oleh karena pembangunan masyarakat desa adalah sebuah proses, maka keterlibatan individu-individu, dalam hal ini suatu masyarakat yang memberdayakan diri dalam pembangunan masyarakat merupakan syarat mutlak dan vital untuk pencapaian keberhasilan suatu pembangunan masyarakat. Mardikanto & Soebiato (2013: 5) menyimpulkan dengan tegas tentang fakta ini bahwa pembangunan masyarakat desa adalah suatu upaya bersama dari setiap anggota masyarakat berupa pemberdayaan dari partisipasi yang dihasilkan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Dengan demikian, pembangunan masyarakat bukanlah kegiatan masyarakat yang direncanakan, dilaksanakan dan dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan segolongan atau sekelompok warga masyarakat, melainkan dari pemberdayaan seluruh angggota masyarakat setempat.

Sebab itulah, menurut Nitisastro (2010:9-11) maupun Soedjatmoko (1998:181-182), konsep pembangunan masyarakat desa yang baik dan benar adalah pembangunan yang mensyaratkan pemberdayaan masyarakatnya melalui keterlibatan atau pastisipasi aktif dari seluruh anggota masyarakat desa dimana pembangunan tersebut diadakan, yaitu mulai dari fase pengambilan keputusan tentang perencanaan pembangunan, sampai pada fase pelaksanaan dan pengawasan proses pembangunan, hingga pada akhirnya pada fase pemanfaatan hasil-hasilnya oleh masyarakat yang bersangkutan. Premis tentang konsep pembangunan masyarakat ini amat penting, sebagaimana telah diungkapkan oleh Sumodiningrat (1999) bahwa pembangunan masyarakat bukanlah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh karena instruksi atau program pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu (top-down approach), melainkan suatu usaha pembangunan masyarakat yang dilaksanakan melalui proses pemberdayaan masyarakat dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu bersama-sama dengan seluruh warga masyarakatnya ( bottom-up approach).

(10)

Sebenarnya, melalui PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, yang telah diluncurkan oleh Presiden RI sejak 30 April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah, pemerintah telah mengupayakan konsep pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat. Namun, hasil penemuan dan pengkajian Maschab (2013) maupun Suharto (2016) menampilkan bahwa pelaksanaan program-program PNPM Mandiri Perdesaan masih cenderung berorientasi pada program-program pembangunan gedung atau infra struktur penunjang ekonomi dan belum mampu melakukan pemberdayaan penduduk desa secara efektif. Ada tiga indikator utama dari ketidakefektifan tersebut; Pertama, masih lemahnya proses pemberdayaan masyarakat yang mampu mengembangkan SDM sehingga program-program pembangunan masyarakat mengalami kendala-kendala dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang ada. Adisasmita (2013:13-14) menjelaskan lemahnya pemberdayaan masyarakat tersebut sebagai berikut,

Perencanaan pembangunan di Indonesia selama ini sering dikatakan menerapkan pendekatan top-down sehingga hasil pembangunan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat setempat. Banyak proyek pembangunan yang berhasil secara fisik tetapi dalam kenyataannya tidak berhasil secara masyarakat karena kurang mampu memberdayakan masyarakat, sehingga pembangunan tersebut dikatakan tidak berhasil.

Kedua, belum ratanya hasil nyata dari program-program pembangunan masyarakat sehingga masyarakat desa masih belum dapat mengalami kesejahteraan secara merata, atau sebagaimana

Maschab (2013:169) menyebutnya sebagai “pembangunan desa yang

dilakukan selama ini hanya sekedar bisa menjadikan masyarakat desa

(11)

dengan gagasan perencanaan pembangunan dari pihak luar pemerintah dan pihak luar masyarakat, masih berlakunya sistem birokrasi yang manajerial, sumber dana pembangunan berasal dari pemerintah pusat, proyek pembangunan dilakukan berdasarkan target waktu yang telah ditentukan dan diaplikasikan pada pembangunan infrastruktur yang beragam (misalnya; pembangunan jalan, gedung, fasilitas umum dijadikan satu proyek), dan implementasi program pembangunan dijalankan dengan lebih berpedomankan pada panduan teknis undang-undang pemerintah daerah daripada berpedomankan pada kebijakan lokal.

Lemahnya implementasi pemberdayaan masyarakat yang terlihat dari ketiga indikator tersebut tampaknya memang menjadi kendala bagi pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia, hal ini dapat tergambarkan dari beberapa hasil penelitian, antara lain, penelitian Purba (2008) di kecamatan Panombeian Panei, kabupaten Simalungun yang menyatakan pemberdayaan masyarakat dalam keterlibatan mereka pada tahap perencanaan berjalan dengan baik, namun pada tahap pelaksanaan, keterlibatan masyarakat amat berkurang yang disebabkan dari kurangnya SDM yang berkompentensi, sehingga masih berorintasi pada program semata.

Penelitian Mardjoeki (2012) di masyarakat pesisir pantai Kapetakan (Bungko) sampai pesisir pantai Mertasinga Kecamatan Gunungjati dan Kota Cirebon, Mundu sampai Losari, Kabupaten Cirebon menemukan masih terbatasnya sarana pelayanan dasar termasuk sarana prasarana fisik sehingga sebagian besar masyarakat masih terisolir dan terbelakang, ditambah belum adanya kebijakan yang mengatur kehidupan masyarakat pesisir, sehingga masyarakat masih belum dapat mengambil sikap yang jelas dalam pengambilan keputusan. Sebagai akibatnya, pemberdayaan masyarakatnya tidak dapat berjalan dengan efektif.

(12)

memiliki program pemberdayaan masyarakat berupa pelatihan kerja atau pendampingan kerja, sehingga terjadi kelemahan dalam pengelolaan dan pengawasan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program BTL (Bantuan Tunai Langsung) yang disalurkan.

Demikian pula, penelitian Setyawati (2014) tentang

“Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Masyarakat Pesisir Berdasarkan Kearifan Lokal” menyimpulkan pemerintah tidak mengikut sertakan masyarakat secara langsung dalam perencanaan program sehingga masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk berpatisipasi, maka sebagai akibatnya, pemberdayaan masyarakat tidak ada sehingga masyarakat tidak tahu bagaimana berperan sebagai penunjang keberhasilan peningkatan hasil ekonomi masyarakat mereka sendiri.

Berdasarkan pemahaman tentang masih lemahnya konsep pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat perdesaan di Indonesia secara umum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka melalui disertasi ini, penulis mengajukan desa Tlogoweru di kecamatan Guntur, kabupaten Demak sebagai prototipe pembangunan masyarakat perdesaan dengan konsep pemberdayaan masyarakatnya.

(13)

Bina usaha adalah bentuk pemberdayaan masyarakat yang menghasilkan peningkatan hasil usaha yang konkrit dari masyarakat setempat yang ditandai dengan adanya perencanaan yang baik, penetapan dan pembagian hasil yang merata serta dilakukan melalui partisipasi aktif dari masyarakatnya. Bina manusia adalah pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan peningkatan kompetensi masyarakat dalam melakukan bina usaha, sehingga pembangunan yang berlangsung merupakan pembangunan masyarakat yang berorientasikan pada pengembangan potensi masyarakat dan dilakukan dari aspirasi masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat secara mandiri. Bina lingkungan adalah pemberdayaan yang menunjang model pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yakni pembangunan masyarakat yang menjamin terjadinya ketersediaan sumber daya alam secara berkesinambungan bagi generasi yang akan datang melalui program-program yang berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup.

Adapun fenomena terjadinya pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru sesuai dengan ketiga indikator tersebut di atas dapat diuraikan secara garis besarnya adalah sebagai berikut; Keberhasilan pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru tampak pada pengembangan bina usahnya. Sejak tahun 1970, desa Tlogoweru termasuk dalam daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT), namun semenjak tahun 2012, tingkat perekonomian dari hasil pertanian masyarakat desa Tologoweru menampakkan kemajuan yang signifikan. Ada dua kejadian yang membuat penulis menjadi semakin berpenasaran untuk lebih dalam menggali tentang penyebab meningkatnya hasil usaha masyarakat di desa Tlogoweru. Pertama, kejadian setelah mendengar pengakuan dari Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian, Bp. Prabowo Respatiyo Caturroso, atas potensi dan keberhasilan usaha pertanian desa Tlogoweru setelah melakukan

kunjungannya bahwa, “… kami (akan) mencanangkan Desa Tlogoweru

(14)

selaku kepala desa Tlogoweru, dari Gubernur Jawa Tengah, H. Ganjar Pranowo, pada 10 Nopember 20151. Kedua kejadian ini amat monumental, karena meneguhkan pernyataan pak Soetedjo selaku kepada desa pada tahun 2012 sebelumnya bahwa masyarakat desa Tlogoweru telah mengalami kesejahteraan ekonomi melalui pendapatan pertanian mereka dari panen padi sebelum tahun 2012 hanya Rp. 11,55 juta per hektare, namun setelah itu telah meningkat menjadi Rp. 23,1 juta per hektare, dan daya beli masyarakat meningkat, sehingga mampu membayar sewa tanah / 7500m2/tahun dari 6 juta rupiah menjadi 16 juta rupiah (wawancara, 10 Juli 2012).

Tabel 1.1: Data Peningkatan Pendapatan Tahun 2012

Sumber: Soetedjo (kantor kepala desa Tlogoweru)

Fenomena meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa Tlogoweru lainnya adalah dari pengamatan penulis sejak pertama kali berkunjung ke desa Tlogoweru pada sekitar akhir tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2015, desa Tlogoweru semakin menampakkan perubahan dalam tiga area. Area pertama adalah kondisi sepanjang jalan utama desa dan kondisi rerumputan di pematang daerah persawahan penduduk. Nampak ada perubahan sejak tahun 2009, bagaimana kondisi jalan yang sebelumnya banyak berlobang dan bergelombang karena terbuat dari lapisan tanah dan aspal yang sudah luluh, namun setelah tahun 2011 sebagian sudah dari aspal dan di tahun 2013 sebagian dari beton, demikian pula rerumputan di

(15)

pematang daerah persawahan penduduk sebagian besar mulai ditanami rumput gajah (yang juga berfungsi sebagai pakan ternak), sehingga pada tahun 2013 desa Tlogoweru mendapat penghargaan sebagai Kampung Kokoh juara III tingkat Nasional dari PT Semen Semen (Tbk) Indonesia.

Sumber: Soetedjo

Gambar 1.1: Penghargaan Kampung Kokoh

Area kedua adalah kondisi perumahan penduduk. Di tahun 2012, lebih dari separuh rumah-rumah penduduk yang ada disepanjang kiri-kanan akses jalan masuk desa sampai di depan kantor kepala desa

dan gedung “Santosa” telah berdindingkan tembok, berpekarangan rapi

dan bercat warna-warni. Area ketiga adalah beberapa staff kantor pemerintahan desa yang penulis kenal. Di tahun 2013 mereka telah memiliki kendaran sepeda motor pribadi dan pemerintahan desa telah mampu membeli sebuah kendaraan roda empat (melalui kredit).

(16)

oleh pemerintah daerah, sehingga pada tanggal 10-12 Juli 2012, desa Tlogoweru menjadi tempat Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penyuluh PNS Sekretariat Bakorlum Jawa Tengah dan pada 24 September 2012, gubernur Jateng, H. Bibit Waluyo, menjadikan desa Tlogoweru sebagai tempat ajang Apel Penyuluh Tingkat Propinsi Jawa Tengah dalam rangka pembahasan PNPM Mandiri Perdesaan. Pengakuan keberhasilan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru di sektor pengembangan SDM juga dapat terdeteksi dari data desa di Bapermades mulai dari tahun 2012 hingga September 2014, telah tercatat sebanyak 14 lembaga dan instasi dari pemerintah dan 5 lembaga swata yang telah berkunjung untuk melakukan studi banding dan menerima pembelajaran tentang burung Tytto Alba dari staff kepada desa Tlohgoweru (kunjungan validasi data penelitian, 10 Oktober 2014).

(17)

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari pemaparan keberhasilan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru inilah, rumusan masalah penelitian yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah di bagaimanakah partisipasi masyarakat di desa Tlogoweru dilakukan sehingga dapat terjadi pemberdayaan masyarakatnya untuk mensukseskan pembangunan masyarakat desa Tlogoweru? Dan untuk pengembangan penelitian dalam disertasi ini, penulis memakai dua pertanyaan penelitian, yaitu; Pertama, bagaimanakah proses berlangsungnya partisipasi masyarakat tersebut sehingga mampu menggerakkan pemberdayaan masyarakatnya dalam proses pembangunan? Kedua, faktor-faktor apa sajakah yang mampu memberi motivasi terjadinya pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru?

Pertanyaan penelitian ini amat penting dalam rangka mendukung tujuan dari disertasi ini, yakni menemukan proses dari terjadinya keefektifan pemberdayaan masyarakat di desa Tlogoweru sehingga dapat dijadikan prototipe bagi para akademisi dan praktisi pembangunan masyarakat di Indonesia. Dengan kata lain, tujuan dari disertasi ini adalah meneliti siapa saja yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru dan bagaimana mereka melakukan perannya atau faktor-faktor apa saja yang berperan didalam keseluruhan proses pemberdayaan masyarakat tersebut.

(18)

Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

(19)

Gambar

Tabel 1.1: Data Peningkatan Pendapatan Tahun 2012
Gambar 1.1: Penghargaan Kampung Kokoh

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diperoleh hasil berupa seperangkat instrumen untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis, pemahaman matematis, dan self regulated learningsiswa dalam

Bagi kandidat dan partai politik, upaya mempengaruhi warga untuk berpartisipasi dalam pemilu dilakukan dengan menyusun visi misi dan program calon yang sesuai dengan isu..

Research based on the analysis of multitemporal aerial images from 1951-2004 made it possible to reconstruct the intermediate conditions of the Baltic Sea shoreline

Seperti pada iklan kelima, penggunaan alat retorik endreim tersebut berfungsi selain untuk menarik minat dan perhatian pembaca, bertujuan agar kalimat tersebut

Alhamdulillahi rabbil’aalamiin, puji syukur tercurah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan kasih sayang, rahmat serta karunia-Nyaa sehingga penulis dapat

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penyusunan dan penggunaan daftar wajib pajak (master file), struktur organisasi, dan prosedur perpajakan

Hasil analisa dari penelitian ini adalah penggunaan internet sebagai media pembelajaran memiliki pengaruh terhadap motivasi belajar siswa.. Kata kunci: Motivasi belajar,

Pada penelitian ini akan dibandingkan aplikasi dari metode Lagrange dan Constriction Factor Particle Swarm Optimization (CFPSO) untuk mendapatkan biaya pembangkitan yang