BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
2.1.1 Pengertian DASDaerah aliran sungai (DAS) adalah daerah tangkapan air yang dihulu dibatasi oleh punggung–punggung gunung atau bukit, dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut dan air tanahnya akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau (Triatmodjo, 2009). Undang-undang No.7 tahun 2004 pasal 1 menyatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
DAS biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Fungsi suatu DAS merupakan suatu respon gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor alamiah dan buatan manusia dan yang ada pada DAS tersebut. Sebuah DAS yang besar dapat dibagi menjadi SubDAS-SubDAS yang lebih kecil (Gambar 2.1). Unit spasial yang lebih kecil dapat dibentuk pada SubDAS untuk melakukan analisa spasial yang lebih akurat berdasarkan jenis tanah dan penggunaan lahannya.
Gambar 2.1: Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.1.2 Pengertian Sungai
Permukaan bumi secara alami mengalami erosi begitu muncul ke permukaan. Salah satu faktor penting penyebab erosi yang bekerja secara terus menerus untuk mengikis permukaan bumi, hingga sama dengan permukaan laut adalah air. Air adalah benda cair yang senantiasa bergerak ke arah tempat yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi. Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu juga mengikis bumi sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil atau besar yang disebut dengan istilah alur sungai.
Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air akan mengalir melalui sungai dan anak sungai disebut daerah aliran sungai (DAS). Dalam istilah bahasa inggris disebut Catchment Area, Wa tershed, atau River Basin.
Menurut Waryono (2001) bahwa struktur sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar penampang badan sungai yang memiliki karakteristik berbeda pada bagian hulu, tengah, dan hilir. Lebih jauh dikemukakan bahwa bagian dari struktur sungai meliputi badan sungai, tanggul sungai dan bantaran sungai. Forman (1986) menggambarkan struktur koridor sungai secara rinci sebagai berikut (Gambar 2.2):
Gambar 2.2: Struktur Koridor Sungai
Keterangan:
A: Penyangga tepian sungai D: Batas tinggi air semu
B: Dataran Banjir E: Dasar Sungai
C: Badan Sungai F: Vegetasi riparian
Fungsi pokok sungai adalah untuk mengalirkan kelebihan air dari permukaan tanah, sedangkan fungsi lainnya adalah dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia, seperti sumber air minum, PLTA, pengairan, transportasi air, untuk meninggikan tanah yang rendah dan mengatur suhu tanah. Menurut peraturan perundangan yang ada, fungsi sungai adalah:
b. Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan pemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.
2.1.3 Bentuk-bentuk Daerah Aliran Sungai
Bentuk bentuk DAS dapat dibagi dalam empat, antara lain:
A. Bentuk memanjang/ bulu burung B. Bentuk radial
C. Bentuk paralel D. Bentuk komplek
A. Bentuk memanjang/ bulu burung
Biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak anak sungai langsung mengalir ke induk sungai kadang kadang berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda beda, dan banjir berlangsung agak lama. Bentuk dari DAS ini ditunjukkan pada (Gambar 2.3).
B. Bentuk radial
Bentuk DAS ini seolah olah memusat pada satu titik sehingga menggambarkan
adanya bentuk radial, kadang kadang gambaran tersebut memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh DAS Bengawan Solo seperti pada (Gambar 2.4).
Gambar 2.4: DAS bentuk radial C. Bentuk paralel
DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu dibagian hilir. Apabila terjadi
banjir di daerah hilir biasanya terjadi setelah dibawah titik pertemuan. Sebagai contoh adalah banjir di Batang Hari di bawah pertemuan Batang Tembesi seperti pada (Gambar 2.5).
D. Bentuk komplek
DAS Bentuk komplek merupakan bentuk kejadian gabungan dari beberapa bentuk
DAS yang dijelaskan di atas, sebagai contoh pada (Gambar 2.6).
Gambar 2.6: DAS bentuk komplek
2.2 Hidrologi
Gambar 2.7 Siklus Hidrologi
2.2.1 Curah Hujan
Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rata-rata pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar atau pencatat.
1. Rata-rata aljabar
Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (a rithma tic mea n) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di dalam areal studi.
d = d +d +d + … + dnn = ∑n din
i= (2.1)
di mana d = tinggi curah hujan rata-rata, d1, d2 . . . dn = tinggi curah hujan pada pos
penakar 1, 2, . . . , n, dan n = banyak pos penakaran.
Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal.
2. Cara Poligon Thiessen
Gambar 2.8 Poligon Thiessen pada DAS
Curah hujan pada suatu daerah dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(2.2) sama (isohyet), seperti terlihat pada Gambar 2.9 berikut.
Gambar 2.9 Peta Isohyet
Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yeng berdekatan diukur, dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai berikut:
(2.4)
(2.5) di mana d = tinggi curah hujan rata-rata areal, A = luas areal total = A1 + A2 + A3 + ...+
An, dan d0, d1, ..., dn = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, ..., n.
Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik).
2.2.2 Distribusi Frekuensi Curah Hujan
Untuk menganalisis probabilitas curah hujan biasanya dipakai beberapa macam distribusi yaitu:
A. Distribusi Normal
B. Log Normal
C. Gumbel
D.Log Pearson Type III
Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Normal, dengan persamaan sebagai berikut:
XT = X + k.Sx (2.6)
Dimana:
XT: Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah
hujan rencana untuk periode ulang T tahun.
X: Harga rata–rata dari data
K: Variabel reduksi
Sx : Standard Deviasi
Tabel 2.1 Nilai Variabel Reduksi Gauss
(sumber: Buku sistem dra ina se perkota an ya ng berkelanjuta n ha l 37)
Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log Normal, dengan persamaan sebagai berikut:
Log XT = Log X + k.Sx Log X (2.7)
Dimana:
Log XT : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan
rancangan untuk periode ulang T tahun.
Log X : Harga rata – rata dari data
Tabel 2.2 Nilai K untuk Distribusi Log Normal
Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode E.J. Gumbel, dengan persamaan sebagai berikut:
XT= X + K.Sx (2.8)
Dimana:
XT: Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya
curah hujan rencana untuk periode ulang T (tahun).
X: Harga rata – rata dari data
K: Variabel reduksi.
Untuk menghitung variabel reduksi E.J. Gumbel mengambil harga:
K
Sn: Reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyak data N
(Sumber: Buku sistem dra ina se perkotaa n yang berkela njuta n ha l 51)
Tabel 2.4 Reduksi Variat (YTR) sebagai fungsi periode ulang Gumbel
(Sumber: Buku sistem dra ina se perkotaa n yang berkela njuta n ha l 52) Tabel 2.5 Reduksi Standard Deviasi (Sn) untuk Distribusi Gumbel
D. Distribusi Log Person III
Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode Log Person Type III, dengan persamaan sebagai berikut:
Log XT = LogX + Ktr. S1 (2.10)
Dimana:
Log XT: Variate diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan
rancangan untuk periode ulang T tahun.
Log X : Harga rata – rata dari data, LogX
Tabel 2.6 Nilai K untuk distribusi Log Pearson
2.2.3 Uji Distribusi Frekuensi Curah Hujan
Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran teoritis yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut:
1. Uji Chi Kuadrat
Uji Chi Kuadrat digunakan untuk menguji apakah distribusi pengamatan dapat disamai dengan baik oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan berikut:
(2.11)
di mana k = 1 + 3,22 Log n, OF = nilai yang diamati, dan EF = nilai yang diharapkan. Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 hitung < X2Cr. Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikan α dengan derajat
kebebasan. Batas kritis X2 tergantung pada derajat kebebasan dan . Untuk kasus ini derajat kebebasan mempunyai nilai yang didapat dari perhitungan sebagai berikut:
DK = JK - (P + 1) (2.12)
di mana DK = derajat kebebasan, JK = jumlah kelas, dan P = faktor keterikatan (untuk pengujian Chi-Square mempunyai keterikatan 2).
2. Uji Smirnov Kolmogorof
k
1 i
2 2
hit
Tahap-tahap pengujian Smirnov Kolmogorof adalah sebagai berikut:
a. Plot data dengan peluang agihan empiris pada kertas probabilitas, dengan menggunakan persamaan Weibull:
x 100% 1n m P
(2.13)
di mana m = nomor urut dari nomor kecil ke besar, dan n = banyaknya data.
b. Tarik garis dengan mengikuti persamaan:
d T logX G .S
X
Log (2.14)
Dari grafik ploting diperoleh perbedaan perbedaan maksimum antara distribusi teoritis dan empiris:
Pt -Pe
max
(2.15)
di mana max= selisih maksimum antara peluang empiris dengan teoritis, Pe = peluang empiris, dan Pt = peluang teoritis.
c. Taraf signifikan diambil 5% dari jumlah data (n), didapat ΔCr dari tabel. Dari tabel Uji Smirnov Kolmogorof, bila Δ maks < ΔCr, maka data dapat diterima.
2.3 Hidrograf Satuan Sintetik
1. Hidrograf Satuan Gama I
Kajian sifat dasar Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gamma I adalah hasil penelitian 30 buah daerah aliran sungai di Pulau Jawa. Sifat-sifat daerah aliran sungai dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut:
1. Faktor sumber (source factor, SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.
2. Frekuensi sumber (source frequency, SN) ditetapkan sebagai perbandingan antara jumlah pangsa sungai semua tingkat.
3. Faktor simetri (symmetry factor, SIM), ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas relatif DPS sebelah hulu (RUA).
4. Faktor lebar (width fa ctor, WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¾ L dan lebar DPS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¼ L dari tempat pengukuran.
5. Luas relatif DPS sebelah hulu (relative upper catchment area ), yaitu perbandingan antara luas DPS sebelah hulu garis yang ditarik terhadap garis yang mengubungkan titik tersebut dengan tempat pengukuran dengan luas DPS.
6. Jumlah pertemuan sungai (number of junction, JN)
Gambar 2.10 Model Parameter Karakteristik DAS Metode Gamma I
Rumus-rumus yang digunakan dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut:
B = 1,5518 N-0,14991 A-0,2725 SIM–0,0259 S-0,0733 (2.16) di mana N = jumlah stasiun hujan, A = luas DAS (km2), SIM = faktor simetri, S = landai sungai rata-rata, dan B = koefiesien reduksi.
Menghitung waktu puncak HSS Gamma I (tr) dengan rumus berikut:
tr = 0.43 ( L/ 100 SF) 3 + 1.0665 SIM + 1.277 (2.17)
di mana tr = waktu naik (jam), L = panjang sungai induk (km), SF = faktor sumber, dan
SIM = faktor simetri.
Menghitung debit puncak banjir HSS Gamma I (Qp) dengan rumus berikut:
Qp = 0,1836 A0,5884 JN0,2381 tr-0,4008 (2.18)
di mana Qp = debit puncak (m3/det), dan JN = jumlah pertemuan sungai.
Menghitung waktu dasar pada metode HSS Gamma I (tb) dengan rumus berikut: A
B WL
tb = 27,4132 tr0,1457 S-0,0986 SN0,7344 RUA0,2574 (2.19) di
mana S = landai sungai rata-rata, SN = frekuensi sumber, dan RUA = luas relatif DPS sebelah hulu (km2).
Menghitung koefisien resesi (K) pada metode ini dihitung dengan rumus:
K = 0,5671 A0,1798 S-0,1446 SF-1,0897 D0,0452 (2.20)
di mana K = koefisien tampungan (jam), A = luas DPS (km2), S = landai sungai rata-rata, SF = faktor sumber (km/km2), dan D = kerapatan jaringan kuras (km/km2).
Menghitung aliran dasar sungai dihitung dengan rumus:
QB = 0,4751 A0,6444 D0,9430 (2.21)
2. Hidrograf Satuan Nakayasu
Perhitungan debit banjir rancangan menggunakan metode Nakayasu. Persamaan umum Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:
di mana Qp = debit puncak banjir (m3/det), C = koefisien pengaliran, R0 = hujan satuan
Gambar 2.11 merupakan contoh gambar hidrograf nakayasu berupa hubungan antara waktu dengan debit puncaknya.
Gambar 2.11 Model Hidrograf Nakayasu
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam hidrograf nakayasu adalah:
a. Pada kurva naik, 0 ≤ t ≤ Tp, maka p
LengkungNaik Lengkung Turun
Tp T0,3 1,5 T0,3
Tr
Q
b. Pada kurva turun, Tp< t ≤ (Tp + T0,3), maka
3. Hidrograf satuan Snyder
Dalam permulaan tahun 1938, F.F. Snyder dari Amerika Serikat telah mengembangkan rumus empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran.
Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan :
A= Luas daerah pengaliran (km2)
L= Panjang aliran utama (km)
LC= Jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang diukur sepanjang aliran utama
Dengan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumusnya sebagai berikut :
72 3
b p
T t (2.30)
dimana:
tp : Waktu mulai titik berat hujan sampai debit puncak dalam jam
tr : Lama curah hujan efektif
Qp : Debit maksimum total
Tb : Waktu dasar hidrograf
Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Keterlambatan DAS (basin lag)
(2.31)
dimana :
Ct : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah
yang sama
Menghitung debit puncak per satuan luas dari hidrograf satuan standar :
(2.32)
dimana :
0,3
t = C (L.L )p t c
2, 75.Cp q =p
Cp : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah
yang sama
Harga L dan Lc diukur dari peta DAS untuk menghitung Ct dan Cp pada DAS yang terukur. Berdasarkan hidrograf satuan yang diturunkan dapat diperolrh durasi efektif tR
dalam jam, kelambatan DAS tpR dalam jam. Jika maka :
tr = tR
tp = tpR dan qp = qpR
Jika tpR jauh dari 5,5 tR, maka kelambatan DAS standar adalah :
(2.33)
Dan persamaan (2.29) dan (2.33) diselesaikan untuk mendapatkan nilai tr dan tp. Nilai Ct dan Cp kemudian dihitung dari persamaan (2.32) dan (2.33).
Lamanya hujan efektif tr ‘=tp/5,5 dimana tr diasumsi 1 jam. Jika tr’ > tr ( asumsi),
dilakukan koreksi terhadap tp
' 0, 25( ')
p p r r
t t t t (2.34)
maka :
' 2
r
P p
t
T t (2.35)
Jika tr’ < tr (asumsi), maka :
2
r
p p
t
T t (2.36)
t = 5,5 tp r
t tr- R t = t R +p p
Menentukan grafik hubungan antara Qp dan t (UH) berdasarkan persamaan Alexseyev
Q : Debit dengan periode hidrograf
Y : Perbandingan debit periode hidrograf dengan debit puncak
X : Perbandingan waktu periode hidrograf dengan wktu mencapai puncak banjir
Setelah dan a dihitung, maka nilai y untuk masing-masing x dapat dihitung (dengan membuat table), dari nilai-nilai tersebut diperoleh t=xTp dan Q=y.Qp , selanjutnya dibuat