• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara paparan bising dan lipid profile serta terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja pabrik minyak goreng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara paparan bising dan lipid profile serta terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja pabrik minyak goreng"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Organ Pendengaran 2.1.1 Anatomi telinga dalam

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua atau satu-setengah

putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi saraf

dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Bagian atas adalah skala vestibuli,

berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana

Reissner yang tipis (gambar 2.1). Bagian bawah adalah skala timpani juga

mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina

spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala

berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus

koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema (Liston &

Duvall, 1997).

Gambar 2.1 A. Anatomi telinga; B. Daerah koklea yang paling sering

mengalami kerusakan akibat paparan bising yang lama dan berhubungan

dengan ONIHL (occupational noise induced hearing loss) (Kurmis & Apps,

2007)

(2)

Terletak diatas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ

Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf

perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut (3.000)

dan tiga baris sel rambut luar (12.000). Ujung saraf aferen dan eferen

menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut

terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung diatasnya yang

cenderung datar, bersifat gelatinosa dan asesular, dikenal sebagai

membran tektoria (gambar 2.2) (Liston & Duvall, 1997).

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan

kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang

diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah lapisan

gelatinosa yang ditembus oleh silia (Liston & Duvall, 1997).

Gambar 2.2 Gambaran koklea bagian tengah (Mills, Khariwala & Weber,

2006).

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang

sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus.

Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus terhadap makula

sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus.

Masing-masing kanalis mempunyai ujung yang melebar membentuk ampula dan

(3)

gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan

menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia

sel-sel rambut krista dan merangsang sel-sel reseptor (Liston & Duvall, 1997).

2.1.2 Fisiologi pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara dan

tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani

diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang

akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran

dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong

(foramen ovale). Energi getar yang telah diamplifikasi akan diteruskan ke

stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala

vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara

membran basillaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang

mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,

sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari

badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,

sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus

temporalis (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).

2.2 Bising

Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara

dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri,

bising berarti bunyi yang sangat menggangu dan menjengkelkan serta

sangat membuang energi (Harrianto, 2010). Tiga aspek gelombang bising

yang perlu diperhatikan untuk terjadinya gangguan pendengaran yaitu

(4)

Frekuensi bunyi menentukan pola nada, dinyatakan dalam berapa

getaran/detik atau siklus/detik, yang satuannya disebut Hertz (Hz). Intensitas bunyi (amplitudo/derajat kekerasan bunyi/sound pressure level

(SPL)) adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara yang

merupakan ukuran derajat intensitas suatu bunyi. Besar intensitas bunyi

dipadatkan dalam satuan desibel (dB). Selain intensitas bunyi, derajat

gangguan bising bergantung pada lamanya pajanan (Harrianto, 2010).

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program konversi

pendengaran terdiri atas beberapa undang-undang, Peraturan

Pemerintah, Kepres dan Peraturan Tingkat Menteri. Keputusan Menteri

Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisik

dalam lingkungan kerja, termasuk didalamnya tentang kebisingan (tabel

2.1) (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).

Tabel 2.1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51/MEN/1999.

Nilai ambang batas kebisingan (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007)

Waktu pajanan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA

Frekuensi suara bising biasanya terdiri dari campuran sejumlah

(5)

frekuensi suara. Nada kebisingan dengan demikian sangat ditentukan

oleh jenis-jenis frekuensi yang ada. Berdasarkan sifatnya bising dapat

dibedakan menjadi : (Roestam, 2004)

1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas

Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas

amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut.

Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup

mesin gas, kipas angin, dsb.

2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit

Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal

5000, 1000, atau 4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara

katup gas.

3. Bising terputus-putus

Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode

relatif tenang. Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas,

kebisingan di lapangan terbang, dll.

4. Bising impulsif

Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB

dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.

Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan,

meriam, dll.

5. Bising impulsif berulang-ulang

Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya

pada mesin tempa.

Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah

bising yang bersifat kontinu, terutama yang memiliki spektrum frekuensi

lebar dan intensitas yang tinggi (Roestam, 2004).

Efek fisiologis kebisingan terhadap kesehatan manusia dibedakan

(6)

2.2.1 Efek jangka pendek

Efek jangka pendek berlangsung sampai beberapa menit setelah

pajanan terjadi, berupa kontraksi otot-otot, refleks pernafasan berupa

takipneu dan respon sistem kardiovaskuler berupa takikardi,

meningkatnya tekanan darah, dan sebagainya. Namun dapat pula terjadi

respon pupil mata berupa miosis, respon gastrointestinal yang dapat

berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya keluhan dispepsia

(Arifiani, 2004; Bashiruddin, 2009).

2.2.2 Efek jangka panjang

Efek jangka panjang terjadi sampai beberapa jam, hari ataupun lebih

lama. Efek jangka panjang terjadi akibat adanya pengaruh hormonal. Efek

ini dapat berupa gangguan homeostasis tubuh karena hilangnya

keseimbangan simpatis dan parasimpatis yang secara klinis dapat berupa

keluhan psikosomatik akibat gangguan saraf otonom, serta aktivasi

hormon kelenjar adrenal seperti hipertensi, disritmia jantung, dan

sebagainya (Arifiani, 2004).

2.3 Dampak Bising

Pajanan bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga

kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan

komunikasi dan ketulian, atau ada yang menggolongkan gangguannya

berupa gangguan pendengaran, misalnya gangguan terhadap

pendengaran dan gangguan non pendengaran seperti komunikasi yang

terganggu, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya kemampuan

kerja, kelelahan dan stres (Buchari, 2007).

2.3.1 Gangguankeseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang

angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis

berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual (Roestam, 2004; Buchari,

(7)

2.3.2 Gangguan fisiologis

Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi

bila terputus-putus atau datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa

peningkatan tekanan darah (mmHg), peningkatan nadi, konstriksi

pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki serta dapat

menyebabkan pucat dan gangguan sensoris (Roestam, 2004; Buchari,

2007).

2.3.3 Gangguan psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang

konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam

waktu jangka lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa

gastritis, stres, kelelahan dan lain-lain (Roestam, 2004; Buchari, 2007;

Bashiruddin, 2009).

2.3.4 Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara.

Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak.

Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada

kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau

tanda bahaya; gangguan komunikasi ini secara tidak langsung

membahayakan keselamatan pekerja (Roestam, 2004; Buchari, 2007).

2.3.5 Gangguan pendengaran

Efek pada pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena

dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya

bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari

sumber bising, namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya

dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali

(Roestam, 2004; Buchari, 2007).

Efek bising terhadap pendengaran dapat dibagi menjadi 3 kelompok,

yaitu reaksi adaptasi, peningkatan ambang pendengaran yang

(8)

peningkatan ambang dengar yang berlangsung permanen (noise induced

permanent threshold shift) (Arifiani, 2004; Kusmindari, 2008).

A. Reaksi adaptasi

Adaptasi merupakan fenomena fisiologis, keadaan ini terjadi bila

telinga mendapat stimulasi bunyi dengan intensitas 70 dB atau lebih kecil

lagi. Pemulihan dapat terjadi dalam waktu setengah detik. Keadaan ini

disebut juga perstimulatory fatique (Bashiruddin & Soetirto, 2007; Abdi, 2008; Kusmindari, 2008).

B. Peningkatan ambang dengar sementara / tuli sementara (PADS)

Peningkatan ambang dengar sementara (PADS) adalah perubahan

pendengaran sesudah terpapar bising yang dapat sembuh dengan

sendirinya dalam 24 jam (Dobie, 2006; Buchari, 2007; Agrawal, et al,

2008; Kusmindari, 2008).

Pada keadaan PADS terjadi kenaikan nilai ambang pendengaran

secara sementara setelah adanya pajanan terhadap suara dan bersifat

reversibel. Untuk menghindari kelelahan auditorik, maka ambang

pendengaran diukur kembali 2 menit setelah pajanan suara. Faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai ambang pendengaran ini

adalah derajat suara, durasi pajanan, frekuensi yang diuji, spektrum suara

dan faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status kesehatan,

obat-obatan (beberapa obat dapat bersifat ototoksik sehingga menimbulkan

kerusakan permanen) dan keadaan pendengaran sebelum pajanan

(Arifiani, 2004).

Luasnya PADS dapat diprediksi pada penyebab intensitas bising,

frekuensi bising, dan pola temporal dari paparan bising (misal: intermiten

atau terus menerus). PADS selalu pada frekuensi antara 3000 – 6000 Hz

dan sering pada frekuensi 4000 Hz. Frekuensi bising yang tinggi lebih

merusak dibandingkan pada frekuensi bising rendah, oleh sebab itu

(9)

Ambang batas sementara sering ditandai oleh gejala umum kerusakan

pendengaran, termasuk tinitus. Peningkatan ambang dengar sementara

(PADS/tuli sementara) bergantung pada durasi paparan bising, pemulihan

PADS/tuli sementara dapat terjadi dalam beberapa periode berkisar

antara menit hingga jam dan hari (Martin & Martin, 2010).

Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB dibutuhkan waktu bebas

paparan atau istirahat 3 – 7 hari, bila waktu istirahat tidak cukup dan

tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung

terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah setiap hari

kemudian menjadi ketulian menetap (Roestam, 2004).

C. Peningkatan ambang dengar permanen ( PADP / tuli menetap)

Setelah paparan bising ulangan yang pada awalnya hanya

disebabkan oleh PADS, pekerja yang mengalami perubahan ambang

dengar tidak dapat pulih kembali. Hal ini disebut peningkatan ambang

dengar permanen (PADP) yang disebabkan oleh bising. Pada penelitian

epidemiologi, sebagai contoh peneliti menemukan bahwa PADP

disebabkan oleh paparan bising 100 dB selama 10 tahun dengan

mengukur ambang batas pendengaran pekerja dan kemudian dikurangi

dengan perkiraan kehilangan pendengaran oleh usia (Dobie, 2006).

PADP adalah gangguan pendengaran permanen yang tidak dapat

disembuhkan. Paparan bising menyebabkan hilangnya stereosilia sel

rambut secara permanen disertai adanya kerusakan pada struktur-struktur

saraf sensori. Penderita PADP harus dilakukan pemeriksaan audiometri

setelah periode pemulihan dalam 24 jam diikuti dengan menghindari

paparan bising pada tingkat bising yang berbahaya (Agrawal, et al, 2008).

2.4 Pengukuran Pajanan Bising

Pengukuran terhadap pajanan bising diperlukan bila dicurigai adanya

suatu pajanan atau sumber bising yang dapat menimbulkan pengaruh

(10)

adalah memisahkan dan mendeskripsikan secara khusus tentang sumber

bising (Abdi, 2008).

Pengukuran objektif terhadap bising dapat dilakukan dengan

menggunakan alat sound level meter (Abdi, 2008; Harrianto, 2010).

2.5 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)

GPAB adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat

terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup

lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat

gangguannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada

kedua telinga. Hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat

terpajan bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, frekuensi

tinggi, lama paparan bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun

terhadap telinga (obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin,

garamisin (golongan aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain

(Bashiruddin & Soetirto, 2007; Nandi & Dhatrak, 2008).

GPAB biasanya terjadi pada frekuensi tinggi (3 kHz, 4 kHz atau 6 kHz)

(gambar 2.3) (Nandi & Dhatrak, 2008; Mostaghaci, et al, 2013). Kerusakan

pendengaran pada frekuensi tinggi pada mulanya disebabkan

ketidakjelasan suara yang dirasakan dan didengar dan kemudian

mengganggu aktifitas sehari-hari yang berkembang menjadi kehilangan

pendengaran (Nandi & Dhatrak, 2008).

Suara frekuensi antara 3000 dan 5000 Hz (terutama 4000 Hz)

biasanya menyebabkan kerusakan pada sel rambut dan secara bertahap

kerusakan meluas ke frekuensi lainnya, misalnya frekuensi 6000 dan 8000

Hz (Mohammadi, et al, 2010). GPAB hampir tidak pernah menghasilkan

profound hearing loss. Sebagai lanjutan dari GPAB, frekuensi rendah menjadi terlibat, tetapi GPAB pada frekuensi 3 – 6 Khz adalah selalu lebih

(11)

Gambar 2.3 Audiogram standar dengan “speech banana” yang menggambarkan pola ciri khas GPAB pada pekerja di frekuensi 4000 Hz

(Kurmis & Apps, 2007).

2.5.1 Patofisiologi GPAB

Suara yang berasal dari telinga luar akan diteruskan ke membran

timpani, yang kemudian menyebabkan getaran dan getaran ini diteruskan

ke telinga tengah dimana sel-sel rambut didalam koklea bertanggung

jawab untuk memulai impuls saraf yang akan diteruskan ke otak. Koklea

pada manusia merupakan susunan sel rambut telinga dalam dan

sel-sel rambut telinga luar. Susunan sel-sel-sel-sel rambut telinga luar merupakan

rangkaian di sepanjang koklea. Sel-sel rambut telinga luar bertanggung

jawab pada suara dengan frekuensi tinggi yang berdekatan dengan ujung

basal koklea, dan sel-sel rambut telinga dalam lebih sensitif terhadap

suara pada frekuensi rendah yang dapat dijumpai mendekati bagian ujung

apikal dari koklea (Nandi & Dhatrak, 2008).

Kerusakan sel rambut luar bergantung pada intensitas kebisingan.

Paparan terhadap bising pada derajat subtraumatik memperlihatkan

(12)

berjalannya waktu yang dimulai dari paparan bising. Bagaimanapun,

derajat kebisingan pada frekuensi tinggi membuat kerusakan pada sel-sel

rambut telinga luar, stereosilia dan membutuhkan penyembuhan yang

cukup lama (Nandi & Dhatrak, 2008).

Kebisingan pada frekuensi tinggi juga menyebabkan rusaknya

stereosilia dan sel-sel rambut telinga dan pada akhirnya menyebabkan

kerusakan yang permanen. Jika sel-sel rambut telinga luar tidak berfungsi

normal, membutuhkan stimulasi yang lebih besar untuk memulai impuls

saraf, dengan demikian sensitifitas ambang dengar dari sel-sel rambut

telinga dalam meningkat, yang diartikan sebagai gangguan pendengaran.

Sekali rusak, sel-sel sensori pendengaran tidak dapat diperbaiki kembali,

juga tidak dapat diobati dengan pengobatan medis untuk mengembalikan

pada keadaan normal (Nandi & Dhatrak, 2008).

Paparan bising menyebabkan peningkatan aliran darah didalam

koklea. Dalam waktu singkat terjadi penurunan sirkulasi darah didalam

koklea yang disebabkan oleh agregasi sel darah merah, vasokonstriksi

kapiler dan stasis. Aktivitas metabolik dan aliran darah koklea yang

menurun dimulai dari paparan bising, mendorong pembentukan radikal

bebas. Radikal bebas juga dapat dihasilkan oleh berbagai mekanisme.

Radikal bebas dalam bentuk invivo sebagai produk dari respirasi

mitokondria yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS), timbul dari ion dan radiasi ultraviolet. ROS termasuk ion superoksida (O2), hidrogen

peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH), hipoklorit (OCl) dan oksida

nitrat (NO). Sebagai tambahan, ROS dapat merusak DNA sel, protein dan

lipid serta mempercepat proses apoptosis yang menyebabkan kematian

sel dan kerusakan struktur pendengaran tidak dapat diperbaiki (Seidman

(13)

2.6Kebisingan dan Lipid Profile

Patogenesa GPAB masih belum jelas. Beberapa penelitian

histopatologi menemukan bahwa lamina retikular terlepas dari sel Hensen, kerusakan dari sel rambut dan sel-sel pendukung akan mengalami

perubahan pada organ Corti. Pada beberapa penelitian eksperimen telah

menemukan peningkatan ROS pada telinga dalam setelah terpapar

bising, dimana menyebabkan kerusakan sel rambut dan akan berlanjut

menjadi GPAB. ROS merupakan bahan yang tidak diperlukan di telinga

dalam dari proses metabolisme oksigen di mitokondria (Chang, et al,

2007).

Paparan bising menyebabkan perubahan sel rambut luar stereosilia,

yang merupakan suatu proses yang memerlukan energi yang banyak.

Untuk menghasilkan energi yang lebih, mitokondria memerlukan oksigen

yang banyak dan akan mengeluarkan produk-produk, termasuk ROS dan

radikal bebas. Penyebab lain dari GPAB kemungkinan disebabkan oleh

suara bising yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke koklea

(iskemik), yang pada akhirnya menyebabkan berkurangnya suplai oksigen

ke koklea (Chang, et al, 2007).

Berkurangnya oksigen ini akan menyebabkan terganggunya proses

fosforilasi di mitokondria dan akan menyebabkan meningkatnya produksi

ROS. Apabila ROS dan radikal bebas telah terbentuk akan menyebabkan

kematian sel diakibatkan nekrosis dan apoptosis. Usia berhubungan

dengan perubahan pada telinga dalam yang juga akan mempengaruhi

metabolisme dan produksi ROS. Singkatnya, berkurangnya aliran darah

ke koklea menyebabkan berkurangnya suplai oksigen, asupan nutrisi dan

pembuangan dari sisa-sisa materi, penurunan ini berkontribusi terhadap

semakin sensitifnya suara bising bagi orang tua (Chang, et al, 2007).

Regimen diet dapat membantu mencegah GPAB dengan cara

menghancurkan ROS dan menstabilkan sel membran. Dari satu penelitian

telah dilaporkan bahwa pengurangan kalori sebanyak 30%, suplemen anti

(14)

terjadinya presbiakusis. Regimen ini sama dengan regimen yang

dianjurkan dalam mengontrol hiperlipidemia (Chang, et al, 2007).

Kolesterol adalah komponen vital dari membran seluler eukariotik

karena menstabilisasi membran dan memodulasi lipid dan translokasi

protein menyebrangi membran tersebut. Secara spesifik berhubungan

dengan koklea, komposisi lipid, ketidakstabilan dan kekakuan dari

membran dinding lateral sel rambut telinga luar. Hiperkolesterolemia juga

dapat menyebabkan penurunan vaskularitas koklear dan gangguan

pendengaran (Evans, et al, 2006).

Terdapat dua fraksi lipoprotein primer yang merupakan total serum

kolesterol: low-density lipoprotein (LDL) dan high-density lipoprotein (HDL). Serum LDL mentranspor kolesterol dari hati melalui sistem sirkulasi

yang akan disimpan di dalam organ-organ, secara spesifik di arteri dan

jantung. Sebaliknya, transpor HDL kolesterol dari organ-organ dan

jaringan lunak kembali ke hati melalui sistem sirkulasi. Sistem transpor

HDL bermanfaat untuk sistem kardiovaskular karena mengurangi

pembentukan plak-plak kolesterol di dalam arteri mayor. Peningkatan LDL

dan penurunan HDL menandakan penyakit jantung koroner. Peningkatan

kadar serum trigliserida mengindikasikan kadar lemak yang tinggi di

pembuluh darah (Evans, et al, 2006).

Hiperlipidemia merupakan kondisi klinis dan biokimia dimana dijumpai

kadar lipid darah abnormal. Peran hiperlipidemia pada aterosklerosis dan

penyakit jantung koroner telah lama diketahui. Aterosklerosis

bermanifestasi sebagai lesi lipid pada pembuluh darah kecil dan besar,

dan memiliki efek yang sangat merugikan pada darah dan suplai oksigen

ke berbagai organ. Terdapat hubungan penting antara penyakit vaskuler

dengan disfungsi auditori (Thakur, et al, 2011).

Hiperlipoproteinemia adalah faktor etiologi penting pada presbiakusis

dan tuli sensorineural progresif. Di dalam tubuh, aterosklerosis

menyebabkan kerusakan pada organ-organ yang diperdarahi terutama

(15)

sehingga disfungsi labirin diakibatkan oleh aterosklerosis (Gok, et al,

2005).

Oksidatif low density lipoprotein-cholesterol (LDL-C) berperan penting dalam terbentuknya aterosklerosis. Suatu hipotesis menjelaskan bahwa

pembentukan dari sel lemak yang menjadi tumpukan lemak pada dinding

arteri, yang dipercaya dapat menyebabkan terbentuknya aterosklerosis,

selain itu modifikasi oksidatif dari LDL-C pada dinding arteri sangat

penting untuk proses ini. Pengambilan LDL-C yang teroksidasi melalui

pengenalan apolipoprotein B yang dimodifikasi di reseptor makrofag

menyebabkan pembentukan sel-sel lemak secara invitro, sama seperti

yang ada dilapisan lemak, pemicu terjadinya ateroma. Sekresi dari protein

monosit kemotaktik 1 dan faktor stimulasi koloni makrofag dari sel lemak

menyebabkan retensi pada makrofag lipid laden dimana selanjutnya terjadi agregasi untuk membentuk lapisan lemak (Gok, et al, 2005).

Kebisingan dapat menyebabkan stresor yang merangsang reaksi

stres, ansietas, insomnia dan auditory fatique. Beberapa stresor menyebabkan ketidakseimbangan sistem autonomik dan pengaktifan

kelenjar hypothalamo-pituitary-adrenal yang menyebabkan perubahan fungsi fisiologis pada organ, termasuk resistensi total perifer, cardiac output dan metabolisme lipid darah. Paparan bising diatas 90 dB akan menstimulasi sistem saraf simpatis dan peningkatan sekresi katekolamin

dan kortisol (Mahmoud, Ahmed & Ahmed, 2008; Sanad, et al, 2011).

Stimulasi hypothalamo-pituitary adrenal dan sistem simpatis menyebabkan peningkatan sekresi hormon-hormon (glukokortikoid dan

katekolamin). Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan lipolisis,

glukoneogenesis pada hati dan menginhibisi sekresi insulin.

Glukokortikoid dan katekolamin yang berlebihan menyebabkan mobilisasi

penyimpanan lipid meningkat yang akan menyebabkan enzim lipase

didalam sel lipid teraktivasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan pelepasan

(16)

Marth et al (1988) menemukan pengaruh stres pada kebisingan

pesawat terbang. Penelitian dilakukan terhadap 14 wanita dan 11 pria,

dimana mereka terpapar bising antara 105 dB selama 3 detik, dijumpai

peningkatan kadar total kolesterol dan kadar trigliserida yang menurun.

Melamed et al (1993) dan Sroczynski et al (1979) mendapati peningkatan

kadar trigliserida pada yang terpapar bising kronis (Mehrdad, Bahabad &

Moghaddam, 2011).

Penelitian Jovanovic dan Jovanovic (2004) pada 150 pekerja yang

terpapar bising dengan intensitas 70-110 dB dan 150 pekerja pada

lingkungan tidak bising menemukan bahwa kebisingan pada industri

menyebabkan peningkatan kadar serum total kolesterol, trigliserida dan

LDL dan penurunan kadar HDL. Pada penelitian lainnya oleh Melamed,

Bruhis dan Shelly (1996) dalam penelitian eksperimental meneliti tentang

efek bising terhadap ekskresi kortisol pada urin, kelelahan dan sifat

mudah marah pada 35 orang pekerja industri yang terpapar bising >85 dB

tanpa pelindung telinga, ditemukan peningkatan ekskresi kortisol pada

urin pada saat jam pulang kerja (Mahmoud, Ahmed & Ahmed, 2008)

2.7 Diagnosis dan Prognosis GPAB 2.7.1 Diagnosis GPAB

Untuk menegakkan diagnosis GPAB, dapat ditegakkan berdasarkan

anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta

pemeriksaan penunjang untuk pendengaran dengan audiometri (Dobie;

2006; Bashiruddin & Soetirto, 2007; Azizi, 2010).

Diagnosis GPAB pada pekerja adalah sederhana dengan melihat

riwayat lama paparan bising pada telinga yang tidak memakai alat

pelindung telinga terhadap paparan bising yang berlebihan, serta tidak

dijumpai adanya kelainan pada telinga dalam dan gambaran audiogram

memperlihatkan frekuensi bising yang signifikan pada frekuensi tinggi

(17)

Anamnesis riwayat paparan bising pada pekerja dengan intensitas

kebisingan yang berbahaya serta durasi paparan bising harus dapat

diperoleh. Pengukuran paparan bising dimulai dari tempat kerja sangat

membantu. Riwayat pekerjaan semua pekerja harus diperiksa dengan

seksama, termasuk militer, dimana militer sering terpapar bising. Faktor

etiologi lainnya dari gangguan pendengaran sensorineural, misal:

herediter, riwayat pemakaian obat-obatan ototoksik, trauma pada kepala,

dan lain-lain harus di ekslusi dari riwayat paparan bising pada pekerja.

Pemeriksaan fisik pada telinga termasuk pekerja yang menderita penyakit

pada telinga luar dan tengah harus diekslusi (Dobie, 2006).

Cornerstone (2000) mengidentifikasi GPAB dengan memakai

audiometri nada murni untuk melihat hantaran udara dan tulang pada

telinga. Frekuensi audiometri secara klinis biasanya pada frekuensi 3 dan

6 kHz. Gambaran audiometri dari GPAB adalah pada nada tinggi dengan

derajat bising pada frekuensi 4 atau 6 kHz, terkadang terdapat pada

frekuensi 8 kHz (gambar 2.4) (Baguley & McCombe, 2008).

Gambar 2.4 Gambaran audiogram menunjukkan takik (notch) di frekuensi

4000 Hz (Vinodh & Veeranna, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Turkkahraman et al (2003) di Turkey

memperlihatkan gambaran audiometri pada frekuensi 4000, 6000, 14000

(18)

dipakai untuk mendeteksi dan tindak lanjut terhadap individu yang

berpotensi menimbulkan risiko terjadinya gangguan pendengaran.

Kuronen (2003) pada penelitiannya menemukan peningkatan ambang

dengar sementara yang berarti dan nilai audiometri pada frekuensi tinggi

setelah paparan bising (Mehrparvar, et al, 2011).

2.7.2 Prognosis GPAB

Setelah penghentian aktifitas dari lingkungan yang bising, GPAB tidak

akan berlanjut lagi. Alasan inilah yang dipakai mengapa pemakaian alat

pelindung telinga digunakan secara rutin untuk mengurangi dampak buruk

dari lingkungan kerja yang bising yang dapat menghentikan berlanjutnya

gangguan pendengaran (Agrawal, et al, 2008; Ganzer & Arnold, 2010).

Pekerja dengan GPAB, secara umum pendengaran akan kembali baik

jika pekerja dipindahkan dari sumber bising. GPAB tidak akan berlanjut

setelah pekerja dipindahkan dari sumber bising. Jika GPAB berlanjut

secara progresif setelah pekerja dipindahkan dari sumber bising,

progresifitas dari gangguan pendengaran lebih lanjut diakibatkan dari

beberapa penyebab yaitu penyakit degeneratif, kongenital atau kelainan

metabolik (misal: presbiakusis). Meskipun perlindungan terhadap bising

adalah hal yang penting dan harus selalu dianjurkan, bahkan dengan

memakai alat pelindung telinga yang adekuat, faktor-faktor penyebab

lainnya berperan terhadap prognosis penderita. Presbiakusis dapat

ditambahkan menjadi penyebab GPAB pada penderita yang berusia tua,

dan GPAB pada penderita dapat juga disebabkan oleh dampak buruk dari

obat-obatan yang bersifat ototoksik seperti antibiotik aminoglikosida, loop

diuretics dan obat-obatan antineoplastik yang digunakan dalam

pengobatan antikanker (Agrawal, et al, 2008).

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli

sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati

(19)

karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian

(Bashiruddin & Soetirto, 2007).

2.8 Pemeriksaan Pendengaran 2.8.1 Pemeriksaan audiometri

Audiometri nada murni adalah tes yang paling sering digunakan untuk

mengevaluasi sensitivitas auditori. Sinyal audiometri nada murni

menghubungkan hantaran udara dan tulang. Lembaga standarisasi

Amerika (The American National Standards Institute / ANSI)

mendefinisikan ambang batas kemampuan mendengar sebagai derajat

tekanan suara minimum yang efektif menghasilkan sinyal akustik sebagai

sensasi pendengaran (Kileny & Zwolan, 2010).

Pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal seperti

nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (wide noise), frekuensi,

intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, International

Standard Organization (ISO) dan American Standard Organization (ASA),

jenis dan derajat ketulian serta gap dan masking. Bagian dari audiometri: tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC (hantaran tulang) (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).

 Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

 Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari spektrum terbatas (narrow band) dan spektrum luas (wide

noise).

 Intensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibell). Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang

masih dapat didengar oleh telinga seseorang.

 Nilai nol audiometrik dalam dB HL (hearing level) dan dB SL (sensation level) yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada

(20)

rata-rata orang dewasa muda yang normal (18 – 30 tahun). Pada

tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama.

 Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat di dengar oleh telinga

seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC)

dan konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini

dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan

didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan

derajat ketulian.

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang

dengar hantaran udaranya (AC) saja. Derajat ketulian ISO : normal (0 – 25

dB), tuli ringan (> 25 – 40 dB), tuli sedang (> 40 – 55 dB), tuli sedang

berat ( > 55 – 70 dB), tuli berat (> 70 – 90 dB), tuli sangat berat (> 90 dB)

(Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2007).

Gambaran audiogram pada jenis ketulian : (Soetirto, Hendarmin &

Bashiruddin, 2007).

 Pendengaran normal : - AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB. - AC dan BC berhimpit, tidak ada gap.

 Tuli sensorineural : - AC dan BC lebih dari 25 dB.

- AC dan BC berhimpit (tidak ada gap).  Tuli konduktif : - BC normal atau kurang dari 25 dB.

- AC lebih dari 25 dB.

- Antara AC dan BC terdapat gap.  Tuli campur : - BC lebih besar dai 25 dB.

- AC lebih besar dari BC, terdapat gap.

2.9 Penatalaksanaan dan Pencegahan 2.9.1 Penatalaksanaan

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan

kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat

(21)

telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helm)

(Bashiruddin, 2007).

Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang

bersifat menetap (irreversible), bila gangguan sudah mengakibatkan

kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba

pemasangan alat bantu pendengaran/ABD (hearing aid). Apabila

pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD

pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan

psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran

(auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan

ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading),

mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat

berkomunikasi (Bashiruddin, 2007).

Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat

dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant)

(Bashiruddin, 2007).

2.9.2 Pencegahan

Tempat kerja yang memiliki pajanan bising >85 dB selama 8 jam kerja

sehari, diwajibkan melaksanakan program perlindungan terhadap bahaya

tuli akibat kerja bagi para pekerjanya. Terdapat 4 langkah program

perlindungan terhadap bahaya tuli akibat kerja (occupational hearing

conservation), yaitu : (Baguley & McCombe, 2008; Harrianto, 2010)

1. Identifikasi sumber bising di tempat kerja.

2. Upaya mengurangi intensitas bising.

3. Melindungi penerima bising dengan alat pelindung diri, bila pajanan

bising tidak dapat dihindarkan.

4. Melaksanakan tes pendengaran awal kerja (baseline hearing test)

dan dilanjutkan tes pendengaran periodik, untuk mengevaluasi

(22)

Alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup telinga dan

pelindung telinga melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi

tinggi dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup

telinga memberikan proteksi lebih baik dari pada sumbat telinga,

sedangkan helm selain pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus

sebagai pelindung kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup

telinga memberikan proteksi yang terbaik (Bashiruddin & Soetirto, 2007;

Baguley & McCombe, 2008).

Semua usaha pencegahan akan lebih berhasil bila diterapkan

Program Konservasi Pendengaran (PKP) yang bertujuan untuk mencegah

atau mengurangi tenaga kerja dari kerusakan atau kehilangan

pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja yang terpajan bising

berdasarkan data-data. Untuk mencapai keberhasilan PKP, diperlukan

pengetahuan tentang seluk beluk pemeriksaan audiometri, kemampuan

dan keterampilan pelaksana pemeriksaan audiometri, kondisi audiometer

(23)

2.10 Kerangka Teori

Diatas NAB>85 dB Dibawah ≤85 dB

(24)

2.11 Kerangka Konsep

Paparan bising

: Variabel tergantung

: Variabel bebas

Gambar

Gambar 2.1 A. Anatomi telinga; B. Daerah koklea yang paling sering mengalami kerusakan akibat paparan bising yang lama dan berhubungan dengan ONIHL (occupational noise induced hearing loss) (Kurmis & Apps, 2007)
Gambar 2.2 Gambaran koklea bagian tengah (Mills, Khariwala & Weber,
Tabel 2.1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51/MEN/1999.
Gambar 2.3 Audiogram standar dengan “menggambarkan pola ciri khas GPAB pada pekerja di frekuensi 4000 Hz speech banana” yang (Kurmis & Apps, 2007)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran ATI terhadap peningkatan literasi sains pada peserta didik kelas VII SMP Al-Azhar 1 Bandar

Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2012, dengan kami ini minta kepada Saudara Direktur untuk hadir dalam melakukan Pembuktian Kualifikasi dengan membawa berkas asli data perusahaan pada

Penulisan Ilmiah ini adalah tentang Aplikasi Pencatatan Data Surat Pada Suku Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Kotamadya Jakarta Timur yang dibatasi pada masalah penyimpanan

- Menceritakan nilai kebersamaan dalam proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara - Menyebutkan tokoh-tokoh penting yang berperan dalam perubahan Piagam Jakarta

Dari tabel ini, yang NN-MAR model yang cocok untuk data di bandara Ngurah Rai memiliki satu neuron dalam lapisan tersembunyi untuk kedua keluarga wavelet Haar D (4) dan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kinerja pengering putar tipe silinder horisontal dengan sumber panas burner minyak tanah untuk proses pengeringan kompos

Banyak faktor penyebab stres kerja PNS yang tak terkendali atau stres merusak antara lain: perlakuan tidak adil dalam promosi jabatan, kompensasi/perlakuan yang tidak adil,

Pengertian kebudayaan meliputi tiga bidang yaitu, filsafat, ilmu pengetahuan dan kesenian. Ketiganya Budaya merupakan suatu kebiasaan yang di lakukan secara terus