• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Watermelon Frost Terhadapsubstansi P (SP) Dan Fosfatase Alkali (ALP) Pada Pulpitis Reversibel Gigimacaca Fascicularis (Penelitian In Vivo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Watermelon Frost Terhadapsubstansi P (SP) Dan Fosfatase Alkali (ALP) Pada Pulpitis Reversibel Gigimacaca Fascicularis (Penelitian In Vivo)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan pulpa

Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan

mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan

ikat lainnya di dalam tubuh tetapi memiliki karakteristik khusus. Hal ini dikarenakan

jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan keras atau

berada dalam suatu lingkungan yang low compliance (Okiji, 2012; Hargreaves,

2012). Oleh sebab dibatasi oleh dinding dentin yang rigid dan kurangnya sirkulasi

kolateral maka perubahan volume di dalam ruang pulpa (seperti saat terjadi

inflamasi) sangat terbatas sehingga mengurangi kemampuan pulpa dalam pertahanan

dan perbaikan jaringan (Pashley dan Tay, 2012)

Jaringan pulpa gigi berasal dari neural crest (Okiji, 2012, Hargreaves, 2012;

Abbott, 2007). Proliferasi dan kondensasi sel ini menyebabkan pembentukan papila

dental yang akan menghasilkan pulpa yang matur (Bergenholtz, 2010). Pulpa yang

matur memiliki kesamaan dengan jaringan ikat embrionik, mempunyai kekhususan

dengan adanya sel-sel odontoblas di seluruh daerah perifer (Weine, 2004). Secara

fisik, pulpa memiliki banyak saraf sensoris dan kaya akan komponen mikrosirkulasi

yang membuat pulpa menjadi jaringan yang unik (Buck, 1999). Pengetahuan akan

(2)

kerangka pengertian terhadap perubahan yang terjadi pada kelainan pulpa

(Hargreaves, 2012).

Jaringan pulpa selalu dipertimbangkan bersama-sama dentin sebagai suatu

kompleks dentin-pulpa karena anatomi, perkembangan dan fungsinya mempunyai

hubungan yang sangat erat. Elemen-elemen pulpa seperti prosesus odontoblas dan

terminal saraf memiliki kaitan erat (Pashley dan Tay, 2012). Fungsi yang erat antara

pulpa dan dentin dapat dipandang dari berbagai aspek, yaitu: (Pashley dan Tay, 2012;

Abbott, 2007)

1. Pulpa mempunyai peranan besar dengan adanya sel-sel odontoblas dalam

membentuk dentin baru baik secara fisiologis maupun sebagai respons terhadap

stimuli dari luar.

2. Pada pulpa dijumpai persarafan yang memberikan sensitivitas dentin.

3. Pulpa sebagai jaringan ikat mampu memberi respons terhadap semua jejas

yang terjadi pada dentin, walau tidak secara langsung, dengan menstimulasi sel

odontoblas.

4. Terkungkungnya pulpa dalam dentin memberikan lingkungan yang rendah

adaptasi (low compliance) yang mempengaruhi kemampuan pertahanan pulpa.

2.2 Sel-sel Pulpa

Dalam ruang pulpa terdapat berbagai elemen jaringan seperti saraf, jaringan

(3)

odontoblas, fibroblas, makrofag, sel-sel imunokompeten seperti sel dendritik, sel

mast, limfosit, dan komponen seluler sel ektomesenkim yang tidak berdiferensiasi

(Abbott, 2007; Hargreaves, 2012).

2.2.1 Sel Odontoblas

Odontoblas merupakan sel pulpa yang paling khas, berasal dari jaringan

mesenkim, membentuk lapisan di perifer ruang pulpa dan mensintesis matriks yang

termineralisasi menjadi dentin (Okiji, 2012). Odontoblas yang terdapat pada ruang

pulpa bagian korona berbentuk kubus dan relatif besar. Jumlahnya 45.000 dan

65.000/mm2 di servikal dan pertengahan akar, jumlahnya lebih sedikit dan bentuknya

skuamosa (Pashley dan Tay, 2012).

Sel odontoblas merupakan sel akhir yang tidak mengalami pembelahan sel,

mengalami masa fase fungsional, transisional dan istirahat (Bergenholtz, 2010).

Odontoblas terdiri dari badan sel yang terletak pada pulpa dan prosesus odontoblas

yang memanjang ke luar ke arah tubulus dentin dan predentin. Odontoblas bekerja

paling aktif selama dentinogenesis primer dan selama pembentukan dentin reparatif

(Smith, 2012). Oleh karena odontoblas merupakan pembentuk dentin maka disebut

juga sebagai dentinoblas (Smulson dan Sieraski, 1996).

Selain berfungsi membentuk dentin, odontoblas juga terlibat dalam transduksi

sensoris (Diogenes dan Henry, 2012). Odontoblas menghasilkan

(4)

kolagen misalnya bone-sialoprotein, dentin sialoprotein, fosfoforin, osteokalsin,

osteonektin, dan osteopontin (Simon, 2010, Smith, 2012).

Dentin sialoprotein dan fosfoforin merupakan protein yang khas disintesis

dentin (Souza dan Qin, 2012). Molekul-molekul ini disekresikan di ujung apikal dari

badan sel odontoblas (Tziavas, 2004; Smith, 2012).

2.2.2 Sel Fibroblas

Sel-sel fibroblas merupakan sel jaringan ikat yang paling banyak dengan

kapasitas untuk mengadakan sintesis dan mempertahankan matriks jaringan ikat

(Abbott, 2007). Sel-sel ini menempati hampir seluruh jaringan ikat pulpa dan

dijumpai dengan kepadatan yang tinggi pada zona kaya akan sel dari pulpa. Sintesis

kolagen tipe I dan tipe III merupakan fungsi utama dari fibroblas pulpa. Sel-sel ini

juga berperan dalam sintesis dan sekresi komponen-komponen matriks ekstra seluler

nonkolagen seperti proteoglikan dan fibronektin (Okiji, 2012).

Morfologi fibroblas pulpa bervariasi menurut fungsinya. Sel-sel yang sedang

mengadakan sintesis berbentuk ireguler dengan satu nukleus. Fibroblas ini kaya akan

endoplasma retikulum kasar dan kompleks golginya berkembang dengan baik. Selain

aktivitas sintetik, sel fibroblas juga terlibat dalam degradasi komponen-komponen

matriks ekstraseluler yang dibutuhkan dalam remodeling jaringan ikat (Okiji, 2012).

Fibroblas mampu memfagositosis fibril kolagen dan mencernanya secara intraseluler

dengan enzim lisozim. Fibroblas merupakan sumber dari sekelompok enzim-enzim

(5)

sebagainya) yang mendegradasikan makromolekul matriks seperti kolagen-kolagen

dan proteoglikan (Okiji, 2012).

Penelitian-penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa produksi metalloproteinase matriks dari sel-sel pulpa yang dikultur menunjukkan peningkatan

setelah stimulasi dengan sitokin dan komponen-komponen bakteri (Okiji, 2012).

Penemuan ini mendukung bahwa sel-sel fibroblas distimulasi oleh sitokin-sitokin

inflamatori dan produk-produk bakterial yang berperan pada degradasi jaringan ikat

selama inflamasi pulpa (Okiji, 2012).

2.2.3 Sel-sel Mesenkim yang Tidak Berdiferensiasi

Sel-sel mesenkim ini terdistribusikan di daerah zona kaya akan sel dan zona

sentral pulpa dan sering menempati daerah perivaskuler (Abbott, 2007). Sel-sel ini

terlihat berbentuk stelata dengan rasio nucleus/sitoplasma yang tinggi, serta sulit

dibedakan dengan sel-sel fibroblas di bawah mikroskop cahaya. (Okiji, 2012) Setelah

mendapat stimulus, sel-sel ini mengadakan differensiasi menjadi fibroblas atau

odontoblas. Pada jaringan pulpa dewasa jumlah sel-sel ini menurun seiring dengan

menurunnya kemampuan regenerasi jaringan pulpa (Okiji, 2012).

2.2.4 Sel-sel Immunokompeten

Pulpa dilengkapi dengan komponen seluler yang penting untuk pengenalan

awal dan pemrosesan antigen, oleh sebab itu pulpa memiliki kemampuan untuk

(6)

pada pulpa normal adalah sel T, makrofag dan sel dendritic. Pada pulpa normal tidak

ditemukan adanya sel B.

Sel-sel makrofag pulpa secara klasik merupakan sel-sel yang berlokasi di

sekitar pembuluh-pembuluh darah (perivaskuler) dan di daerah perifer pulpa (di

lapisan odontoblas). Secara morfologis sel-sel ini dijumpai dalam berbagai bentuk,

antara lain berbentuk panjang, langsing, dan mempunyai cabang-cabang (prosesus).

Permukaan selnya ireguler dan terdapat struktur lisosom di dalam sitoplasma (Okiji,

2012). Menurut Abbott dan Yu (2007), pada gigi insisivus tikus ditemukan makrofag

yang mengaktifkan antigen klas II empat kali lipat lebih banyak dari sel dendritik.

Sel-sel dendritik pulpa juga merupakan sel-sel immunokompeten pulpa yang

berfungsi sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Sel-sel dendritik

banyak dijumpai di daerah perivaskuler, tersusun dengan aksis longitunalnya paralel

dengan sel-sel endothel (Okiji, 2012). Sel-sel dendritik mempunyai hubungan dengan

subpopulasi minor sel MHC klas II dengan kapasitas fagositik yang lemah (Okiji,

2012). Selain itu, sel-sel dendritik mempunyai kapasitas yang kuat untuk memberikan

sinyal yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel T dibandingkan terhadap sel

makrofag (Okiji, 2012). Proliferasi T dipengaruhi oleh neuropeptid seperti substansi

P dan calcitonin gene related peptide (CGRP) yang mendukung bahwa interaksi sel

(7)

2.3 Neuropeptid dalam Inflamasi Pulpa

Substansi P (SP) adalah salah satu neuropeptide dari golongan takhikinin.

Neuropeptid merupakan protein yang disintesis dalam badan sel serabut saraf aferen

primer dan kemudian dihantarkan ke pusat dan ke ujung saraf (Wakisaka, 1990).

Neuropeptid lain selain SP adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP),

neurokinin A (NKA), neuropeptid K, neuropeptid Y, somatostatin dan vasoactive

intestinal peptide (VIP) (Byers, 2012). Selama terjadinya inflamasi pulpa, serabut

saraf sensoris terstimulasi untuk melepaskan neuropeptide (Henry dan Hargreaves,

2007). Neuropeptid yang berperan dalam inflamasi pulpa adalah SP, CGRP, NKA,

neuropeptide K, neuropeptide Y, somatostatin, dan VIP (Byers, 2012). SP, CGRP,

dan VIP merupakan vasodilator sedangkan neuropeptid Y merupakan vasokontriktor

(Abbott, 2007; Gomez, 2011; Wakisaka, 1990). Penelitian Wakisaka (1990) telah

menunjukkan bahwa mayoritas terminal saraf ini merupakan serabut saraf C yang

erat kaitannya dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa.

Respons inflamasi terhadap injuri ataupun infeksi pada jaringan pulpa

memiliki makna klinis yang signifikan. Injuri dapat disebabkan oleh prosedur

iatrogenik, trauma maupun atrisi (Byers, 1999). Infeksi juga dapat disebabkan oleh

bakteri yang berasal dari karies, kebocoran mikro pada restorasi, ataupun melalui

jalan masuk lainnya ke dalam pulpa (Carrasquillo, 2004). Proses inflamasi dapat

dibagi atas tiga tahap yaitu inflamasi akut, inflamasi kronis, dan penyembuhan

(8)

Inflamasi pada jaringan pulpa sama seperti jaringan ikat lainnya yakni

inflamasi ini dimediasi oleh faktor seluler dan molekuler (Diogenes dan Henry,

2012). Vasodilatasi dan peningkatan aliran darah terlihat pada fase awal inflamasi

pulpa. Pada waktu sel-sel pulpa menjadi aktif, maka membran fosfolipidnya dengan

cepat mengalami perubahan sehingga menghasilkan mediator-mediator inflamasi

aktif secara biologis (Diogenes dan Henry, 2012). Produk-produk tersebut berasal

dari metabolisme asam arakhidonat. Jalur enzim siklooksigenase menyebabkan

terbentuknya prostaglandin(Trowbidge, 2003).

Proses inflamasi pada jaringan pulpa juga melibatkan neuropeptid

(Trowbridge, 2003). Ini menjadi jelas bahwa neuropeptid juga memegang peranan

penting dalam inflamasi pulpa yaitu dengan menghubungkan aksi saraf sensoris dan

pembuluh darah. Inflamasi neurogenik menggambarkan perubahan patologis dalam

hubungan neurovaskular yang menyebabkan inflamasi (Wakisaka, 1990).

Hargreaves (2012) telah menunjukkan bahwa SP dan CGRP berinteraksi

dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang akan meningkatkan

permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Sekitar 25%-50% dari serabut saraf gigi merupakan serabut saraf bermyelin

A-delta yang mengandung neuropeptid CGRP dan nerve growth factor (NGF)

(Gomez, 2011). Sebagian besar serabut saraf ini memasuki sepertiga bagian dalam

(9)

serabut saraf C menghasilkan NGF dan beberapa neuropeptid seperti SP, CGRP, dan

NKA. (Fristad et al., 2010).

2.4 Substansi P (SP) dan jaringan pulpa

Substansi P (SP) merupakan bahan vasoaktif dalam bentuk powder yang

pertama kalinya ditemukan oleh von Euler and Gaddum pada tahun 1931. “P” pada

substansi merupakan singkatan dari “powder” (Sacerdote dan Levrini, 2012).SP

terdiri dari 11 asam amino yaitu

H-Arg1-Pro2-Lys3-Pro4-Gln5-Gln6-Phe7-Phe8-Gly9-Leu10-Met11-NH2 dan merupakan kelompok neurokinin (NK) A dan NK-B

yang semua ini juga memiliki ujung karboksil yaitu Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2

(Sacerdote dan Levrini, 2012). SP disandi oleh gen preprotachykinin –A dalam

perikaryon serabut saraf aferen primer akar dorsal dan ganglion trigeminus yang

kemudian dihantarkan menuju pusat dan ujung saraf (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Uniknya, sekitar 80% dari SP yang disintesis pada ganglion akar dorsal akan

dikirimkan menuju daerah terminal serabut perifer (Diogenes dan Henry, 2012).

Sejumlah enzim yang berperan dalam metabolism SP ini adalah endopeptidase (EP)

netral dan/atau angiotensin converting enzymes (ACE) (Diogenes dan Henry, 2012).

Pelepasan SP terjadi setelah berikatan dengan reseptor spesifik NK yang

tergandeng dengan protein G (Pozo et al., 2012). Ada tiga jenis reseptor takhikinin

yaitu NK1, NK2, dan NK3. Substansi P terutama bekerja pada reseptor NK1 dan

(10)

fosfolipase C intraseluler,inositol 1,4,5 - trisphophate (IP3), yang diikuti dengan

elevasi kalsium intraseluler. (Sacerdote dan Levrini, 2012)

Reseptor NK1 dan NK2 telah dijumpai berada pada sel odontoblas dan

ameloblas. NK1 juga banyak dijumpai pada pembuluh kapiler dan pembuluh darah

lebih kecil. Reseptor NK1 dan NK2 paling banyak dijumpai pada pleksus kapiler

yang berdekatan dengan dentin. Banyak reseptor NK2 dideteksi pada gingiva dan

epitel Malasez. Reseptor NK1 dan NK2 juga didapati pada fibroblas ligamen

periodontium dan jaringan pulpa gigi (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Pada jaringan sehat, pelepasan basal SP berperan penting dalam pemeliharaan

homeostasis jaringan, sementara pelepasan yang banyak dari molekul ini sebagai

akibat stimulus eksternal, akan menginduksi terjadinya vasodilatasi yang diikuti

dengan peningkatan laju aliran darah yang berlangsung lama (Trowbridge, 2003).

Peningkatan produksi dan pelepasan SP memegang peran dalam inisiasi dan

propagasi proses inflamasi. (Sacerdote dan Levrini, 2012). Produksi dan pelepasan

molekul ini meningkat seiring dengan adanya rangsangan noksius, termal, mekanis

dan khemis pada jaringan pulpa dan ligamen periodontium. Jumlah SP yang

dilepaskan oleh serabut saraf sensoris mengalami peningkatan selama proses

inflamasi (Wakisaka, 1990). Sejumlah studi menunjukkan bahwa konsentrasi SP pada

jaringan pulpa manusia meningkat seratus kali pada gigi yang mengalami inflamasi

dan mencapai seribu kali pada gigi yang mengalami pulpitis ireversibel. (Rodd and

(11)

SP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang

kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah. Di

samping itu, limfosit, granulosit dan makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel

ini dapat distimulasi oleh SP untuk memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi

dan sitokin (Caviedes Bucheli, 2008). SP juga berperan sebagai kemotaksis poten

yang dapat menarik sel-sel inflamasi pada jaringan pulpa (Wakisaka, 1990). Sejumlah

besar mediator inflamasi dan nosiseptif secara dramatis mensensitisasi dan

merangsang nosiseptor untuk melepaskan jumlah SP yang lebih besar baik pada

sumsum tulang belakang dan jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri.

(Sacerdote dan Levrini, 2012) (Gambar 2.1).

Hampir semua keadaan patologis yang mempengaruhi jaringan mulut baik

termasuk prosedur kedokteran gigi dapat meningkatkan produksi dan pelepasan SP

(Gambar 2.2). Hasil penelitian ex-vivo oleh Rodd dan Boissonade (2000)

menunjukkan bahwa ekspresi SP banyak dijumpai pada keadaan gigi karies

simptomatis dibanding yang asimptomatik. Nilai rata-rata level SP ekstraseluler

delapan kali lipat lebih besar pada gigi dengan pulpitis ireversibel dibandingkan

dengan pulpa normal dan peningkatan bermakna SP dikaitkan dengan adanya

jaringan granuloma dibandingkan dengan kelompok kontrol (Caviedes Bucheli,

2006).

Caviedes-Bucheli (2006) dan Caviedes-Bucheli (2008) melaporkan bahwa SP

(12)

asimptomatik bila dibandingkan dengan kelompok pulpa sehat. Level SP dan CGRP

meningkat delapan kali lipat padapulpitis ireversibel dibandingkan pulpa normal.

Dengan demikian, pulpitis ireversibel dikaitkan dengan aktivasi signifikan sistem

peptidergik. Di samping itu, penelitian yang dilakukan Goodale (1981) menunjukkan

bahwa SP memegang peranan penting pada inflamasi neurogenik dalam mengatur

aliran darah pulpa dengan mengontrol cairan eksudat yang berkaitan dengan

fenomena inflamasi (Gambar 2.3).

Awawdeh et al. (2002) menemukan adanya level SP, CGRP dan NKA yang

signifikan tinggi pada keadaan nyeri pulpa dibandingkan dengan pulpa sehat. NPs ini

berperan dalam proses inflamasi dan nyeri pulpa. Hasil penelitian mereka mengenai

patogenesis inflamasi pulpa dapat memberikan basis untuk pendekatan yang baru

dalam merawat pulpa yang mengalamiinflamasi. Penggunaan antagonis CGRP dan

antagonist SP/NKA dapat mengurangi inflamasi dan memicu penyembuhan pada

pulpa yang mengalami injuri dan dengan demikian akan menjadi suatu cara

penanganan nyeri pulpa (Buck, 1999).

Atas dasar ini,SP dianggap sebagai mediator utamainflamasi neurogenik dan

terkait hiperalgesia serta merupakan target yang menjanjikan untuk terapi yang

ditujukan untuk mengontrolrasa sakit dan meminimalkan konsekuensi buruk dari

(13)

Gambar 2.1 Peranan substansi P dalam inflamasi neurogenik (Sacerdote and Levrini, 2012)

Penelitian oleh Killough et al. (2005) dan Caviedes-Bucheli (2007) telah

menunjukkan karakteristik reseptor NK pada gigi hewan rodensia dan manusia.

Penelitian tersebut menunjukkan ekspresi pola ekspresi reseptor tachykinin NK1,

NK2 dan NK3 pada berbagai jenis sel jaringan keras gigi, sel epitel, fibroblas,

endotelium, dinding pembuluh darah pada jaringan pulpa dan jaringan pendukung

(14)

Gambar 2.2 Peranan SP sebagai imunomodulator(Caviede s-Bucheli, 2008)

(15)

SP memiliki efek pro inflamasi yang menyebabkan plasma ekstravasasi dan

edema sedangkan CGRP menstimulasi pertumbuhansel pulpa seperti fibroblas dan sel

lir odontoblas. Selain itu CGRP juga meningkatkan ekspresi bone morphogenic

protein (BMP) – dua transkrip pada sel pulpa gigi manusia dan merupakan faktor

yang berkaitan dengan induksi pembentukan dentin. Penelitian-penelitian

menunjukkan bahwa CGRP berperan dalam fenomena inflamasi seperti pulpitis

ireversibel (Cavides-Bucheli et al., 2004, Cavides-Bucheli et al., 2005).

Aktivasi peptidergik dari nosiseptor menstimulasi reaksi vasodilatasi (Simone

et al., 1989). Hal ini terjadi karena adanya neuron-neuron melepaskan vasoaktif

polipeptida seperti Substansi P dan CGRP dimana terjadi depolarisasi. Peninggian

aktivasi dari nosiseptor dimulai ketika neuropeptid dilepaskan. Sebagai contoh,

peninggian level dari Substansi P terdapat di dalam pulpa pasien dengan pulpitis

irreversibel (Sattari, 2010). CGRP dan Substansi P meningkatkan vasodilatasi dan

ekstravasasi, secara berturut-turut hingga berpartisipasi dalam proses inflamasi.

Mekanisme untuk inflamasi neuronal yang menyeluruh disebut inflamasi neurogenik.

Dalam menjelaskan proses terjadinya nyeri pada pulpa dijumpai empat faktor yang

berperan yaitu yakni: inflammasi neurogenik, nerve sprouting, hiperalgesia, dan

(16)

2.5 Pulpitis Reversibel dan Ireversibel

Inflamasi jaringan pulpa gigi merupakan sebuah proses kompleks yang

melibatkan reaksi neurovaskuler yang merupakan komponen kunci dari fenomena

neurogenik dan bisa menyebabkan nekrosis pulpa (Caviedes-Bucheli, 2006).

Penyebab paling umum inflamasi dalam pulpa adalah bakteri (Waterhouse,

1999). Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tubulus dentin yang terbuka, baik

karena karies maupun karena trauma, kebocoran restorasi, perluasan infeksi gingiva,

atau melalui peredaran darah (Tokuda, 2004). Ada atau tidaknya iritasi bakteri adalah

faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa setelah pulpa terbuka secara mekanis

(Weine, 2004).

Inflamasi merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan

gangguan oleh faktor eksternal. Inflamasi dibagi menjadi dua tahap yaitu inflamasi

akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut menunjukkan respons yang tiba-tiba dan

durasi yang pendek, dengan demikian inflamasi akut dihubungkan dengan injuri

dadakan. Inflamasi akut juga menunjukkan tipe respons yang lebih spesifik yang

melibatkan reaksi eksudatif; cairan, protein serum dan sel darah putih meninggalkan

aliran darah dan memasuki daerah injuri. Apabila inflamasi akut berlangsung lebih

dari beberapa hari, maka dapat berkembang menjadi reaksi inflamasi kronis.

Inflamasi kronis adalah respons proliferatif yang ditandai dengan proliferasi

fibroblas, endotelium vaskuler, dan terkumpulnya sel-sel inflamasi kronis (limfosit,

(17)

Walaupun tidak akurat, rasa nyeri masih dipakai sebagai indikator dalam

menentukan diagnosis penyakit pulpa (Bergenholtz, 2012). Diagnosis tersebut sukar

dan sering kurang sesuai dengan keadaan penyakit sebenarnya karena letak jaringan

pulpa terlindung oleh jaringan keras gigi, yaitu email dan dentin (Gulabivala, 2014).

Di samping rasa nyeri, tolok ukur lain dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa

secara klinik ialah faktor penyebab terbukanya jaringan pulpa, atau penyebab keluhan

pulpa. Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau trauma. Keluhan rasa nyeri

dapat disebabkan oleh rangsang termis, elektris, dan kimia (Hargreaves, 2012).

Riwayat rasa nyeri yaitu jenis, letak, proses terjadinya, frekuensi serta kualitasnya

digunakan untuk menentukan diagnosis penyakit pulpa, namun hasil rekaman

tersebut belum dapat memastikan keadaan jaringan sebenarnya Hasil rekaman rasa

nyeri, gambaran radiografik serta keadaan klinik diharapkan dapat menentukan

diagnosis penyakit pulpa yang lebih akurat, yaitu pulpitis atau nekrosis (Iqbal, 2007).

Keadaan jaringan pulpa yang sebenarnya hanya dapat dilihat dengan

pemeriksaan mikroskopik (Byers, 2012). Jaringan pulpa sudah menunjukkan reaksi

sejak lapisan email terbuka oleh cedera, mekanik, termal, kimia atau bakteri

(Haghighi, 2010). Reaksi tersebut berupa terdapatnya limfosit di jaringan pulpa, dan

mulai terlihatnya lapisan odontoblas yang cedera (Haghighi, 2010). Bila intensitas

rangsang lebih besar, maka dapat timbul cedera pada jaringan pulpa yang lebih luas

dan dalam (Haghighi, 2010). Rangsang tersebut akan mengubah sistem

(18)

metabolisme dalam jaringan (Haghighi, 2010). Mula-mula terjadi vasodilatasi sistem

mikrovaskularisasi yang menyebabkan sirkulasi darah menjadi statis. Di dalam arteri

terjadi mobilisasi lekosit, sel-sel polimorfonukleus (PMN) mengadakan marginasi

yang dilanjutkan dengan emigrasi ke jaringan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan

pengumpulan eksudat di jaringan untuk proses fagositosis, keadaan ini disebut

pulpitis akut (Bergenholtz, 2010).Apabila proses berlanjut menjadi kronis, maka

tanda-tanda mikroskopik berupa penyebaran sel-sel radang kronis seperti limfosit, sel

plasma, histiosit yang aktif, dan makrofag yang menyebabkan fibrosis serta

perkapuran.

Inflamasi pulpa secara klinis dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pulpitis

reversibel, pulpitis ireversibel dan nekrosis pulpa. Pulpitis reversibel adalah suatu

kondisi inflamasi pada pulpa ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa

stimuli, tetapi pulpa mampu kembali pada keadaan tidak terinflamasi setelah stimuli

stimuli ditiadakan (Hargreaves, 2012). Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat

dihasilkan oleh stimuli termal pada pulpa yang mengalami inflamasi reversibel, tetapi

rasa sakit hilang segera setelah stimuli dihilangkan (Gulabivala, 2014). Penyebab

pulpitis reversibel disebabkan oleh apa saja yang mampu melukai pulpa. Penyebab

dapat berasal dari: trauma oklusal: syok termal saat preparasi kavitas dengan bur yang

terlalu lama; dehidrasi kavitas dengan alkohol atau kloroform yang berlebihan;

adanya bakteri yang masuk ke dalam pulpa (Weine, 2004). Gejala pada pulpitis

(19)

misalnya pada saat makan atau minum. Pada pulpitis reversibel rasa sakit tidak terjadi

secara spontan (Chandra, 2010).

2.6 Respons Inflamatori pada kompleks pulpo-dentin

Pulpa menunjukkan respons terhadap berbagai jenis stimuli sensori seperti

perubahan termal, deformasi mekanis atau trauma sebagai sensasi umum yaitu nyeri

(Bergenholtz, 2012). Kemampuan menimbulkan nyeri tersebut sangat penting karena

merupakan bagian dari sistem pertahanan pulpa (Buck,1999). Pasien dengan

inflamasi pulpa akan cenderung mencari perawatan dengan lebih cepat apabila terjadi

injuri pulpa jika dibandingkan dengan gigi yang telah dilakukan perawatan saluran

akar yang tidak lagi merasakan sensasi nyeri sampai kerusakan besar telah terjadi

pada jaringan sekitar gigi (Saad dan Clem, 1988). Selain itu fungsi proprioseptif

pulpa membatasi beban berlebihan pada gigi oleh otot pengunyahan dan dengan

demikian melindungi gigi dari injuri (Hargreaves, 2012).

Serabut-serabut saraf pulpa bereaksi terhadap inflamasi dengan meluasnya

cabang-cabang terminal dan mengeluarkan neuropeptide (Byers dan Narhi, 1999,

Byers et al., 2003). Serabut-serabut saraf sensoris memegang peranan penting dalam

memacu sel-sel immunokompeten memasuki jaringan pulpa (Fristad et al., 2010).

Infiltasi awal sel-sel inflamasi terdiri dari limfosit, makrofag, sel-sel plasma dan

neutrofil (Trowbridge, 2002).

Respons inflamasi akut menimbulkan reaksi sebagian besar sistem

(20)

neuropeptide (SP, CGRP, neurokinin A, dan somatostatin), yang mempengaruhi

aliran darah pulpa dan meningkatnya permeabilitas kapiler-kapiler pulpa (Fouad,

2002). Akibat hal ini, protein-protein plasma dan neutrofil memasuki area inflamasi

dan dapat menetralisir atau memfagositasi iritan (Trowbridge, 2002). Tipe-tipe yang

berbeda dari limfosit-T (CD4+helper, CD8+sitotoksik), makrofag, neutrofil, sel-sel

dendritik dan sel-sel plasma dapat dijumpai pada pulpa yang mengalami inflamasi,

dan jumlahnya meningkat jika penyakit/kelainan pulpa berlanjut (Jontell, 1998).

Sel-sel dendritik dan juga CD3+ (memori) Sel-sel-Sel-sel T-limfosit berkumpul di bawah lesi,

sedangkan akumulasi sel-sel immunokompeten lain terlihat sedikit, menunjukkan

bahwa sel-sel dendrite dan sel-sel T memori memicu reaksi imunologi pulpa

(Jontell,1998). Inflamasi pulpa yang berat dapat meningkatkan tekanan jaringan

interstisial, yang menyebabkan nekrosis, disebabkan pulpa berada di lingkungan yang

sulit beradaptasi (Trowbridge 2002, Heyeraas dan Berggreen, 1999).

2.7 Efek Injuri dan Kemampuan Penyembuhan Jaringan Pulpa

Sel-sel immunokompeten yang berada pada jaringan ikat pulpa dapat

memberi respon terhadap sejumlah situasi klinis yang menyebabkan hilangnya

integritas jaringan keras gigi seperti karies, fraktur gigi dan preparasi kavitas

(Tziavas, 2004; Smith, 2002).

(21)

Respons jaringan pulpaterhadap injuri dengan adanya regenerasi jaringan,

telah banyak diteliti dan dipahami bagaimana aktivitas sel-sel odontoblas berperan

sebagai reaksi pulpa setelah injuri (Haghighi, 2010). Ketika terjadi injuri pada gigi

(karies, trauma, atau wear), akan dimulai suatu kaskade respons pulpa. Tergantung

pada injurinya, apakah singkat/dalam waktu panjang, atau dengan intensitas rendah

atau tinggi, respons pulpa akan berbeda (Fried, 2011). Injuri yang lemah atau

intensitas yang sedang akan selalu dapat dihilangkan dengan terjadinya respons

inflamasi diikuti dengan terjadinya dentinogenesis reaksioner (Souza, 2012). Pada

injuri dengan intensitas yang lebih besar, terjadi kematian odontoblas seperti pada

karies yang dalam atau trauma yang berat, inflamasi dapat berjalan tanpa kontrol,

terjadi diferensiasi sel-sel lir-odontoblas membentuk jembatan dentin pada daerah

pulpa yang terpapar, dan proses ini disebut dentinogenesis reparatif (Simon, 2009).

Pembentukan matriks dentin melalui diferensiasi odontoblas selama proses

mineralisasi dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi pada level protein atau ekspresi

gen. Beberapa protein yang disekresikan antara lain fosfatase alkalin (ALP), kolagen

tipe-1 (Col-1), dentin matrix protein-1 (DMP-1), dentin sialophosprotein (DSPP),

osteonektin (On) dan osteokalsin (Oc), sering dijadikan biomarker untuk

menganalisis aktivitas odontoblas (Pashley dan Tay, 2012).

2.7.2 Aspek Molekuler Dentinogenesis Reparatif

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel-sel pulpa manusia dalam

(22)

Sintesis Col-1 oleh fibroblas dan sel-sel lir-odontoblas dipengaruhi sitokin dan

growth factor (Trwobridge dan Emling, 2003). Kolagen tipe-1 dijadikan penanda gen

untuk fenotipe odontogenik (Simon, 2009). Kolagen tipe-1 adalah protein paling

dominan pada matriks dentin dan juga merupakan komponen organik utama matriks

ekstraseluler tempat mineralisasi akan berlangsung (Simon, 2009). Protein tersebut

terdapat dalam predentin, dentin intertubular, dan dentin reparatif. Protein matriks

ekstraseluler utama pulpa gigi juga merupakan kolagen tipe-1 yang berperan untuk

stabilisasi arsitektur jaringan (Simon, 2009).

Jaringan pulpa mengandung populasi sel-sel pulpa heterogen pada berbagai

tahap diferensiasi. Dentinogenesis reparatif dimodulasi oleh diferensiasi odontoblas

post mitotic (Simon, 2009). Diferensiasi terminal sel-sel ini ditandai dengan

terjadinya penarikan sel dari siklus sel, pemanjangan dan polarisasi sel, serta

modifiksi transkripsi dan translasi yang memungkinkan sel-sel ini untuk mensintesis

matriks predentin (Simon, 2009). Selain itu, faktor-faktor pertumbuhan maupun

matriks ekstraseluler jaringan pulpa berperan penting dalam komitmen jalur seluler

(Yu et al,. 2006).

Faktor-faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor (TGF),

fibroblas growth factor (FGF), insulin growth factor (IGF) dan platelet derived growth factor (PDGF) dapat menginduksi diferensiasi odontoblas dan pembentukan

dentin reparatif pada kultur sel-sel pulpa dan hewan coba, tetapi untuk

(23)

karena aktivitas molekul-molekul tersebut umumnya berlangsung secara parakrin dan

autokrin (Yu et al., 2006, Nakashima et al., 2005). Faktor-faktor pertumbuhan ini

akan terikat pada reseptor sel-sel progenitor multi- atau monopoten dalam pulpa dan

menginduksi diferensiasi sel-sel ke arah sel-sel lir-odontoblas. Sel-sel inilah yang

kemudian memproduksi barier ortodentin atau osteodentin (Nakashima et al., 2005,

Sharma et al., 2010).

Dentinogenesis reparatif diawali oleh aktivitas sel-sel lir odontoblas dengan

mensekresikan matriks protein berbatasan dengan tempat cedera yang kemudian

dilanjutkan dengan pembentukan fibrodentin (Smith, 2012; Pashley dan Tay, 2012).

Setelah dilakukan kaping pulpa, selama proses reparasi, matriks kaya akan

fibronektin, yang berfungsi sebagai reservoir faktor pertumbuhan serta substrat untuk

migrasi dan perlekatan sel. Dalam hal ini faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan

molekul induktif lain yang diekspresikan dalam jaringan pulpa diduga terlibat dalam

diferensiasi sel-sel lir-odontoblas (Okiji dan Yoshiba, 2009; Pashley dan Tay, 2012).

Selama dentinogenesis reparatif, adhesi sel progenitor pada permukaan bahan

kaping pulpa diduga yang menyebabkan diferensiasi sel-sel pembentuk jaringan keras

(Simon, 2009). Pada kaping pulpa dengan kalsium hidroksida, maka ion-ion kalsium

yang dilepaskan dari bahan tersebut mampu menginduksi ekspresi gen fibronektin

pada sel-sel pulpa gigi dan berperan penting dalam diferensiasi terminal odontoblas.

Matriks ekstraseluler seperti proteoglikan terlihat mampu mengikat factor-faktor

(24)

Peristiwa dentinogenesis dapat dianalogikan dengan osteogenesis karena

sel-sel odontoblas mempunyai beberapa karakteristik yang mirip dengan sel-sel osteoblastik

seperti aktivitas fosfatase alkali, kemampuan memproduksi Col-1 dan protein non

kolagen yang berhubungan dengan mineralisasi, seperti osteokalsin dan osteonektin

(Thaweboon et al., 2005). Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tersebut dibagi

menjadi tiga tahap, yaitu tahap proliferasi, diferensiasi dan maturasi sel (Huang et al.,

2007). Pada osteogenesis, diferensiasi sel tahap awal terjadi selama tahap sekunder

yaitu dari hari ke 5 sampai hari ke 14 dengan adanya ekspresi penanda sel

osteoprogenitor ALP. Diferensiasi terminal (akhir) dan pematangan matriks terjadi

pada tahap ketiga yaitu dari hari ke 15 sampai hari ke 28, dengan penanda utama

osteokalsin dan deposisi mineral (Huang et al., 2007).

Pada tahap maturasi sel tidak ada faktor pertumbuhan yang berperan secara

khusus. Tingkat sekresi BMP-2 dan FGF-2 yang tetap tinggi diperlukan untuk

maturasi osteoblas (Goldberg, 2004; huang et al., 2007). Molekul sinyal seperti BMP

yang dilepaskan dari dentin yang cedera berperan dalam pembentukan dentin

reparatif. Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa faktor

pertumbuhan sepert TGF-β dapat menstimulasi tiga peristiwa utama dalam perbaikan

pulpa gigi manusia dengan pembentukan odontoblas fungsional, yaitu proliferasi sel,

migrasi sel dan sintesis Col-1 (Nie et al., 2006). Berdasarkan penelitian ekspresi gen

secara in vivo diketahui bahwa TGF- β1 memiliki efek pada diferensiasi sel pulpa

(25)

pertumbuhan tersebut mengindksi aktivitas fosfatase alkali dan produk matrikas

ekstraseluler sel-sel pulpa gigi (Nie et al., 2006 ; Okiji dan Yoshiba, 2009).

2.7.3 Penyembuhan dan Perbaikan Jaringan Pulpa

Pada saat terjadi injuri, pulpa akan terpapar dan akan terjadi inflamasi pulpa

dengan tahap-tahap: (1) homeostasis dan pembentukan gumpalan darah; (2) respons

inflamasi; (3) proliferasi sel dan/atau prekrutan sel-sel; dan (4) remodeling jaringan

(Arana dan Massa, 2004). Proses penyembuhan pada jaringan ikat selalu ditandai

dengan karakteristik adanya keempat tahap di atas. Kegagalan untuk menghilangkan

proses inflamasi dapat menyebabkan proses inflamasi kronis, dan seterusnya nekrosis

pulpa (Simon, 2009). Jaringan pulpa yang mengalami nekrotik, yang letaknya

berdekatan dengan pulpa yang terpapar, ditandai dengan adnya debris dari

pembentukan blood clot, dan respons seluler dengan adanya infitrasi neutrophil (Henr

dan Hargreaves, 2007).

Yamamura (1985) menandai kronologi proses penyembuhan pada kaping

pulpa gigi hewan coba anjing dengan kalsium hidroksida sebagai berikut: fase

eksudatif (3 - 5 hari), fase proliferatif (3 – 7 hari), pembentukan osteodentin (5 – 14

hari), dan pembentukan dentin tubuler (lebih dari 14 hari). Setelah 3 – 6 hari, lapisan

inflamasi digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan ini tersusun sepanjang luka,

banyak mengandung sel fibroblas dan kapiler-kapiler darah baru (Simon, 2009).

Matriks ekstraseluler baru dan nodul-nodul mineralisasi terlihat selama proses

(26)

Deposit mineral pertama dijumpai dalam vesikel-vesikel matriks yang

mengindikasikan kesamaaan antara pembentukan dentinogenesis reparatif dan

pembentukan mantel dentin (Hayashi, 1982). Pada hari ke 11, terbentuk matriks baru

mengelilingi sel-sel kuboidal, dan sedikit sel-sel yang terlihat pada gambaran pertama

dari diferensiasi odontoblas, Pada hari ke 14, sel-sel direorganisasi dalam bentuk

palisade yang terlihat sama dengan dentin primer dan dentin sekunder (Myor, Dahl et

al., 1991). Pada bulan pertama, dapat terlihat jembatan dentin dan suatu lapisan

nekrotik yang dihubungkan dengan respons inflamasi pada jaringan pulpa yang

berdekatan (Simon, 2009). Penelitian Cox (1996) menunjukkan bahwa pada level

ultrastruktur, defek tunnel jelas terlihat pada jembatan dentin, sebanyak 89% dari

kasus-kasus yang diteliti.

Dentinogenesis reparatif merupakan proses kompleks terdiri dari suatu

kaskade proses biologi; dimana terjadi interaksi sel-sel pulpa dengan faktor

pertumbuhan, sitokin-sitokin dan mediator-mediator molekuler selama proses

penyembuhan, dimulai dari tiga tahap proses reparatif berikut, yaitu (1) perekrutan

sel-sel progenitor; (2) diferensiasi seluler dan (3) peningkatan regulasi sintetik sel

aktivitas sekretori (Simon, 2009).

2.8 Fosfastase alkali (ALP)

Fosfatase alkali terdapat pada kebanyakan spesies, bakteri dan manusia, yang

secara umum merupakan enzim yang berperan penting dalam fungsi biologi terutama

(27)

empat gen yang mencirikan isoenzim ini dan tiga gen ditampilkan pada jaringan

spesifik yaitu plasenta, embrio dan usus, sedangkan satu gen tidak spesifik dan

terdapat pada tulang, gigi dan ginjal (Golub, 2007). Fosfatase alkali mempunyai

peranan penting pada proses inisiasi mineralisasi jaringan ikat, oleh karena itu ALP

sering digunakan untuk penanda yang diekspresikan selama berlangsungnya

diferensiasi sel lir-odontoblas secara in vitro maupun in vivo (Golub, 2007).

Untuk mendeteksi ALP dapat melalui immune assay dan in situ hybridization

yang dapat dilakukan secara bersamaan. Imunostaining didistribusikan pada bagian

sitoplasma dan membran plasma pada daerah supra nukleus pada kutub sekresi

odontoblas (Morotoni, 2011). Isyarat ekstra sel melalui pencairan bertahap anti bodi

memperlihatkan bertambahnya ALP pada daerah ekstra sel dibandingkan intra sel.

Ada dua tahap eksistensi ALP yaitu tahap biomineralisasi dan tahap maturasi

(Magne, 2004). Selama tahap biomineralisasi kadar ALP akan meningkat, dan selama

tahap maturasi ALP terlihat pada bagian permukaan jaringan (Ando, 2009). Kedua

tahap ini dapat dianalisis secara histoenzimologi (Ando, 2009). Jadi, selama

terjadinya pertumbuhan sel kadar ALP stabil dan akan terlihat nyata adanya kenaikan

setelah 14 hari distimulasi karena diferensiasi terjadi, setelah 3 minggu akan menurun

karena sudah mulai terbentuk nodul termineralisasi (Arana, 2004).

ALP memegang peranan penting pada tahap inisiasi mineralisasi jaringan ikat

(Yu, 2006). Oleh karenanya, ALP sering digunakan sebagai marker yang

(28)

vivo yang terletak di lapisan pre-odontoblas dan odontoblas. Peningkatan aktivitas

ALP seringkali ditunjukkan dengan bentuk diferensiasi odontoblas. Lopez-Cazaux et

al (2006) menunjukkan efek media kultur menghasilkan rangsang aktivitas ALP pada

sel pulpa gigi manusia setelah 14 hari dikultur dalam media MEM dibandingkan

kultur dalam media RPMI. Telah ditunjukkan bahwa dexamethasone, glycocorticoid,

dikenal untuk mempengaruhi diferensiasi osteoblast-like cell dapat merangsang

aktivitas ALP setelah 3-14 hari dikultur (Yu, 2007; Wu, 2008).Tingkat ALP dapat

dideteksi untuk bertahan tetap selama fase pertumbuhan sel dan meningkat selama

proses diferensiasi, sementara penurunannya dapat diamati setelah 3 (tiga) minggu

confluence pada saat pembentukan nodul mineral menjadi nyata (Arana, 2004).

Tabel. 2.1 Tahap-Tahap Transisi pada Odontoblast Cell Lineage (Golub, 2007)

Primary Odontoblast Cell

Lineage Regeneration

Gene products

Cranial neural crest

Dental papila Dental Pulp Type III Collagen (High)

Type I Collagen (Low) Fibronectin

Pre odontoblast / Young Odontoblast

Odontoblast Polarized Type III Collagen (Low) Type I Collagen (High) Alkali Phospatase Osteopontin

Mature Odontoblast Odontoblast secretory DPP, DMP-1, DSP

Calbindin, D-28K Osteocalcin, Osteonectin Bone Sialoprotein

(29)

2.9 Bahan-Bahan Pereda Nyeri Gigi

Selama ini telah dipakai bahan-bahan pereda nyeri gigi berdasarkan

hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Bahan pereda nyeri yang paling

umum dipergunakan adalah eugenol (minyak cengkeh). Eugenol merupakan senyawa

fenol yang telah banyak digunakan sebagai obat topikal untuk rasa nyeri dan

inflamasi misalnya pulpitis dan hiperalgesia tetapi juga menunjukkan aksi iritan.

Eugenol (4-allyl-1-hidroksil-2-methoxybenzena) adalah minyak esensial yang

diekstraksi dari cengkeh (Syzygium aromaticum) yang digunakan sebagai topikal

aplikasi untuk meredakan rasa sakit dan untuk penyembuhan. Minyak cengkeh (clove

oil) memiliki dua komponen utama yaitu Eugenol yang mengandung 78% minyak

dan β-caryophyllene yang mengandung 13% minyak. Studi in-vitro telah

menunjukkan sifat sitotoksis eugenol dan minyak cengkeh terhadap fibroblas dan sel

endotel manusia (Prashar et al., 2006).

Bahan pereda nyeri lain yang dipakai adalah miswak/siwak, guaiacol,

capsaicin, kulit pohon ambu guava, cabe jawa dan getah jarak. Miswak (Salvadora persica) diketahui memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan bahan pereda

konvensional lainnya yakni bahannya yang alami, tidak mahal, memiliki efek

anti-astringent, bersifat deterjen dan memiliki aksi anti inflamasi. Bahan ini banyak

dikenal di Arab Saudi, merupakan tanaman padang pasir, akar dan batangnya

digunakan sebagai pembersih gigi. Secara tradisional diketahui bahwa siwak

(30)

Al-Nazhan (1997) menunjukkan bahwa berbagai konsentrasi siwak yang terpapar

dengan gigi melebihi dua jam dapat menimbulkan sitotoksisita pada sel fibroblast L

929.

Capsaicin adalah zat neurotoksin yang terdapat dalam cabe merah Capsicum,

telah digunakan secara ekstensif dalam karakterisasi fisiologi aferen sensoris dan

inflamasi neurogenik (Flores et al., 2001). Struktur kimia senyawa fenol pada eugenol

dan guaiacol hampir identik dengan capsaicin (Caviedes-Bucheli et al., 2005).

Mekanisme aksi capsaicin bila diberikan secara topikal adalah pelepasan SP dari

serabut saraf. Hal ini pada awalnya menyebabkan rasa nyeri, tetapi bila diberikan

secara berulang maka SP akan berkurang. Hal inilah yang mengurangi kemampuan

saraf untuk mengirimkan sensasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. (Kaye et al.,

2002). Ohkubo dan Shibata (1997) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa ini

mempunyai peranan dalam menurunkan nilai ambang saraf-saraf nociceptif melaui

reseptor capsaicin yang berada pada pusat sonsori termal dalam spinal cord.

Prabu et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ekstrak daun dan

kulit pohon jambu guava (Psidium guajava) memiliki beberapa efek farmakologis

yang salah satu diantaranya adalah efek anti-inflamasi yang dihasilkan oleh

guaijaverin (senyawa flavonoid). Ohkubo dan Shibata (1997)menunjukkan bahwa

cabe jawa dapat menurunkan nilai ambang saraf-saraf nosiseptif melalui reseptor

(31)

menurunkan kadar SP dan COX-2 pada pulpa gigi Macaca fascicularis (Irmaleny,

2010)

2.10Watermelon Frost sebagai Obat Alternatif

Obat tradisional digunakan sebagai salah satu sarana dalam pengobatan

tradisional oleh masyarakat sehingga disebut sebagai obat alternatif (herbal

medicine). Sebenarnya obat tradisional telah lama diketahui oleh masyarakat,

lebih-lebih pada saat ini karena penggunaan obat yang semakin mahal harganya. Penelitian

akan khasiat tanaman tradisional ini bagi peningkatan kualitas kesehatan juga

mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan fokus area

kegiatan penelitian, pengembangan dan rekayasa untuk pembangunan nasional

(Jakstra 2000-2004) antara lain menemukan bahan baru, terutama dilihat dari sudut

kesehatan dengan menyangkut tanaman tradisional.

Watermelon frost sudah lama dikenal oleh masyarakat RRC sebagai terapi

untuk penyakit rongga mulut dan tenggorokan. Watermelon frost sesungguhnya

adalah serbuk putih yang didapat dari buah semangka (Citrulus vulgaris) melalui

pemberian garam Glauber’s yaitu senyawa natrium sulfat hidrat (Na2SO4.10H2O).

Penelitian klinis Wu (2003) dan Zhang (2001) telah menunjukkan adanya efek

watermelon Frost untuk pengobatan infeksi tenggorokan. watermelon frost juga

terbukti dapat menurunkan inflamasi pada faring dan sekaligus dapat menurunkan

(32)

Perusahaan Gui Lin San Jin yang berlokasi di negera RRC yang didirikan

pada tahun 1954 telah lama memproduksi watermelon frost yang telah disetujui oleh

”State Drug Administration”. Telah diamati bahwa bahwa watermelon frost dapat

menurunkan inflamasi, rasa nyeri gigi, gingivitis, laringitis, faringitis, stomatitis dan

luka bakar. Namun demikian penelitian resmi terhadap efek anti inflamasi dan

penurunan nyeri gigi belum pernah dilakukan, jadi hanya berdasarkan pengalaman

para pemakai/empiris saja. Masyarakat Tionghoa sering menggunakan watermelon

frost ini apabila mereka mengalami keluhan inflamasi di sekitar rongga mulut.

Watermelon frost komersial (San JinXi Gua Shuang) mengandung

bahan-bahan sebagai berikut: Watermelon frost (50%), Rhizoma Belamcandae (5%), Bulbus

Fritillariae (15%), Radix Sophorae Tonkinensis (10%), Mentholum (5%), Indigo Naturalis (5%) dan Borneolum (10%).

Christian dan Trimurni (2006) dalam penelitiannya secara in-vitro melaporkan

bahwa watermelon frost memiliki efek untuk menghambat bakteri S.mutans sebagai

bakteri kariogenik. Dennis dan Trimurni (2009) telah menunjukkan dalam penelitian

secara in-vitro bahwa watermelon frost memiliki efek anti nyeri dan inflamasi dengan

menurunkan konsentrasi penanda PGE2. Dalam laporan kasus Dennis dan Trimurni

(2013) telah ditunjukkan bahwa watermelon frost efektif dalam menurunkan nyeri

pulpa serta memacu terjadinya penyembuhan lesi periapeks pada perawatan ulang

kasus flare-ups endodonti gigi molar dua bawah dengan anatomi saluran akar

(33)

2.11 Macacafascicularis

M. fascicularis merupakan salah satu hewan primata yang banyak digunakan

sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis, karena secara anatomis dan fisiologis

memiliki banyak kemiripan dengan manusia (gambar 2.4) (Adith, 2008).

M.fascicularis disebut juga dengan monyet ekor panjang, memiliki berbagai nama

lain seperti monyet cynomolgus, dan monyet pemakan kepiting (crabeatingmacague)

(Fortman, 2002; Reinhardt, 1997). Taksonomi monyet ekor panjang menurut

Whitney et al. (1995) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata

Sub ordo : Anthropoidea

Infra ordo : Catarrhini

Super famili : Cercopithecoidae

Famili : Cercopithecidae

Sub Famili : Cercopithecinae

Genus : Macaca

(34)

Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995)

2.11.1 Penyebaran dan Habitat

M. fascicularis memiliki habitat beragam mulai dari hutan primer, hutan

sekunder, sepanjang pinggiran sungai, hutan pesisir laut, hutan mangrove. Hewan ini

memiliki penyebaran habitat yang luas di daratan Asia (Kemp, 2003).

Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki

(quadrupedalism) (Napier, 1985). Hewan ini memiliki ekor yang lebih panjang dari

panjang kepala dan badan, sekitar 40-65 cm (16 – 26 inchi) (Navia, 1997). Hewan

jantan memiliki ekor yang lebih panjang dibanding betina (Navia, 1997). Panjang

badan monyet tergantung kepada sub spesiesnya, biasanya panjang monyet jantan

dewasa 41,2 cm – 64,8 cm dan betina 38,5cm – 50,3 cm (Navia, 1997). Monyet ini

memiliki perbedaan ukuran bobot tubuh antara jantan dan betina. Hewan jantan 4,7

kg – 8,3 kg dan yang betina 2,5 kg- 5,7 kg (Navia, 1997). Warna rambut badan

bervariasi dari coklat kekuningan (abu-abu) sampai coklat gelap. Warna rambut di

(35)

memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada tulang duduk

(ischium) (Navia, 1997).

Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial

monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group dan multi-female group yatitu

dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anak.

Dalam satu kelompok terdapat sekitar 30 anggota (Reinhardt, 1997).

Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok sosial ini sering

menimbulkan ketegangan di antara kelompok jantan (Napier, 1985). Keadaaan ini

menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Hirarki

dominasi yang berkembang ini dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran dan

kemampuan bertarung (berkelahi) (Napier, 1985). Hewan ekor panjang ini termasuk

hewan yang unik karena mempunyai kemampuan belajar dan perilaku. Hewan ini

tergolong omnivora, seperti buah-buahan, kepiting, bunga, serangga, daun, jamur dan

rumput (Reinhardt, 1997).

2.11.2 Morfologi Gigi

Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I 1C 2PM 3M/2I – IC

-2PM - 3M) (Swindler, 2002). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama,

sedangkan gigi seri kedua atas lebih kecil dan sering bentuknya lancip. Gigi seri

kedua bawah lebih lebar dari gigi seri pertama bawah (Swindler, 2002). Gigi taring

atas berukuran lebih panjang dibanding gigi taring bawah dan letaknya menonjol

(36)

daripada monyet betina. Bentuk premolar bawah bervariasi (Swindler, 2002). Molar

disebut bilophodont yaitu pada masing-masing molar terdapat empat cuspid (2 bukal

dan 2 lingual) yang dihubungkan dengan krista transversa. Geraham ketiga memiliki

kuspa tambahan (Swindler, 2002).

2.12 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme-Linked immunosorbent assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia

yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran

antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam pengertian sederhana, sejumlah

antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi

spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan

antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir,

ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat

dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu

disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi

sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya

fluoresensi denan menggunakan spektofotometer (Burgess, 1995).

Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat mengukur jumlah dari cahaya

yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang kita buat

pada well mcroplate akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut,

sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical density dapat

(37)

sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan

untuk mengestimasi kadar protein tersebut (Burgess, 1995).

Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan untuk melabel suatu

antigen atau mengetahui antibody yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin

mengetahui antigen apa yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah

antibody-nya, begitu pula sebaliknya (Burgess, 1995).

ELISA merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai

laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik

pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup

tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall

untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel

dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label). Umumnya ELISA

dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat

antigen–enzim atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive assay yang

menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan

dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut

sebagai "Sandwich" ELISA. Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di

antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive karena

adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigen lain. Hasil berupa false

negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada window period, yaitu waktu

(38)

tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi (Burgess, G.W. 1995).

dan respons imun Perubahan sistem neurogenik Perubahan membran fosfolipid

(39)

Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang mengandung substansi dasar,

sel-sel, pembuluh darah, sistem limfatik, dan perasarafan. Cedera yang mengenai pulpa

akan menyebabkan terjadinya perubahan vaskuler dan respons imun, perubahan

sistem neurogenik, dan perubahan membran fosfolipid. Cedera yang mengenai pulpa

akan mengaktifkan sistem persarafan pulpa (A delta dan C) untuk melepaskan

protein-protein saraf (neuropeptid) diantaranya yaitu substansi P (SP) yang

merupakan neuropeptid utama yang memegang peranan yang penting pada saat awal

terjadinya inflamasi. SP akan menginduksi dan mendegranulasi sel mast untuk

melepaskan histamin dan menginduksi enzim COX-2 sehingga terjadi sintesis

prostaglandin, suatu zat algogenik yang mensensitisasi nosiseptor. SP merupakan

mediator inflamasi lini pertama yang bersifat vasodilator dan merupakan zat

algogenik serta merupakan agen kemotaktik yang kuat sehingga dengan peninggian

konsentrasi SP pada jaringan pulpa dapat menyebabkan perubahan laju aliran darah

pulpa dan peninggian tekanan darah pulpa, merupakan agen kemotaktik yang kuat

terhadap neutrofil dan merupakan zat algogenik karena merupakan neurotransmitter

eksitatori di medula spinalis. Dengan menurunnya konsentrasi SP pada jaringan pulpa

akan menyebabkan jaringan pulpa kembali kepada keadaan yang homeostasis

sehingga jaringan pulpa mampu memacu aktivitas sel lir-odontoblas dalam proses

awal mineralisasi jaringan yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi fosfatase

Gambar

Gambar 2.1 Peranan substansi P dalam inflamasi neurogenik (Sacerdote and Levrini, 2012)
Gambar 2.3 Peranan SP dalam mekanisme nyeri(Caviedes-Bucheli, 2008)
Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Website ini di buat dengan tujuan membantu mempromosikan Tiara Salon kepada masyarakat luas secara umum dan menampung kritik serta saran dari para pengunjung melalui website

[r]

[r]

Pengembangan ini menjadikan aktifitas penjualan barang pada toko baru terlihat lebih baik, karena memberikan pelayanan yang baik khususnya kepuasan terhadap konsumen sebagai pihak

(LAPORAN PERTANGGUNG JAWABAN) BANTUAN OPERASIONAL PENDIDIKAN (BOP) PERIODE JANUARI – DESEMBER TAHUN 2015..

Pada penulisan ilmiah ini, penulis mencoba mendesain web non komersial mengenai Dunia Binaraga dengan menggunakan Flash MX dan Internet Explorer 5.00 sebagai browse serta koneksi

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya bertangung jawab penuh atas pencairan dan penggunaan dana pembayaran Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dengan jumlah