• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Konformitas Negatif Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Salatiga T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Konformitas Negatif Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Salatiga T1 BAB II"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kecerdasan Emosi

2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis tersebut diantaranya, yaitu : 1) Empati, 2) Mengungkapkan dan memahami perasaan, 3) Mengendalikan amarah, 4) Kemampuan kemandirian, 5) Kemampuan menyesuaikan diri, 6) Kemampuan berdiskusi, 7) Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, 8) Ketekunan, 9) Kesetiakawanan dan 10) Sikap hormat.

Stein & Book (2002), mengutip pandangan Reuven On. Reuven Bar-On menyatakan kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompe-tensi dan kecakapan nonkognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang un-tuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Hal ini tentunya sangat menekankan tentang bagaimana seseorang dalam hubungan dengan sosialnya.

(2)

9 intelektual. Kecerdasan emosi dipandang sebagai tolak ukur dalam proses pencapaian emosi yang lebih stabil dan terkendali.

Cooper And Sawaf (dalam Alex Tri Kantjono, 1998) menyatakan kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan lain saling menyempurnakan dan melengkapi. Emosi menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif dan transformasi. Penalaran logik berfungsi mengatasi dorongan keliru dan menyelaraskan tujuan dengan proses dan teknologi dengan sentuhan manusiawi.

Kecerdasan emosional memberi informasi penting yang menguntungkan. Umpan balik dari kecerdasan emosi memunculkan kreativitas, bersifat jujur mengenai diri sendiri, menjalin hubungan yang saling mempercayai, memberi panduan nurani bagi hidup dan karier, membantu menghadapi kemungkinan yang tidak terduga dan dapat menyelamatkan diri dari kehancuran. Kecerdasan emosional juga menuntun individu belajar mengakui dan menghargai perasaan diri dan orang lain dan memberi tanggapan yang tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan beberapa kutipan dari para ahli tersebut, maka sebagai penulis lebih merujuk pada teori Salovey dan Mayer karena didalam pendapatnya tentang kecerdasan emosi yang dipandang sebagai pengenalan terhadap perasaan serta pengendalian yang diharapkan dapat membantu dalam perkembangan emosi dan intelektualnya sangat sesuai dengan penelitian dari penulis dalam kaitannya dengan definisi kecerdasan emosi.

(3)

10 2.1.2. Unsur-Unsur Dalam Kecerdasan Emosional

Salovey dan Mayer (1997), mempertajam kemampuan kecerdasan emosional menjadi 5 wilayah utama, yaitu:

1) Mengenali emosi diri

Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan mengenali diri sendiri merupakan kemampuan dasar dari kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah perhatian terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman, termasuk emosi. Kemampuan ini berfungsi memantau perasaan dari waktu ke waktu dan mencermati perasaan-perasaan yang muncul. Ketidak mampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya menandakan bahwa orang berada dalam kekuasaan emosi.

2) Mengelola emosi

(4)

11 3) Memotivasi diri sendiri

Termasuk dalam memotivasi diri merupakan kemampuan menata emosi, yaitu alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan memberi perhatian yang sangat penting untuk memotivasi diri, berkreasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam berbagai bidang kegiatan yang dikerjakan. Kemampuan ini didasari kemampuan mengendalikan emosi, yaitu dengan menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Kemampuan ini memungkinkan orang menyesuaikan diri dalam tuntutan berkreasi yang berlangsung di tempat kerja sambil mengendalikan dorongan hati, kekuatan berpikir positif dan bersikap optimis.

4) Mengenali emosi orang lain

Kemampuan ini disebut dengan istilah empati, yaitu kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, yang merupakan keterampilan dasar dalam bergaul. Kemampuan berempati, yaitu mengetahui perasaan orang lain ikut berperan dalam perjuangan hidup. Orang yang empatik mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain.

5) Membina hubungan dengan orang lain

(5)

12 dan karisma pribadi. Individu yang terampil dalam kecerdasan sosial lancar menjalin hubungan dengan orang lain, peka membaca reaksi dan perasaan orang lain, mampu memimpin dan mengorganisasi serta pintar menangani perselisihan dalam pekerjaan.

Reuven Bar-On (2002), merangkum kecerdasan emosional ke dalam lima area atau ranah yang menyeluruh, yaitu:

1) Ranah Intra Pribadi

Ranah intra pribadi terkait dengan kemampuan individu untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri. Ranah ini meliputi kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri dan aktualisasi diri.

2) Ranah Antar Pribadi

Ranah antar pribadi berkaitan dengan “keterampilan bergaul” yaitu

kemampuan individu berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain. Ranah ini meliputi empati, tanggung jawab sosial dan hubungan antar pribadi.

3) Ranah Penyesuaian Diri

(6)

13 4) Ranah Pengendalian Stres

Ranah pengendalian stres terkait dengan kemampuan individu untuk tahan menghadapi stres dan mengendalikan impuls/dorongan nafsu serta kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak tanpa menimbang dengan matang/seksama. Ranah ini meliputi ketahanan menanggung stres dan pengendalian impuls/dorongan nafsu.

5) Ranah Suasana Hati Umum

Ranah suasana hati umum berkaitan dengan pandangan individu tentang kehidupan, bergembira dalam bersendiri maupun bersama orang lain serta keseluruhan rasa puas atau lega yang dirasakan individu. Ranah ini meliputi kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistik, terutama dalam menghadapi masa sulit (optimistik) dan mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain, serta semangat dan gairah melakukan tiap kegiatan (kebahagiaan).

Gambar 1. Model Kecerdasan Emosional Reuven Bar-On

Intra Pribadi Antar Pribadi

(7)

14 Berdasarkan kutipan para ahli diatas maka penulis lebih mengacu dengan Teori Salovey dan Mayer (1997), karena unsur-unsur dalam kecerdasan emosional yang dibagi menjadi lima wilayah utama yang terbagi dalam pengenalan emosi diri, pengelolaan emosi, pemotivasian diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain sehingga penulis berpendapat bahwa semua indikator mendukung terhadap kemampuan diri seseorang dalam kaitannya mempertajam kemampuan kecerdasan emosionalnya seperti yang diharapkan dalam penelitian penulis.

2.1.3. Dimensi-Dimensi Pembentuk Kecerdasan Emosional

Pada tahun 1997 Salovey & Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai keterampilan yang saling berkaitan yang diklasifikasikannya ke dalam empat dimensi kecakapan, yaitu dalam:

1) Mengamati, mengapresiasi dan mengekspresikan emosi secara akurat. 2) Mengakses dan menghasilkan perasaan-perasaan yang memfasilitasi pikiran. 3) Memahami emosi dan pengetahuan tentang emosi.

4) Mengatur emosi untuk mempromosikan perkembangan emosional dan intelektual.

Penelitian ini menggunakan instrumen Wong & Law (Law, Wong & Song, 2004) yang dinamai WLEIS (Wong and Law Emotional Intelligence Scale) yang mengacu pada definisi berdimensi empat dengan deskripsi sebagai berikut:

Dimensi I :

SEA (Self Emotional Appraisal) or Appraisal and expression of emotion in

(8)

15 berkenaan dengan kecakapan memahami perasaan diri yang terdalam serta cakap mengekspresikan perasaan secara wajar. Individu yang memiliki kecakapan tinggi dalam dimensi ini dapat menyadari, mengakui dan menerima perasaan-perasaannya lebih baik daripada orang-orang lain.

Dimensi II :

OEA (Others-Emotional Appraisal) or Appraisal and recognition of emotion

in others (Menilai dan menerima perasaan dalam diri orang-orang lain). Dimensi

ini berkenaan dengan kecakapan individu mengamati dan memahami perasaan-perasaan orang-orang di sekitar. Individu yang tinggi kecakapannya dalam dimensi ini sangat peka dengan perasaan orang-orang lain sekaligus cakap memprediksi respon perasaan orang-orang lain.

Dimensi III:

UOE (Use of Emotion) or Use of emotion to facilitate performance

(menggunakan perasaan untuk memperlancar kinerja). Dimensi ini berkenaan dengan kecakapan individu untuk menggunakan perasaan melalui mengarahkan perasaannya ke kegiatan yang konstruktif dan untuk mendukung kinerja pribadi. Individu yang memiliki kadar tinggi pada dimensi ini cakap mendorong dan menyemangati diri untuk berbuat semakin baik secara berkesinambungan. Individu juga cakap mengarahkan perasaannya ke arah kegiatan yang positif dan produktif.

Dimensi IV:

(9)

16 bergembira atau sakit hari atau jengkel. Individu juga lebih memiliki kecakapan mengendalikan emosinya serta sangat kecil kemungkinan kelepasan kendali perasaan atau mengumbar amarah.

Berdasarkan pandangan diatas, penulis sesuai dengan Teori Salovey dan Mayer yang dilengkapi dengan instrumen Wong & Law (Law, Wong & Song, 2004) yang dinamai WLEIS (Wong and Law Emotional Intelligence Scale) yang mengacu pada definisi berdimensi empat karena didalam keempat dimensi tersebut mendukung penelitian penulis.

2.2 . Konformitas Negatif

2.2.1. Pengertian Konformitas

Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Cara termudah adalah melakukan tindakan sesuai dan diterima secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dan psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2009).

Menurut Cialdini & Goldstein (dalam Sarwono, 2009), konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain. Contoh dari perilaku konformitas yaitu remaja lebih suka mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial, karena mengikuti trens busana terbaru.

(10)

17 potensi yang dimanfaatkan untuk memperoleh hasil yang menyenangkan yaitu merasa terlihat menarik atau merasa mudah berteman.

Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh orang lain tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana seseorang bertindak. Mayer (dalam Salemba Humanika, 1999) juga mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan.

Zebua dan Nurdjayadi (2001), menjelaskan bahwa konformitas adalah kecenderungan seseorang menerima dan mengikuti norma yang dibuat kelompoknya. Konformitas berarti tunduk pada tekanan kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah diperbuat oleh kelompok.

Konformitas muncul pada masa remaja awal yaitu antara 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan teman sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan dan sebagainya. Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau menggunakan aksesoris yang sama dengan yang sedang diminati kelompok acuan, maka timbul rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih besar.

(11)

18 Berdasarkan kutipan dari para ahli diatas, maka penulis lebih sesuai dengan Teori Sears, dkk (1999), yang berpendapat bahwa konformitas terhadap kelompok teman sebaya ternyata merupakan suatu hal yang paling banyak terjadi pada masa remaja dan teori ini mendukung penulis dalam kaitannya penelitian yang memiliki populasi remaja yang menyukai kegiatan aktif bersama-sama dengan kelompoknya sehingga terdapat celah serta kesempatan untuk munculnya konformitas.

2.2.2.Jenis Konformitas

Menurut Sears, dkk (1999) terdapat dua jenis konformitas, yaitu compliance dan acceptance.

1.Compliance (Penolakan Sebagian)

Individu bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok, sementara secara pribadi ia tidak menyetujui tingkah laku tersebut.

2.Acceptance (Penerimaan Penuh)

Tingkah laku dan keyakinan individu sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya.

(12)

19 2.2.3. Aspek-Aspek Konformitas

Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri yang khas. Sears (1999) mengemukakan secara eksplisit bahwa konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut:

1. Kekompakan

Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. Kekompakan tersebut dapat dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Penyesuaian Diri

Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita. Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu.

b. Perhatian Terhadap Kelompok

(13)

20 menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat- saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bias dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak meyetujui kelompok.

2. Kesepakatan

Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. Kesepakatan tersebut dapat di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Kepercayaan

Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan.

b. Persamaan Pendapat

(14)

21 persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi.

c. Penyimpangan Terhadap Pendapat Kelompok

Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain maka orang tersebut akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Jadi kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan, ini merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas.

3. Ketaatan

Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. Ketaatan tersebut dapat di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman

Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang.

b. Harapan Orang Lain

(15)

22 ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.

Berdasarkan kutipan dari ahli diatas maka penulis sesuai dengan Sears yang menyimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas ditandai dengan tiga hal yang meliputi kekompakan, kesepakatan dan ketaatan yang masing-masing tanda tersebut masih memiliki poin-poin pendukung seperti yang ada didalam kekompakan terdapat penyesuaian diri dan perhatian terhadap kelompok , lalu pada tanda kesepakatan memiliki tiga poin pendukung yaitu kepercayaan, persamaan pendapat dan penyimpangan terhadap pendapat kelompok, serta dalam tanda ketaatan memiliki poin pendukung seperti tekanan karena ( ganjaran, ancaman atau hukuman ) dan harapan orang lain. Keseluruhan dari berbagai tanda dan poin-poin pendukung didalamnya ini merupakan aspek-aspek pendukung dalam konformitas.

2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas

(16)

23 1. Kurangnya Informasi. Orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak diketahui seseorang, dengan melakukan apa yang orang lain lakukan, seseorang akan memperoleh manfaat dari pengetahuan orang lain.

2. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Semakin tinggi keahlian anggota dalam kelompok tersebut dalam hubungannya dengan individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap kelompok tersebut.

3. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika seseorang merasa yakin akan kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat konformitasnya.

(17)

24 Berdasarkan dari berbagai pandangan yang diambil diatas maka penulis lebih sesuai dengan pernyataan yang mengacu kepada Sears (1999) yang menyatakan bahwa remaja penuh dengan gejolak emosi yang masih terhitung labil dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar dan kehidupan sosialnya sehingga kurang memperdulikan tentang resiko dan dampak dari perilakunya sendiri.

2.3. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian Nia Kurniawati (2008), yang berjudul hubungan kecerdasan emosi dengan konformitas negatif remaja di SMAN 2 Surakarta, menghasilkan nilai signifikansi (P) = 0,003 dan koefisien korelasi (R) = -0,654 yang berarti P < 0,05 maka dapat diketahui bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan konformitas negatif ke arah negatif yang artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah konformitas negatif remaja, sehingga hipotesis diterima.

(18)

25 2.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

”Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan

Gambar

Gambar 1. Model Kecerdasan Emosional Reuven Bar-On

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) ada tidaknya pengaruh yang signifikan antara kompetensi guru matematika

Tujuan dari penelitian yang peneliti lakukan adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematik peserta didik yang menggunakan model Creative Problem Solving

Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khatab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah,

Bagian ini digunakan untuk menjelaskan evaluasi terkait pelaksanaan program kegiatan 2016/2017 dan tindak lanjut yang akan dilaksanakan. Program Kerja 2016/2017

Pendapat tersebut juga sejalan dengan hasil Penelitian Arkham (2014:94) yang berjudul penalaran adaptif siswa dalam menyelesaikan soal cerita matematika materi

Menurut Frees (2003:276) orientasi kewirausahaan adalah kunci untuk meningkatkan kinerja pemasaran. Perusahaan yang pemimpinnya berorientasi wirausaha memiliki visi yang

penelitian ini didukung oleh temuan yang menunjukkan bahwa besarnya nilai setiap indikator dan nilai rata-rata indikator variabel implementasi SIA telah memberikan

memformulasikan jenis rangkaian kombinasi seri dan parallel pada saat proses pembelajaran. Hal tersebut terbukti dari rerata keingintahuan tinggi dan rendah relatif