• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOOK Leviane JH Lotulung Legislator Perempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BOOK Leviane JH Lotulung Legislator Perempuan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi pada Legislator Perempuan di DPRD

Provinsi Sulawesi Utara)

Leviane Jackelin Hera Lotulung

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado

jackelin.lotulung@gmail.com/jackelin.lotulung@unsrat.ac.id

Pendahuluan

Era reformasi membuka peluang yang besar kepada perempuan untuk menjadi politisi maupun legislator. Undang-undang Pemilu juga mengamanatkannya dengan keharusan partai politik mengakomodir keberadaan perempuan minimal sebanyak 30 persen, baik masuk dalam kepengurusan partai atau menjadi calon anggota legislatif. Peluang perempuan menjadi pengurus partai dan calon anggota legislatif pun lebih terbuka dengan jumlah partai politik lebih banyak dibanding pada era Orde Baru yang hanya tiga partai politik saja. Pemilu tahun 1999 sebanyak 42 partai politik, Pemilu tahun 2009 sebanyak 38 partai politik, dan 12 partai politik pada Pemilu 2014.

Undang-undang Pemilu, pasca reformasi sudah beberapa kali dibuat dan direvisi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat termasuk kepentingan partai politik sebagai peserta Pemilu. Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang kemudian diubah dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 telah menggunakan sistem proporsional terbuka artinya perhitungan suara berbasis kuota dan habis dibagi di daerah pemilihan. Atau para calon legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak bukan nomor urut seperti yang dilakukan pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.

(2)

memilih kembali legislator tersebut dan tidak beralih pada politisi lain, atau masyarakat yang tidak memilih pada Pemilu sebelumnya bisa memilih legislator perempuan tersebut.

Setelah menjadi legislator, mereka memiliki hak sekaligus kewajiban yang harus dilaksanakan. Khusus untuk kewajiban sebagaimana tertuang dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 324 mengenai kewajiban anggota jelas tertulis bahwa anggota berkewajiban, pada poin i yakni menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; poin j tertulis menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan poin k, memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Dengan demikian ada proses komunikasi politik yang dilakukan oleh legislator perempuan saat melaksanakan ketentuan tersebut dengan konstituennya.

Komunikasi menurut Michael Rush dan Philip Althof (2002:24) merupakan proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya dan di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Rush dan Althof (2002:23) juga mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan proses yang berkesinambungan dan melibatkan pertukaran informasi di antara individu-individu yang satu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkatan masyarakat.

Meadow (dalam Pawito, 2009:2) memberikan penegasan bahwa istilah komunikasi politik merujuk pada ”segala bentuk pertukaran simbol atau pesan yang sampai tingkat tertentu dipengaruhi dan memengaruhi berfungsinya sistem politik. Sedangkan McNair (Pawito, 2009:5) menegaskan bahwa komunikasi politik pada dasarnya adalah ”purposeful communication about politics” (komunikasi yang diupayakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu).

(3)

Sedangkan fungsi komunikasi politik mempunyai makna dan arti yang sangat penting dalam setiap proses politik dalam sebuah sistem politik baik itu oleh infra maupun supra struktur politik. Sudijono Sastroadmodjo dalam Hanida (2007:4) menyatakan bahwa :

“Fungsi komunikasi politik itu adalah fungsi struktur politik menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkan sebagai bahan dalam penentuan kebijaksanaan. Selain itu, fungsi komunikasi politik juga merupakan fungsi penyebarluasan rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat. Dengan demikian fungsi ini membawakan arus informasi timbal balik dari rakyat kepada pemerintah dan dari pemerintah kepada rakyat.

Dalam semua aktivitas sebagai seorang legislator, akan selalu ada kegiatan komunikasi politik yang berfungsi menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan. Nimmo (2011:28) menyebutkan bahwa semua orang adalah komunikator politik, siapapun yang ada dalam setting politik adalah komunikator politik. Hal ini terbentang mulai level terbawah (rakyat) sampai level atas (elit).

Konstituen menurut Kaukus Parlemen Bersih DIY yang dikutip dalam Buku Saku DPRD yang berjudul Membina Hubungan dengan konstituen terbitan Local Governance Support Program bekerjasama dengan USAID (2006:11-12) adalah “seluruh warga di daerah pemilihan, darimana dia dipilih dalam proses pemilihan umum, tanpa lagi mengindentiikasikan siapa pendukung dan penolaknya”. Pendukung setia anggota dewan merupakan konstituen utama, tetapi warga lain bukan pendukung tentunya tidak bisa diabaikan. Pemilihan umum bukanlah arena untuk mengidentiikasikan siapa yang memilih dan menolak kandidat anggota parlemen, tetapi ia sebagai bentuk “kontrak politik” antara warga dengan kandidat di suatu daerah pemilihan. Siapapun yang menang dalam sistem eletoral itu, harus mengakar menerima mandat, mewakili dan bertanggungjawab memperjuangakan aspirasi warga (konstituen) di daerah pemilihan yang bersangkutan.

(4)

konstituennya? Serta apa makna konstituen dan reses bagi legislator perempuan? Apakah hambatan yang dialami konstituen saat aspirasinya disampaikan kepada legislator perempuan?

Penelitian mengenai komunikasi politik legislator dengan konstituennya telah dilakukan, yaitu : Rozidateno P. Hamida berjudul “Bentuk Komunikasi Politik Anggota DPRD Terhadap Konstituen di Daerah Pemilihannya (Studi Deskriptif Kegiatan Masa Reses I dan II Tahun 2005 Anggota DPRD Kota Padang Propinsi Sumatera Barat periode 2004-2005)”, hasil penelitian yang didanai DIKTI tahun 2007. Dalam penelitian ini penulis memberi gambaran tentang komunikasi politik yang dilakukan anggota dewan pada masa reses dan memberi pemahaman kepada anggota DPRD untuk meningkatkan tanggungjawabnya terhadap masyarakat, khususnya pada konstituen di daerah pemilihannya.

Pramana Anung Wibawa berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif Terhadap Konstituen (Studi Interpretif Pemilu 2009)”. Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013. Disertasi ini mendeskripsikan dan menganalisis tentang bagaimana latar belakang, konsep diri, dan motivasi anggota legislatif pada kampanye Pemilu 2009. Juga bagaimana anggota Legislatif memaknai konstituennya; bagaimana komunikasi politik anggota legislatif dalam kampanye politiknya; dan bagaimana hambatan, peluang, dan keunikan dalam komunikasi politik pemilu 2009.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dan lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati dari lingkungan yang alamiah (Moleong, 2014:3). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan penjelasan mengenai komunikasi politik dari para legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara saat berhubungan dengan konstituen dari daerah pemilihannya.

(5)

peneliti kualitatif lazim menelaah hal-hal yang berada dalam lingkungan alamiahnya, berusaha memahami atau menafsirkan, fenomena bersadarkan makna-makna yang orang berikan kepada hal-hal tersebut. (Mulyana, 2010:4)

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, dan pengamatan. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali pengalaman-pengalaman dari legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara mengenai konstituennya. Pengamatan dilakukan untuk melihat langsung cara berkomunikasi legislator perempuan dengan para konstituennya.

Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat. Pertama, di DPRD Provinsi Provinsi Sulawesi Utara, kedua, saat informan yakni legislator perempuan turun reses di daerah pemilihan (Dapil). Adapun informan penelitian adalah 10 legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara periode 2014-2019 sebanyak 17 orang, baik yang terpilih sejak awal periode maupun hasil pergantian antar waktu.

Moleong (2014:103) mendeinisikan analisis data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Data-data yang akan dianalisis merupakan hasil wawancara, dan pengamatan yang kemudian diklasiikasikan secara khusus atau dibuat kategorinya, kemudian disajikan secara deskripsi untuk memberi gambaran mengenai komunikasi politik legislator perempuan di DPRD Provinsi Provinsi Sulawesi Utara dengan para konstituennya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

(6)

tertuang dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 1 Tahun 2011 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada BAB VI Kewajiban Anggota DPRD Pasal 36 tentang kewajiban anggota DPRD yang tertuang khususnya pada poin I, j, dan k..

Pola komunikasi politik legislator perempuan dengan konstituen 1. Komunikasi Formal yang terdiri dari

a. Kunjungan kerja. Kegiatan ini sangat berhubungan dengan fungsi pengawasan yang melekat pada diri legislator. Biasanya kegiatan ini dilakukan secara berkelompok bersama komisi dimana legislator itu bernaung atau secara perorangan, contohnya dengan Dinas Pertanian untuk melihat panen raya di kabupaten tertentu. Melihat dari dekat pelaksanaan Ujian Nasional pada siswa-siswa SMP atau SMA/SMK, melihat dari dekat pelaksanaan bulan imunisasi, dan lain-lain.

b. Menerima dialog dengan masyarakat. Dialog dengan masyarakat bisa dalam bentuk hearing (dengar pendapat), maupun menerima keluhan masyarakat dalam bentuk demonstrasi. Contohnya demonstrasi buruh yang menolak pemutusan hubungan kerja, demostrasi pencemaran lingkungan oleh para nelayan, ataupun demostrasi mahasiswa yang menolak kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi.

c. Reses adalah kegiatan DPRD Provinsi Sulawesi Utara yang dilakukan untuk mengunjungi daerah pemilihan guna menyerap aspirasi masyarakat. DPRD Sulawesi Utara telah menjadwalkan masa reses menjadi tiga masa reses yakni masa reses I (pertama) yang dilakukan pada akhir bulan April atau awal bulan Mei tahun berjalan, masa reses II (kedua) yang dilakukan akhir Agustus, sedangkan masa reses III (ketiga dilakukan pada pertengahan bulan Desember mengikuti berakhirnya tahun anggaran.

(7)

pengajian. Atau acara-acara dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya, misalnya di acara dukacita ada tetangga yang meninggal dunia atau acara pesta nikah, acara di tingkat desa/kelurahan maupun tingkat kecamatan, acara keluarga dan lain-lain.

Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti saat legislator perempuan bertemu dengan konstituen terlihat komunikasi yang dilakukan menggunakan komunikasi verbal, khususnya komunikasi lisan dengan pola komunikasi tatap muka. Cara berkomunikasi demikian masih sangat efektif dibandingkan cara komunikasi yang lain sehingga antara legislator perempuan dengan konstituen bisa saling menyapa, bersentuhan, mengenal sehingga apa yang dimaksudkan konstituen bisa diaspirasikan dengan baik oleh legislator perempuan.

Penggunaan media sosial sebenarnya bisa menjadi alternatif bagi legislatif perempuan dalam menjalin hubungan dengan konstituen, namun dalam pengamatan di media sosial khususnya facebook milik masing-masing legislator perempuan, cara-cara tersebut dilakukan. Mereka masih mengekspos diri memperlihatkan kelebihan dirinya secara isik termasuk program liburan ke luar negeri bukan pada program kepada masyarakat atau pengawasan pembangunan yang telah dilaksanakan. Penggunaan media massa konvensional juga kurang dimanfaatkan secara maksimal untuk mendapatkan opini publik yang positif. Keberadaan media massa hanya dimaknai sebagai media informasi bukan untuk menjalin hubungan dengan konstituen.

Makna Konstituen Bagi Legislator Perempuan

Bagi legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara, konstituen yang berasal dari daerah pemilihannya memiliki makna masing-masing. Peneliti membagi menjadi tiga kategori, yakni :

1. Konstituen adalah rakyat umum.

(8)

Hal senada dipaparkan informan berinisial RL yang berasal dari daerah pemilihan Bolaang Mongondow Raya yang terdiri dari lima kabupaten yakni Kota Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan--sebelumnya lima kabupaten/kota ini adalah satu yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow. Menurutnya konstituen adalah semua masyarakat yang berada di daerah pemilihannya baik yang memilih maupun yang tidak memilih dirinya.

Menurut RL yang berasal dari PKS, saat kegiatan reses dia tidak hanya mengundang pihak-pihak yang ada hubungan erat dengannya atau mereka yang berasal dari partainya saja tetapi dia mengundang siapa saja yang ada waktu untuk menghadiri kegiatannya. Karena menurutnya saat reses, semua masyarakat yang ada di desa adalah konstituennya, meskipun pada Pemilu yang lalu mereka tidak memilihnya tapi harus didengar aspirasinya dan jika ada yang positif untuk kepentingan masyarakat umum harus bisa diwujudkan dengan membawanya pada pemandangan umum fraksi saat rapat paripurna.

2. Konstituen adalah pemilih biasa.

Lain dengan IB dan RL, informan dari daerah pemilihan Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon berinisial IS menjelaskan bahwa konstituen hanya dikhususkan bagi mereka yang telah memilih dirinya pada Pemilu 2014. Oleh karena itu, dirinya akan konsen melakukan reses pada desa-desa atau kelurahan dimana dirinya mendapat suara paling dominan dan tidak menghabiskan waktu pada desa lainnya karena di sana pasti sudah ada legislator favorit bagi masyarakat di sana.

Hal serupa dipaparkan informan ML yang berasal dari daerah pemilihan Nusa Utara yang pada periode pertamanya Tahun 2009-2014 langsung menjadi ketua DPRD provinsi perempuan pertama di Sulawesi Utara. Menurutnya pemilih itu sangat dinamis dan susah ditebak. Periode yang lalu memilih calon legislator dari Partai Golkar, bisa jadi periode selanjutnya memilih calon legislator dari partai lain. Oleh karenanya ML menganggap sama semua pemilih tidak ada yang istimewa.

3. Konstituen adalah pemilih loyal

(9)

pemilih tersebut harus diperhatikan dan sejahterahkan. Menurut AD legislator perempuan dari daerah pemilihan II yang mencakup Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung dan juga legislator perempuan dari PDIP, dirinya harus melakukan yang terbaik untuk para pemilih daerahnya. Karena mereka bukan saja sekedar simpatisan dalam memilih pada Pemilu lalu tapi benar-benar loyal dalam memilih partainya termasuk dalam pemilihan Gubernur pada tahun 2015 yang lalu. Dirinya juga mengaku akan selalu melakukan kegiatan reses di desa yang suaranya banyak.

Makna Reses Bagi Legislator Perempuan

Masa reses adalah masa kegiatan DPRD di luar kegiatan masa sidang dan di luar gedung. Masa reses mengikuti masa persidangan yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun atau 14 kali reses (satu masa reses ditiadakan sesuai aturan yang ada) selama satu periode lima tahun masa jabatan di DPRD. Masa ini bertujuan agar para legislator menjumpai konstituen untuk menyerap dan menindaklanjuti aspirasi mereka dan penggaduan masyarakat guna memberikan pertanggungjawaban moral dan politis di daerah pemilihannya masing-masing sebagai perwujudan perwakilan rakyat dalam pemerintahan.

(10)

1. Kegiatan wajib.

Sebagian legislator perempuan memaknai kegiatan reses sebagai kegiatan wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap legislator tak terkecuali oleh legislator perempuan. Menurut IB yang sudah dua periode mengabdikan dirinya di DPRD Provinsi Sulawesi Utara menjelaskan bahwa reses adalah agenda resmi dari dewan bagi semua anggota dewan untuk turun langsung berjumpa dengan masyarakat. Karena menurutnya, menjadi legislator tidak hanya bekerja di Kantor DPRD, tetapi bisa menjadi perantara antara masyarakat dengan pemerintah daerah lewat kegiatan reses tersebut.

2. Wadah mensosialisasikan diri

Sebagian legislator perempuan lainnya memaknai reses yang menjadi kegiatan rutin tersebut menjadi wadah untuk bisa mensosialisasi diri guna untuk kepentingan Pemilu mendatang yang dibiayai melalui APBD. Seperti penuturan legislator perempuan berinisial IS dari daerah pemilihan III Sulawesi Utara yang mencakup Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon juga Wakil Ketua Komisi IV bidang Kesejahteraan Masyarakat. Menurutnya, reses sebagai ajang bagi legislator untuk lebih memperkenalkan diri kepada konstituennya sehingga keberadaan legislator terus diingat masyarakat. Menurutnya, saat reses (saat itu) Komisi IV bidang Kesejahteraan Masyarakat menyisipkan satu program pengobatan mata dan pemberian kacamata gratis kepada masyarakat lanjut usia. Tujuannya agar para lanjut usia bisa mengingat dirinya sebagai legislator yang peduli pada masyarakat.

3. Wadah mendengarkan masyarakat.

Program reses juga dimaknai oleh legislator perempuan sebagai tempat mendengarkan keluhan masyarakat kecil di daerah-daerah. Hal itu diutarakan RL yang pernah menjadi legislator di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Menurut RL, dirinya saat reses tidak datang ke daerah yang banyak memilihnya tetapi ingin mendengarkan keluhan masyarakat kecil yang disesuaikan dengan visi/misi pemerintah provinsi Sulawesi Utara guna pengentasan kemiskinan dan peningkatan perekonomian masyarakat.

Hambatan Aspirasi Konstituen Terwujud

(11)

masyarakat setempat atau konstituen dari permintaan pembuatan jalan aspal, disediakannya sarana/prasarana kesehatan seperti Puskemas, pengadaan bibit untuk pertanian, permintaan untuk diangkat menjadi pegawai negeri, kurangnya lapangan pekejaan, dan lain sebagainya. Namun sayang semua kebutuhan masyarakat tersebut tidak bisa langsung diwujudkan. Faktor penghambatnya adalah keterbatasan wewenang, sistem kerja kolektif kologial, waktu, dan kepentingan partai.

1. Keterbatasan Wewenang. Ada keterbatasan yang dimiliki oleh legislator dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat. Contohnya dalam memperbaiki jalan desa. Program itu menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota bukan kewenangan pemerintah provinsi jadi sulit untuk diwujudkan.

2. Sistem kerja kolektif kologial. Dalam mewujudkan jalan desa yang berada, contohnya di Trans Sulawesi yang sudah menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tidak semata-mata langsung bisa dikerjakan. Ada proses yang harus dilakukan di dalam penentuan anggaran dan sebagainya. Jadi akan terkait dengan Komisi III yang membawahi bidang pembangunan dan infrastruktur setelah itu akan berhubungan dengan badan anggaran yang menentukan besarannya anggaran perbaikan jalan tersebut. Dari gambaran di atas terlihat dalam menentukan suatu program atau proyek perbaikan jalan dibutuhkan beberapa pihak terkait sehingga penentuan kebijakan publik menggunkan sistem kerja kolektif kologial bukan atas nama pribadi.

3. Waktu. Waktu reses seperti telah diuraikan di atas dilakukan dalam tiga masa sidang, biasanya dilakukan pada akhir bulan April, Agustus, dan Desember. Biasanya penganggaran untuk tahun berjalan telah dilakukan perencanaannya dan pembahasannya pada tahun sebelumnya oleh pihak legislatif bersama eksekutif pada tahun sebelumnya. Contohnya, permintaan masyarakat untuk perbaikan jalan di Trans Sulawesi tersebut merupakan hasil reses pada bulan Desember. Alhasil pembahasannya telah lewat maka rencana perbaikan jalan tersebut bisa jadi menunggu dana anggaran perubahan tahun yang akan datang sehingga perbaikannya bisa terjadi pada akhir tahun depan.

(12)

Simpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal dari hasil penelitian, yaitu :

1. Komunikasi politik legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara dengan konstituen masih mengandalkan komunikasi konvensional, seperti komunikasi lisan dan tatap muka yang belum menggunakan media-media baru.

2. Reses dimaknai oleh legislator perempuan sebagai kegiatan rutin yang ditata dalam APBD sehingga ada konsekuensi keuangan yang harus dipertanggungjawabkan. Juga sebagai Wadah mensosialisasikan diri dan wadah mendengarkan masyarakat. 3. Konstituen dimaknai berbeda yakni sebagai masyarakat secara

umum, pemilih biasa, atau loyalis.

(13)

Datar Pustaka

Buku:

Alian, M. Alfan. 2009. Menjadi Pemimpin Politik (Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Harun, Rochajat dan Sumarsono. 2006. Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung : CV Mandar Madju.

Hemas, GKR dan Dr (Hc) Martha Tilaar. 2013. Perempuan Parlemen dalam Cakrawala Politik Indonesia. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat.

Hikmat, Mahi M, Drs., Msi. 2010. Komunikasi Politik Teori dan Praktek. Bandung : Simbiosa Mekatama Media.

Kaukus Parlemen Bersih DIY. 2006. Buku Saku DPRD: Membina Hubungan dengan Konstituen. Local Governance Support Program bekerjasama dengan USAID.

Moleong, Lexy, Prof, DR,MA. 2014. MetodePenelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung : Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan. 2011. Komunikasi Politil: Komunikator, Pesan dan Media (Cetakan Ketujuh).Bandung : Rosdakarya.

Pawito, PhD. 2009. Komunikasi Politik : Media Massa Dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta : Jalasutra.

Rush, Michael dan Philip Althof. 2002. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rajawali Press.

Suwandi, Harsono. 1995. Diktat Komunikasi Politik. Jakarta : Pascasarjana UI.

UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

(14)

Jurnal/Disertasi:

Pramana Anung Wibawa berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif Terhadap Konstituen (Studi Interpretif Pemilu 2009)”. Disertasi Unpad, 2013.

Referensi

Dokumen terkait

group investigation berbantuan proyek yang lebih baik daripada hasil rerata gain ternormalisasi siswa pada kelas kontrol yang menerapkan pembelajaran konvensional pada

Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant , yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat-serat dengan baik.. Binatang ini memfermentasi pakan

Pada tahun 2016 wilayah Polrestabes jenis pelanggaran lalu lintas bertambah menjadi 5 pelanggaran yaitu melawan arus, melanggar lampu lalu lintas, tidak

14 Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan tesis ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

Hasil kerja memenuhi ketentuan teknis, namun laporan belum terpenuhi masih ada kekurang lengkapan dalam menelusuri rekam jejak lembaga kearsipan dan data pendukung kurang lengkap

 Waktu Pelaksanaan : 365 (Tiga ratus enam puluh lima) hari kalender. Demikian pengumuman ini disampaikan, terima kasih atas perhatian

Hasil uji t berpasangan diperoleh nilai t sebesar ±9,03 dengan nilai significancy p 0,000 ( p < 0,05), sehingga bermakna secara siginfikan terhadap skor

Balance Scorecard mengukur kinerja dari empat perspektif, yaitu perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, perspektif proses bisnis internal, perspektif pelanggan, dan