• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Ilusi Fiskal Kabupaten Kota di Provinsi Sumareta Utara (Pengujian Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah Dalam Merespon Dana Perimbangan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Ilusi Fiskal Kabupaten Kota di Provinsi Sumareta Utara (Pengujian Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah Dalam Merespon Dana Perimbangan)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fenomena Ilusi Fiskal

Teori ilusi fiskal pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom Italia yang bernama Amilcare Puviani. Amilcare Puviani menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan yang mampu merubah perilaku keuangan.Mueller (1989) sebagaimana dikutip oleh Dollery dan Worthington (1999) memberikan pengertian definisi ilusi fiskal kontemporer sebagai berikut :

To bring about an increase in government size, for which citizens are not willing to pay voluntary, the legislative – executive entites must increase citizens tax burdens in such a way that citizens are unaware that they are paying more taxes ... if tax burdens can be disguished in this way, citizens have the illusion that the government is smaller than it actually is and government can grow beyond the levels citizens prefer.

(2)

The concept of fiscal revolves around the proposition that the true cost and benefit of government may be consistenly misconstrued by the citizenry of a given fiscal juridictions. ... The empirical analysis of fiscal illusion has been directed almost exclusively at revenue side of fiscal equation with corresponding neglect benefit of public sector activity.

Pendapat yang disampaikan kedua peneliti ini menegaskan bahwa berbagai penerimaan harus memberikan benefit adanya peningkatan aktivitas layanan yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah itu sendiri. Bila realitas yang terjadi justru berlawanan maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal.

Menurut Hewitt (1989) dalam Kuncoro (2007) Ilusi fiskal ini terjadi karena asimetris informasi Pemerintah pusat tidak memahami sepenuhnya kapasitas fiskal daerah dan situasi seperti ini justru dimanfaatkan daerah untuk meningkatkan kebutuhan fiskalnya (meningkatkan belanja) dalam rangka untuk memperoleh dana transfer yang besar (khususnya DAU).

Menurut khasanah ekonomi, telaah mengenai flypaper effect dapat dikelompokkan menjadi 2 aliran pemikiran, yaitu model birokratik (bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Model birokratik menelaah flypaper effect dari sudut pandang dari birokrat, sedangkan model ilusi fiskal mendasarkan kajiannya dari sudut pandang masyarakat yang mengalami keterbatasan informasi terhadap anggaran pemerintah daerahnya (Kuncoro, 2007).

(3)

masyarakat tidak memahami penurunan biaya yang terjadi adalah pada biaya rata-rata atau biaya marginalnya. Masyarakat hanya percaya harga barang publik akan menurun. Bila permintaan barang publik tidak elastis, maka transfer berakibat pada kenaikan pajak bagi masyarakat. Ini berarti flypaper effectmerupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat akan anggaran pemerintah

daerah.

Fillimon, Romer, dan Rosenthal (1982) mengembangkan hipotesis ilusi fiskal dalam konteks ketidaktahuan masyarakat akan jumlah transfer yang diterima.Dalam kasus ini, pemerintah daerah menyembunyikan jumlah transfer yang diterima dari pusat dan kemudian membelanjakannya pada level puncak. Akibatnya, masyarakat memandang telah terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah daerah dengan kenaikan yang lebih tinggi daripada kenaikan kuantitas yang diminta sebagai cerminan dari kenaikan pendapatannya.

2.1.1. Deteksi Ilusi Fiskal

Deteksi terhadap ilusi fiskal dapat dilakukan melalui berbagai cara, dua diantaranya adalah melalui pengukuran pendapatan (revenue enhancement) (Bergstrom dan Goodman, (1973) Dollery dan Worthington,

(4)

Menurut Adi (2009) Belanja daerah pada dasarnya merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Belanja merupakan variabel terikat yang besarannya akan sangat bergantung pada sumber-sumber pembiayaan daerah, baik yang berasal dari penerimaan sendiri maupun dari transfer pemerintah pusat. Sehingga dalam pengukurannya jika terdapat hubungan negatif antara variabel-variabel pendapatan dengan variabel-variabel belanja, maka terdapat ilusi fiskal. Sedangkan pengukuran dengan manipulasi belanja, deteksi terjadinya ilusi fiskal dilakukan dengan melihat peran/kontribusi masing-masing komponen penerimaan terhadap peningkatan anggaran. Komponen belanja dimanipulasi (dihilangkan), sehingga diasumsikan sama (ceteris paribus) dengan besarnya penerimaan daerah itu sendiri. Semakin besar penerimaan daerah maka besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) seharusnya juga menjadi semakin besar.

(5)
(6)

Diamond (1989) dan Ashworth (1995) dalam Ekaristi (1998) menemukan terjadinya ilusi fiskal melalui adanya hubungan yang negatif antara pengeluaran pemerintah dengan pajak tidak langsung dan rasio pengeluaran yang digunakan untuk belanja.

2.2. Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah terhadap Dana Perimbangan Menurut Ekaristi (2007) menunjukkan salah satu contoh perilaku asimetris terjadi karena pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kemampuan dan potensi daerah yang dimiliki untukmemaksimalkan pendapatannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan celah kesempatan yang ada dengan dengan tidak memaksimalkan PAD agar pemerintah pusat bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dalam jumlah yang besar. Hal inilah yang dikemudian hari berdampak pada menurunnya kemandirian daerah.

(7)

memaksimalkan PAD, agar pemerintah pusat bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dan DBH dalam jumlah yang besar. Perilaku asimetris dapat dilihat saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupa DAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun.

Ndadari dan Adi, (2008) menegaskan, Penurunan belanja yang ada tidak sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebih rendah dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAU yang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai dengan peningkatan PAD yang signifikan.Sedangkan Gramlich (1977) menyatakan bahwa dalam kasus keuangan daerah ada respon yang tidak simetris terhadap perubahan besarnya transfer. Argumentasi ini didasarkan pada pemikiran bahwa transfer diberikan untuk suatu jangka waktu tertentu. Selama periode tersebut, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari penerimaan transfer cenderung meningkat. Setelah transfer dikurangi, pihak-pihak tersebut mulai lobi untuk mempertahankan keuntungannya melalui kenaikan pajak lokal.

Transfer yang di berikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah memiliki kaitan yang erat dengan pertumbuhan perekonomian. Transfer dapat meningkatkan belanja dearah yang kemudian akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

(8)

daerah memiliki kesiapan dalam menerima dana transfer tersebut. Dampaknya adalah terjadi perilaku yang tidak simetris sebagai respon terhadap dana transfer yang diberikan.

Maimunah (2006) juga membuktikan bahwa besarnya nilai DAU berpengaruh secara positif terhadap belanja daerah. Selain itu penelitian yang dilakukan Adi (2006) membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah memberikan dampak yang positif terhadap PAD. Hal ini membuktikan bahwa PAD dan transfer pemerintah dalam bentuk DAU dan DBH memiliki peran yang penting di dalam perekonomian suatu daerah.

Dalam APBD belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin merupakan belanja yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, seperti belanja pegawai, belanja operasional dan pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan belanja pembangunan digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasarana publik. Namun yang terjadi saat ini adalah bagi pemerintah pusat, DAU dijadikan sebagai instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau untuk mengisi fiscal gap. Sedangkan bagi

(9)

Menurut Levaggi (1991), dalam Kuncoro (2006) hubungan antara pemerintah daerah digambarkan sebagaimana layaknya prinsipal dengan agen. Pemerintah pusat (prinsipal) akan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (agen) untuk menyelenggarakan penyediaan barang dan jasa publik di daerahnya.

Permasalahan mulai timbul saat ada asimetri informasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan berakibat pemerintah pusat tidak memiliki kontrol terhadap penggunaan transfer. Namun hal inilah yang justru menjadi tujuan dari bantuan tak bersyarat, yaitu pemerintah daerah mampu menentukan sendiri penggunaan transfer yang paling efisien sesuai dengan kebutuhan daerahnya.Perilaku asimetris juga dapat dilihat saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupaDAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun. Penurunanbelanja yang ada tidak sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebihrendah dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAUyang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai denganpeningkatan PAD yang signifikan.

(10)

Dougan dan Kenyon (1988) menyebutkan flypaper effect merupakan suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan (transfer) akan meningkatkan belanja publik yang lebih besar dibandingkan dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh dari masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa flypaper effect muncul saat transfer pemerintah pusat digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD.

Dadan (2006) juga menuturkan bahwa masalah timbul karena belum maksimalnya pengalokasian DAU karena dasar perhitungan fiscal needs yang tidak memadai. Ditambah lagi pengeluaran anggaran (APBD) belum mencerminkan belanja yang sesungguhnya dan cenderung tidak efisien. Seharusnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja daerah, pemerintah perlu untuk mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang dimilikinya. Salah satu cara yaitu dengan menggali dari sumber penerimaan pajak atau dari potensi SDA.

(11)

2.3 Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari berbagai usaha pemerintah daerah untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha milik daerah, dan lain-lain penerimaan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah diartikan sebagai pendapatan daerah yang tergantung keadaan perekonomian pada umumnya dan potensi dari sumber-sumber pendapatan asli daerah itu sendiri.Menurut pasal 6 Undang-undang No.32 tahun 2004 pendapatan asli daerah berasal dari:

1. Hasil pajak daerah. 2. Hasil retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekeyaan daerah. 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

(12)

2.4. Pajak Daerah (TAX)

Pajak merupakan iuran yang dapat di paksakan kepada wajib pajak oleh pemerintah dengan balas jasa yang tidak langsung dapat di tunjuk. Pada pokoknya pajak memeiliki dua peranan utama yaitu sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budget) dan sebagai alat untuk mengukur (fungsi regulator) (Miyasto,2009). Menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 tentang pajak daerah yang selanjutnya di sebut pajak, adalah iuran wajib yang di lakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yang di gunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Dari batasan atau definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah:

a. Iuran masyarakat kepada Negara b. Berdasarkan undang-undang c. Tanpa balas jasa secara langsun

d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah 2.4.1. Retribusi Daerah

(13)

tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Menurut Undang-undang No. 34 tahun 2000 retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Dari definisi di atas terlihat bahwa ciri-ciri mendasar dari retribusi daerah adalah: a. Retribusi dipungut oleh daerah

b. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat di tunjuk.

c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan barang atau jasa yang disediakan oleh daerah

2.4.2. Bagian Laba Perusahaan Daerah

(14)

Fungsi pokok dari perusahaan daerah adalah:

a. Sebagai dinamisator perekonomian daerah, yang berarti perusahaan daerah harus mampu memberikan rangsangan bagi berkembangnya perekonomian daerah.

b. Sebagai penghasil pendapatan daerah yang berarti harus mampu memberikan manfaat ekonomis sehingga terjadi keuntungan yang dapat diserahkan ke kas daerah.

2.4.3. Pendapatan Lain-lain yang disahkan

(15)

2.5 Belanja Daerah

Pendapatan daerah yang diperoleh baik dari pendapatan asli daerah

maupun dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan struktur anggaran daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari:

1. Belanja aparatur daerah

Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

2. Belanja pelayanan publik

Bagian belanja yang berupa : Belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik).

3. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan pengeluaran uang dengan kriteria:

(16)

b. Tidak mengharap dibayar kembali pada masa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.

c. Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan seperti layak yang diharapkan pada kegiatan investasi.

4.Belanja tidak tersangka. Pengeluaran yang disediakan untuk :

a. Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah.

b. Utang (pinjaman) periode sebelumnya yang belum diselesaikan dan atau yang tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.

c. Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.

(17)

pelaksanaan program dan kegiatan yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

2.6 HCT (Herfindahl Concentration Taxes)

Herfindahl Concentration Taxes (HCT) terdiri dari beberapa kategori

pajak yang bervariasi seperti: pajak sektor personal, pajak perusahaan, peneriman pajak bukan dari penduduk dan beberapa pajak dengan kriteria khusus. Dalam penelitian ini variabel HCT diproksi dengan rasio antara retribusi daerah dengan total penerimaan retribusi provinsi. Penggunaan retribusi dalam proksi HCT mengingat retribusi daerah merupakan komponen terbesar PAD, selain pajak daerah. Retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah provinsi secara langsung dan nyata kepada pembayar. Satuan hitung HCT untuk penelitian ini dinyatakan dalam satuan persen.

2.7. Dana Perimbangan

(18)

mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat sehingga menjadi lebih mandiri (Rusydi,2010)

2.8. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dimaksud dengan dana alokasi umum yaitu dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004, besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah Propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari DAU.Pengalokasian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah. Dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang relatif lebih rendah agar dapat mengurangi disparitas fiskal antar daerah dalam era otonomi.

Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut: 1. Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan

dalam negeri yang ditetapkan APBN.

(19)

dengan porsi daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota diseluruh Indonesia.

2.9. Dana Bagi Hasil (DBH)

(20)

2.10. Penelitian Terdahulu

1. Citra Varika (2014) yang berjudul “Deteksi Ilusi Fiskal Pada Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten /Kota Provinsi lampung” Penelitian ini

bertujuan untuk mendeteksi adanya ilusi fiskal pada kinerja keuangan daerah di 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung selama periode 2007-2012. Ilusi fiskal menggunakan dua metode, yaitu metode pengukuran pendapatan dan metode manipulasi belanja.Hasil penelitian menujukan bahwa terdeteksi ilusi fiskal pada kinerja keuangan daerah Kabupaten/Kota Provinsi Lampung selama periode 2007-2012 dengan menggunakan dua metode analisis.Metode pengukuran pendapatan mendeteksi ilusi fiskal dengan adanya pengaruh negatif terhadap variabel yaitu rasio kemampuan pdrb untuk memenuhi pengeluaran, dan rasio dari pendapatan yang digunakan untuk belanja terhadap pengeluaran daerah.metode manipulasi belanja mendeteksi ilusi fiskal dengan adanya pengaruh positif variabel rasio pendapatan nasionalyang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap anggaran pendapatan asli daerah.

2. Priyo Hari Adi (2009) yang berjudul “Fenomena ilusi fiskal dalam kinerja anggaran pemerintah daerah” tujuan penelitian ini adalah untuk melihat

(21)

Alokasi Umum (DAU), pemerintah pusat perlu memperhatikan informasi mengenai faktor- faktor yang dapat mempengaruhi pendapatan dan belanja pemerintah daerah.

3. Dewi Purwanti Dude (2014) yang berjudul “analisis kinerja keuangan dan fisikal illusion pada pemerintah provinsi Sulawesi Utara Tahun 2003-

2012” penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan

daerah Provinsi Sulawesi Utara serta mendeteksi ilusi fiskal. Adapun untuk alat analisis Kinerja keuangan menggunakan Analisis rasio kemandirian keuangan daerah,rasio efektifitas,rasio efisiensi,rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan.analisis rasio kemandirian keuangan daerah,rasio efektifitas,rasio efisiensi,rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan. Metode deteksi ilusi fiskal menggunakan pendekatan pendapatan (revenue enchanchement).Hasil Penelitian menunjukkan dari hasil analisis rasio

disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian keuangan daerah Provinsi Sulawesi Utara yang terus membaik.

4. Jothi Sivagnanam K. and Naganathan M. (1999) yang berjudul ”Federal Transfers and the Tax efforts of the States in India” Tujuan dari penelitian

(22)

pendapatantransfer keuangan percapita (Finance Commission transfers), rencana hibah perkapita (percapita plan grants), hibah perkapita tak terencan (per capita non-plan grants) dan perkapita produkdomestic negara (percapita State domestic product). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa upaya peningkatan pajak tidak meningkat secara siknifikan.

5. Dollery, Brian dan Worthington, Andrew (1999) yang berjudul ”Fiscal Illusion at the Local Level: An Empirical Test Using Australian Municipal

Data”Penelitian ini bertujuan untuk memperluas literatur tentang

(23)

2.11. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka teoritis yang dapat penulis paparkan mengenai deteksi ilusi Fiskal pada keuangan provinsi Sumatera yaitu dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1

Skema Kerangka Konseptual Deteksi Ilusi Fiskal pada Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara 2.12. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh yang negatif TAX terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.

2. Terdapat pengaruh yang negatif HCT terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.

3. Terdapat pengaruh yang negatif DAU dan DBH terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara.

4. Terdapat fenomena ilusi fiskal dalam keuangan Kabupaten/Kota di provinsi Sumatera Utara.

TAXit

HCTit DAUit DBHit

Gambar

Gambar 2.1 Skema Kerangka Konseptual Deteksi Ilusi Fiskal

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, aksara yang digunakan dalam naskah Sejarah Ringkas Auliyaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di

Lebih lanjut, jika diamati terlihat intensitas semakin baik dan semakin tinggi jika menggunakan air laut, dimana pada penggunaan air laut dalam proses

- Perlu koordinasi yang intensif antara unit perencana strategi dengan unit perencana keuangan/anggaran untuk memastikan seluruh pencapaian strategi telah didukung oleh

Upaya inovasi hijau yang dilakukan pada industri karagenan adalah dengan memanfaatkannya menjadi makanan fungsional berupa nata de seaweed layak untuk dikembangkn melihat

Dalam rangka Dies Natalis Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada ke-47, Panitia menyelenggarakan Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Peternakan Tropik Tahun

Musdalifah, Pengaruh Metode Audiolingual Terhadap Penguasaan Mufradat Bahaa Arab Peserta Didik Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah (MTs) Muhammadiyah Pondok Pesantren Darul Arqam

One of it is PhET simulation (Physics Education and Technology). PhET is an interactive simulation that is very suitable to be applied in education. PhET was

Kinerja penerapan manajemen rantai pasok (SCM) pada komponen perencanaan di tingkat peternak sapi potong memberikan gambaran sebagai berikut: (1) indikator