BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Konstipasi
Definisi yang berbeda mengenai konstipasi telah dijelaskan oleh berbagai literatur.
The North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition
mendefinisikan konstipasi sebagai terhambatnya atau sulitnya defekasi yang dialami
2 minggu atau lebih, dan cukup untuk menyebabkan masalah yang signifikan pada
pasien. Konstipasi dikatakan idiopatik (disebut juga fungsional) ketika tidak bisa
dijelaskan adanya abnormalitas anatomi, fisiologi, radiologi atau histopatologi. Hal ini
yang membedakannya dengan konstipasi sekunder akibat penyebab organik.11,12
Konstipasi merujuk pada frekuensi defekasi dan konsistensi tinja. Kedua
parameter ini berubah seiring perubahan usia dan pola diet, hal ini biasanya
meningkatkan kekhawatiran di kalangan orang tua yang kompulsif memantau
kebiasaan defekasi anaknya. Bayi normal cenderung buang air besar setelah setiap
kali pemberian makanan, tetapi pola ini bervariasi. Bayi yang diberi ASI memiliki
frekuensi defekasi yang lebih sedikit dibanding bayi yang diberi susu formula
konvensional. Anak diatas 6 tahun cenderung buang air besar 1 kali sehari.
Frekuensi buang air besar yang berkurang harus diperhatikan jika konsistensi tinja
keras, kering, besar yang tidak seperti biasanya, atau sulit untuk dikeluarkan.9
2.2. Etiologi
Penyebab konstipasi pada anak dibagi menjadi organik atau fungsional. Penyebab
non-organik menjadi mayoritas (95%) pada kasus konstipasi.Penyebab yang sering
Konstipasi primer (fungsional/idiopatik) dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
normal-transit constipation (NTC), slow-normal-transit constipation (STC), dan disfungsi dasar
panggul. Tipe pertama merupakan tipe tersering, dimana tinja melewati usus besar
dengan kecepatan normal, tetapi pasien mengalami kesulitan untuk
mengeluarkannya. Tipe kedua digambarkan dengan pergerakan usus yang jarang,
penurunan urgensi, atau usaha untuk buang air besar (sering terjadi pada
perempuan). Disfungsi dasar panggul digambarkan sebagai gangguan fungsi dasar
panggul atau sfingter anus. Pasien tipe ini sering mengeluhkan usaha yang
berkepanjangan/berlebih untuk buang air besar, perasaan tidak puas, atau
penggunaan tekanan perineal atau vagina saat defekasi untuk mengeluarkan tinja.13
Penyebab organik termasuk kelainan anatomi, neuromuskular, metabolik,
endokrin, dan lain-lain.11,13 Konstipasi sekunder, sebagai contoh dikarenakan
hipotiroid, penyakit Hirschsprun, atau perubahan kadar kalsium, merupakan hal yang
jarang terjadi dan hanya sekitar kurang dari 10% kasus. Selain itu, alergi protein
susu sapi, khususnya yang tidak dimediasi IgE, berkaitan dengan dismotilitas usus
besar dapat menyebabkan konstipasi, dengan salah satu penelitian memperkirakan
hingga 40% kasus konstipasi yang sulit diatasi (refrakter).11,14
Pemahaman pemicu konstipasi pada anak sangat penting. Berkembangnya
konstipasi fungsional pada anak merupakan proses yang dipicu oleh interaksi
banyak faktor yang ada, yang berakhir pada retensi tinja yang dikehendaki, dan
apabila perilaku dibiarkan akan menjadi konstipasi kronik.15 Orang tua dari anak
dengan konstipasi sering mengalami konstipasi ketika masa kanak-kanak. Hal ini
menunjukkan kemungkinan adanya factor genetik berpengaruh. Diet memainkan
seperti garam kalsium dari susu sapi, cenderung menyebabkan tinja keras. Diet
elemental dan kimia tertentu yang mengurangi residu makanan dan dengan
demikian mengurangi frekuensi buang air besar.9 Ketika peningkatan aktivitas dan
diet tinggi serat dapat bersifat protektif, faktor predisposisi yang meningkatkan risiko
terjadinya konstipasi adalah usia, depresi, inaktivitas, asupan kalori yang rendah,
tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, sejumlah obat-obatan yang
dikonsumsi, kekerasan fisik dan seksual, mulainya toilet training, perubahan pola
makan, perubahan dari ASI menjadi susu sapi, atau perubahan dari makanan lunak
menjadi padat, kelahiran saudara baru, pertama kali berada ditempat penitipan
anak, bepergian, tidak tersedianya toilet.11,16 Anak yang mengalami kesulitan saat
toilet training cenderung mengalami konstipasi. Anak seperti ini biasanya kurang
bisa beradaptasi dan memiliki mood negatif. Selain itu, konstipasi dapat juga terjadi
akibat efek sekunder dari pergi ke sekolah yang terburu-buru di pagi hari, waktu
penggunaan toilet sekolah yang cepat, penundaan buang air besar karena anak
lebih tertarik mengerjakan hal lain. Terkadang tinja pada anak juga keras karena
asupan cairan yang kurang saat liburan atau demam.14
2.3. Epidemiologi
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak di dunia, baik di
pelayanan primer maupun sekunder, serta melibatkan 40% bayi dan 30% anak usia
sekolah.5,14 Prevalensi dunia secara keseluruhan bervariasi karena perbedaan
diantara tiap etnis tentang konstipasi yang dialami. Prevalensi konstipasi pada anak
di dunia saat ini berkisar antara 0,7% sampai 29,6%.6 Prevalensi konstipasi
anak dirujuk ke bagian pediatrik dan hingga 25% ke bagian pediatrik
gastroenterologi.11,14
Konstipasi lebih jarang terjadi pada penduduk Afrika berkulit hitam
dibandingkan dengan penduduk Afrika berkulit putih. Hal ini menunjukkan bahwa
selain diet, faktor lingkungan lain juga memainkan peranan penting.13 Adanya
riwayat keluarga dijumpai pada 28-50% anak konstipasi dan insiden yang lebih tinggi
dilaporkan pada kembar monozigot dibandingkan dizigot.14 Umumnya perempuan
lebih sering mengalami konstipasi dibanding laki-laki dengan rasio sebesar 3
berbanding 1.13,16 Meskipun demikian, konstipasi cenderung sama pada kedua jenis
kelamin dibawah usia 5 tahun, lebih sering terjadi pada perempuan diatas usia 13
tahun, dan puncak insiden pada saat toilet training sekitar usia 2-3 tahun hingga usia
sebelum sekolah.5,14
2.4. Patofisiologi Konstipasi
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persafaran yang
normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif
yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum oleh feses akan
merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani
interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna
kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui
anus. Apabila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani
eksterna akan berkontraksi secara refleks dan untuk selanjutnya akan diatur secara
volunter. Otot puborektalis akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus
mengalami konstriksi. Apabila konstriksi berlangsung cukup lama, refleks sfingter ani
Patofisiologi konstipasi pada anak berkaitan dengan banyak faktor. Borowitz,
dkk. melaporkan bahwa defekasi yang menyakitkan adalah pencetus dari konstipasi.
Nyeri saat defekasi akan membuat anak cenderung menahan defekasinya. Selama
proses tersebut, mukosa rektum akan mengabsorbsi air dari feses, sehingga feses
menjadi keras dan besar. Hal ini akan mengakibatkan defekasi menjadi semakin
sulit. Karena sulitnya defekasi, terkadang dapat terjadi fisura anal yang akan
memperburuk nyeri yang dialami anak. Hal ini akan membuat anak semakin
berusaha untuk menahan defekasinya. Siklus retensi feses ini terjadi berulang-ulang
dan menjadi reaksi otomatisasi. Seiring berjalannya waktu, akumulasi feses di
rektum akan menyebabkan dilatasi rektum. Dilatasi rektum akan menyebabkan
kemampuan sensorik rektum berkurang bersama dengan keinginan defekasi.
Proses tersebut terjadi terus menerus dan mencetuskan konstipasi.3,8,17,18
2.5. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum didapati adalah riwayat berkurangnya frekuensi defekasi.
Seiring meningkatnya retensi feses, manifestasi konstipasi yang lain bermunculan
seperti nyeri dan distensi abdomen yang menghilang setelah defekasi. Terkadang
dijumpai riwayat feses yang keras atau feses yang sangat besar sehingga
menyumbat saluran toilet. Enkopresis diantara feses yang keras sering salah
didiagnosis sebagai diare.4,8,17-19
Anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan
kurangnya kenaikan berat badan. Hal ini akan berkurang jika konstipasi teratasi.
Anak sering melakukan manuver menahan feses seperti menyilangkan kedua kaki
serta menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan ke belakang sehingga
berkaitan dengan konstipasi pada anak. Semakin lama feses berada di rektum,
semakin banyak bakteri berkoloni di perineum sehingga akan meningkatkan risiko
infeksi saluran kemih.4,8,17
Pada pemeriksaan fisik, didapati distensi abdomen dengan peristaltik normal,
meningkat atau berkurang. Dapat dijumpai massa yang teraba di regio abdomen kiri
dan kanan bawah serta suprapubis. Pada kasus yang berat, massa tinja kadang
dapat teraba di daerah epigastrium. Tanda penting lain dari konstipasi adalah fisura
ani dan ampula rekti yang besar.8,17,19
Nyeri perut kronis dan retensi feses dapat menyebabkan kesulitan
psikososial, gangguan dalam bergaul dan tekanan pada keluarga. Anak dengan
konstipasi terlihat lebih pendiam, cenderung menarik diri, malu, kurang percaya diri
dan marah saat dilakukan pemeriksaan dibandingkan dengan anak yang tidak
memiliki kelainan serupa.4,19,20
2.6. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting dalam diagnosis
konstipasi. Dari anamnesis dijumpai manifestasi klinis seperti disebutkan di atas.
8,17-19,21
Temuan klinis tersebut kemudian disesuaikan dengan kriteria diagnosis
konstipasi menurut ROME III. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai setidaknya dua
gejala selama sebulan pada anak usia kurang dari 4 tahun. Untuk anak usia lebih
dari 4 tahun, harus dijumpai 2 gejala atau lebih yang tidak termasuk IBS dan
gejalanya harus dijumpai setidaknya sekali dalam seminggu selama 2
bulan.8,15,17,19,21 Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1-4
bulan. Pendapat lain yang diajukan oleh Croffie menyatakan bahwa konstipasi
dikatakan kronis apabila berlangsung lebih dari 8 minggu.17
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis konstipasi Berdasarkan ROME III.8,17,19
Bayi/balita (usia < 4 tahun)
Dalam 1 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria dibawah ini :
≤ 2 x defekasi/ minggu
≥ 1 x episode inkontinensia/minggu setelah memperoleh toilet skill.
Riwayat retensi feses yang berlebihan atau riwayat sangat nyeri atau sembelit.
Terdapat massa feses yang besar di rektum.
Terdapat riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet.
Keadaan tersebut dapat disertai dengan irritabel, Penurunan nafsu makan atau tidak
nafsu makan.
Hal ini juga dapat disertai oleh feses yang berukuran besar.
Anak usia > 4 tahun
Dalam 2 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria di bawah ini :
≤ 2 x defekasi/ minggu.
≥ 1 x episode inkontinensia/minggu.
Riwayat posisi menahan atau BAB tertahan.
Riwayat nyeri saat buang air besar atau tinja yang keras.
Terdapat massa feses yang besar di dalam rektum.
Riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pengukuran kadar
abdomen, barium enema, manometri anorektal dan kolon, biopsi rektum,
pemeriksaan transit marker radioopaque dan ultrasonorafi abdomen. Pemeriksaan
penunjang tersebut dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
konstipasi.8,17,21
2.7. Diagnosis Banding
Pesudokonstipasi adalah salah satu diagnosis banding yang sering dijumpai. Pada
pseudokonstipasi orang tua mengeluh bahwa anaknya menderita konstipasi padahal
bukan konstipasi. Mereka mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya memerah
dan tampak mengejan kesakitan saat buang air besar. Perlu ditanyakan mengenai
konsistensi tinja dan frekuensi defekasi, dilakukan pemeriksaan abdomen dan colok
dubur. Apabila tinja lunak dan tidak dijumpai kelainan dalam pemeriksaan fisik, hal
tersebut merupakan kondisi normal.17
Apabila awitan konstipasi terjadi sejak lahir, perlu dipertimbangkan diagnosis
banding penyakit Hirschsprung. Jika anak demam, anoreksia, mual, muntah dan
terjadi penurunan berat badan perlu dipertimbangkan penyebab organik. Terdapat
beberapa diagnosis banding lain dari konstipasi yang terkait gangguan psikis,
organik, paparan obat dan lain-lain.8,17,18,21
2.8. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan konstipasi adalah menentukan akumulasi feses (fecal
impaction), evakuasi feses (fecal disimpaction), pencegahan berulangnya akumulasi
feses dan menjaga pola defekasi menjadi teratur dengan terapi rumatan oral,
tua bahwa penatalaksanaan konstipasi memakan waktu yang lama dan tidak ada
solusi cepat pada kondisi tersebut.8,17,21
Edukasi kepada orang tua termasuk penjelasan patogenesis penyakit adalah
langkah awal dari penatalaksanaan konstipasi. Edukasi kepada orang tua penting
dilakukan agar mereka dapat mengatur pola makan yang tepat dan menghilangkan
mitos-mitos yang tidak benar seputar konstipasi. Selain itu, edukasi kepada orang
tua juga akan mengurangi kecemasan merekadan meningkatkan kemauan mereka
untuk terlibat dalam penatalaksanaan.8,18,21
Evakuasi feses dapat dilakukan dengan terapi lewat rektum atau oral.
Program evakuasi feses biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi
tinja secara lengkap dan sempurna. Terapi oral yang diberikan adalah mineral oil
(paraffin liquid) dengan dosis 15-30 ml/tahun, maksimal 240 mL/hari kecuali pada
bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) juga dapat diberikan dengan dosis 20
mL/kgBB/jam, maksimal 1.000 mL/jam yang diberikan dengan pipa nasogastrik
selama 4 jam/hari. Evakuasi feses lewat rektum dapat dilakukan dengan
mengunakan enema fosfat hipertonik (dengan dosis 3 mL/kgBB, 2 kali sehari,
maksimal 6 kali enema), enema garam fisiologis (dengan dosis 600-1000 mL) atau
mineral oil 120 mL. Pada bayi digunakan supositoria atau enema gliserin 2-5
Tabel 2.2. Pilihan Terapi Farmakologis untuk Konstipasi dan Efek Sampingnya.18
Terapi rumatan dilakukan dalam jangka waktu lebih lama yaitu beberapa
bulan bahkan tahun untuk mencegah berulangnya konstipasi. Aspek penting dari
terapi rumatan jangka panjang adalah membentuk kebiasaan defekasi yang teratur.
Beberapa cara untuk metode ini antara lain modifikasi perilaku, pemberian diet serat,
laksatif, terapi farmakologis dan pendekatan psikologis. Jumlah serat yang
dianjurkan untuk dikonsumsi anak adalah 19-25 gram/hari dan pada kasus
saat motilitas kolon paling tinggi (setelah bangun tidur dan setelah makan pagi atau
malam). Diberikan waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar agar anak
tidak tertekan. Toilet training juga dianjurkan untuk anak berusia 18 bulan sampai 3
tahun. Latihan dan aktivitas fisik bermanfaat dalam membantu melatih otot-otot yang
mengatur defekasi dan memperbaiki gerakan usus. Penambahan asam palmitat,
prebiotik oligosakarida dan whey protein yang terhidrolisa dapat melunakkan feses.
Probiotik seperti Bifidobacterium lactis, Lactobacillus reuteri dan Lactobacillus casei
rhamnosus bermanfaat dalam meningkatkan frekuensi defekasi.8,17,18,21
Gambar 2.1. Diagram Penatalaksanaan Konstipasi pada Anak.17
Pengosongan rektal
2.9. Komplikasi dan Prognosis
Tingginya proporsi kekambuhan telah dilaporkan setelah keberhasilan
penatalaksanaan awal. Kekambuhan ini dilaporkan lebih sering pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, anak dengan konstipasi dibawah usia
5 tahun memiliki prognosis yang baik, dengan konstipasi dapat diatasi pada 88%
anak pada kelompok usia ini.7
Konstipasi fungsional biasanya dapat diatasi dengan penatalaksanaan rutin
walaupun kegagalan dilaporkan pada 20% anak.5,11 Anak yang tidak mengalami
perbaikan datang dari keluarga dengan masalah psikososial, dimana diduga akibat
menurunnya tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat.14 Prognosis sembuh total yang
didefinisikan sebagai tidak adanya inkontinensia fekal dan konstipasi, telah
dilaporkan sebanyak 45% pada follow up 5 tahun.11 Pada 50% anak umumnya
dengan konstipasi kronik akan sembuh setelah 1 tahun dan 65% sampai 70%
setelah 2 tahun, dengan angka keberhasilan lebih tinggi pada keluarga yang
termotivasi dan patuh. Dua penelitian menunjukkan 34% sampai 47% kasus
Durasi konstipasi yang panjang sebelum didiagnosis berkaitan dengan hasil
yang lebih buruk.4 Selain itu,Onset gejala yang lebih awal pada tahun pertama,
riwayat konstipasi pada keluarga, percaya diri yang rendah dan kekerasan seksual
berkaitan dengan prognosis yang buruk.11 Diagnosis yang cepat dan
penatalaksanaan yang efektif dapat memberikan hasil yang lebih baik.4
Jika konstipasi terus berlanjut maka beberapa komplikasi yang dapat terjadi
adalah inkontinensia fekal dan urin, hemoroid, fisura anus, impaksi fekal, perdarahan
rektum, infeksi saluran kemih, obstruksi atau perforasi usus, prolaps rektum, dan
lazy bowel syndrome (akibat ketergantungan laksatif). Meningkatnya tekanan
intratoraks akibat usaha mengedan saat defekasi dapat mereduksi aliran arteri
koroner, serebral serta perifer, dan dapat menyebabkan terjadinya hernia,
perburukan refluks gastroesofageal, serangan iskemik transien dan sinkop pada
pasien yang lebih tua.12,22
2.10. Konstipasi dan Kualitas Hidup Anak
Meskipun konstipasi jarang berhubungan dengan komplikasi yang mengancam
nyawa, anak dengan konstipasi akan mengalami gangguan kualitas hidup yang
signifikan dibandingkan dengan populasi anak normal. Kualitas hidup berkaitan erat
dengan kesejahteraan emosional dan fisik anak. Sebagai tambahan, bukan hanya
kualitas hidup anak yang terganggu, melainkan kualitas hidup keluarga secara
keseluruhan. Orang tua dan keluarga yang memiliki anak dengan konstipasi
menunjukkan penurunan kualitas hidup di berbagai aspek.4,6,7,10,19
Penelitian di New jersey dari tahun 2002 sampai oktober 2003
membandingkan kualitas hidup anak dengan konstipasi beserta keluarganya dengan
Gastoesophageal Reflux Disease (GERD) serta kelompok anak normal dan
keluarganya. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dengan konstipasi memiliki
rata-rata kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan anak dengan IBD, GERD dan
anak normal. Kualitas hidup anak yang rendah berkaitan dengan nyeri perut dan
defekasi yang menyakitkan. Kualitas hidup orang tua anak dengan konstipasi
menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan anak mereka sendiri. Orang tua
anak dengan kelainan saluran cerna menunjukkan nilai kualitas hidup yang lebih
rendah dibandingkan orang tua anak normal. Diantara kelainan yang diteliti, orang
tua anak dengan konstipasi memiliki nilai kualitas hidup yang paling rendah.
Lamanya gejala kontipasi pada anak dan adanya riwayat konstipasi pada keluarga
berhubungan dengan rendahnya nilai kualitas hidup orang tuanya. Penelitian ini
masih memiliki kekurangan karena menggunakan PedsQL yang menilai kualitas
hidup anak secara umum dan tidak spesifik untuk konstipasi.4,20
Gambar 2.2. Nilai Total Kualitas Hidup Anak Berdasarkan PedsQL. HC= kelompok
anak normal, IBD= kelompok anak dengan IBD, GERD= kelompok anak dengan
GERD, CONS= kelompok anak dengan konstipasi.4
Skor Kualitas hidup
rendah secara signifikan dibandingkan dengan anak yang normal. Hal-hal yang
mempengaruhi hasil tersebut antara lain usia anak, hubungan anak dengan
pengasuh, lamanya konstipasi, frekuensi defekasi, defekasi yang menyakitkan, nyeri
perut yang tidak spesifik, tingkat pendidikan pengasuh, HRQOL dari pengasuh dan
status ekonomi keluarga. Kelemahan penelitian ini sama dengan kelemahan pada
penelitian yang dilakukan oleh Youssef, dkk. yaitu terkait instrumen penilaian
kualitas hidup yang digunakan.19
Tabel 2.3. Nilai Rata-rata Kualitas Hidup Menurut PedsQL.19
Menurut penelitian di Srilanka melakukan penelitian terhadap anak berusia
13-18 tahun pada 4 sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas hidup terkait
kesehatan pada anak dengan konstipasi lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol pada keempat domain penilaian. Hal-hal yang berkaitan dengan
kualitas hidup pada penelitian itu antara lain nyeri abdomen dan keparahan gejala
saluran cerna. Selain itu, gejala somatik juga dijumpai lebih sering pada anak
Tabel 2.4. Nilai Rata-rata Kualitas Hidup Menurut PedsQL.20
Penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara konstipasi
dengan kualitas hidup anak dilakukan di Australia dengan instrumen penilaian
PedsQL, di Brazil dengan instrumen penilaian CHQ-PF50 dan di Belanda dengan
instrumen penilaian DDL. Semua penelitian tersebut menunjukkan kualitas hidup
yang lebih rendah pada anak dengan konstipasi dibandingkan dengan anak normal
pada umumnya.10,20
Penelitian di Amsterdam tahun 2009 terhadap orang dewasa muda yang
mengalami konstipasi pada masa anak-anak di Belanda. Dari penelitian tersebut,
dilaporkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan pada orang dewasa muda yang
menjalani pengobatan dengan sempurna tidak berbeda dengan kelompok dewasa
muda yang sehat. Perbedaan kualitas hidup terlihat pada kelompok dewasa muda
yang gagal menjalani pengobatan dan tetap mengalami konstipasi sampai usia
dewasa. Kelompok tersebut mengeluhkan nyeri saat berdefekasi dan penurunan
kualitas kesehatan secara umum sehingga mengganggu kehidupan sosial mereka.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengobatan konstipasi yang tepat dan
2.11. Penilaian Kualitas Hidup Anak
Penilaian kualitas hidup anak terkait kesehatan dilakukan dengan menggunakan
instrumen berupa kuesioner. Terdapat berbagai kuesioner yang memiliki spesifisitas
masing-masing dalam menilai kualitas hidup pasien terkait usia dan penyakit yang
diderita. Pemilihan kuesioner yang tepat sangatlah penting dalam mendeteksi aspek
spesifik dari kesejahteraan pasien. Kuesioner yang spesifik terhadap suatu penyakit
akan cenderung menilai akibat dari penyakit itu sendiri tanpa mendeteksi perubahan
umum dari fungsi keseharian pasien. Oleh karena itu, kuesioner yang optimal adalah
kuesioner yang menggabungkan aspek spesifik dan umum dari kualitas hidup.
Namun hal ini akan menambah kerumitan dari penelitian dan memperpanjang waktu
yang dibutuhkan untuk melengkapi kuesioner tersebut.10
Kuesioner yang bersifat umum untuk pasien anak antara lain PedsQL dan
CHQ-PF50. PedsQL dikembangkan oleh Varni, dkk. yang terdiri dari pertanyaan
untuk penilaian terhadap anak dan orang tua yang telah divalidasi untuk anak usia
2-8 tahun. Orang tua dan anak menjawab pertanyaan tersebut secara terpisah dan
pertanyaan biasanya dibacakan untuk anak kurang dari 7 tahun. Terdapat 23
pertanyaan yang menilai fungsi fisik, emosi, sosial dan sekolah. Setiap pertanyaan
dinilai dengan 5 skala secara berurutan dimana 0 berarti “bukan merupakan
masalah” dan 4 berarti “selalu menjadi masalah”. Skala penilaian dikonversi menjadi
nilai bulat dimana semakin tinggi nilai bulat, semakin baik kualitas hidup.4,10,19
CHQ-PF50 terdiri dari 50 pertanyaan untuk menilai kesejahteraan psikososial dan fisik
anak usia 5-18 tahun. Terdapat 15 domain kesehatan yang dinilai dari 50
pertanyaan di dalam kuesioner tersebut. Setiap domain akan diberi nilai 0-100
dimana semakin tinggi nilainya, maka semakin baik kualitas hidup pasien.Instrumen
Kualitas hidup PedsQL
Kualitas hidup PedsQL
List (DDL). Kuesioner ini ditujukan kepada anak usia 7-15 tahun. Kuesioner ini terdiri
dari 37 pertanyaan yang mencakup 4 domain yaitu konstipasi, fungsi emosi, fungsi
sosial dan pengobatan atau intervensi.10
Gambar.2.3. Kerangka konseptual
: yang diamati dalam penelitian
: Kualitas hidup
Obat yang
diminum
Penderita konstipasi
Rome Criteria III
Aktivitas anak Asupan cairan
Konstipasi fungsional Asupan serat