• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

DI PUSKESMAS AMPLAS KOTA MEDAN TAHUN 2011

SKRIPSI

Oleh :

CICI NILA SARI NIM. 081000234

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan WHO (2009), setiap tahun di dunia diperkirakan terdapat 1,7 juta kematian karena TB dan Indonesia merupakan penyumbang nomor lima terbesar di dunia. Puskesmas Amplas sebagai organisasi pelaksana penanggulangan TB nasional telah melaksanakan program pemberantasan TB dengan strategi DOTS.

Berdasarkan laporan TB Triwulan I s/d Triwulan IV tahun 2009, diketahui bahwa dari 92 penderita TB BTA positif yang ada di Puskesmas Amplas sebanyak 44 penderita (47,83%) dinyatakan sembuh. Hal ini berarti Puskesmas Amplas belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 85%. Jenis penelitiaan ini adalah explanatory yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pengetahuan penderita TB, pelayanan kesehatan dan PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat. Sampel dalam penelitian ini adalah 37 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat adalah pengetahuan (p=0,012) dan PMO (p=0,032). Variabel yang tidak memiliki pengaruh adalah pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, maka petugas kesehatan di Puskesmas Amplas perlu melakukan penyuluhan secara intensif kepada penderita TB dan PMO agar tercapai keberhasilan program penanggulangan TB.

(3)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is still being the problem of health in the world especially in the developing countries including Indonesia. Based on the WHO report (2009), every year in the world were estimated 1,7 million death due to TB and Indonesia is the fifth-largest contributor in the world. Amplas Health Centre as the implementary organization of national TB control programs has been implemented the education of TB with DOTS.

Based on the first quarter of TB report until the fourth quarter of 2009, it was detected of 92 patients with TB positive BTA in Amplas Health Centre as much as 44 patients (47,83%) has been recovers. This means Amplas Health Centre did not reach the target yet that was set at least 85%. The type of research was explanatory that aimed to explain the influence of knowledge TB patient, health service and PMO on the obedience level in treatments. Sample in research were 37. Data were collected by using questionnaire and analyzed using multiple linear regression.

The results of research showed that the variables which had significant influence on the obedience level in treatments were knowledge (p=0,012) and PMO (p=0,032). The variables which had no influence were health service. Based on the results of research, health-officers at Amplas Health Centre need to do promotion for TB patients and PMO in order to achieve the success of the TB control programs.

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : CICI NILA SARI

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/01 Desember 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Anggota Keluarga : 7 (anak ke-4 dari 7 bersaudara)

Alamat : Jl. K. L. Yos Sudarso Km. 14,5 Bahari No. 56

Riwayat Pendidikan

1. 1992 - 1998 : SD Negeri 060952 Sp. Kantor Belawan

2. 1998 - 2001 : SLTP Hang Tuah-I Belawan

3. 2001 - 2004 : SMU Hang Tuah Belawan

4. 2004 - 2007 : D III Keperawatan USU Medan

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala

karena atas berkat Rahmat dan Karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Pelayanan

Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011”, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan

dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil, oleh karena itu dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Heldy BZ, MPH, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan sekaligus Dosen Pembimbing II dan Dosen Penguji I yang telah

banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi, selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Ketua

Penguji yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini

4. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji II Yang telah memberikan masukan

(6)

5. Prof. dr. Aman Nasution, MPH, selaku Dosen Penguji III Yang telah

memberikan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. Ir. Indra Chahaya, MSi, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah

memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di FKM USU.

7. Seluruh dosen dan staf di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama

penulis menjadi mahasiswa di FKM USU.

8. Kepala Puskesmas Amplas dan seluruh staf yang telah membantu penelitian

penulis.

9. Orang tua tercinta, Makmun Al Rasyid dan Nursiah yang telah memberikan kasih

sayang, dukungan dan do’a kepada penulis selama ini.

10. Teristimewa Binsar P Batubara dengan penuh ketabahan serta ketulusan

memberikan dukungan yang jadi motivasi utama penulis selama ini.

11. Teman-teman ( Samira, Yenita, Yeni, Yanni, Dedy, Umi, Jhonson, Agusfardin,

Deni, Lobert, Ana, Ayu, Riris, Sairama, Ani, Ikbal, Adli, Josua, Vina, Enda dan

lain-lain) yang selalu memberi semangat dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,

untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 5 Juli 2011

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel... ix

Daftar Gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kepatuhan Berobat... 9

2.2. Penyuluhan Kesehatan... . 14

2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO) ... 15

2.3.1. Persyaratan PMO... 15

2.3.2. Siapa yang Bisa Jadi PMO... ... 15

2.3.3. Tugas Seorang PMO... 15

2.4. Tuberkulosis ... 16

2.4.1. Cara Penularan... 16

2.4.2. Risiko Penularan... ... 17

2.4.3. Gejala Klinis TB Paru ... 18

2.4.4. Tipe Penderita TB Paru ... ... 18

2.4.5. Pemeriksaan Dahak... 19

2.4.6. Prinsip Pengobatan... 20

2.5. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) ... 23

2.6. Kerangka Konsep ... 24

2.7. Hipotesis Penelitian... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1. Jenis Penelitian ... 26

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

3.3. Populasi dan Sampel ... 27

3.3.1. Populasi ... 27

(8)

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dan Surat Keterangan Selesai Penelitian

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 27

3.5. Definisi Operasional... 27

3.6. Aspek Pengukuran ... 30

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Independent ... 30

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependent ... 31

3.7. Teknik Analisa Data... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 33

4.1. Gambaran Umum Puskesmas Amplas ... 33

4.1.1. Data Geografis ... 33

4.1.2. Data Demografis... 33

4.2. Analisis Univariat ... 35

4.2.1. Pengetahuan Responden... 35

4.2.2. Faktor Pelayanan Kesehatan... ... 39

4.2.2.1. Ketersediaan OAT... 39

4.2.2.2. Penyuluhan Kesehatan... 40

4.2.2.3. Sikap Petugas Kesehatan... 41

4.2.3. Pengawas Menelan Obat... ... 43

4.2.4. Tingkat Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru... 45

4.3. Hasil Uji Statistik Bivariat ... 47

4.4. Hasil Uji Statistik Multivariat ... 49

4.5. Hasil Wawancara... 50

BAB V PEMBAHASAN ... 52

5.1. Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 52

5.2. Pengaruh Faktor Pelayanan Kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... ... 53

5.2.1. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat... 53

5.2.2. Pengaruh Sikap Petugas kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat... 55

5.3. Pengaruh PMO Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat... 56

BAB VI KESIMPUAN DAN SARAN ... 58

6.1. Kesimpulan... 58

6.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN :

Lampiran 1. Kuesioner

(9)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1. Jumlah Penderita TB Paru per Wilayah Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) di Kota Medan Tahun 2009 ... 4

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independent ... ... 30

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependent ... 31

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Tahun 2009 ... 34

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Tahun 2009... 34

Tabel 4.3. Distribusi Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Tahun 2009 ... 34

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 37

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan ... 39

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan OAT... 39

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Penyuluhan Kesehatan... 40

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Penyuluhan Kesehatan. 41 Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Petugas Kesehatan... 42

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Petugas Kesehatan... 43

Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan PMO... 44

Tabel 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori PMO... 45

(10)

Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan

Berobat... 47

Tabel 4.15. Hasil Uji Statistik Korelasi Pearson... 49

(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal

(12)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan WHO (2009), setiap tahun di dunia diperkirakan terdapat 1,7 juta kematian karena TB dan Indonesia merupakan penyumbang nomor lima terbesar di dunia. Puskesmas Amplas sebagai organisasi pelaksana penanggulangan TB nasional telah melaksanakan program pemberantasan TB dengan strategi DOTS.

Berdasarkan laporan TB Triwulan I s/d Triwulan IV tahun 2009, diketahui bahwa dari 92 penderita TB BTA positif yang ada di Puskesmas Amplas sebanyak 44 penderita (47,83%) dinyatakan sembuh. Hal ini berarti Puskesmas Amplas belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 85%. Jenis penelitiaan ini adalah explanatory yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pengetahuan penderita TB, pelayanan kesehatan dan PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat. Sampel dalam penelitian ini adalah 37 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat adalah pengetahuan (p=0,012) dan PMO (p=0,032). Variabel yang tidak memiliki pengaruh adalah pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, maka petugas kesehatan di Puskesmas Amplas perlu melakukan penyuluhan secara intensif kepada penderita TB dan PMO agar tercapai keberhasilan program penanggulangan TB.

(13)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is still being the problem of health in the world especially in the developing countries including Indonesia. Based on the WHO report (2009), every year in the world were estimated 1,7 million death due to TB and Indonesia is the fifth-largest contributor in the world. Amplas Health Centre as the implementary organization of national TB control programs has been implemented the education of TB with DOTS.

Based on the first quarter of TB report until the fourth quarter of 2009, it was detected of 92 patients with TB positive BTA in Amplas Health Centre as much as 44 patients (47,83%) has been recovers. This means Amplas Health Centre did not reach the target yet that was set at least 85%. The type of research was explanatory that aimed to explain the influence of knowledge TB patient, health service and PMO on the obedience level in treatments. Sample in research were 37. Data were collected by using questionnaire and analyzed using multiple linear regression.

The results of research showed that the variables which had significant influence on the obedience level in treatments were knowledge (p=0,012) and PMO (p=0,032). The variables which had no influence were health service. Based on the results of research, health-officers at Amplas Health Centre need to do promotion for TB patients and PMO in order to achieve the success of the TB control programs.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia

sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak.

TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Kuman TB tidak

hanya menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit TB

banyak menyerang kelompok usia kerja produktif (15-49 Tahun), kebanyakan dari

kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah. Pada Tahun 1993,

World Health Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB,

karena jumlah kasus TB meningkat dan tidak terkendali khususnya pada negara yang

dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan data WHO pada Tahun 2007, jumlah penderita TB di Indonesia

sekitar 528.000 atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan

WHO pada Tahun 2009 mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima

dengan jumlah penderita TB sebesar 429.000 orang (WHO, 2010). Tingkat risiko

untuk terserang penyakit TB Paru di Indonesia berkisar antara 1,7% sampai 4,4%.

Penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

(15)

penyakit golongan penyakit infeksi. Secara nasional, TB Paru membunuh kira-kira

100.000 orang tiap tahun, setiap hari 300 orang meninggal akibat penyakit TB Paru

di Indonesia (Depkes RI dan WHO, 2008).

Pada Tahun 2005, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB Paru di

Indonesia sebesar 259.969 kasus, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif

sebesar 158.648 kasus (Depkes RI, 2007). Untuk Tahun 2008, jumlah cakupan

penemuan semua kasus TB Paru di Indonesia sebesar 298.329 kasus, dengan jumlah

penderita TB Paru BTA positif sebesar 166.376 kasus. Di Provinsi Sumatera Utara,

jumlah cakupan penemuan semua kasus TB Paru meningkat dari 15.517 kasus pada

Tahun 2005 menjadi 17.133 kasus pada Tahun 2008, dengan jumlah penderita TB

Paru BTA positif sebesar 14.158 kasus (Depkes RI, 2009).

Besar dan luasnya permasalahan akibat TB Paru mengharuskan semua pihak

untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan penanggulangan TB

Paru. Untuk menurunkan angka kesakitan penyakit TB serta mencegah terjadinya

resistensi obat telah dilaksanakan program nasional penanggulangan tuberkulosis.

Sejak Tahun 1995, program pemberantasan penyakit TB Paru telah dilaksanakan

dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang

direkomendasikan oleh WHO yang terdiri atas lima komponen yaitu : (a) Komitmen

politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB Paru, (b)

Diagnosis penyakit TB Paru melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c)

Pengobatan TB Paru dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

(16)

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita dan (e) Pencatatan

dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program

penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2009).

DOTS adalah strategi yang komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan

kesehatan primer di seluruh dunia, untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB

Paru. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru

dapat berlangsung dengan cepat. DOTS bertujuan untuk memutuskan rantai

penularan di masyarakat dengan mengobati penderita BTA positif sampai sembuh

(Depkes RI, 2007).

Menurut Depkes RI (2007), penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS

diharapkan dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi yaitu minimal 85%

dari penderita TB Paru BTA positif. Pengobatan TB Paru harus dilakukan dalam

bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, tidak boleh menggunakan obat tunggal.

Dosis obatnya harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan sesuai dengan waktu

yang telah ditetapkan untuk menghindari kuman TB berkembang menjadi resisten

terhadap obat.

Kasus TB Paru di kota Medan Tahun 2009 secara klinis terjadi peningkatan

dari Tahun 2008. TB Paru klinis pada Tahun 2009 yaitu sebesar 11.487 penderita

sedangkan Tahun 2008 sebesar 10.508 penderita. Selain itu, dari 39 puskesmas yang

ada di kota Medan terdapat 1.516 penderita TB Paru BTA positif. Dari 1.516

penderita TB Paru BTA positif sebanyak 790 penderita (52,11%) telah dinyatakan

sembuh yang dapat dilihat pada Tabel 1.1.

(17)

Tabel 1.1 Jumlah Penderita TB Paru per Wilayah Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2009.

No Nama UPK TB Paru

Klinis Positif Sembuh % B. Sembuh %

1 Pusk. Sukaramai 140 22 14 63,64 8 36,36

2 Pusk. Kota Matsum 128 29 19 65,52 10 34,48

3 Pusk. M. Area S 88 26 14 53,85 12 46,15

4 Pusk. Pasar merah 517 63 29 46,03 34 53,97

5 Pusk. Teladan 919 114 74 53,23 40 47,77

6 Pusk. S. Limun 265 40 20 50 20 50

7 Pusk. Amplas 532 92 44 47,83 48 52,17

8 Pusk. Denai 225 28 14 50 14 50

9 Pusk. Tegal Sari 68 17 3 17,65 14 82,35

10 Pusk. Desa Binjai 230 32 20 62,5 12 37,5

11 Pusk. Bromo 133 25 12 48 13 52

12 Pusk. Sentosa Baru 503 63 28 44,44 35 55,56

13 Pusk. Sering 189 27 14 51,85 13 48,15

14 Pusk. Mandala 541 69 35 50,72 34 49,28

15 Pusk. Kp. Baru 367 41 19 46,34 22 53,66

16 Pusk. Darussalam 169 22 11 50 11 50

17 Pusk. Petisah 138 22 13 59,09 9 40,91

18 Pusk. Rantang 172 27 15 55,56 12 44,44

19 Pusk. P. Bulan 292 50 20 40 30 60

20 Pusk. Pb. Selayang 179 47 20 42,55 27 57,45

21 Pusk. Simalingkar 105 25 16 64 9 36

22 Pusk. Tuntungan 96 15 9 60 6 40

23 Pusk. Polonia 98 15 9 60 6 40

24 Pusk. Medan Johor 429 50 24 48 26 32

25 Pusk. Kedai Durian 291 30 18 60 12 40

26 Pusk. Pkn Labuhan 189 25 12 48 13 52

27 Pusk. Martubung 410 44 22 50 22 50

28 Pusk. M Labuhan 40 8 4 50 4 50

29 Pusk. Terjun 147 44 29 65,91 15 34,09

30 Pusk. Medan deli 472 61 28 54,9 33 45,1

31 Pusk. Titi Papan 139 16 10 62,5 6 37,5

(18)

Tabel 1.1. (Lanjutan)

33 Pusk. Desa Lalang 77 19 6 31,58 13 68,42

34 Pusk. Helvetia 624 78 43 55,13 35 44,87

35 Pusk. Glugur darat 468 63 29 46,03 34 53,97

36 Pusk. Pulo Brayan 96 9 6 66,67 3 33,33

37 Pusk. Sei agul 247 52 22 42,31 30 57,69

38 Pusk. Glugur Kota 42 4 1 25 3 75

39 Pusk. Belawan 612 73 47 64,38 26 35,62

Jumlah 10.653 1.516 790 52,11 726 47,89

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2010

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 39 unit UPK yang ada, Puskesmas

Amplas merupakan puskesmas dengan jumlah penderita TB Paru belum sembuh

cukup tinggi yakni 48 penderita (52,17%) sedangkan penderita TB Paru yang

sembuh hanya 44 penderita (47,83%). Berdasarkan survei pendahuluan yang

dilakukan peneliti, diperoleh data bahwa jumlah penderita TB Paru BTA positif di

Puskesmas Amplas pada tahun 2010 sebanyak 72 penderita. Dari 72 penderita,

sebanyak 47 penderita dinyatakan telah sembuh. Sedangkan jumlah penderita TB

Paru BTA negatif dengan hasil rontgen positif sebanyak 21 penderita dan jumlah

penderita TB Paru BTA positif menjadi negatif (konversi) sebanyak 64 penderita.

Penderita TB Paru di Puskesmas ini mayoritas laki-laki sebanyak 52 orang,

sedangkan perempuan sebanyak 20 orang. Selain itu, Penderita TB Paru di

Puskesmas ini banyak terjadi pada usia produktif (15-69 tahun) yakni sebanyak 51

orang, sedangkan usia ≥50 tahun yakni sebanyak 21 orang.

Berdasarkan data tersebut, bahwa angka kesembuhan penderita TB Paru

belum bisa mencapai target yang ditetapkan yaitu angka kesembuhan minimal 85%.

(19)

bagi penderita TB Paru yang berobat ke puskesmas. Masih rendahnya cakupan angka

kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan

pencapaian program, karena masih memberi peluang terjadinya penularan penyakit

TB Paru kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu

memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB Paru terhadap Obat Anti

Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan penyakit TB Paru,

meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru.

Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat

bagi setiap penderita. Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan

pengawasan minum obat merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita,

walaupun obat yang digunakan baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur

maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Kenyataan lain bahwa

penyakit TB Paru sulit untuk disembuhkan karena obat yang diberikan harus

beberapa macam sekaligus serta pengobatannya makan waktu lama, setidaknya 6

bulan sehingga menyebabkan penderita banyak yang putus berobat. Hal ini yang

menjadi penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai

pihak terkait, akibatnya program penanggulangan TB di berbagai tempat menjadi

amat lemah (Dinkes SU, 2005).

Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh

terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan penderita

tentang pengobatan TB Paru, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku

(20)

rumah pasien ke puskesmas. Penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan

Kota Medan terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan dan

peran PMO terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Penelitian Ivanti (2009),

menunjukkan bahwa variabel umur, status perkawinan, pengetahuan, pengawasan

PMO dan dorongan petugas kesehatan tidak memiliki pengaruh yang bermakna

terhadap kepatuhan berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4).

Berdasarkan hal di atas dapat diasumsikan bahwa salah satu faktor yang

memengaruhi tingkat kepatuhan penderita dalam pengobatan adalah pengetahuan

penderita itu sendiri, faktor pelayanan kesehatan dan PMO sehingga peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan penderita TB Paru, faktor

pelayanan kesehatan (Ketersediaan OAT, penyuluhan kesehatan dan sikap petugas

kesehatan) dan pengawas menelan obat terhadap tingkat kepatuhan berobat di

Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pengetahuan

penderita TB Paru, faktor pelayanan kesehatan (Ketersediaan OAT, penyuluhan

kesehatan dan sikap petugas kesehatan) dan pengawas menelan obat terhadap tingkat

kepatuhan berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011.

(21)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh

pengetahuan penderita TB Paru, faktor pelayanan kesehatan (Ketersediaan OAT,

penyuluhan kesehatan dan sikap petugas kesehatan) dan pengawas menelan obat

terhadap tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011.

1.4.Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka

penaggulangan penyakit TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan kepada petugas pengelola program TB Paru di

Puskesmas Amplas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita

TB Paru.

3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lain di bidang Administrasi dan

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepatuhan Berobat

Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin.

Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan

kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang

dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat,

sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Menurut Sacket (Ester, 2000), kepatuhan penderita adalah sejauh mana

perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional

kesehatan.

Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan

risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk

kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah

opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktahuan penderita terhadap

aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat

yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang

memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya

bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi

kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah

(23)

menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota

keluarga, saudara atau teman khusus.

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi

4 (empat) bagian yaitu :

1. Pemahaman tentang instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi

yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih

dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang

instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh

kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,

penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan intruksi yang harus diingat

oleh penderita.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan penderita ditemukan oleh

DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu :

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.

c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,

maka akan ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal

yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal

(24)

2. Kualitas interaksi.

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan penderita merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi

profesional kesehatan dengan penderita adalah suatu hal penting untuk memberikan

umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi tentang diagnosis.

Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya

dan apa yang mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

3. Isolasi sosial dan keluarga.

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program

pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan

membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, sikap, kepribadian

Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara

pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian

secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal.

Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,

sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan

yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang

disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out)

dari program pengobatan.

(25)

Menurut Schwart & Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan

ketidaktaatan, secara sejarah, riset tentang ketaatan penderita didasarkan atas

pandangan tradisional mengenai penderita sebagai penerima nasihat dokter yang

pasif dan patuh. Penderita yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan

masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk

mengidentifikasi kelompok-kelompok penderita yang tidak patuh berdasarkan kelas

sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan penderita dapat

meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan

pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh penderita secara

mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau

situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional

dan penderita sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku

ketaatan sering diartikan sebagai suatu usaha penderita untuk mengendalikan

perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai

kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :

1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk

penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko

yang jelas), sarana mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama,

pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang

(26)

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk

menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar

78% untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat

tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara penderita dan dokter.

Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter memengaruhi tingkat

ketidaktaatan misalnya, informasi dengan pengawasan yang kurang,

ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter,

ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Bart, 1994).

3. Variabel-variabel sosial

Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara

umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan

pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya

cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada penderita yang

kurang mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan

yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh

normatif pada penderita, yang mugkin mengakibatkan efek yang memudahkan

atau menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.

Sebagai contoh : di Amerika serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang

tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart, 1994).

(27)

2.2. Penyuluhan Kesehatan

Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena

masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat.

Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta

masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan

penting sacara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program

penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting artinya

untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan

kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan

sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga,

melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB

Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan

untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi

masyarakat tentang TB Paru dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan

memalukan” menjadi “suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”.

Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap berhasil bila penderita bisa

menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita datang

berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga penderita dapat

(28)

2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan

seorang PMO.

2.3.1. Persyaratan PMO

Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah:

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2.3.2. Siapa yang Bisa Jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,

Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan

yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,

PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.3.3. Tugas Seorang PMO

Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO adalah:

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

(29)

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur

3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke UPK

2.4. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis bukanlah

penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Basil

penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama

Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada

suhu sekitar 37˚C, yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama,

1994).

2.4.1. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau

bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang

gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

(30)

pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan

seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan

lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

2.4.2. Risiko Penularan

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan

lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap

tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu

proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di Indonesia

bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)

orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian besar dari orang

yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang

terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.

Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB

Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang

terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem

daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta

(oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit

(31)

meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian

penularan TB Paru di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2007).

2.4.3. Gejala Klinis TB Paru

Gejala utama penderita TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,

batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

rasa kurang enak badan, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada

penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,

dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka

setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut

di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB Paru, dan perlu

dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

2.4.4. Tipe Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :

1. Kasus baru adalah penderita TB Paru yang belum pernah diobati dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

(32)

3. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB Paru yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan

BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

5. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari

UPK yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.4.5. Pemeriksaan Dahak

Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak

secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen “Sewaktu Pagi Sewaktu”

(SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling

efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.

Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB

Paru adalah :

1. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi.

2. Menilai kemajuan pengobatan.

3. Menentukan tingkat penularan.

(33)

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan

pada :

1. Akhir tahap intensif.

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA

positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan

ulang penderita BTA positif kategori 2.

2. Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA

positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan

ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

3. Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif

dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang

BTA positf dengan kategori 2.

2.4.6. Prinsip Pengobatan

Tujuan dari pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.

Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman

persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan

(34)

digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru

akan berkembang menjadi kuman kebal obat (Depkes RI, 2002).

Menurut Depkes RI (2007), pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap

yaitu :

1. Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan

tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita

TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman

persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Menurut Depkes RI (2002), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket

kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk penderita dalam satu

masa pengobatan. Program Nasional Penaggulangan TBC di Indonesia menggunakan

paduan OAT :

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan

(35)

(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari

Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4

bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif,

TB Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat, dan TBC Ekstra paru

berat.

2. Kategori 2 (2HRZE/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan

Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H),

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan

tiga kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan

setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita

kambuh (relaps), gagal (failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai

(after default).

3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan

(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan yang

diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA

negatif dan rontgen positif sakit ringan serta penderita Ekstra paru ringan yaitu

TBC kelenjar limfe (limfademitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit,

(36)

4. OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan

kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap

hari selama satu bulan.

2.5. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah

direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada tahun

1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1965-1994) angka kesembuhan TB

Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS

diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru

BTA positif yang ditemukan. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan

pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan

menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat

sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 2002).

Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai

dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/

mendiagnosis penderita secara baik dan akurat melalui pemeriksaan mikroskopis.

Selanjutnya, setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya

yaitu obat diminum didepan seorang pengawas. Penderita juga harus menerima

(37)

adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (Shortcourse) sesuai dengan

klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994).

Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka

kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah kematian, mencegah putus berobat dan

kambuhnya penyakit serta mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut

Multiple Drug Resistance / MDR (Crofton, 2002).

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, maka kerangka konsep

penelitian ini adalah :

[image:37.610.119.531.347.491.2]

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep, dapat dirumuskan definisi konsep variabel

penelitian sebagai berikut:

1. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu

2. Faktor pelayanan kesehatan adalah penilaian dari penderita TB Paru terhadap

upaya yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan untuk menangani Tingkat Kepatuhan Berobat.

1. Pengetahuan penderita TB Paru

2. Faktor Pelayanan Kesehatan - Ketersediaan OAT

- Penyuluhan kesehatan - Sikap petugas kesehatan 3. Pengawas Menelan Obat

(38)

penderita TB Paru meliputi: ketersediaan OAT, penyuluhan kesehatan dan sikap

petugas kesehatan

3. Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah penilaian dari penderita TB Paru

terhadap hal-hal yang menjadi tugas dari seorang PMO yang meliputi:

mengawasi menelan obat, mengingatkan periksa ulang dan memberi dorongan

untuk berobat.

4. Tingkat kepatuhan adalah sejauh mana perilaku penderita TB Paru dalam

melaksanakan pengobatan di Puskesmas Amplas.

2.7. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pengetahuan penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan

berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2011

2. Ada pengaruh faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat

penderita TB Paru di Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2011.

3. Ada pengaruh PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di

Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2011.

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan

pendekatan explanatory atau penelitian penjelasan yang bertujuan untuk menjelaskan

pengaruh pengetahuan penderita TB Paru, faktor pelayanan kesehatan dan pengawas

menelan obat terhadap tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan

Tahun 2011.

Menurut Singarimbun (1995), penelitian survei adalah penelitian yang

mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat

pengumpulan data yang pokok. Penelitian explanatory bertujuan untuk menjelaskan

hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Amplas Kota Medan, pada Bulan April

Tahun 2011. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan angka kesembuhan penderita

TB Paru yang belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%. Masih

rendahnya angka kesembuhan akan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat

karena masih memberi peluang terjadinya penularan TB Paru kepada anggota

(40)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang telah

selesai melaksanakan pengobatan tahap awal (intensif) dan saat ini sedang

melaksanakan tahap lanjutan dalam program penanggulangan TB Paru di Puskesmas

Amplas.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang telah selesai

melaksanakan pengobatan tahap awal (intensif) dan saat ini sedang melaksanakan

pengobatan tahap lanjutan yakni sebanyak 37 penderita yang terdiri dari 9 penderita

Bulan Oktober, 8 penderita Bulan Nopember, 7 penderita Bulan Desember tahun

2010 dan 13 penderita bulan Januari 2011.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:

1. Data primer, diperoleh dengan wawancara langsung kepada petugas kesehatan

program penanggulangan TB Paru dan penderita TB Paru yang berpedoman

pada kuesioner yang telah ditetapkan.

2. Data sekunder, diperoleh dari laporan pelaksanaan program penanggulangan TB

Paru di Puskesmas Amplas Kota Medan, formulir register TB Paru (formulir TB

03) dan profil Puskesmas Amplas.

(41)

3.5. Definisi Operasional

1. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai penyakit

TB Paru. Dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, apabila responden sudah mengetahui tentang hal-hal yang mengenai

penyakit TB Paru.

b. Cukup baik, apabila responden belum begitu mengetahui tentang hal-hal

mengenai penyakit TB Paru.

c. Tidak baik, apabila responden tidak mengetahui tentang hal-hal mengenai

penyakit TB Paru.

2. Ketersediaan OAT adalah persepsi responden terhadap kondisi OAT yang

diperoleh dari puskesmas meliputi kecukupan jumlah OAT dan kemasannya.

Ketersediaan OAT dikategorikan dalam 2 kategori, yaitu:

a. Tersedia, bila OAT selalu tersedia pada saat jadwal pengambilan obat di

puskesmas

b. Tidak tersedia, bila OAT tidak tersedia pada saat jadwal pengambilan obat di

puskesmas.

3. Penyuluhan kesehatan adalah persepsi responden tentang kegiatan yang

dilakukan oleh petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan, untuk

mencapai suatu keadaan di mana penderita TB paru dapat hidup lebih sehat.

a. Baik, bila persepsi penderita TB Paru sangat positif terhadap kegiatan petugas

(42)

b. Cukup baik, bila persepsi penderita TB Paru positif terhadap kegiatan petugas

dalam memberikan penyuluhan kepada penderita TB Paru.

c. Tidak baik, bila persepsi penderita TB Paru negatif terhadap kegiatan petugas

dalam memberikan penyuluhan kepada penderita TB Paru.

4. Sikap petugas kesehatan adalah penilaian responden terhadap tanggapan atau

sikap petugas kesehatan kepada responden selama mereka menjalani

pengobatan. Dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, bila petugas kesehatan sangat baik dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan kepada penderita TB Paru.

b. Cukup baik, bila petugas kesehatan cukup baik dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan kepada penderita TB Paru.

c. Tidak baik, bila petugas kesehatan tidak baik dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan kepada penderita TB Paru.

5. Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah persepsi responden tentang peran yang

dilaksanakan oleh seorang PMO meliputi memberi dorongan, mengingatkan

jadwal pemeriksaan dahak dan mengawasi penderita menelan obat. Dibedakan

atas 3 kategori:

a. Baik, bila peran yang dilakukan PMO sangat baik dalam menjalankan tugas

dan tanggungjawabnya.

b. Cukup baik, bila peran yang dilakukan PMO cukup baik dalam menjalankan

tugas dan tanggungjawabnya.

(43)

c. Tidak baik, bila peran yang dilakukan PMO sangat baik dalam menjalankan

tugas dan tanggungjawabnya.

6. Kepatuhan berobat adalah ketaatan responden dalam menelan obat, mengambil

obat dan melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan

menaati segala nasihat dari petugas kesehatan. Dibedakan menjadi 2 kategori :

a. Patuh, bila responden selalu mengambil obat sesuai jadwal yang ditentukan,

selalu menelan obat dan memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah

ditetapkan.

b. Tidak patuh, bila responden tidak mengambil obat sesuai jadwal yang

ditentukan, tidak menelan obat dan tidak memeriksakan dahak sesuai jadwal

yang telah ditetapkan.

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen

Aspek pengukuran variabel independen terdiri dari pengetahuan penderita TB

Paru, faktor pelayanan kesehatan (Ketersediaan OAT, penyuluhan kesehatan dan

sikap petugas kesehatan) dan pengawas menelan obat. Secara rinci dapat dilihat pada

Tabel 3.1. di bawah ini:

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen Variabel ∑Indi

kator

Kategori Jawaban

Bobot Kriteria Skor Skala Ukur Pengetahuan 9 a. Tahu

b. Tidak tahu 2 1

a. Baik b. Cukup baik c. Tidak baik

15-18 12-14 9-11

(44)

Ketersediaan OAT

1 a. Tersedia

b. Tidak tersedia

Ordinal

Penyuluhan kesehatan

5 a. Pernah b. Tidak

pernah

2 1

a. Baik b. Cukup baik c. Tidak baik

9-10 7-8 5-6 Interval Sikap petugas kesehatan

5 a. Ya b. Tidak

2 1

a. Baik b. Cukup baik c. Tidak baik

9-10 7-8 5-6 Interval Pengawas Menelan Obat

5 a. Ya b. Tidak

2 1

a. Baik b. Cukup baik c. Tidak baik

9-10 7-8 5-6

Interval

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen

Aspek pengukuran pada variabel ini adalah kepatuhan berobat penderita TB

[image:44.610.108.524.87.257.2]

Paru. Secara rinci dapat di lihat pada Tabel.3.2 sebagai berikut:

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen

Variabel

Indikator

Kategori Jawaban

BoBot Kriteria Skor Skala Ukur Kepatuhan

Berobat

4 a. Ya b. Tidak

2 1

a. Patuh b. Tidak

patuh

6-8 4-5

Interval

3.7. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

regresi linier berganda yaitu untuk membuktikan pengaruh pengetahuan penderita

TB Paru, faktor pelayanan kesehatan dan pengawas menelan obat terhadap tingkat

kepatuhan berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011 dengan model

persamaan sebagai berikut :

(45)

Y = a+b1X1+b2X2+b3X3+...bnXn

Keterangan :

Y = variabel dependen

X = variabel independen

a = Konstata

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Puskesmas Amplas 4.1.1. Data Geografis

Puskesmas Amplas terletak di Jalan Garu II-B Kelurahan Harjosari I

Kecamatan Medan Amplas. Luas wilayah kerja Puskesmas Amplas sekitar 1.377,3

Ha, mencakup 7 kelurahan yaitu Kelurahan Harjosari I, Kelurahan Harjosari II,

Kelurahan Timbang Deli, Kelurahan Amplas, Kelurahan Siti Rejo II, Kelurahan Siti

Rejo III dan Kelurahan Bangun Mulia. Letak wilayah kerja Puskesmas Amplas

memiliki batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Johor.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Tanjung Morawa.

c. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai.

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Patumbak.

4.1.2. Data Demografi

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Amplas sebanyak 134.303

jiwa. Berdasarkan Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dan jumlah

Kepala Keluarga (KK) terbanyak terdapat di Kelurahan Harjosari I dengan 37.282

jiwa dan 7.097 KK. Jumlah lingkungan terbanyak dan wilayah terluas terdapat di

(47)
[image:47.610.114.531.118.249.2]

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Tahun 2009.

Kelurahan Jumlah

Penduduk Jumlah KK

Jumlah

Lingkungan Luas (Ha)

Amplas 15.152 2.936 6 80

Siti Rejo II 11.230 2.270 12 44,3

Siti Rejo III 14.106 2.782 9 40

Harjosari I 37.282 7.097 14 415

Harjosari II 35.289 6.801 17 459

Timbang Deli 16.864 3.783 15 285

Bangun Mulia 4.380 824 4 54

Sumber: Profil Puskesmas Amplas Tahun 2010.

Mata pencaharian penduduk terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Amplas

adalah sebagai pedagang sebanyak 5.729 orang, sedangkan mata pencaharian sebagai

petani hanya 451 orang. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4.2. di bawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Tahun 2009.

Pekerjaan Kelurahan Jumlah

Amplas SR.II SR.III HS.I HS.II T.Deli B.Mulia

PNS 335 789 375 1366 220 194 26 3.305

Peg.Swasta 387 423 34 1630 785 117 25 3.716

ABRI 115 12 10 45 255 37 25 499

Petani 65 0 0 12 65 89 220 451

Pedagang 270 695 1.489 970 2175 84 46 5.729

Pensiunan 65 40 50 110 120 83 15 483

Sumber: Profil Puskesmas Amplas Tahun 2010.

Berdasarkan Tabel.4.3. terlihat bahwa jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas

Amplas berjumlah 63 orang. Jenis tenaga kesehatan terbanyak adalah Bidan yaitu 19

[image:47.610.113.534.609.680.2]

orang.

Tabel 4.3. Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas Amplas Tahun 2009 Jenis Tenaga

Kerja

Puskesmas + Puskesmas Pembantu (Pustu)

Jumlah Induk HS Amplas T. Deli B. Mulia

Dokter Umum 2 1 1 1 1 6

(48)

Tabel 4.3. (Lanjutan)

SKM 0 0 0 0 0 0

Bidan 6 2 3 5 3 19

Akper 4 0 - 1 2 7

Perawat 4 5 2 4 1 16

Perawat Gigi 1 1 1 1 0 4

Apoteker 1 0 0 0 0 1

Ass. Apoteker 0 1 1 1 1 4

Ahli Gizi 0 0 0 0 0 0

Ak. Analis 1 0 0 0 0 1

SPPH 0 0 0 0 0 0

Psikolog 0 0 0 0 1 1

Jumlah 20 11 9 14 9 63

Sumber: Profil Puskesmas Amplas Tahun 2010.

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari

variabel independen dan dependen dari hasil penelitian.

4.2.1. Pengetahuan Responden

Berdasarkan hasil penelitian tentang TB Paru, sebanyak 9 responden (24,3%)

menyatakan tahu bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh bakteri yang menyerang paru, sedangkan yang tidak tahu sebanyak 28

responden (75,7%) dengan menyatakan penyakit TB Paru adalah penyakit batuk

berdarah. Berdasarkan pertanyaan tentang penyebab penyakit TB Paru, sebanyak 11

responden (29,7%) menjawab tahu bahwa penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman

tuberkulosis dan sebanyak 26 responden (70,3%) tergolong tidak mengetahui

penyebab penyakit TB Paru karena sebagian dari mereka memang menjawab tidak

[image:48.610.111.531.90.273.2]
(49)

terlalu banyak bergadang dan ada yang menyatakan disebabkan oleh abu/debu di

jalan raya serta debu semen karena pekerjaan mereka sebagai buruh bangunan.

Berdasarkan pertanyaan tentang tanda seseorang terkena penyakit TB Paru,

sebanyak 11 responden (29,7%) menjawab tahu bahwa tanda seseorang terkena

penyakit TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih disertai batuk

bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa ada kegiatan fisik dan sebanyak

26 responden (70,3%) tergolong tidak tahu dengan menyatakan tanda seseorang

terkena penyakit TB Paru adalah batuk berdarah disertai sesak nafas. Berdasarkan

pertanyaan tentang bagaimana cara penularan penyakit TB Paru, sebanyak 18

responden (48,6%) menjawab tahu bahwa penyakit TB Paru dapat menular melalui

batuk dan bersin yang mengandung kuman TB yang terhirup orang lain dan

sebanyak 19 responden (51,4%) tergolong tidak tahu dengan menyatakan TB dapat

menular melalui batuk dan makanan.

Berdasarkan pertanyaan tentang kebiasaan yang dapat memperburuk keadaan

penderita TB Paru, sebanyak 8 responden (21.6%) menjawab tahu bahwa kebiasaan

merokok, lingkungan dan kurang gizi dapat memperburuk keadaan penderita TB

Paru, sedangkan 29 responden (78,4%) tergolong tidak tahu dengan mengatakan

kebiasaan yang memperburuk keadaan penderita adalah kebiasaan merokok dan

kurang istirahat. Berdasarkan pertanyaan tentang penyebab pengobatan TB Paru

gagal, sebanyak 17 responden (45,9%) tahu bahwa dengan tidak menelan obat sekali

(50)

tidak tahu, sebagian memang menjawab tidak tahu dan sebagian lainnya mengatakan

pengobatan TB Paru dapat gagal karena merokok.

Berdasarkan pertanyaan tentang pemeriksaan yang dapat menegakkan

seseorang menderita TB Paru, sebanyak 31 responden (83,8%) tahu bahwa untuk

mengetahui seseorang menderita TB Paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan

dahak, rontgen dan laboratorium dan sebanyak 6 responden (16,2%) tergolong tidak

tahu dengan mengatakan adanya batuk berdarah dan dilakukannya pemeriksaan

dahak. Berdasarkan pertanyaan tentang lama pengobatan TB Paru, sebanyak 29

responden (78,4%) tahu bahwa lama pengobatan TB Paru dilakukan selama 6 bulan

(obat diminum setiap hari pada tahap awal dan obat diminum 3x seminggu pada

tahap lanjutan) dan sebanyak 8 responden (21,6%) tergolong tidak tahu.

Berdasarkan pertanyaan tentang efek samping yang ditimbulkan OAT,

sebanyak 12 responden (32,4%) tahu bahwa efek samping OAT adalah warna

kemerahan pada air seni, tidak nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi dan

kesemutan sampai rasa terbakar dan sebanyak 25 responden (67,6%) menjawab tidak

tahu dengan alasan tidak pernah diberi informasi oleh petugas mengenai efek

samping OAT. Secara rinci distribusi responden berdasarkan pengetahuan dapat

dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan.

Pengetahuan Responden F %

Penyakit TB Paru

1. Tidak tahu 28 75,7

2. Tahu 9 24,3

Jumlah 37 100

(51)

Tabel 4.4. (Lanjutan) Penyebab Penyakit TB paru

26 70,3

1. Tidak tahu

2. Tahu 11 29,7

Jumlah 37 100

Tanda Terkena Penyakit TB

1. Tidak tahu 26 70,3

2. Tahu 11 29,7

Jumlah 37 100

Cara Penularan Penyakit TB Paru

1. Tidak tahu 19 51,4

2. Tahu 18 48,6

Jumlah 37 100

Keadaan yang Memperburuk Penderita

1. Tidak tahu 29

8

78,4 21,6 2. Tahu

Jumlah 37 100

Penyebab Pengobatan TB Paru Gagal

1. Tidak tahu 20

17

54,1 45,9 2. Tahu

Jumlah 37 100

Pemeriksaan yang Menegakkan Menderita TB Paru

1. Tidak tahu 6

31

16,2 83,8 2. Tahu

Jumlah 37 100

Lama Pengobatan penyakit TB Paru

1. Tidak tahu 8

29

21,6 78,4 2. Tahu

Jumlah 37 100

Efek Samping yang Ditimbulkan OAT

1. Tidak tahu 25

12

67,6 32,4 2. Tahu

Jumlah 37 100

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan

pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 20 responden (54,1%)

[image:51.610.106.535.90.554.2]
(52)

pada kategori pengetahuan tidak baik, dan 8 responden (21,6%) berada pada kategori

[image:52.610.112.522.144.231.2]

pengetahuan baik. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan

Kategori Pengetahuan F %

Tidak baik 9 24,3

Cukup baik 20 54,1

Baik 8 21,6

Jumlah 37 100

4.2.2. Faktor Pelayanan Kesehatan 4.2.2.1. Ketersediaan OAT

Faktor pelayanan kesehatan dalam penelitian ini meliputi variabel

ketersediaan OAT, penyuluhan kesehatan dan sikap petugas kesehatan. Ketersediaan

OAT dilihat dari tersedia atau tidaknya OAT pada saat pengambilan obat responden

dan kualitas obat yang diperoleh dari puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) menyatakan OAT selalu tersedia dan

berkualitas baik yaitu fisik obat dan kemasan obat selalu dalam keadaan baik, namun

responden tidak pernah memerhatikan tanggal kadaluarsa obat. Secara rinci dapat

dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan OAT.

Ketersediaan OAT F %

OAT selalu tersedia pada saat jadwal pengambilan obat 1. Tidak

2. Ya

0 37

0 100

Jumlah 37 100

Kualitas OAT yang diperoleh dalam keadaan baik 1. Tidak

2. Ya

0 37

0 100

Jumlah 37 100

[image:52.610.113.526.532.674.2]
(53)

4.2.2.2. Penyuluhan Kesehatan

Variabel penyuluhan kesehatan indikatornya dibagi dengan 5 pertanyaan.

Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 30 responden (81,1%) mengatakan pernah

diberi penyuluhan tentang penyakit TB Paru, sedangkan yang tidak pernah diberi

penyuluhan sebanyak 7 responden (18,9%). Responden yang mengatakan pernah

diberi penjelasan tentang pengobatan TB Paru harus teratur sebanyak 29 responden

(78,4%), sedangkan yang tidak pernah sebanyak 8 responden (21,6%).

Seluruh responden (100%) mengatakan pernah diberi penjelasan tentang

jadwal minum obat. Responden yang mengatakan tidak pernah diberi penjelasan

tentang kemungkinan adanya efek samping dari OAT sebanyak 22 responden

(59,5%), sedangkan yang mengatakan perna

Gambar

Tabel 1.1 Jumlah Penderita TB Paru per Wilayah Unit Pelayanan Kesehatan     (UPK) di Kota Medan Tahun 2009
Tabel 1.1. (Lanjutan) 77 19 6
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen ∑ Kategori  BoBot Kriteria Skor
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap kepatuhan

Judul Skripsi : HUBUNGAN ANTARA PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA PASIEN TUBERCULOSIS PARU (TB PARU) DI PUSKESMAS NOGOSARI BOYOLALI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peran Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kepatuhan kunjungan berobat pasien Tuberculosis Paru (TB Paru)

4.7 Hubungan Tipe Kepribadian A Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kecamatan Kota Kabupaten Jember

Karena berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan PMO dengan keteraturan berobat pasien TB paru, yaitu dari

Panjaitan, E, 2013, Hubungan Komunikasi Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit kabupaten Deli Serdang Tahun

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan penderita TB Paru, pelayanan kesehatan dan pengawas menelan obat terhadap tingkat