BAB II
TUJUAN PUSTAKA
A. INTENSI
1. Definisi Intensi
Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan bahwa intensi adalah hal yang
berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau
berperilaku tertentu. Chaplin (1999) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu
usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Intensi menurut Corsini (2002) adalah
keputusan bertindak dengan cara tertentu, atau dorongan untuk melakukan suatu
tindakan, baik itu secara sadar atau tidak sadar. Menurut Sudarsono (1993)
menyatakan intensi adalah niat, tujuan, keinginan untuk melakukan sesuatu,
mempunyai tujuan.
Horton (1984) mengatakan bahwa intensi terkait dalam 2 hal yang saling
berhubungan yaitu, kecenderungan untuk membeli dan rencana dari keputusan
membeli. Jadi intensi berhubungan dengan perilaku. Individu melakukan perilaku
tersebut, apabila ia benar-benar ingin melakukannya untuk membentuk intensi.
Ajzen (2005), menyatakan bahwa intensi adalah indikasi seberapa kuat
keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang
akan digunakan untuk melakukan perilaku. Menurut Theory of Planned
Behavioral, intensi untuk melakukan suatu perilaku merupakan prediktor paling
faktor utama dalam theory of planned behavior ini adalah intensi seseorang untuk
memunculkan suatu perilaku. Berdasarkan theory of planned behavior, intensi
adalah fungsi dari tiga penentu utama, pertama adalah faktor personal dari
individu tersebut, kedua bagaimana pengaruh sosial, dan ketiga berkaitan dengan
kontrol yang dimiliki individu (Ajzen, 2005).
Berdasarkan uraian diatas, maka intensi adalah suatu keputusan atau
keinginan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu baik secara sadar
atau tidak.
2. Aspek-aspek Intensi
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) intensi memiliki empat aspek, yaitu:
1. Sasaran (Target): yaitu sasaran yang ingin dicapai jika
menampilkan suatu perilaku.
2. Action: merupakan suatu tindakan yang mengiringi munculnya
perilaku.
3. Context:mengacu pada situasi yang akan memunculkan perilaku.
4. Time (waktu): yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu
3. Faktor- faktor Intensi
Ajzen (2005) mengemukakan intensi merupakan fungsi dari tiga faktor,
yaitu:
1. Faktor Personal merupakan sikap individu terhadap perilaku berupa
evaluasi positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan.
2. Faktor sosial diistilahkan dengan kata norma subjektif yang meliputi
persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku.
3. Faktor kendali yang disebut perceived behavioral control yang
merupakan perasaan individu akan mudah atau sulitnya menampilkan
perilaku tertentu.
Menurut Ajzen (2005) ketiga faktor yaitu sikap, norma subjektif, dan
perceived behavioral control dapat memprediksi intensi individu dalam
melakukan perilaku tertentu. Hubungan antara intensi dan ketiga faktor yang
mempengaruhinya dapat dilihat dalam gambar 1.
Umumnya seseorang menunjukkan intensi terhadap suatu perilaku jika
mereka telah mengevaluasinya secara positif, mengalami tekanan sosial untuk
melakukannya, dan ketika mereka percaya bahwa mereka memiliki kesempatan
dan mampu untuk melakukannya. Sehingga dengan menguatnya intensi seseorang
terhadap perilaku tersebut, maka kemungkinan individu untuk menampilkan
perilaku juga semakin besar (Ajzen, 2005). Apabila ketika control diri mereka
lebih besar dalam memiliki kesempatan dan mampu untuk melakukannya akan
langsung mempengaruhi ke perilaku mereka.
B. Sikap
1. Definisi Sikap
Menurut Allport sikap merupakan suatu proses yang berlangsung dalam diri
seseorang yang didalamnya terdapat pengalaman individu yang akan
mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi (
Sarwono, 2009). Sikap merupakan penyataan atau pertimbangan evaluatif
mengenai objek, orang, atau peristiwa (Robin, Amaliah 2008). Del & David
(2007) sikap merupakan cara seseorang unuk berfikir, merasakan, dan tindakan
untuk berperilaku dengan cara yang tetap menyenangkan atau tidak
menyenangkan terhadap suatu objek tertentu. Petty & Cacippo mengatakan sikap
adalah evaluasi umum yang dibuat oleh manusia terhadap dirinya sendiri, orang
lain, objek atau isu-isu tersebut (Azwar, 2007).
Menurut Ajzen (2005) sikap merupakan suatu evaluasi untuk merespon
evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka
seseorang akan cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut,
sebaliknya semakin seseorang yang memiliki evaluasi negatif maka seseorang
akan cenderung bersikap unfavorble terhadap perilaku tertentu (Ajzen, 2005).
Ajzen (2005) sikap merupakan evaluasi individu baik positif maupun
negatif terhadap objek sikap berupa benda institusi, orang, kejadian, perilaku,
maupun minat tertentu. Sikap ditentukan dari evaluasi seseorang mengenai
konsekuensi suatu perilaku yang diasosiasikan dengan suatu perilaku, dengan
melihat kuatnya hubungan antara konsekuensi tersebut dengan suatu perilaku.
Maka dapat disimpulkan bahwa jika seseorang memiliki belief yang kuat bahwa
suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi yang positif, maka sikap terhadap
perilaku tersebut akan positif. Akan tetapi jika belief terhadap perilaku tersebut
negatif, maka sikap yang terbentuk terhadap suatu perilaku tersebut akan negatif.
Berdasarkan uraian diatas, maka sikap adalah evaluasi konsumen terhadap
suatu keyakinan yang secara positif atau negatif terhadap suatu objek.
2. Aspek Sikap
Ajzen (2005) sikap terhadap perilaku diartikan sebagai derajat penilaian
positif atau negatif individu terhadap perilaku. Berdasarkan theory of planned
behavior, sikap seseorang terhadap perilaku diperoleh dari beberapa aspek, yaitu:
1. Behavioralbelief
Behavioral belief merupakan belief individu akan konsekuensi yang
2. Outcomeevaluation
Outcome evaluation merupakan evaluasi individu terhadap
konsekuensi atau hasil dari perilaku yang ditampilkan. Individu yang
yakin bahwa dengan menampilkan suatu perilaku akan menghasilkan
konsekuensi yang positif, akan memiliki kecenderungan yang besar
untuk melakukan perilaku tersebut.
Hubungan kedua aspek diatas dapat digambarkan dalam persamaan
berikut ini :
Persamaan diatas menjelaskan bahwa merupakan sikap terhadap suatu
perilaku yang merupakan hasil kali dari sebagai behavioral belief dan
sebagai evaluation of outcome. Jadi, individu yang percaya bahwa sebuah perilaku
dapat menghasilkan outcome yang positif maka individu tersebut akan memiliki
sikap yang positif terhadap sebuah perilaku, begitu juga sebaliknya.
C. Norma Subjektif
1. Definisi Norma Subjektif
Norma merupakan harapan bersama tentang bagaimana seseorang harus
berperilaku dalam kelompok (Burn, 2004). Baron & Byrne (2002) menyatakan
bahwa norma subjektif adalah persepsi individu tentang apakah orang lain akan
didefinisikan merupakan pengaruh orang lain yang penting. Hal ini dipersepsikan
sebagai sesuatu yang dipikirkan orang lain yang penting (important person) yang
harus dilakukan orang tersebut dengan perilaku tertentu (Engel, Blackwell, dan
Miniard, 1995).
Ajzen (2005) mengatakan norma subjektif sebagai persepsi individu
terhadap tekanan sosial untuk menampilakan atau tidak menampilkan suatu
perilaku. Norma subjektif diartikan sebagai persepsi individu tentang tekanan
sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005).
Norma subjektif merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut
normative belief, yaitu belief mengenai setuju dan tidak setuju yang berasal dari
referent atau orang dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant
others) seperti orang tua, pasang, teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap
suatu perilaku (Ajzen, 2005). Ketika seseorang ingin menampilkan perilaku, maka
ia akan menyesuaikan perilaku tersebut dengan norma kelompoknya sehingga
kecenderungan untuk menampilkan perilaku akan semakin besar jika kelompok
bisa menerima perilaku tersebut. Kelompok ini bisa saja berupa orangtua, saudara,
teman dekat, dan orang yang berkaitan dengan perilaku tersebut.
2. Aspek Norma Subjektif
Norma Subjektif diartikan sebagai dukungan orang-orang terdekat untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Norma subjektif
1. Normative belief (keyakinan normatif)
Normative belief adalah keyakinan seseorang mengenai setuju atau
tidak setuju yang berasal dari referent. Referent merupakan orang
atau kelompok sosial yang sangat berpengaruh bagi seseorang baik
itu orang tua, pasangan (istrri atau suami), teman dekat, rekan kerja
dan lain-lain tergantung pada tingkah laku yang dimaksud.
Keyakinan normatif (normative belief) berasal dari keyakinan
seseorang mengenai orang-orang terdekatnya (significant others)
yang mendukung atau menolak pada tampilan perilaku tersebut.
Keyakinan normatif didapat dari significant others tentang apakah
individu perlu, harus, atau dilarang melakukan perilaku tertentu dan
dari seseorang yang berhubungan langsung dengan perilaku
tersebut.
2. Motivation to comply (keinginan untuk mengikuti)
Motivation to comply adalah motivasi individu untuk menampilkan
atau mematuhi perilaku yang diharapkan significant others.
Individu yang percaya bahwa significant others menyetujui suatu
perilaku, maka ini akan menjadi tekanan sosial bagi individu untuk
melakukan perilaku tersebut dan begitu sebaliknya.
Hubungan antara dua aspek norma subjektif diatas dapat digambarkan
Berdasarkan rumus di atas norma subjektif (SN) didapat dari penjumlahan
hasil kali dari normative belief dengan motivation to comply.
D. PerceivedBehavioralControl
1. Definisi PerceivedBehavioralcontrol
Ajzen (2005) mengatakan perceived behavioral control atau kontrol
perilaku sebagai keyakinan atau fungsi mengenai ada atau tidaknya faktor yang
mendukung atau tidak mendukung untuk menampilkan perilaku tersebut.
Keyakinan ini diperoleh dari pengalaman masa lalu akan tetapi biasanya
dipengaruhi oleh informasi sekunder, seperti informasi yang diperoleh dari
observasi seseorang dari pengalaman, teman, dan faktor lain yang dapat
meningkatkan atau mengurangi intensitas berperilaku. Maka semakin banyak
informasi dan kesempatan seseorang maka semakin kuat kontrol perilaku yang
dimiliki. Jadi, kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai mampu atau tidak
mampu atau bisa atau tidak bisanya seseorang menampilkan perilaku tersebut.
Apabila individu merasa banyak faktor yang mendukung dan sedikit faktor
yang menghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar
kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut, dan begitu juga sebaliknya
(Ajzen, 2005). Theory of planned behavior, perceived behavior al control (Ajzen,
2005) akan bersama-sama dengan intensi dapat digunakan secara langsung untuk
memunculkan perilaku. Terdapat dua alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Yang pertama, intensi untuk memunculkan perilaku akan lebih berhasil jika
hubungan langsung antara perceived behavioral control dengan munculnya
perilaku, dimana perceived behavioral control dapat digunakan untuk mengukur
kontrol aktual.
2. Aspek Perceived Behavioral Control
Perceived behavioral control merupakan persepsi individu mengenai
mudah atau sulitnya perilaku tersebut dilakukan (Ajzen, 2005). Perceived
behavioral control ditentukan oleh dua kombinasi, yaitu (Ajzen, 2005):
1. Control Belief
Control belief merupakan keyakinan individu mengenai apakah ia
mampu atau tidak mampu untuk memunculkan suatu perilaku.
2. Power of Control belief
Power of control belief adalah kekuatan atau keyakinan individu
untuk seberapa besar perasaan tersebut mempengaruhi keputusan
seseorang untuk memunculkan perilaku tersebut.
Hubungan antara dua aspek perceived behavioral control di atas dapat
digambarkan dalam persamaan berikut :
Persamaan diatas menunjukkan bahwa PBC dipengaruhi oleh gabungan
dari yang merupakan control belief dan yang merupakan power of control
E. Pakaian Bekas
Pakaian merupakan barang yang dipakai oleh seseorang seperti baju,
celana, dan sebagainya (Uswatun, 2014). Pakaian berfungsi untuk menjaga
pemakainya merasa nyaman dari cuaca atau iklim yang panas dan dingin sebagai
suatu pelindung tubuh. Pakaian juga sebagai salah satu alat komunikasi kepada
masyarakat sebagai status sosial dan gaya hidup. Bekas merupakan benda atau
barang yang sudah dipakai oleh orang lain. Menurut kamus Bahasa Indonesia
pakaian bekas merupakan pakaian yang sudah pernah dipakai, dan tidak baru lagi
(Uswatun, 2014).
Karimah (2014) menyatakan bahwa pakaian bekas adalah pakaian yang
sudah pernah dipakai sebelumnya dan menjadi salah satu target masyarakat untuk
mendapatkan gaya yang berbeda dengan yang lain, biasanya pakaian bekas
berasal dari Singapura, Malaysia, Korea, dan Hongkong. Pakaian bekas adalah
pakaian yang sudah dipakai sebelumnya oleh orang lain, barang cacat dari pabrik,
atau barang yang sudah tidak laku lagi (Virano, Winarto, Andadari, 2008).
Aisyah (2003) mengatakan pakaian bekas adalah barang yang dibeli dan
dipakai oleh konsumen pertama kemudian dijual kembali kepada konsumen
kedua. Pada tahun 1970-an pakaian bekas dijual di Pematang Siantar masyarakat
mengenalnya dengan “Burjer” atau buruk-buruk sian Jerman, pada awal 1980
pakaian bekas dijual di Kabanjahe, Kabupaten Karo. Masyarakat Kabanjahe
menyebutnya dengan “Kajebo” singkatan dari Kabanjahe botik, pada tahun 1983
-1984 di Kota Medan dikenal dengan “Monza” singkatan dari Monginsidi Plaza,
Perumnas, jalan Pancing, dan jalan Simalingkar, dan pada tahun 2010 tempat
menjual pakaian bekas mulai terkenal dengan sebutan “Pamela” ini merupakan
singkatan dari Pajak Melati. Semua barang datang dari Tanjung Balai melalui
pelabuhan yang dibungkus dalam bentuk bal. Bal merupakan istilah tempat untuk
menyatukan atau mengkumpulkan pakaian bekas yang dibungkus dengan goni
platih dan diikat dengan raeat baja. (Komunikasi Personal, EG 3 Juni 2015). Bal
merupakan suatu kemasan pakaian bekas import berbentuk segi empat yang
memiliki berbagai merek dan kode tergantung jenis pakaian yang dihendaki, bal
juga terdiri dari beberapa merek yang menentukan harga dari suatu bahan serta
kualitas pakaian yang ada didalamnya (Aisyah, 2003). Khususnya di kota Medan
pakaian bekas sudah ada di Indonesia sekitar tahun 1983-an hingga sekarang.
Di kota Medan istilah pakaian bekas dikenal dengan sebutan “Monza”.
Monza merupakan singkatan dari Monginsidi Plaza, karena jalan Mongonsidi
merupakan tempat pertama kali menjual pakain bekas di kota Medan (Rini, 2013).
Pasar Monza ini muncul disaat plaza-plaza di Medan mulai tumbuh subur, di
pasar ini ada menjual baju, celana, pakaian dalam, jaket, kaos kaki, tas, sepatu,
karpet, dan lain-lain. Barang-barang yang ada di pasar Monza ini berasal dari
Jepang, Amerika, Thailand, dan Korea (Yustita, 2013). Barang-barang yang
ditawarkan dijual dengan harga yang relatif murah tentu saja dengan kualitas yang
tinggi (Yustita, 2013). Jenis yang dijual di Monza beragam dngan ukuran, merek,
dan model yang beragam. Pada tahun 1990-an merupakan masa keemasan bagi
Crocodile, Bonia, Louis Vitton, Elle, dan Guest yang dijualkan dengan harga
cukup murah.
Pakaian bekas yang dijual di Monginsidi Plaza mulai surut perlahan-lahan
dan mulai bergeser ke Pajak Melati Medan atau yang sering dikenal dengan
“Pamela” (Rini, 2013). Pada tahun 2000-an hingga sekarang Pamela dikenal
tempat penjual pakaian bekas atau monza terbesar di kota Medan (Hidayat, 2014).
Barang yang dijual di pamela ini sama dengan barang yang dijual di monza dulu,
dengan kualitas yang tinggi dan harga yang murah. Pada saat hari pekan setiap
hari selasa, jumat, dan minggu pamela ramai dengan konsumen yang mencari
pakaian bekas (Hidayat, 2014).
Bukan hanya dipajak melati saja, tetapi monza atau pakaian bekas ada
juga dijual di sambuh, pajak petisah, jalan simalingkar, dan jalan pancing. Pada
hari pekan merupakan hari pembukaan bal. Pakaian bekas yang dikirim dari luar
negeri dikirim dan dikemas dalam bentuk bal.
Dari uraian diatas, pakaian bekas yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah pakaian yang sudah dipakai, cacat dari pabrik, atau pakaian yang sudah
tidak musim lagi. Pakaian bekas ini berasal dari luar negeri atau pakaian bekas
import yang dijual di kota Medan seperti pajak Melati, pajak Petisah, pajak
Sambu, jalan Pancing, jalan Simalingkar, dan jalan padang Padang Bulan (depan
F.DINAMIKA ANTARA VARIABEL
1. Dinamika Sikap terhadap Intensi Membeli Pakaian Bekas
Del dan David (2007) sikap menyatakan cara seseorang untuk berpikir,
merasakan, dan tindakan untuk berperilaku dengan cara yang tetap menyenangkan
atau tidak menyenangkan terhadap suatu objek tertentu. Sikap merupakan
penilaian positif atau negatif, suka atau tidak suka individu terhadap perilaku
tertentu. Ajzen (2005) menyatakan sikap merupakan evaluasi individu secara
positif ataupun negatif pada benda, situasi, orang, kejadian, perilaku, atau minat.
Apabila individu memiliki evaluasi pada suatu perilaku yang positif maka
individu akan cenderung favorable terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya apabila
individu memilki evaluasi yang negatif maka individu tersebut akan cenderung
unfavorable terhadap perilaku tersebut.
Sikap akan mempengaruhi intensi individu dalam menampilkan atau tidak
memunculkan perilaku tersebut. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Rahmah
(2011) yang menyatakan bahwa sikap secara signifikan memberi pengaruh atau
sumbangan terhadap intensi membeli referensi kuliah ilegal. Sikap menunjukkan
pengaruh yang positif atau tinggi terhadap intensi membeli buku referensi kuliah
ilegal, maka semakin banyak minat mahasiswa membeli buku referensi ilegal.
Penelitian yang dilakukan oleh Cahayadi (2013) menyatakan bahwa sikap secara
parsial berpengaruh positif terhadap niat pedagang pasar untuk memanfaatkan
fasilitas pembiayaan pada koperasi jasa keuangan syariah.
mempengaruhi intensi seseorang untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Jika
dikaitkan dengan penelitian ini maka ketika individu memliki sikap yang positif
terhadap pakaian bekas maka semakin tinggi intensi individu untuk membeli
pakaian bekas. Sebaliknya, semakin negatif sikap individu terhadap pakaian bekas
maka semakin rendah intensi individu untuk membeli pakaian bekas.
2. Dinamika Norma Subjektif terhadap Intensi Membeli Pakaian Bekas Ajzen (2005) menyatakan bahwa norma subjektif merupakan persepsi
individu terhadap tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan
suatu perilaku. Norma subjektif yang berasal dari significant others atau
orang-orang terdekat seperti orang-orang tua, pasangan, saudara, serta teman dekat yang akan
mempengaruhi intensi individu dalam menampilkan atau tidak menampilkan
perilaku. Ajzen (2005) berpendapat norma subjektif ditentukan oleh keyakinan
normatif (normative belief) dan keinginan untuk mengikuti (motivation to
comply). Apabila individu yakin bahwa significant others mengharapkan atau
mendukung perilaku tersebut maka individu akan melakukan perilaku tersebut dan
akan termotivasi untuk melakukannya. Sebaliknya apabila individu yakin bahwa
significant others tidak mendukung atau tidak menyukai maka individu tidak
melakukan perilaku dan akan menjauhi perilaku tersebut.
Hasil penelitian Arum dan Mangkunegara, (2010) menyatakan bahwa
norma subjektif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi wanita
melakukan SADARI (pemeriksaan payudara sendiri), norma subjektif yang lebih
memiliki significant others dalam melakukan pemeriksaan payudara sendiri.
memiliki pengaruh yang searah terhadap intensi karyawan untuk berperilaku K3,
yang berarti semakin tinggi pengaruhh rujukan sosial di lingkungan kerja unit
PLTD PT. PLN (Persero) Sektor Tello maka diharapkan pula semakin tinggin
intensi karyawan untuk berperilaku K3. Penelitian Saragih (2014), menunjukkan
bahwa norma subjektif terbukti berhubungan dengan intensi melanjutkan program
MP2 di Fakultas Psikologi USU.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat
dilihat bahwa norma subjektif memiliki peran dalam mempengaruhi intensi
seseorang untuk melakukan perilaku. Dalam penelitian ini perilaku membeli
pakaian bekas, ketika norama subjektif yang ada disekitar individu mendukung
dan menerima untuk membeli pakaian bekas maka semakin tinggi intensi
seseorang untuk berperilaku membeli pakaian bekas. Sebaliknya apabila norma
subjektif yang ada tidak mendukung dan menerima individu untuk membeli
pakaian bekas maka semakin rendah pula intensi individu tersebut dalam membeli
pakaian bekas.
3. Dinamika Perceived Behavioral Control terhadap Intensi Intensi Membeli Pakaian Bekas
Perceived behaviral control merupakan persepsi individu mengenai
keyakinan atau fungsi mengenai ada atau tidaknya faktor yang mendukung atau
tidak mendukung untuk menampilkan perilaku tersebut (Ajzen, 2005). Perceived
behavioral control ditentukan oleh keyakinan seseorang mengenai faktor
individu untuk melakukan perilaku atau tidak melakukan perilaku tersebut (Power
of control). Semakin banyak faktor yang memfasilitasi untuk menampilkan
perilaku seperti kesempatan ataupun sumberdaya, maka semakin besar intensi
individu untuk menampilkan perilaku.
Dalam penelitian Rahmah (2010) dikatakan bahwa perceived behavioral
control memiliki pengaruh yang signifikasi terhadap intensi membeli buku
referensi kuliah ilegal. Selain itu penelitian Mas’ud (2012) menunjukkan bahwa
perceived behaviora l control yang dimiliki nasabah bank berpengaruh signifikan
dan positif terhadap keinginan menggunakan ATM. Hal ini mengindikasikan
bahwa semakin baik kontrol perilaku yang dipersepsikan nasabah bank terhadap
produk layanan bank, maka keinginan untuk menggunakan ATM BCA semakin
meningkat. Pratiwi (2014) menunjukkan bahwa perceived behavioral control
memiliki pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi intensi menggunakan
bus Transjakarta pada karyawan Plaza Mandiri yang memiliki kendaraan peribadi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Maradona (2009) menyatakan bahwa
perceived behavioral control memiliki hubungan yang positif terhadap intensi
kepatuhan pelayanan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perceived
behavioral control berperan dalam mempengaruhi intensi seseorang untuk
melakukan atau memunculkan perilaku tersebut. Dalam penelitian ini, individu
yang memiliki perceived behavioral control yang tinggi maka seseorang terhadap
perilaku membeli pakaian bekas, maka semakin tinggi pula intensi untuk
tersebut rendah terhadap perilaku membeli pakaian bekas, maka semakin rendah
pula intensi indivudi tersebut untuk membeli pakaian bekas.
4. Dinamika Sikap, Norma Subjektif, Perceived Behavioral Control
terhadap Intensi Membeli Pakaian Bekas
Corsini (2002) menyatakan intensi adalah keputusan bertindak dengan cara
tertentu, atau dorongan untuk melakukan suatu tindakan, baik itu secara sadar atau
tidak sadar. Ajzen (2005), yaitu intensi adalah indikasi seberapa kuat keyakinan
seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang akan
digunakan untuk melakukan perilaku tertentu. Semakin besar intensi seseorang
terhadap suatu perilaku, semakin besar juga kemungkinan seseorang untuk
melakukan perilaku tersebut. Ajzen (2005) menyatakan terdapat 3 aspek yang
mempengaruhi intensi seseorang untuk menampilkan suatu perilaku, yaitu sikap,
norma subjektif, dan perceived behavioral control.
Sikap merupakan evaluasi individu baik itu positif atau negatif mengenai
perilaku tertentu. Jika individu memilki sikap yang positif terhadap perilaku maka
intensi akan semakin besar untuk dimunculkan oleh perilaku. Norma subjektif
merupakan persepsi terhadap dorongan sosial untuk memunculkan suatu perilaku,
jika lingkungan sosial individu mendukung untuk memunculkan perilaku maka
semakin besar intensi individu memunculkan perilaku tersebut. Perceived
behavioral control merupakan keyakinan individu terhadap faktor yang
mendukung atau menghalangi perilaku, semakin tinggi faktor pendukung atau
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2011) menunjukkan bahwa sikap,
norma subjektif, dan perceived behavioral control memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap intensi membeli buku secara ilegal pada mahasiswa. Hasil
penelitian Arum & Mangkunegara (2010) menunjukkan bahwa sikap, norma
subjektif, dan perceived behavioral control memiliki pengaruh yang signifikan
terhdap intensi wanita melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Hasil
penelitian Fausiah, Muis, dan Wahyu (2013) menunjukkan bahwa sikap, norma
subjektif, perceived behavioral control memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap intensi karyawan untuk berperilaku K3 di unit PLTB PT PLN (Persero)
Sektor Tello wilayah Sulsebaru. Penelitian lain yang dilakukan oleh Maradona
(2009) menyatakan bahwa sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral
control memiliki hubungan positif terhadap intensi kepatuhan pelayanan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap, norma subjektif,
dan perceived behavioral control memiliki peran dalam intensi individu dalam
melakukan suatu perilaku. Dimana dalam penelitian ini akan melihat intensi
individu membeli pakaian bekas. Semakin positif sikap, norma subjektif, dan
perceived behavioral control yang positif terhadap perilaku membeli pakaian
bekas, maka intensi individu tersebut akan semakin tinggi untuk membeli pakaian
bekas, dan sebaliknya apabila semakin negatif sikap, norma subjektif, dan
perceived behavioral control terhadap membeli pakaian bekas, maka semakin
G. HIPOTESIS
Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah sikap, norma subjektif, dan
perceived behavioral control secara bersama-sama berperan menjadi prediktor
positif terhadap intensi membeli pakaian bekas.
Hipotesis tambahan dalam penelitian ini yaitu:
1. Sikap berpersan secara signifikan terhadap intensi membeli pakaian bekas.
Semakin positif sikap individu terhadap perilaku membeli pakaian bekas,
maka semakin tinggi intensi individu tersebet untuk membeli pakaian
bekas. Sebaliknya, apabila semakin negatif sikap individu terhadap
perilaku membeli pakaian bekas, maka semakin rendah pula intensi
individu untuk membeli pakaian bekas.
2. Norma subjektif berperan secara signifikasi terhadap intensi membeli
pakaian bekas. Semakin banyak dukungan dari sekitar orang-orang yang
berada disekitar individu untuk membeli pakaian bekas, maka semakin
kuat intensi invidu untuk membeli pakaian bekas.
3. Perceived behavioral control berperan secara signifikasi terhadap intensi
membeli pakaian bekas. Semakin positif peran perceived behavioral
control individu untuk membeli pakaian bekas, maka semakin kuat intensi