• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI PATOLOGI TERKAIT ALKOHOL PADA OTOPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PREVALENSI PATOLOGI TERKAIT ALKOHOL PADA OTOPSI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hampir setiap tahun kejadian kasus keracunan alkohol terus terjadi. Menurut laporan tahunan Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang didapat dari National Vital Statistic System sepanjang tahun 2010 sampai 2012, tiap hari ada enam orang mati karena keracunan alkohol di Amerika Serikat. Artinya, setiap tahun ada lebih dari 2.000 orang di Amerika mati karena alkohol. CDC mencatat korban umumnya pria kulit putih berusia 35-64 tahun, namun tingkat keracunan alkohol pada Indian Amerika dan suku asli Alaska juga tinggi (Tempo, 2015).

(2)

meninggal dunia dari jumlah total korban 5 orang. Selain itu, terdapat 1 kejadian keracunan akibat mengkonsumsi campuran alkohol dengan pestisida rumah tangga (lotion anti nyamuk), minuman bersoda, dan thinner yang terjadi di wilayah Jakarta Timur dengan jumlah korban 2 orang meninggal dunia (BPOM, 2014).

(3)

Alkohol (etanol, CH3CH2OH) menduduki peringkat tertinggi sebagai substrat penyebab dalam toksikologi forensik, dengan alasan sederhana bahwa meminum dalam jumlah banyak dan pemabuk dicurigai menjadi penyebab dalam kasus-kasus kecelakaan fatal, kematian akibat trauma, bunuh diri, kekerasan dan perilaku antisosial pada umumnya . Laporan dari departemen kecelakaan dan layanan darurat (Accident and Emergency Service Departments) di seluruh dunia memberikan bukti yang cukup untuk mendukung dampak negatif dari penyalahgunaan alkohol dan alkoholisme di masyarakat. Kerugian yang disebabkan oleh konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan menjelaskan banyak kecelakaan di rumah, di tempat kerja, dan di jalan-jalan (Charalambous, 2002).

Sedangkan methanol merupakan bentuk alkohol yang paling sederhana dan merupakan senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Methanol biasanya paling banyak digunakan dalam pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40% diubah menjadi formaldehyde yang kemudian dijadikan berbagai macam produk seperti plastik, cat, bahan peledak dan tekstil. Pada beberapa kasus keracunan alkohol disebabkan oleh konsumsi dari methanol yang dicampur dengan bahan-bahan lain seperti jamu-jamuan dan obat-obatan (Korabathina, 2016).

(4)

sepenuhnya dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh berbagai gangguan metabolisme yang dipicu oleh intake etanol dalam jumlah besar dan karena kelaparan yang mengakibatkan aritmia jantung. Pada hasil otopsi pada kasus ini pada dasarnya negatif, hanya menunjukkan steatosis hepar. Alkohol menyebabkan aritmia selama hidup, termasuk perpanjangan interval QT, yang berhubungan dengan kematian jantung mendadak (Schuckit, 2009).

1.2 Tujuan

1.2.2 Tujuan Umum

Menjelaskan gambaran kelainan berbagai organ pada hasil otopsi kasus keracunan alkohol

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Membandingkan patologi organ yang paling sering pada kasus keracunan alkohol.

2. Menjelaskan prevalensi patologi organ terkait keracunan alkohol.

3. Menjelaskan asosiasi antara rerata konsentrasi etanol dalam darah, urin, atau vitreous humour, dengan jumlah kelas patologi

1.3 Manfaat

 Bagi pendidikan: Untuk menambah pengetahuan tentang gambaran kelainan berbagai organ pada hasil otopsi kasus keracunan alkohol

(5)

BAB 2

LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Alkohol

2.1.1 Etil Alkohol

Alkohol adalah nama yang umum untuk Etil Alkohol yang pda umumnya disebut dengan etanol. Etil alkohol kemudian menjadi dikenal sebagai bahan/substrat penyebab keracunan di Amerika Serikat. Etil alkohol ditemukan pada produk minuman seperti bir, wine, whisky, gin¸ dan minuman penyemangat lainnya. Etil alkohol dalam konsentrasi tinggi juga ditemukan pada hair spray, parfum dan minyak wangi, cairan pencuci mulut, perasa makanan seperti ekstrak vanila, dan cairan pencuci tangan (Bartlet, 2015).

(6)

dalam waktu 1-6 jam (rata-rata 1,06-2,12 jam). Terlambatnya pencapaian puncak konsentrasi alkohol dalam darah berbanding lurus dengan jumlah makanan dan berbanding terbalik dengan jumlah beda waktu antara makan dan konsumsi alkohol. Susunan makanan menunjukkan pengaruh yang kecil terhadap kecepatan penyerapan (Di Maio, 2001).

(7)

yang paling terpengaruh oleh alkohol adalah sistem syaraf pusat (Di Maio, 2001).

2.1.2 Metil Alkohol

Metil alkohol yang sering disebut dengan metanol, biasanya digunakan sebagai pelarut organik. Karena toksisitasnya, jika tertelan metanol dapat menyebabkan asidosis metabolik, kecacatan neurologis, dan bahkan kematian. Keracunan metanol menjadi penyebab kasus yang banyak terjadi pada negara berkembang, terutama pada masyarakat sosial ekonomi yang rendah (Korabathina, 2016).

2.2 Patofisiologi Keracunan Alkohol Akut 2.2.1 Etil Alkohol

Etil alkohol dengan cepat diserap dalam waktu 60 menit. Jika terdapat makanan dalam lambung, alkohol dikonsumsi dengan lambat, atau jika terdapat konsentrasi alkohol yang tinggi dalam minuman, penyerapan dapat lebih lama. Kurang lebih 20% alkohol diserap di lambung dan pada pemeriksaan 80% diserap di usus halus. Pertama kali alkohol diserap, dimetabolisme di hepar oleh enzim alcohol dehydrogenase (ADH) menjadi acetaldehid. Acetaldehid dimetabolisme oleh acetaldehyde dehydrogenase menjadi acetat dan air (Bartlet, 2015).

Gambar 1. Jalur alkohol dehidrogenase (Hunsaker, 2004)

(8)
(9)

Gambar 2 Tahapan keracunan alkohol akut (Di Maio, 2001)

(10)

Efek racun dari alkohol kemungkinan disebabkan oleh interaksi antara alkohol dengan neurotransmitter tertentu dan/atau reseptornya (Bartlet, 2015):

a. Interaksi antara etil alkohol dengan neurotransmitter gamma-aminobutiric acid (GABA)

GABA adalah salah satu dari dua neurotransmitter penghambat utama. Pada saat GABA berikatan dengan reseptor GABA pada membran sel, sel menjadi hiperpolarisasi dan tidak dapat merespon stimulasi (dihambat). Etil alkohol mengikat tempat yang spesifik yang berhubungan dengan reseptor GABA dan hal ini meningkatkan aktivitas GABA. Jika hal ini terjadi maka sel-sel menjadi tidak dapat merespon stimulus kemudian menjadi tidak aktif- yang menghasilkan depresi SSP, depresi pernapasan, reflek-reflek menurun, dan sebagainya.

b. Interaksi antara etil alkohol dan tempat reseptor spesifik untuk neurotransmitter glutamat dan glisin.

Glutamat adalah neurotransmitter pemicu. Jika glutamat berikatan dengan reseptor membran sel, sel akan mengalami depolarisasi dan beraksi/berespon. Glisin adalah neurotransmitter penghambat dan mekanisme kerjanya sama dengan GABA. Glutamat dan glisin mengikat tempat reseptor yang spesifik, yaitu reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Etil alkohol merusak ikatan antara glutamat dan glisin dengan reseptor NMDA, sehingga sel tidak dapat merespon stimulus.

(11)

Keracunan yang disebabkan oleh metil alkohol (metanol) relatif jarang terjadi. Metanol dioksidasi oleh hepar menjadi formaldehida, yang teroksidasi menjadi asam format. Asam format enam kali lebih beracun dari metanol. Gejala akut dari keracunan metanol adalah kelemahan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati, dispnea, dan sianosis. Mabuk bukan merupakan gejala yang menonjol. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi dalam waktu setengah jam setelah konsumsi atau tidak muncul gejala selama 24 jam. Metanol yang tertelan pada jumlah yang fatal, gejala yang disebutkan di atas akan diikuti oleh stupor, koma, kejang-kejang, hipotermia, dan kematian. Kematian hampir selalu didahului dengan kebutaan. Jika mampu bertahan hidup, akan mengalami kebutaan permanen, yang disebabkan oleh toksisitas spesifik pada sel-sel retina. Kematian pada keracunan metanol disebabkan oleh asidosis dari produksi asam organik dan depresan SSP. Asidosis adalah faktor utama pada keracunan metanol, dengan depresi SSP sebagai faktor minor. Asam formiat adalah agen utama yang bertanggung jawab untuk asidosis metabolik berat dan toksisitas okular dari metnol (Di Maio, 2001).

(12)

Kerusakan penglihatan yang disebabkan oleh metanol telah dijelaskan, namun mekanismenya tidak dapat dimengerti dengan baik. Kebutaan diduga karena fungsi mitokondria pada saraf optikus diinterupsi, yang menghasilkan hiperemia, edema, dan atrofi saraf optikus. Demielinasi saraf optikus dilaporkan karena destruksi mielin oleh asam format. Kerusakan utama terjadi pada saraf optikus retrolaminer dengan pembengkakan intra-axonal dan kerusakan organela. Metanol juga berefek pada basal ganglia, berupa kerusakan perdarahan dan non perdarahan pada putamen, yang menyebabkan parkisonism atau distonik/hipokinetik (Korabathina, 2016).

2.3 Patofisiologi Keracunan Alkohol Kronik

Pecandu alkohol kronis seringkali mampu menutupi banyak gejala-gejala keracunan alkohol akut, meskipun masih ada gangguan fisiologis. Dengan demikian, pecandu alkohol kronis dengan konsentrasi dalam darah sebesar 150 mg% gejala yang dapat muncul minimal, meskipun sudah terjadi penurunan refleks, ketajaman visual, memori, konsentrasi, dan pengambilan keputusan. Pada individu muda yang tidak terbiasa minum alkohol akan lebih rentan terhadap gejala keracunan akut dan terjadinya depresi SSP yang mematikan (Di Maio, 2001).

(13)

terjadi terkait alkoholisme) adalah salah satu dari sepuluh penyebab utama kematian. Seringkali, jika penyebab kematian adalah kegagalan organ tubuh atau sistem, peran alkohol tidak dianggap. Jika seseorang meninggal karena serangan jantung, namun juga menjadi peminum alkohol selama 35 tahun hidupnya, maka sebab kematian dikaitkan dengan serangan jantung, bukan karena pecandu alkoholnya. Sebagai penyebab iritasi, alkohol memiliki potensi menyebabkan kerusakan fisik yang serius pada semua dari sistem tubuh. Seringnya kalangan medis menunggu untuk munculnya gejala fisik umtuk mendiagnosa keracunan alkohol kronis. Sayangnya, alkoholisme adalah penyakit kronis dan progresif, diman gejala-gejala awal yang muncul umumnya perilaku dan bukan fisik. Mayoritas masalah medis biasanya muncul di akhir, tahap kronis dari penyakit. Menunggu tanda-tanda fisik muncul akan menyumbang angka kematian tinggi yang terkait dengan masalah ini (dlcas, 2014).

Konsumsi alkohol secara kronik akan meningkatkan kadar etil alkohol, maka terjadi efek racun biologis yang lambat dan termasuk keracunan pada level seluler dengan hasil gangguan fungsi klinis dari berbagai sistem organ. Kelainan yang signifikan dengan kecacatan patofisiologis dapat terjadi pada hepar (fatty liver, hepatitis akut, sirosis dengan kegagalan hepar, karsinoma hepatoseluler), jantung (kardiomiopati alkoholik, hipertensi sekunder), otak (Wernicke–Korsakof encephalopathy [defisiensi vitamin B1{thiamin}], superior

cerebellar vermal atrophy, peningkatan resiko stroke, dan

(14)

alkoholik, atropi gaster, penyakit ulkus peptikum, karsinoma), pankreas (pankreatitis akut dan kronis dengan pseudocysta), dan urogenitalis (pengurangan produksi testosteron, disfungsi

ereksi, infertilitas pada pria dan wanita). Keracunan alkohol pada kehamilan dapat terjadi sindroma fetal alkohol, aborsi spontan, fetal alcohol withdrawal, dan teratogenesis. Pada keadaan

kurang asupan makanan konsumsi alkohol menyebabkan

malnutrisi (Hunsaker, 2004).

Gambar 3 Penyakit Liver Alkoholik (Theise, 2015) 2.4 Pemeriksaan Jenazah pada Keracunan Alkohol

2.4.1 Pengambilan Spesimen Toksikologi

Tujuan yang terpenting dari dilakukannya pemeriksaan toksikologi pada kasus keracunan adalah untuk menegakkan diagnosa dari keracunan, sehingga dapat segera dilakukan terapi yang tepat (pada korban hidup) dan dapat memberikan kesimpulan yang pasti dari sebab kematian korban akibat keracunan.

(15)

1. Pengambilan bahan-bahan untuk tujuan analisa (yang berasal dari korban). 2. Pelaksanaan analisa toksikologi.

3. Interpretasi hasil analisa.

4. Apa yang harus dilakukan terhadap bahan tersebut selanjutnya.

Tabel 1 Pengambilan bahan dari korban keracunan fatal, jumlah dan jenis racun yang terakumulasi pada bahan tersebut.

Bahan pemeriksaan Jumlah Racun yang terakumulasi

 Jari

 Hati 250-500 g. Sebagian besar racun

 Paru-paru Seluruhnya Methadone, propoxypene, racun-racun mudah menguap

Lambung, usus beserta isinya

Seluruhnya Semua racun yang masuk per oral

 Urine Seluruhnya jika

Wadah beserta bahan kemudian diberikan label yang memuat (Sudjana, 2010): - Nomor identitas korban

- Tanggal pengambilan bahan

(16)

- Dokter yang mengambil bahan pemeriksaan (nama)

- Nama penyegel, tanda tangan, cap segel dinas (diatas lak) Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi (Sudjana, 2010).

1. Jaringan yang diambil berukuran 2 X 3 X ½ cm, jangan lebih tebal karena penetrasi cairan fiksasi membutuhan waktu lebih lama, sehingga kemungkinan besar jaringan menjadi busuk.

2. Potongan jaringan yang diambil rutin, bila anggaran untuk pemeriksaan histopatologi cukup adalah sebagai berikut:

a. Jantung :

o Ventrikel kanan dan kiri

o Atrium kanan dan kiri

o Valvula

o Arteria coronaria

o Septum interventricularis

b. Paru-paru : tiap lobus

c. Hepar : bagian sentral dan perifer

d. Ginjal : kanan, kiri meliputi pyramida (cortex, madulla,pelvis) e. Usus : usus halus,usus besar,appendix

f. Lambung : curvatura minor g. Pancreas : cauda,corpus,caput h. Anak ginjal

i. Glandula thyroidea

(17)

3. Semua jaringan tidak boleh tertekuk (twisted), misalnya usus diletakkan diatas kertas saring.

Jaringan yang diambil untuk spesimen sebelumnya tidak boleh dicuci. 4. Bahan fiksasi

Sebagai bahan fiksasi digunakan larutan 10% formaline, yang membuatnya ialah dengan mencampur 1.vol, (handels) formalin dengan 3 vol. Air yang dimaksud dengan handels formaline ialah larutan formaline yang mengandung 40% formaldehyd.

5. Kalau dapat jaringan yang sudah difiksir sebelum dikirim ke pusat diiris yang lebih rapi lagi, sehingga volume bahan yang dikirim menjadi lebih kecil untuk menghemat biaya pengiriman.

6. Karena anggaran untuk pemeriksaan histopatologi sangat terbatas, maka untuk sementara hanya dikirim jaringan yang makroskopik menunjukkan adanya kelainan patologi.

2.4.2 Hasil Pemeriksaan Jenazah

(18)

seluruh gallblader, dan aliran yang berlebihan dari vesika urinaria, serta bau alkohol dari rongga (cavities) dan organ-organ pada jenazah (Necki, 2015).

Keracunan dari konsumsi kronik menyebabkan kelainan multiorgan yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Proses pembusukan jenazah (dekomposisi) dapat meningkatkan kadar alkohol dalam darah yang akan memberikan efek palsu, dikarenakan produksi endogenus oleh pertumbuhan yang normal dan fermentasi flora pada usus. Cairan vitreus humor, yang biasanya steril, merupakan pembanding akurat untuk membedakan produksi antemortem atau postmortem. Cairan dari pengawetan jenazah (embalming) dapat digunakan secara selektif untuk memperkirakan kadar alkohol dalam darah (BAC) antemortem melalui membandingkan dengan cairan embalming yang mudah menguap. Karakteristik gross (makros) dan histopatologi pada beberapa sistem organ dapat diperiksa pada alkoholism kronik walaupun tanpa riwayat. Efek racun secara progresif pada umumnya terjadi pada hepar, jantung, pankreas, dan sistem saraf pusat. Paling sering ditemukan adalah sirosis mikronudular tanpa infeksi hepatitis atau penyakit intrinsik hepar sangat spesifik pada konsumsi alkohol kronik. Berbagai stadium akhir atau kondisi penyakit yang parah terjadi primer di hepar, seperti sirosis mikronudular atau hepatitis alkoholik (Hunsaker, 2004).

1. Hepar

(19)

Perlemakan dimulai dengan butiran kecil kemudian bersatu menjadi butiran besar yang menjadikan hepatosit membesar dan menekan nukleus ke pinggir sel (gambar 4). Secara makroskopis, fatty liver pada orang dengan alkoholism kronis didapatkan hepar yang besar (dengan berat 4 – 6 kg), organ lunak berwarna kuning dan berminyak (Theise, 2015).

Gambar 4 Steatosis Alkoholik dan Steatofibrosis (Theise, 2015)

(20)

Gambar 6 Sirosis Alkoholik

Hepatitis alkoholik (steatohepatitis) secara histopatologi antara lain sebagai berikut (Theise, 2015):

1) Hepatosit yang bengkak dan nekrosis: singel atau fokus-fokus sel yang tersebar yang mengalami pembengkakan dan nekrosis (gambar 5). 2) Mallory-Denk bodies: selalu tampak mengkerut (clumped),amorfik, bentukan yang eosinofilik pada hepatosit yang membesar

3) Reaksi neutrofilik: neutrofil memasuki lobus hepar dan menumpuk mengelilingi hepatosit yang terdegeneralisasi, terutama pada Mallory-Denk bodies (gambar 5B).

Hepatitis alkoholik seringkali disertai dengan aktivasi yang menonjol dari sel stellate sinusoid dan fibroblas pada portal yang akan menjadi fibrosis. Fibrosis dimulai dengan skerosis dari vena sentral. Scar perisunisoid kemudian mengumpul dalam ruang dari disse pada regio centrilobular, tersebar keluar, melingkari sendiri-sendiri atau kluster kecil dari hepatosit pada pola chicken wire fence (gambar 4).

2. Pankreas (Hruban dan Iacobuzio-Donahue, 2015)

(21)

masing-masing mempunyai karakteristik patologis dan gejala klinis tersendiri.

Pankreatitis Akut

Pankreatitis akut ditandai dengan cedera parenkim pankreas yang reversibel berhubungan dengan peradangan dan memiliki beragam etiologi, termasuk pajanan racun (Misalnya, alkohol), obstruksi duktus pankreatikus (misalnya, batu empedu), cacat genetik, cedera vaskular, dan infeksi. Pankreatitis akut relatif umum; angka kejadian tahunan di negara-negara Barat adalah 10 sampai 20 kasus per 100.000 orang. Penyakit saluran empedu dan alkoholisme sekitar 80% dari kasus pankreatitis akut di negara-negara barat. Proporsi kasus dari pankreatitis akut akibat asupan alkohol yang berlebihan bervariasi dari 65% di Amerika Serikat, 20% di Swedia, dan 5% atau kurang di Perancis selatan dan Inggris. Rasio laki-laki dibandingkan perempuan 1: 3 pada kelompok dengan penyakit saluran empedu dan 6: 1 pada mereka dengan alkoholisme.

(22)

Morfologi pankreatitis akut dimulai dari radang sepele dan edema hingga nekrosis luas yang parah serta perdarahan. Perubahan dasar antara lain (1) kebocoran mikrovaskuler dan edema, (2) nekrosis lemak, (3) inflamasi akut, (4) kerusakan parenkim pankreas, dan (5) kerusakan pembuluh darah dan perdarahan interstitial.

Dalam bentuk yang lebih ringan, pankreatitis interstitial akut, perubahan histologis terbatas pada peradangan ringan, edema interstitial, dan daerah fokal dari nekrosis lemak dalam pankreas dan lemak peripancreatic (Gambar. 19-3). Nekrosis lemak, seperti telah kita lihat, hasil dari aktivitas enzim lipase. Pelepasan asam lemak bergabung dengan kalsium membentuk garam larut yang memberi penampakan mikroskopik biru granular pada sel-sel lemak. Dalam bentuk yang lebih parah, pankreatitis nekrotik akut, terdapat nekrosis asinar dan duktus jaringan serta pulau Langerhans. Cedera vaskular dapat menyebabkan perdarahan ke dalam parenkim pankreas.

(23)

Gambar 7 Pankreatitis Akut Pankreatitis kronis

Pankreatitis kronis didefinisikan sebagai peradangan berkepanjangan dari pankreas yang terkait dengan kerusakan ireversibel parenkim eksokrin, fibrosis, dan, pada tahap akhir, penghancuran parenkim endokrin. Penyebab paling umum dari pankreatitis kronis sejauh ini adalah konsumsi alkohol dalam waktu yang lama.

(24)

ditandai dengan dilatasi duktus dan sumbatan protein intraluminal serta kalsifikasi (Gambar. 19-6B).

Gambar 8 Pankreatitis Kronik 3. Paru-paru (Husain, 2015)

Pneumonia Aspirasi

(25)

Gambar 9 Pneumonia

Gambar 10 Pneumonia Akut

4. Gaster (Turner, 2015) Gastritis

Gastritis adalah proses inflamasi mukosa. Ketika neutrofil muncul, lesi disebut sebagai gastritis akut. Ketika sel-sel inflamasi jarang atau tidak ada, maka disebut gastropati. Agen yang menyebabkan gastropati termasuk NSAID, alkohol, empedu, dan cedera akibat stres. Erosi mukosa akut atau perdarahan, seperti Curling ulcers atau lesi yang mengikuti terganggunya aliran darah lambung, misalnya, pada hipertensi portal, juga dapat menyebabkan gastropati yang dapat berlanjut menjadi gastritis.

(26)

sedikit kongesti vaskular. Permukaan epitel utuh, tapi hiperplasia sel foveolar, dengan karakteristik bentukan corkscrew (pembuka botol) dan proliferasi epitel. Neutrofil tidak banyak, tetapi beberapa dapat ditemukan di antara sel-sel epitel atau dalam kelenjar mukosa pada gastritis. Ada sedikit limfosit dan sel plasma. Munculnya neutrofil diatas membran basal yang bersentuhan langsung dengan sel epitel abnormal di semua bagian saluran pencernaan menandakan adanya peradangan aktif, atau, dalam hal ini, gastritis (bukan gastropati). Peradangan aktif jangka lama ditemukan kerusakan mukosa parah, erosi dan perdarahan. Erosi menunjukkan hilangnya epitel, menghasilkan defek mukosa superfisial. Hal ini disertai dengan infiltrasi neutrophilic pada mukosa dan eksudat purulen yang berisi fibrin dalam lumen. Perdarahan dapat terjadi dan menyebabkan punctae gelap pada mukosa yang hiperemi. Erosi yang bersamaan dan perdarahan disebut gastritis hemoragik erosif akut.

Gastritis akut gastritis

hemoargik

Gambar 11 Gastritis (slideshare.net, 2013)

5. Esofagus (Turner, 2015) Varises Esofagus

(27)

sirkulasi ini bertanggung jawab untuk first-pass effect dimana obat-obatan dan bahan lainnya diserap di usus diproses oleh hepar sebelum masuk sirkulasi sistemik. Penyakit yang menghambat penyebab aliran ini hipertensi portal dan dapat menjadi varises esofagus, merupakan penyebab penting dari esofagus berdarah.

Varises adalah pembuluh darah vena melebar berliku-liku terutama dalam submukosa distal esofagus dan proksimal lambung (Gambar.17-6A). Saluran vena secara langsung di bawah epitel esofagus mungkin dapat menjadi dilatasi masif. Secara makros varises mungkin tidak terlalu jelas pada postmortem, karena terjadi kolaps akibat tidak adanya aliran darah (Gambar. 6B) dan dikaburkan oleh mukosa diatasnya (Gbr. 17-6C). Varises yang pecah menyebabkan perdarahan dalam lumen atau dinding esofagus, juga pada mukosa diatasnya muncul ulcerasi dan nekrosis.

Gambar 12 Varises Esofagus 6. Jantung (Schoen dan Mitchell, 2015)

(28)

Kardiomiopati bermanifestasi sebagai kegagalan kinerja miokard; bisa secara mekanik (misalnya, diastolik atau disfungsi sistolik) yang mengarah ke CHF, atau bisa berujung pada aritmia yang mengancam kehidupan. Kardiomiopati dapat diklasifikasikan menurut berbagai kriteria, termasuk dasar genetik yang mendasari disfungsi. Berdasarkan kelainan anatomi di dalam jantung, dibagi menjadi tiga pola patologis (Gambar 12-29 dan Tabel 12-11.):

• kardiomiopati dilatasi (termasuk kardiomiopati ventrikel kanan aritmogenik) • kardiomiopati hipertrofi

• kardiomiopati restrikti

Gambar 13 Jenis Kardiomiopati

(29)

kronis dapat berhubungan dengan defisiensi tiamin, yang dapat menyebabkan penyakit jantung beri-beri.

(30)

nekrosis iskemik myosit sebelumnya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara perfusi dan permintaan

(31)

BAB 3

PEMBAHASAN JURNAL

Pada review jurnal ini dibahas dua jurnal dengan judul Prevalensi patologi terkait-alkohol pada otopsi: Studi Alkohol dan Kematian Prematur Forensik Estonia dan Pankreatitis Hemorargik Akut Menyebabkan Kematian Mendadak Tak Terduga – Laporan Kasus Dan Tinjauan Pustaka.

(32)

(fosfatidiletanol, gama-glitamil transpeptidase dalam darah, etilglukuronida, etilsulfat dalam urin). Meskipun prevalensi patologi hepar tinggi, beberapa memiliki penyakit liver alkoholik secara spesifik sebagai penyebab kematian.

(33)
(34)

BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hampir setiap tahun kejadian kasus keracunan alkohol terus terjadi. Menurut data Center for Disease Control and Prevention (CDC), sepanjang tahun 2010 sampai 2012, tiap hari ada enam orang mati karena keracunan alkohol di Amerika Serikat. WHO juga menyebutkan, penyalahgunaan alkohol merupakan salah satu pembunuh utama kaum muda India. Kejadian keracunan alkohol oplosan ini pun telah terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, diantaranya terdapat kejadian luar biasa miras oplosan hingga Desember 2014 di Sumedang Jawa Barat mencapai 127 orang. Alkohol (etanol, CH3CH2OH) menduduki peringkat tertinggi sebagai substrat penyebab dalam toksikologi forensik.

Mekanisme penyebab kematian tidak sepenuhnya dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh berbagai gangguan metabolisme yang dipicu oleh intake etanol dalam jumlah besar dan karena kelaparan yang mengakibatkan aritmia jantung. Pada hasil otopsi pada kasus ini pada dasarnya negatif, hanya menunjukkan steatosis hepar. Oleh karena itu, pada jurnal ini patologi terkait alkohol diidentifikasi secara makroskopis dan secara histologis, serta biomarker kadar alkohol dideterminasi.

Dari hasil penelitian pada jurnal ini didapatkan:

(35)

kasus. Bukti kerusakan pada jantung dalam bentuk kardiomiopati lebih jarang ditemukan (15%) dan varises esofagus sangat jarang.

2. Secara keseluruhan, 75% subjek menunjukkan bukti satu atau lebih kelas patologi, dan 32% memiliki bukti dua atau lebih kelas patologi. Prevalensi dua atau lebih patologi lebih tinggi bermakna pada kelompok pria usia tua (45-54 tahun (P = 0,002, Fisher’s exact test).

3. Tidak ditemukan asosiasi antara rerata konsentrasi etanol dalam darah, urin, atau vitreous humour, sementara untuk Peth dan GGT dalam darah, didapatkan tren yang sangat bermakna antara kadar biomarker dan jumlah kelas patologi. Meskipun terdapat trend bermakna untuk EtG dan EtS dalam urin, perbedaan utamanya adalah antara subjek tanpa versus subjek dengan bukti patologi apapun terkait-alkohol. Penting untuk dicatat bahwa konsentrasi etanol dalam darah dan urin didapatkan oleh ahli forensik tidak lama setelah otopsi, tetapi hasil pemeriksaan biomarker alkohol tidak tersedia sebelum penentuan penyebab kematian.

4. Setelah menyingkirkan non-peminum, tampak jelas adanya peningkatan tren dalam presentase kasus dengan dua atau lebih kelas patologi seiring dengan meningkatnya frekuensi konsumsi alkohol (P = 0,010).

(36)

6. Seperti yang diperkirakan, patologi hepar ditemukan di semua diagnosis kerusakan organ-akhir yang jelas terkait-alkohol dan ketergantungan alkohol, dan di sebagian besar diagnosis keracunan alkohol akut dan penyakit-penyakit sistem pencernaan. Untuk penyebab kerusakan organ-akhir terkait-alkohol dan ketergantungan alkohol, frekuensi patologi pankreas juga tinggi (masing-masing 71 dan 35%). Terdapat persentase patologi paru yang cukup tinggi (18%) pada kematian akibat keracunan alkohol akut. Berkenaan dengan kematian akibat penyakit sistem sirkulasi, terdapat temuan menarik, yaitu lebih dari dua pertiga kasus memiliki bukti patologi hepar yang mungkin terkait-alkohol. Pada kematian dengan penyebab mendasar penyakit saluran cerna, 92% kasus memiliki patologi hepar dan 58% memiliki patologi pankreas. Untuk kematian karena penyebab respirasi, 77% memiliki patologi hepar. Pada penyebab kematian eksternal, patologi hepar dan paru merupakan yang paling sering ditemukan, yaitu pada ~50% dan ~20% kasus.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Bartlet, Dana. 2015. Acute Alcohol Intoxication. Tersedia http://www.rn.org/courses/coursematerial-219.pdf. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016

BPOM. 2014. Berita Keracunan Bulan Juli – September 2014. Tersedia http://ik.pom.go.id/v2015/berita-keracunan/berita-keracunan-bulan-juli-september-2014. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016

Charalambous MP, Jul-Aug 2002, Alcohol and the accident and emergency

department: a current review,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12107029, 30 Agustus 2016

Di Maio, Dominick J., Di Maio, Vincent J. M., 2001, Forensic pathology 2nd ed., Florida: CRC Press LLC, chapter 23 hlm 10-15

Dlcas, 2014, Chronic_Alcoholism, Tersedia

http://www.dlcas.com/MAAP/Chronic_Alcoholism.pdf. Diakses 30 Agustus 2016

Hunsaker, Donna M., Hunsaker III, John C., 2004, Forensic Pathology Reviews Volume I, New Jersey: Humana Press, chapter 14 hlm 307-338

Korabathina, Kalyani. 2016. Methanol Toxicity. Tersedia http://emedicine.medscape.com/article/1174890-overview. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016

Necki, Krystyna, 2015, Forensic Examination of Alcohol Intoxication, School of

Security and Global Studies. Paper 1.,

(38)

Schoen, Frederick J., Mitchell, Richard N., 2015, Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9. Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 564-571

Schuckit MA, Feb 2009, Alcohol-use disorders, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19168210, 30 Agustus 2016

Sudjana, Putu, 2010, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal edisi keenam, hlm 127-129

Tempo. 2015. 6 Orang Mati Keracunan Alkohol Setiap Hari. Tersedia

https://m.tempo.co/read/news/2015/01/08/095633597/6-orang-mati-keracunan-alkohol-setiap-hari. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016 Theise, Neil D. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9.

Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 842-848

Turner, Jerrold R., 2015, Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Ed 9. Philadelphia : Elsevier Inc. , hlm 753-760

Weeklyline.Net. 2014. Bali dan Lombok Rawan Keracunan Methanol. Tersedia http://www.weeklyline.net/kesehatan/20140506/bali-dan-lombok-rawan-keracunan-methanol.html. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2016

(39)

Gambar

Gambar 2 Tahapan keracunan alkohol akut (Di Maio, 2001)
Gambar 3 Penyakit Liver Alkoholik (Theise, 2015)
Tabel 1 Pengambilan bahan dari korban keracunan fatal, jumlah dan  jenisracun yang terakumulasi pada bahan tersebut.
Gambar 5 Hepatitis Alkoholik
+7

Referensi

Dokumen terkait

3) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bidang Distribusi Pangan, membawahkan Sub bidang Distribusi Dan

Pada penelitian yang dilakukan di Ruang Mina RSI Ibnu Sina Pekanbaru dengan jumlah responden sebanyak 30 orang, didapatkan hasil 66,7% perawat pelaksana dalam hal

Oleh karena itu, biasanya pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang tinggi jumlah jenis makrozoobenthos yang hidup didalamnya sedikit.. Sebaliknya pada daerah

Hasil perhitungan dan korelasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PsyCap dengan kepuasan kerja pada anggota Polri yang

Seperti saat teman-teman dari jurusan tari akan mengadakan pertunjukan dalam rangka membantu perpisahan KKN Universitas Muhammadiyah Malang yang pada saat itu juga sedang

Berikutnya pada tahap propagansi di dalam mekanisme reaksi radikal bebas, radikal- radikal energetik yang tidak stabil akan bereaksi dengan molekul-molekul gas buang

Aset dan liabilitas keuangan dapat saling hapus dan nilai bersihnya disajikan dalam laporan posisi keuangan konsolidasi, jika dan hanya jika, 1) Perusahaan dan Anak Perusahaan saat