BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA
PEMERKOSAAN (VERKRACHTING)
A. Pengaturan Tindak Pidana Pemerkosaan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)38
1. Pasal 285 KUHP
Pasal ini berbunyi:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Unsur-unsur delik:
a. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Laki-laki)
b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen):
1) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
2) Memaksa;
3) Seorang perempuan bersetubuh dengan dia;
4) Di luar perkawinan.
Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia.
Pembuat Undang-Undang menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman
bagi perempuan yang memaksa laki-laki bersetubuh, bukan semata-mata karena
paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin,
akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak
38
mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukankah seorang
perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena perbuatan itu.39
2. Pasal 286 KUHP
Pasal ini berbunyi:
”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahui perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”
Unsur-unsur delik:
e. Subjek (Normadressaat)
f. Bagian Inti (Delictsbestanddelen):
1) Bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan
2) Diketahui bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya.
Delik dalam pasal 286 KUHP mensyaratkan kesengajaan, karena
mengetahui bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya.Akan tetapi (Hoge
Raad, 19 Januari 1993, NJ. 1993, 491), menerima kesengajaan bersyarat (sengaja
kemungkinan; dolus eventualis) dalam hal ini.40
Tidak berdaya, menurut Clairen yaitu keadaan fisik tidak dapat melawan
yang korban tidak sadar untuk melawan itu (Hoge Raad, 28 Februari 1989, NJ
1989, No. 658).Jadi tidak berdaya tidak berarti tidak berdaya secara psikis.41
Menurut R. Soesilo dalam penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana membedakan defenisi tidak berdaya dan defenisi pingsan. Menurutnya,
tidak berdaya adalah tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga
tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali, misal mengikat tangan dan kaki
39
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia) 1994
40
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu…., op.cit.hal. 172
41
seseorang dengan tali, mengurung dalam kamar, atau member suntikan yang
menyebabkan seseorang menjadi lumpuh. Orang yang tidak berdaya masih dalam
keadaan sadar dan masih mengetahui apa yang sedang terjadi. Sedangkan
pengertian pingsan menurut R. Soesilo adalah tidak ingat atau tidak sadar akan
dirinya dan tidak sadar akan apa yang sedang terjadi, misalnya korban diberi
minuman racun yang membuatnya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.
Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan seseorang dapatdikenakan pasal ini
jika pingsan atau tidak berdayanya perempuan dikarenakan bukan karena
perbuatan si pelaku, jika pingsan atau tidak berdaya nya korban dikarenakan
perbuatan si pelaku, maka ia dikenakan Pasal 285 KUHP42
3. Pasal 287 KUHP
Pasal ini berbunyi:
(1) ”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan diluar perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawini, diancam pidana penjara paling lama Sembilan tahun”
(2) “Penuntutan hanya berdasarkan pengaduan, kecuali jika perempuannya belum sasmpai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294”
Ini berarti menjadi delik biasa, bukan delik aduan jika anak itu belum
berumur dua belas tahun. Juga mengakibatkan luka berat (Pasal 291) atau dengan
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau orang yang belum dewasa yang mempeliharanya, pendidikannya,
dan penjagaannya diserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau bawahannya
yang belum dewasa (Pasal 294 ayat (1)). Termasuk juga pegawai negeri kepada
bawahannya atau orang penjagaannya dipercayakan kepada atau diserahkan
42
kepadanya; begitu pula pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah yatim piatu,
rumah sosial, rumah sakit, atau rumah sakit jiwa (Pasal 249 ayat (2)).
Unsur-unsurnya:
a. Subjek (Normadressat) : Barangsiapa (Laki-laki)
b. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum
lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk
dikawini.
4. Pasal 288 KUHP
Pasal ini berbunyi:
“(1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang perempuan yang diketahui nya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawini, apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
(2) ”Jika perbuatannya mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.”
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhi pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Inilah pasal yang diterapkan kepada orang-orang yang kawin dengan
anak-anak.Karena orang Indonesia sering ada yang kelahirannya tidak tercatat resmi,
maka sering tidak diketahui umur anak perempuan secara pasti, sehingga perlu
dipakai rumus diketahui (sengaja) atau patut dapat diduga (culpa) mengenai sudah
atau belum waktunya perempuan itu dikawini.Bukan umur yang pasti. Menurut
Lemaire, pasal ini diciptakan untuk mencegah perkawinan anak-anak menurut
karena menimbulkan luka-luka.Disini ada gabungan antara Pasal 288 dan delik
penganiayaan.43
B. Pengaturan tentang pemerkosaan diluar KUHP
1. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 35
Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002
Undang-undang perlindungan anak ini menegaskan bahwa
pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara
merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi
terlindunginya hak-hak anak.Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan
terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,
spiritual maupun sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai
pancasila.
Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.44
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-hak nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan
sedini mungkin sejak janin dalam kandungan sampai anak berumur delapan belas
tahun.Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluuh dan
komprihensif, Undang-undang ini meletakkan kewajiban member perlindungan
kepada anak.
43
Andi Hamzah mengutip pendapat W.L.G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht, Voor Ned. Indie vergeleken met hed ned. Wetboek van Strafrecht, 1934, hal. 112
44
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.45
merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak.
Draf pertama Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini tersusun pada
tahun 1998 dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang
menguntungkan serta krisis ekonomi yang begitu mengkhawatirkan.
Pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang
dalam Undang-undang No.23 tahun 2002. Pembentukan UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan
anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan
pembangunan nasional,khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam
berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini
46
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
Hal inilah yang menyebabkan draf ini tertunda.Situasi yang tidak kondusif
ini mendorong UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan Rancangan
Undang-Undang ini. Setelah melewati proses yang begitu panjang maka pada tanggal 22
Oktober 2002 RUU tersebut disahkanAsas dan tujuan lahirnya undang-undang ini
diatur dalam Pasal 2 dan Pasal3, sementara mengenai hak anak diatur dalam Pasal
4 sampai Pasal 18 dan kewajibannya diatur dalam Pasal 19. Disebutkan dalam
Pasal 13 bahwa:
a. Diskriminasi47
45
Pasal (1) angka 2 UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
46
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, Halaman 1.
47
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual48 c. Penelantaran49
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan50 e. Ketidakadilan51
f. Perlakuan salah lainnya52
2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
(1) Kewajiban orang tua tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 ini juga diatur kewajiban orang tua, antara lain:53
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
d. Memberikan pendidikan Karakter dan Penanaman Nilai Budi Pekerti pada Anak. (Tambahan dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang perrubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)
(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggungjawab, kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)
jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental
48
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan
49
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajibab untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya
50
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa:perlakuan yang kejam, mislanya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, mislanya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial
51
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan bahwa: perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak
52
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak
53
Dalam hal orang tua melakukan perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka orang tua tersebut
dinyatakan telah melakukan tindak pidana,yang disebut juga delik. Menurut
wujud dan sifatya, tindak pidana ini adalah pebuatan-perbuatan yang melawan
hukum.Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dan
bertentangan dengan atau mengahambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat
yang dianggap adil.54
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak terekspoitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yag menjadi korban penyalahgunaan markotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang
No.23 tahun 2002 telah diubah ke UU No 35 Tahun 2014 tentang perbuahan atas
UU No 22 Tahun 2002 sehingga perubahannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 59
(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak yang lari dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan Seksual k. Anak Korban Jarinag Terorisme l. Anak Penyandang disabilitas
54
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran n. Anak dengan perlakuan sosial yang menyimpang
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi Orang Tuanya
Pasal 64
i. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
ii. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
iii. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 67
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 68
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 69
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya
a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 71
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan
secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun
2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan
sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga
menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini
juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban
maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi
Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi
pelaku kejahatan yang sama.
Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya Undang-
Undang ini adalah:
a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap
warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
asasi manusia;
b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga
wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu
dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang
diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam
beberapa pasal, misalnya:
Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berkonflik dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban kejahatan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23
tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal
69A sebagaimana berikut:
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat
pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.”
Setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam hal ini
incestberhak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi
tanggung jawab pelaku kejahatan.Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau
imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.55
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak utuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 300.00.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
Selain itu, pasal 81 UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
menyatakan bahwa:
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.
Dalam perubahannya yaitu UU no. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU no
23 Tahun 2002, diatur dalam Pasal 76E yang berbunyi:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Sedangkan sanksi Pidananya diatur dalam pasal 82 yang isinya:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
55
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Dalam UU no 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002
hanya diatur tentang tindak pidana pencabulan, berbeda dengan UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan anak yang menggunakan istilah “persetubuhan” yang
merujuk kepada tindak pidana pemerkosaan.
Berdasarkan pasal 81 UU no. 23 tahun 2002, maka unsur-unsur yang harus
dipenuhi dalam menerapkan kekerasan seksual terhadap anak adalah:
a. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan b. Adanya tipu muslihat
c. Adanya serangkaian kebohongan d. Adanya bujukan
e. Adanya persetubuhan dengan seorang anak.
Jika dibandingkan dengan rumusan yang dikemukakan dalam pasal 287
KUHP maka cara-cara yang dilarang dalam pasal 81 ini jauh lebih lengkap karena
merumuskan beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan
sebagai cara untuk memaksa seseorang bersetubuh, yaitu dengan mengakui
adanya cara-cara lain yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat,
serangkaian kebohongan ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu cara
tersebut unsurnya terpenuhi dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih
berumur 18 tahun, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan pasal 81 ini.
berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak dalam UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan tindak
pidana biasa yang diatur dalam pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak
krban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun sampai dengan 15 tahun atau
diketahui belum masanya untuk kawin merupakan tindak pidana (delik) aduan.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas telah mengatur secara spesifik tentang
perkosaan terhadap anak dengan sanksi yang jauh lebih berat daripada yang
ditetapkan dalam Pasal 287 KUHP. Adalah penting untuk memberikan
perlindungan khusus terhadap perempuan yang belum dewasa, sehingga setiap
laki-laki yang berniat untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut akan
mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar.
2. PERPPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 tahun
2016 merupakan perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,
ada beberapa perubahan baik dari UU No. 23 tahun 2002 maupun dari UU No. 35
tahun 2014. Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni
hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara maksimal 20 tahun, dan penjara
maksimal 10 tahun penjara.
Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni kebiri kimiawi,
pengumuan identitas ke public, serta pemasangan alat deteksu elektronik.Perppu
ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81 dan 82, serta
menambah satu pasal 81A.adapun isi dari Perppu Nomor 1 tahun 2016 adalah:
1. Ketentuan pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
(Catatan: Pasal 76D dalam UU no. 35 tahun 2014 berbunyi “setiap orang
dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain)
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan perserubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang mengenai perlindungan anak, atau dilakukan oeh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D
(5) Dalam hal tindak piidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.
2. Diantara pasal 81 dan pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni pasal 81A
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi
3. ketentuan pasal 82 diubah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyakmRp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
(catatan: bunyi pasal 76E UU No. 35 tahun 2014 berbunyi “Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”)
(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
(4)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76Emenimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5)selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4), pelau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak
Pasal 82A
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawah pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan peraturan pemerintah.
3. UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.56
Ruang lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam Undang-undang ini
meliputi:57
a. Suami, istri dan anak, termasuk ke dalam pengertian anak adalah anak
angkat dan anak tiri.
b. Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
yang dimaksud dalam huruf (a) karena adanya hubungan darah,
hubungan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
Tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini adalah untuk
mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban,
56
Pasal 1 angka 1 UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
57
menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.58
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang dilakukan
adalah sebagai berikut: 59
2. Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit atau luka
berat60
3. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.61
4. Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut62 atau
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan
tertentu.63
5. Penelantaran rumah tangga yaitu tindakan menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut, atau tindakan yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
58
Pasal 4UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
59
Pasal 5 UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
60
Pasal 6 UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
61
Pasal 7UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
62
Pasal8 huruf a UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
63
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga
korban berada dibawah kendali orang tersebut.
Berdasarkan analisis tersebut diatas, maka dapat dibedakan antara
perumusan yang diatur dalam UU PDKRT khususnya yang berkaitan dengan
tindak pidana pemerkosaan ini berbeda ruang lingkupnya dengan KUHP.
Dalam pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP, batasan hukuman yang
ditetapkan hanyalah batasan maksimal semata-mata tanpa adanya batasan
minimal. Karena itu berat ringannya sanksi yang dijatuhkan sangat tergantung
pada pertimbangan hakim.Seringkali kasus tindak pidana perkosaan dihukum
dengan sangat ringan.
Berkaitan dengan ketentuan pidana khususnya kekerasan seksual di dalam
UU no. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 46:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau dengan paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah)
Unsur-unsur Delik:
a. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Setiap Orang)
b. Bagian Inti Delik (Delictsbestanddelen):
1) Dengan kekerasan atau Ancaman Kekerasan
2) Memaksa
3) Seseorang untuk bersetubuh
4) Dilakukan terhadap orang yang menetap di ruang lingkup rumah
Dalam penjelasan pasal 8 UU no 23 tahun 2004 dikatakan bahwa yang
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
wajar dan/atau tidak disukai. Dalam pasal ini tidak dijelaskan bahwa pelaku
kekerasan seksual hanya berlaku untuk laki-laki, artinya perempuan atau anak
yang melakukan perbuatan tersebut dapat dikenakan dalam pasal ini.UU ini tentu
berbeda dengan pasal pemerkosaan dalam KUHP dimana kata ‘barang siapa’
terbatas hanya untuk setiap laki-laki saja. Selain itu juga ruang lingkup
pemerkosaan sebagai mana diatur dalam UU no. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ialah setiap orang yang tinggal
atau menetap dalam suatu ruang lingkup rumah.
Pasal 47:
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 huruf b, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
Unsur-unsur Delik:
c. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Setiap Orang)
d. Bagian Inti Delik (Delictsbestanddelen):
1) Dengan kekerasan atau Ancaman Kekerasan
2) Memaksa
3) Seseorang untuk bersetubuh
4) Dilakukan terhadap orang yang menetap di ruang lingkup rumah
5) Dilakukan dengan tujuan komersil atau tujuan tertentu
Pasal ini hampir sama dengan pasal sebelumnya dimana pelaku melakukan
ruang lingkup rumah, tetapi seseorang dapat dikenakan pasal ini jika perbuatan
yang dilakukannya adalah untuk suatu tujuan tertentu atau tujuan komersil.
Pasal 48:
Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak member harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Unsur-unsur dalam pasal ini hampir sama dengan dua pasal sebelumnya,
hanya saja ada sedikit tambahan, yaitu apabila perbuatan tersebut mengakibatkan
luka-luka pada korban, gangguan daya pikir atau kejiwaan, dan akibat-akibat lain
yang tergolong luka berat.
4. Perbandingan Tindak Pidana Pemerkosaan Antara KUHP dan UU
diluar KUHP
a. Perbandingan KUHP dengan Undang-undang Perlindungan Anak
UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jelas yang menjadi objek
nya adalah anak, dimana menurut UU ini yang dikategorikan sebagai anak adalah
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan64,
sementara dalam KUHP R. Soesilo mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
‘belum dewasa’ adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.
Jika orang kawin dan bercerai sebelum 21 tahun, ia tetap dianggap dewasa.65
64
Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
65
Sedangkan dalam tindak pidana pemerkosaannya, Jika dibandingkan dengan
rumusan yang dikemukakan dalam pasal 287 KUHP maka cara-cara yang dilarang
dalam pasal UU Perlindungan Anak ini jauh lebih lengkap karena merumuskan
beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara untuk
memaksa seseorang bersetubuh, yaitu dengan mengakui adanya cara-cara lain
yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan
ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu cara tersebut unsurnya terpenuhi
dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih berumur 18 tahun, maka kepada
pelaku dapat dijerat dengan pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002.
Berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak dalam UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan tindak
pidana biasa yang diatur dalam pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak
pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan bahwa jika perempuan
korban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun sampai dengan 15 tahun atau
diketahui belum masanya untuk kawin merupakan tindak pidana (delik) aduan.
Sedangkan terhadap PERPPU No. 1 tahun 2016, yang membedakan antara
KUHP, UU No 23 Tahun 2002, dan UU No 35 Tahun 2014 terletak pada
hukuman yang diancam kepada pelaku, dalam PERPPU ini, pelaku diancam
dengan hukuman yang lebih berat, yaitu penjara maksimal 20 tahun, hukuman
mati, dan kebiri secara kimia.
b. Perbandingan Tindak Pidana Pemerkosaan dalam KUHP dan UU
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjadi penekanan
KUHP merumuskan tindak pidana pemerkosaan sebagai sesuatu tindak pidana
yang umum tanpa melihat siapa korbannya, dimana peristiwanya, atau siapa
pelakunya, tidak ada kekhususan atau pemberatan terhadap orang yang melakukan
perbuatan pidana terutama tindak pidana pemerkosaan terhadap orang yang
tinggal dalam satu tempat tinggal (domisili).
Hal inilah yang dirumuskan dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) dimana selain
menggunakan unsure-unsur tindak pidana pemerkosaan sebagaimana yang di
rumuskan dalam KUHP, UU ini menambah satu unsur tambahan, yaitu, korban
dan pelaku merupakan orang yang tinggal dalam satu rumah, satu tempat tinggal,
atau satu domisili. Hal inilah yang menjadi pengkhususan dari UU PKDRT ini,
dan perbedaan lainnya adalah bahwa dalam penjelasan UU PKDRT tidak
dijelaskan bahwa pelaku adalah setiap laki-laki, artinya subjek yang dapat menjadi