• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI DIREKTORI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KOTO BARU NOMOR 139/PID.B/2013/PN.KBR).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI DIREKTORI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KOTO BARU NOMOR 139/PID.B/2013/PN.KBR)."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN

BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK

(Studi Direktori Putusan Pengadilan Negeri Koto Baru Nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR)

SKRIPSI

Oleh:

EKE DESSY KUMALASARI NIM. C03212010

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian kepustakaan untuk menjawab dua pertanyaan, yaitu bagaimana pertimbangan Hakim terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam putusan nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam putusan nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

Dengan adanya permasalahan di atas, maka penyusun mengkaji dan meneliti untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan penelitian kepustakaan (Library Research) menggunakan metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap putusan Pengadilan Negeri Koto Baru, serta dengan literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan. Sedangkan untuk menganalisis hasil penelitian menggunakan teknik deskriptif, yaitu menggambarkan atau menjelaskan kronologi kasus yang telah terjadi, serta menggunakan teknik deduktif, yaitu dengan mengemukakan teori-teori yang bersifat umum terlebih dahulu untuk dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang bersifat khusus.

Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat diketahui bahwa keputusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Rismawati yang berumur 17 tahun berupa hukuman tindakan yang diberikan kepada negara (menjadi anak negara) agar mendapat bimbingan, pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja untuk perkembangan perilaku yang lebih baik lagi di masa depan. Hal ini berbeda dalam pandangan hukum pidana Islam yang menetapkan bahwa anak yang telah akil balig dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana pencurian dengan hukuman h}ad (potong tangan), sedangkan beberapa pengulangan tindak pidana yang dilakukan, maka terdakwa juga dapat dijatuhkan hukuman yang lain berupa takzir. Dimana penjatuhan hukumannya dapat dikenakan hukuman potong tangan, yaitu untuk pencurian yang pertama dapat di potong pada tangan kanan, kedua kalinya di potong kaki kiri, ketiga di potong tangan kiri, keempat di potong kaki kanan, dan untuk yang kelima hukuman yang diberikan adalah dibunuh.

(7)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi dan batasan masalah ... 7

C. Rumusan masalah ... 8

I. Sistematika pembahasan ... 17

BAB II HUKUM PIDANA ISLAM ... 19

A. Hukum pidana pencurian dalam Islam ... 19

1. Pengertian pencurian ... 19

2. Unsur-unsur pencurian ... 20

3. Syarat-syarat dalam pencurian... 24

4. Alat bukti pencurian ... 25

(8)

B. Pengulangan tindak pidana menurut hukum pidana Islam ... 29

1. Pengertian pengulangan tindak pidana ... 29

2. Gabungan hukum dalam pengulangan tindak pidana ... 32

C. Kriteria anak menurut hukum Islam ... 40

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM DIREKTORI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KOTO BARU NOMOR 139/Pid.B/2013/PN.KBR... 44

A. Deskripsi pengadilan negeri Koto Baru... 44

B. Deskripsi kasus dan landasan hukum... 47

C. Pembuktian alat bukti, keterangan saksi dan terdakwa... 49

D. Amar direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR ... 59

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK... 63

A. Analisis hakim dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR tentang hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak ... 63

B. Analisis hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR ... 68

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam kehidupan bermasyarakat ada berbagai macam jenis manusia, yang diantaranya ada manusia yang berbuat baik dan ada pula manusia yang berbuat buruk kepada orang lain. Pada kalangan masyarakat selalu terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran yang terkadang sangat bertentangan oleh peraturan perundang-undangan maupun norma-norma yang berlaku di Negara Indonesia. Dalam hal ini setiap pelanggaran peraturan hukum yang telah ditetapkan, maka akan dikenakan sanksi berupa hukuman atas pertanggungjawaban pelanggaran yang telah dilakukannya.1

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap Negara tidak terlepas dari tindakan kriminal, dimana kejahatan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pemberitaan diberbagai media massa, seperti pencurian, narkoba, penganiayaan, dan lain sebagainya.

Di kalangan masyarakat banyak terjadi suatu tindak pidana yang sering kali dilakukan oleh orang yang pada dasarnya memiliki niat kejahatan, meskipun dengan maksud dan cara yang berbeda, serta dengan ketentuan yang melawan hukum, seperti halnya dengan tindak pidana pencurian. Pada

(10)

2

tindak pidana pencurian ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi sering kali anak yang menjadi seorang pelaku tindak pidana.

Anak yang merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, karena anak berperan penting untuk mengubah suatu bangsa agar menjadi lebih baik. Dengan ini, orang tua memiliki tanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak pada masa pertumbuhannya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap anak berhak untuk memperoleh suatu perlindungan dari pihak orang tua, masyarakat, dan Negara. Selain itu anak berhak untuk memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kehidupannya, dan kesejahteraan yang merupakan sebagian dari hak-hak atas anak. Jaminan perlindungan hak anak pun telah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan tujuan dari negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.2

Berbicara mengenai anak dalam konteks perlindungan hak-hak yang dimiliki oleh setiap anak, maka ketika seorang anak yang melakukan suatu tindak pidana juga akan dikenakan sanksi atau hukuman. Karena di negara Indonesia pun telah menetapkan berbagai macam pemidanaan (sanksi atau hukuman) yang akan ditetapkan apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang dapat merugikan orang lain.

Pengulangan tindak pidana merupakan suatu pengulangan kembali kriminal yang sebelumnya biasa dilakukan setelah dijatuhi pidana dan menjalani hukuman yang pernah diberikan atas dasar dari perbuatan yang

(11)

3

dilakukannya.3 Dalam hal ini tujuan terpenting terkait residivis (pengulangan tindak pidana) ialah pada aspek penjeraan dan rehabilitasi, penjeraan berupa hukuman yang diberikan sebagai balasan atas perbuatan yang telah dilakukan, sedangkan rehabilitasi merupakan aspek penyiapkan mental dan keterampilan agar mereka para nara pidana tidak mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya. Sedangkan dalam hukum Islam residivis dikenal dengan sebutan pengulangan jari>mah (al-‘aud).

Dalam masalah residivis (pengulangan tindak pidana) dapat diambil dari kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang anak yang berada di kalangan masyarakat, bahwa kasus ini terjadi di daerah Jorong Pinang Sinawa, Nagari Luak Kapau, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan.4

Peristiwa ini bermula pada saat Rismawati atau yang biasa dipanggil Riris (terdakwa) sedang berada di rumah nenek Rismawati. Tidak lama kemudian Rismawati pergi meninggalkan rumah neneknya, dan setelah itu Rismawati pergi ke rumah Mesri Harizal atau biasa dipanggil Mes. Pada saat Rismawati berada dibelakang rumah Mesri Harizal, maka timbul niat untuk mencuri dirumah tersebut. Tidak lama kemudian, Rismawati pun segera mendekati jendela dan langsung berusaha membuka jendela tersebut. Setelah jendela berhasil di buka, maka Rismawati langsung memasuki rumah tersebut dengan cara memanjat dan langsung menuju pintu penghubung

3 Gerson W Bawengan, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Islam didalam Teori dan

Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1997), 70.

(12)

4

antara rumah belakang dan rumah depan dengan melalui pintu penghubung. Rismawati pun berusaha membuka pintu tersebut, kemudian Rismawati langsung memasuki rumah bagian depan itu dan langsung masuk menuju kamar untuk segera mengambil harta atau barang yang ada di dalam lemari. Maka atas perbuatan tersebut Rismawati mengambil sebuah kalung emas dan uang senilai Rp 2.700.000,- (dua juta tujuh ratus ribu rupiah).

Pada kasus ini pelaku pencurian yang dilakukan oleh anak yang berumur 17 tahun merupakan perbuatan yang melawan hukum. Dan pada kasus ini pelaku sebelumnya pernah melakukan tindak pidana pencurian, tetapi pada hukuman yang telah diberikan dan dijalankan tidak membuat pelaku untuk berhenti melakukan perbuatan tersebut.

Dalam kasus diatas perbuatan yang dilakukan oleh Rismawati menyebabkan Mesri Harizal telah mengalami kerugian sebesar Rp 14.000.000,- (empat belas juta rupiah). Dan dalam kasus pencurian tersebut, maka pelaku diancam dengan melanggar pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP Jo Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada pelaku pencurian ini merupakan anak yang masih dibawah umur, sehingga dalam mengadili kasus tersebut berpedoman pada Undang-undang Pengadilan Anak. Dan mengenai tindak pidana pencurian pada pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP yang berbunyi:

(13)

5

dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan

palsu.”5

Dalam ajaran agama Islam pun sangat melindungi harta, karena harta adalah bahan pokok untuk hidup. Dengan demikian, Islam tidak menghalalkan seseorang merampas hak milik orang lain dengan cara apapun.6 Karena mengambil sesuatu yang bukan haknya, merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.

Setiap orang yang melakukan tindak pidana pencurian haruslah dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukannya. Karena apabila seseorang tersebut tidak dikenai hukuman, maka ia akan dengan mudah mengulangi lagi perbuatannya. Hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pencurian merupakan bagian dari rasa tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Tetapi, apabila terdapat pada senggang waktu tertentu pelaku melakukan penggulangan tindak pidana, maka hukuman yang diberikan akan lebih berat dibandingkan dengan hukuman dari yang sebelumnya, serta di dalam KUHP ada beberapa pasal yang mengatur tentang penambahan hukuman.

Hukuman yang merupakan suatu bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan-ketentuan syarak yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Dan tujuan dari hukuman dalam syariat Islam yakni sebagai pembalasan perbuatan jahat yang telah dilakukan, pencegahan secara umum dan khusus, serta

5 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia, 1991), 251.

6 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Moh. Nabhan Husein), Jilid IV, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1984),

(14)

6

perlindungan terhadap hak-hak korban. Pemberian hukuman harus sesuai dengan perbuatannya, sehingga dapat memenuhi pada hak atas korban yang tindak pidana.

Dalam hukum Islam, hukuman yang diberikan untuk tindak pidana pencurian dengan menggunakan hukuman hudud, dimana perbuatan pidana tersebut ditentukan jenis, dan bentuk hukumannya telah ditetapkan oleh syarak dan tidak dapat tambahan ataupun pengurangan, serta hukuman tersebut telah memenuhi syarat-syaratnya. Islam memberikan hukuman berat kepada orang yang melakukan perbuatan mencuri, yaitu dengan hukuman potong tangan atas pencurinya. Karena tangan merupakan organ bagian atas yang digunakan oleh pencurinya untuk mengambil harta atau barang milik orang lain yang bukan haknya.7

Dengan demikian hukuman bagi pengulangan tindak pidana (residivis) pencurian yang diatur dalam hukum positif di Indonesia dalam beberapa pasal di dalam KUHP.8 Sedangkan dalam hukum pidana Islam pun memiliki perbedaan dalam pemberian penjatuhan hukuman yang akan dilakukan, apabila seorang pelaku pencurian tersebut melakukan pengulangan jari>mah pencurian (sari>qah).

Berdasarkan uraian diatas, mengenai hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak yang dipandang melalui hukum pidana Islam, maka dengan ini penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut berdasarkan direktori putusan Pengadilan Negeri Koto Baru, tentang

7 Ibid.

8

(15)

7

pertimbangan hakim dalam memutuskan hukuman yang diberikan bagi pelaku residivis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga ditinjau dari segi hukum pidana Islam.

Dengan demikian, penulis akan menganalisis tentang permasalahan pada kasus tersebut, yang mana penulis akan menuangkan dalam judul skripsi yang berjudul: Tinjauan hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak (Studi direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR).

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah antara lain, yaitu:

1. Deksripsi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

2. Unsur-unsur tindak pidana pencurian.

3. Pemahaman tentang residivis menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.

4. Pertimbangan hakim tentang hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

(16)

8

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka untuk membatasi permasalahan agar tidak melebar, penulis merumuskan beberapa batasan-batasan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktor putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi residivis (pengulangan jari>mah) pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

C. Rumusan Masalah

Dari pemaparan beberapa identifikasi dan batasan masalah diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan pokok yang diantaranya:

1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR?

(17)

9

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti, sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.9

Di bawah ini disebutkan hasil-hasil dari penelitian terdahulu yang telah diringkas dalam bentuk skripsi, diantaranya:

1. Karya Rahmi Rasyidah (2005), dengan judul “Putusan Pengadilan

Negeri Gresik Nomor 01/Pid.B/2000/PN.Gs Tentang Tindak Pidana

Pencurian Oleh Anak Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam”. Kesimpulan

dari penelitian ini ialah menurut hukum Islam hukuman yang diberikan kepada pelaku pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur tidak memiliki hukum sebagai sanksi pemidanaan, sebab anak yang masih dibawah umur hanya memiliki hukuman takzir.10 Dimana hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana telah ditentukan dengan putusan hakim sebagai penguasa yang berhak menghukum atas pelanggaran yang telah dilakukan. Sehingga hukuman yang diberikan dapat berupa pemidanaan ataupun pengembalian anak tersebut kepada orang tuanya agar dapat mendidik anaknya dengan baik.

9 Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknik Penulisan Skripsi, (Surabaya:

t.p., 2015), 8.

10 Rahmi Rasyidah, “Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor 01/Pid.B/2000/PN.Gs tentang

(18)

10

2. Karya Izzul Khoir (2012), dengan judul “Pengulangan Kejahatan Oleh

Residivis diwilayah Polsek Kenjeran Surabaya Dalam Kajian Fiqih

Jinayah”. Kesimpulan dari penelitian ini ialah pengulangan kejahatan

yang dilakukan akan dikenakan pemidanaan berdasarkan kejahatan yang dilakukan. Dan menurut hukum positif pelaku residivis dapat dikenai penambahan hukuman sepertiga dari hukuman pokok. Sedangkan menurut hukum Islam pelaku residivis tidak ada penambahan hukuman, dan tetap menggunakan hukuman pada pokoknya. Karena dalam kasus ini menuju pada kesejahteraan masyarakat dalam pelayanan pekerjaan.11 3. Karya Faizah Wahyuni (2013), dengan judul “Tinjauan Hukum Pidana

Islam Terhadap Pelaku Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan

Oleh Anak Dibawah Umur (Studi Putusan Nomor

139/Pid.B/2013/PN.Sda)”. Kesimpulan dari penelitian tersebut ialah

bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut adalah pidana penjara. Dan sanksi bagi anak juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti rugi. Namun, hukuman terdakwa diberi keringanan karena usia terdakwa yang masih dibawah umur, dan orang tua terdakwa masih sanggup untuk mendidik anaknya. Sedangkan menurut hukum Islam pun memberikan keringanan atau pembebasan kepada anak yang belum balig, karena pada

11 Izzul Khoir, “Pengulangan Kejahatan oleh Residivis di Wilayah Polsek Kenjeran Surabaya

(19)

11

usia tersebut anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.12

Dari beberapa uraian judul skripsi di atas, maka ada perbedaan dari skripsi yang penulis bahas, yakni dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan kepada pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara, yang mana hakim dalam putusan tersebut hakim tidak melakukan pemidanaan, tetapi hakim memutuskan bahwa anak sebagai pelaku residivis pencurian tersebut untuk diserahkan kepada negara (menjadi anak negara) untuk dimasukkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, agar mendapat suatu bimbingan untuk dapat melindungi hak atas anak tersebut yang dijelaskan pada Undang-undang Perlindungan Anak. Serta meneliti lebih jauh tentang hukuman bagi pelaku residivis pencurian yang ditinjau dari hukum pidana Islam, yang mana pelaku dapat dikenai hukuman lain.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang diantaranya sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap

pertimbangan hakim dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR tentang perkara pencurian yang dilakukan oleh anak.

12 Faizah Wahyuni, “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pelaku Pencurian dengan

Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Di bawah Umur (Studi Putusan Nomor

(20)

12

2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Secara teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya, bila ada kesamaan dengan masalah ini, dan memperluas ilmu pengetahuan tentang hukuman bagi pelaku residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam pandangan hukum Islam.

2. Secara praktis

(21)

13

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan tentang pengertian yang bersifat operasional dari konsep/variabel penelitian, sehingga bisa dijadikan acuan dalam menelusuri, mengkaji atau mengukur variabel tersebut melalui penelitian. Adapun beberapa penjelasan untuk menghindari kesalahan dalam

memahami judul “Tinjauan hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi

residivis pencurian yang dilakukan oleh anak (Studi direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR)”, maka perlu

dijelaskan istilah-istilah yang terdapat pada judul tersebut, diantaranya: 1. Hukum pidana Islam merupakan suatu ketentuan hukum yang

membahas mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukalaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), serta ketentuan ini sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terinci dari al-Quran dan al-Hadis.13 Dalam hadis pun telah menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan bagi pelaku tindak pidana pencurian ini dapat dikenakan potong tangan, sedangkan untuk pengulangan tindak pidana tersebut hukuman dapat dijatuhkan lebih berat lagi yaitu dibunuh.

2. Hukuman merupakan suatu pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syarah. Dijatuhkannya hukuman yang diberikan

13 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan

(22)

14

kepada pelaku tindak pidana untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya.

3. Residivis merupakan suatu pengulangan tindak pidana oleh seseorang sesudah melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir. Pengulangan ini dilakukan setelah seorang yang melakukan tindak pidana pencurian, dan pada saat itu telah mendapat putusan oleh hakim atas perbuatannya, dan di kemudian hari pelaku ditemukan telah mengulangi perbuatannya tersebut.

4. Pencurian merupakan seseorang yang dengan sengaja mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai untuk menjaga barang tersebut.14 Pelaku yang bernama Rismawati ini telah melakukan residivis pencurian berupa sebuah kalung emas dan uang tunai dirumah milik korban Mesri Harizal.

5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.15 Anak disini yang dianggap masih belum sempurna dalam hal emosional, kemampuan berpikir, dan juga batasan-batasan umur yang dianggap masih terbilang sangat muda.

14 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 83.

15 Redaksi Fokus media, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

(23)

15

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkaitan dengan masalah tertentu yang diolah, dianalisis, diambil kesimpulan, serta dicari cara untuk penyelesaiannya.16

1. Data yang dikumpulkan

a. Data mengenai direktori putusan Pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR tentang residivis pencurian yang dilakukan oleh anak.

b. Data mengenai hukuman bagi pelaku residivis pencurian menurut pandangan hukum pidana Islam dengan ketentuan-ketentuan berdasarkan al-Quran dan al-Hadis.

2. Sumber data

Adapun beberapa sumber data yang digunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian tersebut, antara lain:

a. Sumber data primer

Yaitu data diperoleh secara langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang akan dicari.17 Dalam penelitian ini data yang diperoleh melalui direktori putusan mahkamah agung pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

16 Wardi Bahtia, Metodelogi Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 2001), 1.

(24)

16

b. Sumber data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari sumber yang telah ada atau data-data yang sudah tersedia yang berfungsi sebagai pelengkap data-data primer.18 Data dalam penelitian ini meliputi:

1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3) R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 1991.

4) Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, 2008.

5) A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), 2000. 6) Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1996. 3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi baik berupa dokumen tertulis, gambaran, dan elektronik. Dalam hal ini dokumen atau arsip yang digunakan seperti data yang berkaitan dengan permasalahan mengenai residivis pencurian yang dilakukan oleh anak.

4. Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data diantaranya:

a. Metode deskriptif, yaitu teknik yang diawali dengan cara menggambarkan dan menjelaskan data dari hasil penelitian,

(25)

17

sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam dan menyeluruh,19 dengan cara mendeskripsikan direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR dengan menguraikan kronologi kasus, menjelaskan mengenai pertimbangan hukum hakim dan sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana.

b. Metode deduktif, yaitu teknik yang diawali dengan cara mengemukakan teori-teori yang bersifat umum mengenai hukuman bagi pelaku residivis pencurian yang dilakukan oleh anak dalam direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR untuk dijadikan sebagai bahan analisis data yang dikumpulakan, sehingga dapat diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan masalah dalam skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika pembahasan agar lebih terarah dan menjadi mudah untuk dipahami. Dalam penulisan skripsi ini penulis membedakannya menjadi lima bagian, diantaranya:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

(26)

18

Bab kedua, merupakan landasan teori dengan menguraikan pembahasan tentang hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak yang meliputi: Pengertian pencurian, syarat-syarat, unsur-unsur, alat bukti, sanksi pencurian. Mengenai pengulangan tindak pidana diantaranya meliputi: pengertian pengulangan tindak pidana, hukuman bagi pengulangan tindak pidana, gabungan hukuman, serta menerangkan mengenai kriteria anak menurut hukum Islam.

Bab ketiga, merupakan gambaran singkat tentang kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dengan residivis, pertimbangan hukum hakim, dan hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana tersebut berdasarkan pada direktori putusan pengadilan negeri Koto Baru nomor 139/Pid.B/2013/PN.KBR.

Bab keempat, pemaparan analisis terhadap pertimbangan hakim tentang hukuman bagi residivis pencurian yang dilakukan oleh anak, serta dikaitkan dengan hukum pidana Islam yang berlaku demi terciptanya ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat maupun diri sendiri.

(27)

BAB II

HUKUM PIDANA ISLAM

A. Hukum Pidana Pencurian dalam Islam 1. Pengertian pencurian

Pencurian dalam istilah Islam disebut dengan “sa>riqa|h”. Menurut Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (Ulama mazhab Syafi’i) menjelaskan bahwa sa>riqa|h secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) secara

sembunyi-sembunyi, sedangkan secara syarak adalah mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat penyimpanan yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.1

Pencurian bila ditinjau dari syariat Islam ada dua macam, diantaranya: pencurian yang hukumannya had, dan pencurian yang

hukumannya takzir.2 Pencurian yang hukumannya had terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, Pencurian ringan adalah pengambilan harta yang dilakukan cara sembunyi-sembunyi. Sedangkan Kedua, pencurian berat adalah pengambilan harta orang lain secara terang-terangan dengan kekerasan. Adapun pada pencurian yang hukumannya takzir juga dibagi dalam dua bagian, yaitu:

(28)

20

a. Pencurian yang diancam hukum had, tetapi syaratnya tidak terpenuhi.

b. Pencurian yang dilakukan dengan sepengetahuan pemiliknya, dan tanpa kerelaannya dan tanpa kekerasan.3

2. Unsur-unsur pencurian

Unsur pencurian merupakan mengambil harta orang lain secara diam-diam, yang diambil berupa harta, harta yang diambil milik orang lain dan ada itikad tidak baik. Adapun unsur-unsur pencurian itu dibagi ada empat macam, yaitu:

a) Pengambilan secara diam-diam

Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilik (korban) tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut, dan tanpa merelakannya. Pengambilan harta harus dilakukan dengan sempurna. Jadi, sebuah perbuatan tidak dianggap sebagai tindak pidana jika tangan pelaku hanya menyentuh barang tersebut. Sedangkan pengambilan harta harus memenuhi tiga syarat yang diantaranya:4

1. Pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpanannya.

2. Barang yang dicuri dikeluarkan dari kekuasaan pemilik. 3. Barang yang dicuri dimasukkan ke dalam kekuasaan pencuri.

(29)

21

b) Barang yang diambil berupa harta

Salah satu unsur penting untuk dapat dikenakannya hukuman potong tangan adalah barang yang dicuri harus barang yang bernilai ma>l (harta). Sedangkan barang yang dicuri telah ditentukan

syarat-syaratnya untuk bisa dikenakan hukuman potong tangan, diantaranya:5

1. Barang yang dicuri harus berupa ma>l mutaqawwim

Pencurian dapat dikenakan hukuman had, apabila barang yang dicuri itu barang yang mutaqawwim, yaitu barang yang

dianggap bernilai menurut syarah. Sedangkan barang yang tidak bernilai menurut pandangan syarak tidak termasuk ma>l mutaqawwim dan pelakunya tidak dikenai hukuman.

2. Barang tersebut harus barang yang bergerak

Dalam menjatuhkan hukuman had bagi pencurian, maka disyaratkan bahwa barang yang dicuri harus barang atau benda bergerak. Hal ini karena pencurian itu memang menghendaki dipindahkannya sesuatu dan mengeluarkannya dari tempat simpanannya, dan ini tidak akan terjadi kecuali pada benda yang bergerak. Dengan ini, suatu benda dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya.6

(30)

22

3. Barang tersebut adalah barang yang tersimpan

Jumhur fukaha berpendapat bahwa salah satu syarat untuk dikenakannya hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan ditempat simpanannya. Sedangkan Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadits tetap memberlakukan hukuman had, walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang yang dicuri mencapai nisab pencurian. Namun, mengenai tempat penyimpanan ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

a) Hirz bil atau hirz binafsih, yang artinya setiap tempat yang disiapkan untuk penyimpanan barang, dimana orang lain tidak boleh masuk kecuali dengan seijin pemiliknya.

b) Hirz bil hafizh atau hirz bigairih, artinya setiap tempat yang tidak disiapkan untuk penyimpanan barang, dimana setiap orang boleh masuk tanpa ijin.7

4. Barang tersebut mencapai nisab pencurian

Untuk dapat dikenakan hukuman had, maka barang yang dicuri harus mencapai satu nisab. Jadi, satu niab yang harus dijadikan sebagai standart minimal untuk menegakkan hukuman had, dan barang tersebut merupakan barang yang berharga dimana manusia sangat membutuhkannya. Akan tetapi

(31)

23

untuk para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran satu nisab tersebut.

Jumhur ulama disini berpendapat bahwa hukuman potong tangan tidak dapat dijatuhkan kecuali dalam pencurian seperempat dinar dari emas, tiga dirham dari perak, atau barang yang sebanding dengan harga seperempat dinar dari emas atau tiga dirham dari perak tersebut. Jadi, dengan ini yang menjadi ukuran satu nisab adalah jumlah harta yang mencapai nilai seperempat dinar dari emas atau tiga dirham dari perak.8 Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw. yang berbunyi sebagai berikut:

َاصفَ ا يِدَِعبَ َِفَاِإَقَِاسَديَعطْقتَا

ادِع

Artinya:

Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar atau lebih.9

c) Harta tersebut milik orang lain

Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang lain. Apabila barang yang diambil dari orang lain itu hak milik pencuri yang dititipkan kepadanya, maka

8

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Moh. Nabhan Husein), Jilid IV, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993),

212.

9 Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis ayat al-Quran dan Hadits, (KH. Achmad

(32)

24

perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pencurian, walaupun pengambilan tersebut dilakukan secara diam-diam. Dengan demikian, orang yang mencuri tidak dapat dikenai hukuman had apabila terdapat syubhat (ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri, dan dalam hal ini pelaku hanya dikenakan hukuman takzir.10

d) Adanya niat yang melawan hukum

Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu barang padahal ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya haram untuk diambil. Dengan demikian, apabila ia mengambil barang tersebut dengan keyakinan bahwa barang tersebut adalah barang yang mubah, maka ia tidak dikenai hukuman, karena dalam hal ini tidak ada maksud melawan hukum.

Di samping itu, untuk terpenuhinya unsur ini disyaratkan dalam pengambilan barang tersebut dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang yang dicuri. Apabila tidak ada maksud untuk memiliki maka dengan sendirinya tidak ada maksud melawan hukum, oleh karena itu ia tidak dianggap sebagai pencuri.11

3. Syarat-syarat dalam pencurian

Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini menurut Shalih Sa’id Al-Haidan yang dikutip oleh Nurul Irvan dan Masyarofah dalam bukunya Fiqh Jinayah mengemukakan ada

(33)

25

lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukuman ini, yaitu sebagai berikut:12

a. Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Jika pelakunya sedang tidur, anak kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut. b. Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh

kebutuhan hidup.

c. Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak yang mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.

d. Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik. e. Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah swt. 4. Alat bukti pencurian

Ada beberapa alat bukti dalam tindak pidana pencurian yang dapat dibuktikan menurut hukum Islam, antara lain:13

a. Saksi, merupakan suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran. Dalam hal ini cukup dengan dua orang saksi, dan apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dapat dikenai hukuman.

b. Pengakuan, merupakan suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut cukup dilakukan satu kali saja. Dalam hal ini menurut Imam Abu Hanafiah, Imam

12 Nurul Irvan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah..., 113.

13 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja

(34)

26

Syafi’i, dan Imam Ahmad cukup satu kali, meskipun demikian

ulama lain ada yang mensyaratkan dua kali.

c. Sumpah, dikalangan Mazhab Syafi’i, terdapat pendapat yang

menyatakan bahwa pencurian dapat dibuktikan dengan sumpah yang dilakukan oleh tersangka. Namun, apabila tersangka tidak ingin bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penuntut (pemilik barang). Dan apabila pemilik barang ingin bersumpah, maka tindak pidana pencurian dapat dibuktikan dengan sumpah tersebut, sehingga tersangka pun dapat dikenai hukuman had.14 d. Karinah (sesuatu yang berkumpul), dengan adanya tanda-tanda yang

menunjukkan bahwa seorang telah mencuri. 5. Sanksi pencurian

Adapun sanksi yang dapat diberikan bagi pelaku tindak pidana pencurian yang telah dibuktikan, maka pencuri dapat dikenai dua macam sanksi yang diantaranya:15

a) Penggantian kerugian (dhaman)

Dalam hukum pidana Islam ada perbedaan pendapat mengenai penjatuhan hukuman bagi pelaku pencurian, diantaranya; Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya penggantian kerugian dapat dikenakan terhadap pencurian apabila ia tidak dikenakan hukuman potong tangan. Akan tetapi, apabila hukuman potongan tangan dilaksanakan maka pencuri tidak dijatuhkan hukuman ganti rugi.

(35)

27

Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman

potong tangan dan ganti rugi dapat dilaksanakan bersama-sama. Alasannya, karena dalam pencurian terdapat dua hak yang dilanggar, yaitu hak Allah swt (masyarakat). Dan hak manusia. Dengan ini, hukuman potong tangan dijatuhkan sebagai imbangan dari hak Allah (masyarakat), sedangkan ganti rugi dikenakan sebagai imbangan dari hak manusia.

Berbeda dengan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya yang menjelaskan bahwa apabila barang yang dicuri sudah tidak ada dan pencuri adalah orang yang mampu, maka diwajibkan untuk membayar ganti rugi sesuai dengan nilai barang yang dicurinya, disamping itu pelaku tidak dikenai hukuman potong tangan. Akan tetapi, apabila pelaku tidak mampu membayar ganti rugi, maka dapat dijatuhi hukuman potong tangan tanpa dikenakan hukuman ganti rugi tersebut.

b) Hukuman potong tangan (had)

Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana pencurian. Oleh karena itu, hukuman potong tangan tidak bisa di gugurkan, baik oleh korban maupun oleh ulil amri (penguasa).16

Dengan demikian, para ulama sepakat dengan adanya hukuman potong tangan yang diberlakukan kepada pelaku pencurian. Karena

(36)

28

hukuman potong tangan telah dijelaskan dalam al-Quran berdasarkan firman Allah swt. dalam surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:

ِبًَازجَام يَِدي َ عطْقَافَُقَِاس ا َقِاس ا

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. dan batas pemotongannya adalah dari pergelangan kaki. Alasannya adalah batas minimal anggota yang disebut tangan dan kaki adalah telapak

tangan atau kaki dengan jari-jarinya. Selain itu, Rasulullah melakukan pemotongan tangan pada pergelangan tangan pencuri.18

Bila seorang pencuri melakukan beberapa kali dan baru tertangkap, maka ia hanya dikenai hukuman sekali. Karena pencurian itu merupakan jari>mah hudud yang berkaitan dengan hak Allah swt. Padanya, sepenuhnya diterapkan teori at-tada>khul. Demikian juga halnya dengan kasus-kasus lainnya yang berhubungan dengan hak Allah SWT. Sehubungan dengan ini, dipegang kaidah sebagai

berikut: “Semua jari>mah yang berkaitan dengan Hak Allah, padanya

17 Kementerian Agama RI, Ar-RahimAl-Quran dan Terjemahan, (Bandung: CV Mikraj Khazanah

Ilmu, 2014), 114.

(37)

29

berlaku teori at-tada>khul, sedangkan untuk semua jari>mah yang berhubungan dengan Hak manusia, padanya tidak berlaku teori at-tada>khul”.19

Adapun orang yang melaksanakan hukuman adalah ulil amri (penguasa), dan seseorang atau sekelompok orang yang diberi kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dengan ini, hukuman potong tangan dapat diterapkan jika pencurian telah dianggap sempurna bila pencuri telah mengeluarkan harta yang dicurinya dari tempat penyimpanan dan selanjutnya dipindahkan dari pemilik kepada pencuri.20

B. Pengulangan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian pengulangan tindak pidana

Dalam hukum pidana Islam pengulangan tindak pidana disebut juga dengan pengulangan jarimah (al-‘aud). Pengertian pengulangan jarimah (al-‘aud) adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir. Artinya, pengulangan jari>mah harus timbul dalam berulang-ulangnya jarimah dari orang tertentu setelah ia mendapat keputusan akhir atas dirinya pada salah satu atau pada sebagiannya.21

19 Ibid., 85. 20 Ibid.

21

(38)

30

Pengulangan berbeda dengan gabungan jari>mah. Dalam gabungan jari>mah, pelaku melakukan suatu jarimah untuk kedua atau ketiga

kalinya, namun dalam jari>mah yang sebelumnya (yang pertama) ia belum mendapat keputusan terakhir. Sedangkan dalam pengulangan jari>mah, pelaku ketika melakukan jarimah yang kedua atau ketiga itu

sudah mendapat keputusan terakhir dalam jarimah yang sebelumnya (yang pertama).22

KUHP Indonesia tidak mengenal aturan umum tentang pengulangan tidak pidana. KUHP tersebut hanya menyebutkan sekumpulan perbuatan tindak pidana yang bisa menimbulkan pengulangan kejahatan. Karena itu, aturan tentang pengulangan tindak pidana tidak dibicarakan dalam buku pertama yang berisi aturan umum, tetapi diletakkan di bagian buku kedua yang terdapat pada pasal 486, 487, dan 488 yang berisi mengenai terulangnya suatu tindak pidana.23 Adapun dua syarat yang diperlukan untuk terwujudnya pengulangan, diantaranya sebagai berikut:

1. Terhukum harus sudah menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara atau ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu. Kurungan preventif tetap bisa menimbulkan pengulangan kejahatan. Begitu pula apabila terhukum tidak menjalani hukuman dan tidak pula dibebaskan, asalkan hak untuk melaksanakan hukuman belum habis.

22 Ibid.

(39)

31

2. Masa pengulangan tindak pidana adalah lima tahun. Hukuman karena pengulangan dapat ditambah sepertiganya, baik hukuman penjara maupun hukuman denda.24

Telah disepakati dalam hukum pidana Islam bahwa seorang pelaku tindak pidana harus dijatuhi hukuman yang telah ditetapkan untuk tindak pidana tersebut. Tetapi bila pelaku kembali mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya, maka hukuman yang dijatuhkan kepadanya dapat diperberat. Apabila ia terus mengulangi tindak pidana tersebut, ia dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup.25

Dalam hukum pidana Islam, pengulangan tindak pidana sudah dikenal bahkan sejak zaman Rasulullah saw. Dan pada tindak pidana tersebut juga merupakan pencurian. Adapun hadis yang menjelaskan tentang adanya pengulangan tindak pidana pencurian sebagai berikut;

اَىِإَقَِاسِبََىِجَ:َ اقَ عَ اَىِض َ ِباجَنعَ

kepada Nabi saw. Dan beliau bersabda: “Bunuhlah dia”. Mereka berkata: “Ia hanya mencuri, wahai Rasulullah.” Beliau

(40)

32

bersabda: “Potonglah tangannya.” Maka dipotonglah

tangannya. Kemudian ia dihadapkan untuk yang kedua kalinya (karena mencuri lagi) dan beliau bersabda: “Bunuhlah dia.”

Mereka mengatakan bagaimana sebelumnya. Kemudian ia dihadapkan untuk ketiga kalinya, lalu mereka menyebut seperti sebelumnya. Kemudian ia dihadapkan untuk yang keempat kalinya, begitu juga. Lalu ia dihadapkan yang kelima kalinya dan beliau bersabda: “Bunuhlah dia.”26

Kandungan hadis diatas menjelaskan tentang urutan dilaksanakannya hukuman potong tangan terhadap pelaku pengulangan tindak pidana pencurian, yaitu; tangan kanan pencuri dipotong pada pencurian yang pertama. Kemudian kaki kiri dipotong pada pencurian yang kedua. Dan menurut mayoritas ulama untuk tangan kiri dipotong pada pencurian yang ketiga, dan kaki kanan dipotong pada pencurian yang keempat. Sedangkan pencurian yang kelima hukumannya adalah dibunuh, karena pelaku dianggap sudah tidak dapat diampuni lagi atas kejahatan yang dilakukannya.

2. Gabungan hukuman dalam pengulangan tindak pidana

Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syarah sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syarah (Allah swt. dan Rasul-Nya). Sedangkan tujuan dijatuhkannya hukuman adalah untuk memperbaiki keadaan manusia, menjaga dari kerusakan, menyelamatkan dari kebodohan, menuntun dan memberikan petunjuk dari kesesatan, mencegah dari kemaksiatan, serta merangsang untuk berlaku taat.27

26

Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis ayat al-Quran dan Hadits, Jilid VII.., 402.

27

(41)

33

Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan tindak pidana. Gabungan tindak pidana terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam tindak pidana, dimana masing-masing tindak pidana tersebut belum mendapat keputusan akhir. Adanya perbedaan antara gabungan dengan pengulangan terletak dalam hal apakah pelaku dalam tindak pidana yang pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum. Jika dalam tindak pidana tersebut belum mendapat putusan akhir, maka itu termasuk dalam gabungan. Dan jika sudah mendapat putusan akhir, maka termasuk pengulangan. Dalam hal ini, seharusnya pelaku pada gabungan tindak pidana tidak dijatuhi hukuman atas semua perbuatan yang dilakukannya, meskipun gabungan tindak pidana tersebut menunjukkan jiwa kejahatannya. Oleh karenanya, ketika pelaku mengulangi suatu tindak pidana, pelaku belum mendapat hukuman dan pengajaran dari kejahatan sebelumnya. Berbeda dengan pengulangan kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan dengan hukuman itu dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.28

Dalam hukum positif ada tiga teori mengenai gabungan tindak pidana yang diantaranya:

1. Teori berganda (tari>qatul jam’i)

Menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap tindak pidana yang dilakukannya.

(42)

34

Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.29

2. Teori penyerapan (tari>qatul jabb)

Maksud teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman yang lebih ringan. Menurut teori ini, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku hanyalah hukuman yang paling berat yang telah ditetapkan atas tindak pidana yang diperbuat sebelumnya. Dalam hal ini terdapat kecacatan teori ini terletak pada sikap memandang remeh dan melampaui batas (dalam menyedikitkan hukuman).30

3. Teori campuran (tari>qatul mukhtalitah)

Teori ini merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Dalam hal ini hukumannya dapat digabungkan asalkan hasil gabungan tidak melebihi batas tertentu. Penentuan batas tertentu (batas maksimum) tersebut dimaksudkan untuk menghindari berlebih-lebihan dalam menjatuhkan hukuman. Selain itu, teori ini dapat mengatasi teori penyerapan yang memperberat suatu hukuman yang dijatuhkan.31

(43)

35

Sedangkan dalam hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai gabungan tercantum dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP. Dari pasal-pasal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam hukum pidana Indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini, teori-teori tersebut diantaranya:32

1. Teori penyerapan biasa

Menurut teori ini, yang terdapat dalam pasal 63 KUHP hanya satu aturan pidana yang diterapkan, yaitu yang paling berat hukuman pokoknya, apabila suatu perbuatan diancam dengan beberapa aturan pidana. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: (1) Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa ketentuan

pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu. Jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.

(2) Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.33 2. Teori penyerapan keras

Teori ini terdapat dalam pasal 65 mengenai gabungan perbuatan nyata yang diancam hukuman pokok yang semacam. Jadi, salah satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan dengan ditambah sepertiga dari maksimum hukuman yang seberat-beratnya. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:34

32

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam..., 167.

33 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana..., 79.

(44)

36

(1) Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan.

(2) Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman-hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya.35

3. Teori berganda yang dikurangi

Menurut pakar yang lain, teori yang dianut oleh pasal 65 tersebut ialah teori berganda yang dikurangi dengan alasan bahwa pada dua ayat dari dua pasal tersebut semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat ditambah sepertiganya.36

Teori tersebut juga dianut oleh pasal 66 mengenai gabungan perbuatan nyata yang terancam hukuman pokok yang tidak sama. Pasal 66 tersebut berbunyi:

Jika ada gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri yang masing-masing merupakan kejahatan yang terancam dengan pokok yang tidak semacam, maka dijatuhkan tiap-tiap hukuman itu, akan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi hukuman yang terbesar ditambah sepertiganya.37

4. Teori berganda biasa

Menurut teori ini semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Teori ini pun menganut pada pasal 70 ayat (1) yang berbunyi:

35 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana..., 82. 36 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam..., 168. 37

(45)

37

(1) Jika secara yang dimaksudkan dalam pasal 65 dan 66 ada gabungan antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran, maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.38

Dalam hukum pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal oleh para fuqaha, tetapi tidak keseluruhannya diambil. Teori berganda dibatasi oleh dua teori yang lain, yaitu teori saling melengkapi (naz}ariyyatut at-tada>khul) dan teori penyerapan (naz}ariyyatut al-Jabb).39

1. Teori saling melengkapi (naz}ariyyatut at-tada>khul)

Pengertian saling melengkapi adalah ketika terjadi gabungan perbuatan (tindak pidana), hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga karena kondisi ini semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman saja, seperti halnya melakukan satu perbuatan. Dalam teori ini didasarkan atas dua prinsip, yaitu:40 a. Meskipun perbuatan tindak pidana yang dilakukannya itu

berganda, sedangkan jenis semuanya itu satu macam. Dengan ini hanya dikenai satu macam hukuman selama belum ada keputusan hakim, karena jika pelaku melakukan suatu perbuatan (tindak pidana) yang sama setelah ada keputusan hakim, maka pelaku tetap harus dijatuhi hukuman yang lain. Dalam hal ini, bukan penjatuhan hukuman yang dipertimbangkan, tetapi pelaksanaan hukumannya.

38 Ibid., 85.

39

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid III..., 143.

(46)

38

b. Meskipun perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya itu berganda dan berbeda-beda macamnya, hukumannya bisa saling melengkapi dan cukup hanya dijatuhi satu hukuman dengan syarat hukuman yang dijatuhkan ini ditetapkan untuk melindungi kepentingan yang sama atau untuk mewujudkan tujuan yang sama.

2. Teori penyerapan (naz}ariyyatut al-jabb)

Pengertian penyerapan adalah menjatuhkan suatu hukuman yang mengakibatkan hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, hukuman tersebut tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaan hukuman tersebut dengan sendirinya akan menyerap hukuman-hukuman lain. Di kalangan fuqaha, belum ada kesepakatan tentang penerapan teori penyerapan. Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal menetapkan keberadaan teori tersebut, sedangkan Imam asy-Syafi’i tidak

menetapkannya. Mereka yang menetapkan juga berbeda pendapat tentang sampai dimana daerah berlakunya teori penyerapan.41

Imam Malik berpendapat bahwa setiap hukuman hudud yang berkumpul dengan hukuman mati atau dengan hukuman q}isa>s sebagai hak seseorang, maka hukuman hudud tersebut tidak dapat dilaksanakan (karena hukuman mati telah menyerap hukuman

(47)

39

hudud tersebut), kecuali pada tindak pidana qaz{a>f yang hukumannya tetap dilaksanakan kemudian dibunuh.

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat apabila berkumpul dua tindak pidana hudud sebagai hak Allah dan didalamnya ada hukuman mati, maka hanya hukuman mati saja yang dilaksanakan, sedangkan hukuman yang lainnya gugur. Sedangkan bila hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak manusia, maka hak manusia tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, baru hak-hak Allah diserap oleh hukuman mati, baik hukuman mati tersebut sebagai hukuman hudud atau qisa>s.42

Menurut Imam Abu Hanifah, pada dasarnya, apabila terdapat gabungan hak manusia dengan hak Allah, maka hak manusialah yang didahulukan karena manusia membutuhkan haknya. Tetapi, apabila hak tersebut sudah terlaksana, maka hak Allah terhapus karena kondisi yang darurat. Jika hak Allah masih bisa dilaksanakan dan hak Allah ini lebih dari satu, satu hak (hukuman) saja yang dijatuhkan yaitu hak yang dapat menggugurkan hak hukuman yang lain.43

Imam Syafi’i tidak mengakui adanya teori penyerapan.

Menurutnya, semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tada>khul). Dengan cara, mendahulukan hak manusia

(48)

40

yang bukan hukuman mati, kemudian hak Allah (hak masyarakat) yang bukan hukuman mati, setelah itu baru hukuman mati.44

C. Kriteria Anak Menurut Hukum Islam

Anak di bawah umur merupakan anak yang dianggap belum mampu dalam pembebanan hukum. Dalam Undang-undang mengenai anak yang dapat dibebani hukuman dilihat dari batas umur anak yang telah dianggap dewasa. Berbeda dengan hukum Islam yang menjelaskan tentang kriteria anak berdasarkan akil balig dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Oleh karena itu, orang yang sudah balig dapat dibebani hukum menurut syarak,

apabila sudah berakal dan mengerti hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan balig adalah seseorang yang sudah sempurna keahliannya (akalnya),

sehingga ia menanggung kewajiban secara penuh dan mempunyai hak yang sempurna.45 Adapun anak yang telah dianggap balig dapat ditentukan dengan umur dan tanda-tanda tertentu, diantaranya:46

1. Keluar mani, yaitu keluarnya air yang memancar yang merupakan bibit manusia dari zakar. Hal ini terjadi di waktu bangun dan waktu tidur yang disebabkan oleh mimpi (ih}tila>m). Keluarnya mani atau bermimpi ini paling cepat datangnya pada umur usia 12 tahun, jika keluarnya mani terjadi di bawah usia 12 tahun tidak dinilai sebagai tanda balig, tetapi dianggap sebagai indikasi penyakit.

44 Ibid., 146.

45

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 224.

46

(49)

41

2. Tumbuh rambut disekitar kemaluan (inba>t), yaitu tumbuhnya bulu kasar yang sudah dapat dicukur di sekitar kemaluan seseorang. Dengan ini, tumbuhnya bulu kemaluan dijadikan tanda balig, karena hal ini lazim terjadi pada setiap orang dan bersamaan dengan ih}tila>m.

3. Haid, yaitu darah yang keluar dari faraj wanita yang berwarna merah kehitam-hitaman dalam kondisi sehat. Dalam hal ini, wanita yang mengalami haid minimal pada usia 9 tahun. Apabila darah sudah keluar lebih awal dari usia tersebut, maka darah itu belum dapat dikatakan haid, tetapi mungkin suatu penyakit.

4. Kehamilan, hal ini terjadi karena percampuran sperma dan sel telur wanita. Dengan kata lain, maka wanita tersebut telah mengeluarkan mani yang merupakan tanda dari balig.

Adapun apabila tanda-tanda balig yang disebutkan diatas tidak ditemukan, maka balig seseorang dapat ditentukan berdasarkan umur. Adapun menurut Jumhur Ulama, seseorang dikatakan balig apabila telah berusia 15 (lima belas) tahun baik itu laki-laki maupun perempuan.47 Berbeda halnya dengan pendapat Ulama mazhab fikih telah sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti balig bagi seorang wanita. Hamil terjadi apabila adanya pembuahan antara ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi seorang laki-laki.

Dengan demikian, Imammiyah, Maliki, Syafi’I dan Hanbali mengatakan

bahwa tumbuhnya bulu-bulu di daerah ketiak merupakan bukti balig

(50)

42

seseorang. Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Menurut mazhab Syafi’I

dan Hanbali pun menyatakan bahwa umur balig anak untuk laki-laki dan perempuan adalah 15 (lima belas) tahun, sedangkan Maliki menetapkan umur balig anak adalah 17 (tujuh belas) tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan umur balig bagi anak laki-laki adalah 18 (delapan belas) tahun,

sedangkan anak perempuan adalah 17 (tujuh belas) tahun.48

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan dalam pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernaah melangsungkan pernikahan.49

Sedangkan dalam hukum pidana positif batasan usia mengenai kriteria seorang yang dapat disebut anak dijelaskan dalam Undang-undang. Adapun penjelasan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.50 Adapun mengenai batasan kriteria umur anak yang dapat diadili di sidang Pengadilan telah dijelaskan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada pasal 4 ayat (1) menjelaskan bahwa batas usia anak yang dapat diajukan ke

(51)

43

sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.51 Sedangkan penjelasan mengenai batas umur anak sebagai pelaku tindak pidana diperjelas dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang terdapat pada pasal 1 point ketiga menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.52

51 Redaksi Fokus media, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak..., 121.

52 Redaksi Citra Umbara, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

(52)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM DIREKTORI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KOTO BARU NOMOR 139/PID.B/2013/PN.KBR

A. Deskripsi Pengadilan Negeri Koto Baru

Pengadilan Negeri Koto Baru tidak luput dari sejarah Pemerintahan Daerah Kota Solok, Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan. Karena pada tahun 1916 sampai dengan tahun 1964, Kabupaten Solok termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Sawahlunto, yang kemudian semenjak didirikannya Pengadilan Negeri Solok yaitu pada tahun 1962, maka wilayah Kabupaten Solok masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Solok. Dimana pada saat itu Kabupaten Solok dan Kota Solok merupakan wilayah adat yang disebut dengan Nagari Solok, yang kemudian

pada tanggal 16 Desember 1970 diresmikan Kotamadya Solok. Dengan demikian, Nagari Solok dipisah menjadi Kotamadya Solok dengan 2 (dua) Kecamatan dan Kabupaten Solok dengan 19 (sembilan belas) Kecamatan.1

Pada tahun 1983 Pengadilan Negeri Solok dipisah menjadi 2 (dua) Pengadilan yaitu Pengadilan Negeri Solok dan Pengadilan Negeri Koto Baru. Dimana Pengadilan Negeri Koto Baru berkedudukan di daerah Kabupaten Solok tepatnya di daerah Nagari Koto Baru, lebih tepatnya beralamat di (Jalan Raya Koto Baru No. 62, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, Telp. (0755) 20320/(0755) 20121, Fax. (0755) 20320). Bangunannya

1 Herly Bastian, Pengadilan Negeri Koto Baru, http://pn-kotobaru.go.id/main/, “diakses pada”

(53)

45

diresmikan pada tanggal 05 Mei 1983 oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman Bapak Nasrun Syahrun, S.H. dan saat itu Pengadilan Negeri Koto Baru dipimpin atau di ketuai oleh Bapak Sofyan Basid, S.H.

Wilayah hukum Pengadilan Negeri Koto Baru pada saat sekarang ini terdiri dari 17 (tujuh belas) Kecamatan diantaranya 10 (sepuluh) Kecamatan berada di wilayah Kabupaten Solok dan 7 (tujuh) Kecamatan berada di wilayah Kecamatan Solok Selatan, antara lain:2

1. Daerah Kecamatan Kubung dan Bukit Sundi. 2. Daerah Kecamatan Gunung Talang.

3. Daerah Kecamatan Lembah Gumanti, Hiliran Gumanti, Danau Kembar, Lembang Jaya dan Payung Sekaki.

4. Daerah Kecamatan Pantai Cermin. 5. Daerah Kecamatan Tigo Lurah.

6. Daerah Kecamatan Sungai Pagu, Pauh Duo, Koto Parik Gadang Diateh. 7. Daerah Kecamatan Sangir.

8. Daerah Sangir Jujuan, Sangir Balai Janggo dan Sangir Batang Hari. Adapun sumber daya manusia di Pengadilan Negeri Koto Baru, diantaranya: Pertama, Ketua Pengadilan Negeri Koto Baru. Kedua, Wakil. Ketiga, Hakim. Keempat, Panitera/Sekretaris. Kelima, Kepaniteran yang terdiri; Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, Jurusita/Jurusita Pengganti. Keenam, Kesekretariatan yang terdiri: Wakil Sekretaris, Kepala Sub Bagian. Ketujuh, Staf Pelaksana. Kedelapan, Honorer.

(54)

46

Visi Pengadilan Negeri Koto Baru;

“Terwujudnya Pengadilan Negeri Koto Baru Yang Agung”

Misi Pengadilan Negeri Koto Baru;

1. Mewujudkan Peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparasi.

2. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur Peradilan dalam rangka peningkatan pelayanan pada masyarakat.

3. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang efektif dan efisien. 4. Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif

dan efisien.

5. Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana peradilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.3

Tugas pokok Pengadilan Negeri Koto Baru, antara lain:

Pengadilan Negeri Koto Baru merupakan lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung RI sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan tingkat pertama baik perkara pidana maupun perkara perdata.

Fungsi Pengadilan Negeri Koto Baru, antara lain:4

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyelesaian perkara dan eksistensi dalam wilayah Pengadilan Negeri Koto Baru.

(55)

47

2. Memberikan pelayanan dibidang administrasi perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya.

3. Waarmerking akta pendirian badan hukum.

4. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum.

B. Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum

Pengadilan Negeri Koto Baru yang telah mengadili perkara Pidana Anak dalam hal ini dengan Acara Pemeriksaan biasa pada Peradilan Pertama. Adapun idenditas terdakwa yang menjadi pelaku tindak pidana adalah sebagai berikut:5

Nama Lengkap : Rismawati panggilan Riris

Tempat Lahir : Pinang Sinawa

Umur/Tanggal Lahir : 17 Tahun/16 September 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jorong Pinang Sinawa, Nagari Luak Kapau, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ikut orang tua (tidak bekerja)

Pendidikan : SD (tamat)

(56)

48

Pada daerah wilayah Kecamatan Pauh Duo menurut wilayah tempat tinggal korban Mesri Harizal, dan Pengadilan yang berwenang untuk memutuskan dan mengadili perkara ini merupakan wewenang oleh Pengadilan Negeri Koto Baru. Yang mana dalam kronologi peristiwa sebagai berikut;6

Pada hari Jumat tanggal 01 November 2013 sekitar pukul 09.00 Wib, Rismawati yang sedang berada dirumah neneknya. Ketika itu Rismawati meninggalkan rumah neneknya dan kemudian menuju kerumah Mesri Harizal Pgl Mes, setelah sampai dibelakang rumah tersebut Rismawati timbul niat untuk melakukan pencurian. Rismawati mulai berjalan menuju jendela rumah Mesri Harizal pada bagian belakang (rumah lama), setelah itu Rismawati mencoba untuk membuka jendela tersebut dengan menggunakan tangannya. Setelah jendela itu terbuka Rismawati pun masuk kedalam rumah dengan cara memanjat dan langsung menuju pintu bagian penghubung antara rumah bagian belakang (rumah lama) dengan rumah bagian depan (rumah baru). Ketika berada didalam rumah bagian depan Rismawati juga mencoba membuka pintu melalui ventilasi.7

Kemudian, setelah pintu terbuka Rismawati pun masuk dan langsung menuju kamar dengan membuka jendela kamar tersebut. Kemudian Rismawati membuka lemari dan langsung mengambil uang sebanyak Rp 2.700.000,-(dua juta tujuh ratus ribu rupiah) dan sebuah kalung emas seberat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari permainan Find the pair adalah melatih kosentrasi dan daya ingat bagi yang memainkannya, tampilan permainan ini dibuat semenarik mungkin dengan adanya

Mereka tidak dapat memahami bahawa keputusan mungkin boleh dibuat dan seringkali dapat dicapai dengan cara lain, dengan keputusan yang sama baik, atau bahkan lebih

Wismilik Inti Makmur Tbk Surabaya dapat digunakan karakteristik individu, komunikasi efektif dan iklim organisasi, yang dapat dilaksanakan secara bersama-sama dalam

Pada kondisi setelah diberi perlakuan metode pembelajaran brainstorming, kelompok perlakuan memiliki pencapaian kreativitas sebesar 80%, sedangkan untuk kelompok kontrol

Hasil penelitian menunjukkan minyak atsiri kombinasi dari daun kemangi ( Ocimum basilicum L.) dan daun jeruk purut ( Citrus hystrix D.C) memiliki aktivitas antibakteri

sehingga tidak bisa menyatakan semangat kepada diri sendiri. 4) Konseli menganggap tugas- tugas yang ada adalah beban sehingga sering mengeluh dan mengerjakan

Pelaksanaan penelitian dilakukan di SDN Tahai Jaya-1 Kecamatan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Bahwa para siswa disana terkhusus kelas III masih banyak shalat

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,