5 ABSTRAK
Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit yang mendapat perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO) 2013, Indonesia adalah penyumbang TB terbesar ke-4 di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Keterlambatan penegakan diagnosis TB paru akan berisiko meningkatkan transmisi penularan infeksi yang luas dan berkepanjangan, meningkatkan risiko kematian serta berpotensi memperburuk keadaan ekonomi pasien maupun keluarga.
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis TB paru di Medan, Indonesia.
Metode: Dalam penelitian ini berupa penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional pada pasien TB paru kasus baru di Medan. Diambil sampel
sebanyak 70 pasien rawat jalan yang berobat ke poli infeksi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, dan Praktik dokter spesialis paru di Medan. Seluruh sampel merupakan pasien kasus baru dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif. Kemudian kepada pasien di minta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner yang diberikan peneliti.
Hasil: Karakteristik pasien sebagai berikut: jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (70%), usia paling banyak adalah 46-55 tahun (23.3%). Frekuensi pasien yang mengalami keterlambatan diagnosis sebanyak 60 orang. Pasien yang mengalami keterlambatan diagnosis paling banyak dengan tingkat pendidikan menengah sebanyak 45 orang (75.0%). Sebanyak 17 orang (28.3%) pasien yang terlambat tidak memiliki pekerjaan. Status ekonomi pasien yang terlambat
6 didiagnosis paling banyak adalah tidak miskin yaitu 45 orang (75.0%). Jarak rumah pasien ke tempat pelayanan kesehatan tidak berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis pasien, dengan jarak paling banyak yaitu < 1 Km sebanyak 52 orang (86.7%). Daerah tempat tinggal pasien yang mengalami keterlambatan diagnosis paling banyak adalah daerah tengah kota yaitu sebanyak 25 orang (41.7%). Gejala awal yang paling banyak membuat pasien berobat adalah batuk yaitu sebanyak 57 orang (95.0%). Keterlambatan paling banyak disebabkan oleh pasien sendiri yaitu sebanyak 53 orang (88.3%). Alasan yang paling banyak menyebabkan pasien terlambat mencari pelayanan kesehatan adalah pasien berharap gejala hilang dengan sendirinya yaitu sebanyak 51 orang (89.30%) dengan nilai P 0.000. Tingkat pengetahuan pasien yang mengalami keterlambatan diagnosis tentang penyakit TBC adalah pengetahun sedang sebanyak 29 orang (48.3%) nilai P 0.247. Stigma pasien yang paling banyak mengalami keterlambatan diagnosis adalah stigma tinggi yaitu sebanyak 45 orang (75.0%) dengan nilai P 0.025.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara keterlambatan diagnosis dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, jarak rumah ke yankes, daerah tempat tinggal, tindakan pertama pelayanan kesehatan, dan pengetahuan pasien tentang penyakit TB (p> 0,05). Variabel yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian keterlambatan diagnosis TB paru adalah jenis pekerjaan, gejala awal yang muncul, pelayanan kesehatan yang pertama kali pasien kunjungi, jarak waktu antara gejala awal sampai pasien mencari pengobatan dan juga stigma pasien terhadap penyakit TB.
Kata Kunci:keterlambatan diagnosis TB paru, TB paru.