• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

DARI REDAKSI

ISSN: 1858-3261

G

G

P

PL

BULETIN

BULETIN

LA

AN

N L

LO

O

P

ermasalahan pembangunan hutan tanaman (HT) sejak dicanangkan tahun 1984 pada seminar “kini menanam esok memanen” merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengkelolaan hutan secara menyeluruh. Kajian secara mikro (Perusahaan bidang kehutanan) maupun makro (Sektor Kehutanan) perlu dilakukan pendekatan analisis, antara lain melalui pendekatan analisis makro dan analisis komparasi.

Analisis Makroekonomi Sektor Kehutanan

Masa lalu kehutanan, sejak tahun 1972 yang ditandai dengan maraknya aktivitas logging pada hutan alam oleh HPH yang hingga kini banyak meninggalkan berbagai masalah. Yang paling menonjol adalah makin menurunnya potensi hutan alam dari tahun ke tahun dan degradasi hutan hingga 2.5 juta hektar per tahun. Kondisi ini tidak segera dipulihkan dengan penanaman/reboisasi sistem tebang pilih tanam Indonesia. Di sisi lain hutan yang rusak, tanah kosong, alang-alang dan semak-belukar harus dilakukan penanaman dalam rangka pembangunan HTI untuk memenuhi kekurangan bahan baku serpih dan/atau kayu pertukangan. Namun dalam perkembangannya, pembangunan HT terhambat oleh berbagai persoalan kepastian kawasan, hukum, konflik lahan, tidak ada jaminan keamanan investasi, dan lain-lain.

Sejak krisis ekonomi tahun 1997, produk kayu olahan (plywood dan sawntimber) mengalami penurunan (decline) atau pertumbuhan yang negatif (-3.92). Di pihak lain, industri pulp Indonesia mengalami pertumbuhan positif 49%, kertas dan barang-barang dari kertas tumbuh 20.72%. Dengan demikian, industri pulp dipandang sebagai andalan produk kehutanan di masa depan. Sedangkan produk kayu olahan (plywood, sawntimber dan panel-panel kayu) harus mendongkrak kembali kinerjanya di masa depan, jika tidak ingin terperosok dengan pertumbuhan negatif karena hanya mengandalkan pasokan kayu dari hutan alam. Oleh karena itu, kontribusi HT untuk memasok kayu pertukangan menjadi penting.

Melalui pendekatan teori Keynesian, makroekonomi kehutanan dalam masa depresi yang panjang, investasi berupa pembangunan HT dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, depresiasi, modal (kapital + lahan), output sektor kehutanan, dan kebijakan pemerintah berupa Dana Reboisasi. Pendekatan ini dipandang sesuai dengan perkembangan kehutanan pada khususnya, dan perkembangan makro ekonomi pada

Oleh : Dr. Ir. Bambang Widyantoro, MMAgr.

P

aradoksal kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, hamper selalu menjadi topic optimalisasi pembangunan secara menyeluruh.

Benarkah argumen pelestarian sumberdaya seakan menjadi momok penghambat pertumbuhan ekonomi dan tidak adakah argument ilmiah yang layak untuk merespon ataupun meredam paradoksal pembangunan tersebut?

Mengacu pada 3 (tiga) ide dasar terkait dengan kelestarian hutan yang menurut Graham Tyrie (2000) adalah ; keseimbangan antara laju panen dengan laju penggantian pertumbuhan dan minimnya kerusakan akibat logging, maka persepsi paradoksal tersebut bisa dikatakan sepenuhnya benar atau dengan kata lain ada persyaratan-persyaratan yang dapat mengoffset kondisi paradoks tersebut.

Cara pandang perencanaan yang memperhatikan “keseimbangan” sebagaimana tersebut di atas, pada setiap tahap upaya pembangunan (mulai dari masalah persepsi kawasan, pemanfaatan dan distribusi hasil) mudah-mudahan dapat meredusir pertentangan kepentingan kehutanan dan non kehutanan, dengan pertambangan, trasmigrasi dan perkebunan misalnya.

Topik-topik dalam edisi tiga ini mencoba meramu cara-cara pandang tersebut, mudah-mudahan bermanfaat.

(2)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

umumnya.

Analisis Kualitatif dan Dampak Kuantitatif Kebijakan Hutan Tanaman

Kebijakan-kebijakan terkait dengan pembangunan HT telah banyak diterbitkan Pemerintah (C.q Departemen Kehutanan), namun hingga kini belum menghasilkan output berupa pasokan bahan baku dari HT yang memadai, baik untuk pasokan kayu serat maupun kayu perkakas. Analisis kebijakan ini ditinjau dari sisi kualitatif dan sisi lain secara kuantitatif dengan dampaknya terhadap kinerja sektor kehutanan

.

Analisis Kualitatif Kebijakan

Kelangkaan pasokan kayu bulat, terutama BBS, dari hutan alam sebagai landasan asumsi kebijakan perdagangan tertutup ternyata faktanya adalah penawaran kayu bulat hutan alam jauh lebih besar dibandingkan dengan pasokan kayu bulat dari HT di pasar domestik (Gambar 2). Namun substansi kebijakan perdagangan tidak menunjukkan re-orientasi atas fakta yang

produksi dan konsumsi BBS

-5.000,00 10.000,00 15.000,00 20.000,00 25.000,00

1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002

Tahun

x

10

00

m

3 Unrecorded

Produk HT BBS* Produk Konversi+HR Konsumsi BBS

Gambar 2. Perkembangan permintaan dan pasokan kayu bulat BBS

Sumber: Widyantoro, 2005 (diolah)

secara kontekstual dihadapi

.

Ekstensifikasi investasi HT telah memberikan peluang memperbolehkan konversi hutan alam menjadi HT. Peluang ijin konversi tersebut menyebabkan aliran komoditas kayu bulat hutan alam masuk kedalam pasar domestik dengan jumlah yang besar serta dengan biaya yang relatif jauh lebih murah. Implikasi logis kebijakan tersebut mendorong berkembangnya pasar komoditas yang distortif terhadap tujuan pengembangan pasar domestik kompetitif untuk HT.

Persoalan inkonsistensi asumsi kebijakan terhadap perkembangan substansi kebijakan menyebabkan terbentuknya pola hubungan divergentif antar kebijakan. Pola hubungan divergentif tersebut, tampak disatu sisi kebijakan memberikan insentif yang sangat besar terhadap faktor domestik (lahan, tenaga kerja dan modal) namun di sisi lain kebijakan menyebabkan dis-insentif melalui pembentukan pasar distortif, yang menyebabkan timbulnya efek trade off dan in-efisiensi (Gambar 3)

Inkonsistensi kebijakan serta pola hubungan kebijakan yang berdampak inefisiensi merupakan indikasi penting yang merujuk pada lemahnya kelembagaan. Reorientasi substansi kebijakan pasca tahun 1997/1998 lebih tampak sebagai aksi kebijakan dalam mengakomodasikan isu-isu politik yang dicirikan oleh gerakan sosial yang merebak di seluruh wilayah pengelolaan sumberdaya tanfa melakukan evaluasi terhadap kesesuaian dengan asumsi kebijakan itu sendiri. Perubahan luas kawasan maksimum unit pengelolaan yang sebelumnya diatur oleh PP 7/1990 menjadi kawasan lebih kecil menurut PP 6/1999 menyebabkan pemotongan kawasan yang selama ini telah dikelola. Demikian juga pemberian hak kompensasi kepada masyarakat lokal atas kehilangan akses terhadap hutan, yang diatur oleh UU 41/1999 tmenyebabkan merebaknya klaim-klaim atas perluasan lahan masyarakat untuk memperoleh kompensasi yang lebih besar.

Analisis Dampak Kuantitatif Kebijakan

(3)

Berdasarkan hasil penelitian di empat unit hutan tanaman menunjukkan bahwa:

1. Terdapat insentif terhadap sumberdaya domestik (lahan, tenaga kerja, modal) berkisar Rp2 juta s.d Rp6 juta per hektar.

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman

Gambar 3.

Pola hubungan antar kebijakan hutan tanaman serta dampaknya.

2. terdapat disinsentif berupa kehilangan potensi pendapatan kotor (bruto) akibat kebijakan larangan ekspor dan konversi hutan alam sebesar Rp3 s.d. Rp7 juta per hektar.

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Hutan Tanaman

Hal terpenting bagi ukuran komoditas adalah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu bersaing di pasar dengan komoditas pesaingnya. Oleh karena itu sangat perlu diketahui apakah komoditas dari HT yang ada saat ini memiliki salah satu atau keduanya dari kriteria keunggulan tersebut. Kajian ini akan memberikan sugesti yang baik baik pengambil keputusan.

Keunggulan Komparatif Sistem Komoditas Hutan Tanaman

Keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman (efisiensi ekonomi) didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas untuk memperoleh keuntungan ekonomi pada kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi kebijakan). Indikator yang digunakan dalam analisis keunggulan komparatif adalah keuntungan ekonomi bersih, B/C ratio.

Hasil analisis pada empat unit investasi HTI di Kalimantan dan Sumatera sebagai berikut:

1. Komoditas BBS secara umum tidak memiliki keunggulan komparatif di lokasi penelitian (Kalimantan). Hal ini berbeda dengan lokasi Sumatera. Hal ini disebabkan dua hal yaitu penggunaan teknologi dan pemilihan kualitas lahan/lokasi. Produktifitas lahan di unit contoh di Sumatera Selatan sebesar 150 m3/ha/daur sedangkan di unit contoh Kalimantan Selatan rata-rata 98 m3/ha.

2. Komoditas kayu pertukangan memiliki keunggulan komparatif di seluruh unit HT contoh, baik di Sumatera maupun di Kalimantan.

3. Jenis komoditas Karet memiliki keunggulan komparatif paling tinggi dibandingkan dengan komoditas kayu akasia dan eukaliptus.

Secara teknis hasil analisis memberikan indikasi bahwa kombinasi penggunaan teknologi dan pemilihan kualitas lahan merupakan salah satu faktor dalam menentukan keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman. Kedua faktor tersebut harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi dalam pengembangan investasi hutan tanaman.

Keunggulan Kompetitif Sistem Komoditas Hutan tanaman

Berbeda dari keunggulan komparatif, maka keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas dalam menghasilkan keuntungan finansial pada pasar yang dihadapi secara riil. Analisis keunggulan kompetitif didasarkan pada sistem harga-harga pada pasar yang berlaku (dihadapi). Hal ini berarti sistem pasar baik pasar input, faktor domestik maupun pasar komoditas telah dipengaruhi oleh intervensi kebijakan pemerintah.

(4)

Hasil analisis dari empat hutan tanaman menunjukkan bahwa :

1. Komoditas BBS tidak memiliki keunggulan kompetitif (tidak layak finansial) di seluruh unit contoh, kecuali di Sumatera Selatan. 2. Kayu pertukangan memiliki keunggulan kompetitif pada seluruh unit contoh (B/C ratio antara 1.3 1.7).

3. Kayu pertukangan Karet menunjukkan keunggulan kompetitif yang tertinggi dibandingkan jenis lain (Akasia). Berdasarkan hasil kajian tersebut maka disimpulkan bahwa :

1. Kebijakan larangan ekspor, konversi menyebabkan harga pasar rendah sehingga merugikan produsen BBS (disinsentif). 2. Kebijakan insentif berupa; subsidi lahan (sewa lahan mendekati nol rupiah per hektar per tahun), kebijakan UMR dan pinjaman

DR 0% tidak memberikan dampak positif karena kerugian yang lebih besar akibat butir 1.

3. Komoditas kayu pertukangan baik Akasia maupun karet memberikan keuntungan finansial yang lebih baik daripada BBS. 4. Komoditas karet memberikan keuntungan terbaik diantara seluruh komoditas hutan tanaman pada unit analisis.

Dengan demikian maka kebijakan yang perlu diperbaiki adalah kebijakan berkaitan dengan pasar komoditas, antara lain penghentian kebijakan konversi hutan alam, pencabutan larangan ekspor kayu BBS hutan tanaman, pemilihan kelas perusahaan (BBS & Pertukangan) sesuai dengan tujuannya.

Skenario Pemenuhan Bahan Baku Kayu

Skenario pemenuhan bahan baku terbagi dua, yaitu skenario optimistik dan pesimistik. Pembagian skenario ini didasarkan pada pertimbangan luasan pencadangan areal untuk investasi HT dan produktifitas lahan. Proyeksi hingga tahun 2030 (jangka panjang) akan tumbuh industri pulp sebanyak 26 unit. Saat ini telah terbangun dan beroperasi sebanyak 13 unit (10 unit terintegrasi dan 3 unit sisanya tidak terintegrasi). Asumsi dasar adalah pasar berada dalam persaingan sempurna.

Skenario Optimistik (Jangka Panjang)

Skenario pemenuhan bahan baku dibuat untuk 25 tahun yang akan datang, dengan asumsi pencadangan areal untuk investasi hutan tanaman seluas 9,3 juta hektar dengan produktifitas lahan sebesar 200 m3/ha. Telah terealisasi hingga saat ini seluas 2,5 juta hektar. Jadi sisa areal sebesar 6,8 juta hektar. Untuk perhitungan skenario dibawah ini akan menggunakan sisa areal tersebut (6,8 juta hektar).

R

Untuk 26 unit pulpmill dengan kapasitas masing-masing 800.000 ton per tahun akan menghasilkan 20,8 juta ton pulp. Diasumsikan jika seluruh bahan baku berasal dari kayu, maka kebutuhan kayu bulat BBS sebesar 93,6 juta ton BBS atau setara dengan 112,32 juta m3 BBS.

R

Perkiraan pasokan dengan skenario ini berasal dari 6,8 juta hektar. Dari luas tersebut dialokasikan untuk BBS seluas 4,3 juta hektar dan alokasi untuk kayu pertukangan sebesar 2.5 juta hektar. Dari luas tersebut maka pasokan BBS sekitar 107,5 juta m3 (luas tebangan tahunan 537.500 hektar). Sedangkan untuk kayu pertukangan sebesar 41,7 juta m3 (luas tebangan tahunan 166.800 hektar).

Dengan skenario ini diharapkan pasokan bahan baku baik untuk BBS maupun kayu pertukangan terjadi surplus produksi (tahun 2030). Porsi kayu untuk bahan baku serpih dari sumber HTI berkisar 80% dan HTI-kayu pertukangan sebesar 20%.

Skenario Pesimistik (Jangka Panjang)

Skenario pemenuhan bahan baku dibuat untuk 25 tahun yang akan datang, dengan asumsi pencadangan areal untuk investasi hutan tanaman seluas 9,3 juta hektar dengan produktifitas lahan sebesar 105 m3/ha. Asumsi produktifitas sebesar 105 m3/ha (BBS) dan 150 m3/ha untuk kayu pertukangan, dengan peertimbangan bahwa pengalokasian lahan untuk HT pada umumnya adalah tanah marjinal (miskin hara) dimana perkembangan teknologi sangat lambat. Telah terealisasi hingga saat ini seluas 2,5 juta hektar. Jadi sisa areal sebesar 6,8 juta hektar. Untuk perhitungan skenario dibawah ini akan menggunakan sisa areal tersebut (6,8 juta hektar).

R

Untuk 26 unit pulpmill dengan kapasitas masing-masing 800.000 ton per tahun menghasilkan 20,8 juta ton pulp. Diasumsikan jika seluruh bahan baku berasal dari kayu, maka kebutuhan kayu bulat BBS sebesar 93,6 juta ton BBS atau setara dengan 112,32 juta m3 BBS.

R

Perkiraan pasokan dengan skenario ini berasal dari 6,8 juta hektar. Dari luas tersebut dialokasikan untuk BBS seluas 4,3 juta hektar dan alokasi untuk kayu pertukangan sebesar 2,5 juta hektar. Dari luas tersebut maka pasokan BBS sekitar 56,5 juta m3 per tahun (luas tebangan tahunan 537.500 hektar) juta m3 Sedangkan untuk pertukangan 25 juta m3 (luas tebangan 166.800 hektar).

Mengingat skenario pesimistik ini tidak dapat memenuhi permintaan, maka sisa kebutuhan dipenuhi dari penanaman di kawasan open access, atau dicari sumber lain sebagai alternatif pasokan kayu. Sumber alternatif tersebut dapat berasal dari Hutan Rakyat (HR) dimana lahannya dibebani hak milik dan/atau Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang lahannya berada dalam kawasan hutan produksi.

Skenario Jangka Pendek

Untuk mengatasi persoalan kesenjangan bahan baku kayu bulat saat ini, baik untuk BBS mauoun untuk kayu pertukangan dilakukan skenario sebagai berikut:

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

(5)

Halaman

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

produsen HT ini masih menunggu harganya baik (menguntungkan secara finansial).

Untuk skenario jangka pendek ini yang perlu dilakukan adalah perbaikan harga pasar komoditas HT. Disamping itu, secara teknis industri pengolah kayu pertukangan segera menyesuaikan dengan ketersediaan bahan baku bersumber dari hutan tanaman tersebut (rata-rata diameter kecil). Misalnya, dengan melakukan beberapa perubahan mesin-mesin industrinya yang disesuaikan dengan bahan baku.

STRATEGI KEBIJAKAN

Dalam strategi kebijakan yang perlu diambil adalah (i) garis-garis besar kebijakan yang diperlukan guna mendorong percepatan pembangunan HT, dan (ii) langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan HT sebagai pemasok industri primer kehutanan.

Ouline kebijakan meliputi pertama rencana aksi kebijakan yang merupakan tindakan penting dalam mendorong daya saing komoditas bahan baku serpih, kedua keamanan investasi sebagai jaminan berusaha, dan ketiga terkait dengan debirokratisasi pengurusan kehutanan.

Rencana Aksi Kebijakan

Uraian mengenai keunggulan komparatif sistem komoditas hutan tanaman, keunggulan kompetitif dan dampak kuantitatif kebijakan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa kinerja kebijakan sangat lemah dalam mendorong peningkatan daya saing komoditas hutan tanaman, terutama BBS. Rendahnya daya saing ini diduga sebagai penyebab utama kegagalan pertumbuhan investasi hutan tanaman. Fenomena akumulasi standing stock kayu BBS yang tidak dapat dijual ke pasar bebas (Gambar 4) menguatkan dugaan tersebut sehingga dukungan outline kebijakan baru menjadi penting dengan fokus meningkatkan daya saing komoditas hutan tanaman, terutama BBS.

Prinsip dalam mendorong daya saing komoditas tersebut, melalui kebijakan, adalah dengan menggeser kurva permintaan ke kanan atas (Gambar 4), sehingga titik output komoditas kayu BBS akan meningkat yang disebabkan oleh adanya peningkatan harga komoditas di pasar. Disamping itu kebijakan tidak langsung yang dapat menciptakan distorsi (disinsentif) pasar komoditas perlu dieliminasi, seperti kebijakan konversi yang menyebabkan aliran komoditas yang sama masuk ke pasar domestik dengan harga yang jauh lebih murah.

Instrumen yang paling efektif untuk menggeser kurva agregatdemand ke kanan atas adalah melalui pembukaan kran ekspor kayu bulat BBS. Mengingat sifat BBS dan kayu pertukangan berbeda (seperti diuraikan sebelumnya) maka perlu ada diferensiasi perlakuan kebijakan berkaitan dengan kebijakan perdagangan kayu bulat.

Pada pasar terdistorsi perbedaan harga di hutan antar lokasi hutan tanaman sangat tinggi berkisar antara 16-18 USD/m3 di TPn sedangkan harga pasar kompetitifnya pada lokasi yang sama berkisar antara USD 35-40 per m3. Atau, dengan menggunakan kaidah 'rule of thumb' harga BBS sekitar 6-7% dari harga pulp di Asia-Pasifik. Melalui instrumen pembukaan kran ekspor tersebut maka disparitas harga yang merujuk pada sistem inefisiensi dapat dihindarkan, mengingat pasar tidak ditortif

(6)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

disamping kegagalan pasar akibat inperfect information dapat terhindarkan karena semua pihak akan dengan mudah memperoleh informasi pergerakan harga komoditas dunia.

Melalui strategi kebijakan tersebut maka investasi hutan tanaman akan meningkat pesat, cateris paribus, mengingat proyeksi keuntungan yang menarik. Hal ini, dalam hukum ekonomi, secara otomatis investasi hutan tanaman akan menjadi tujuan investasi berbasis pengelolaan sumberdaya alam, tanpa harus ada ”pemaksaan” untuk menanam hutan tanaman. Hasil penelitian pada beberapa unit hutan tanaman menunjukkan bahwa skenario pembukaan ekspor kayu bulat untuk BBS tersebut menyebabkan investasi hutan tanaman memiliki potensi menjadi kompetitor terkuat investasi berbasis pengelolaan sumberdaya lahan seperti kelapa sawit maupun perkebunan karet rakyat bahkan dengan pencabutan subsidi atas lahan sekalipun, yang selama ini diberikan pemerintah dengan harga sewa yang sangat murah (hampir Rp 0 per hektar per tahun), masih mampu memperoleh keuntungan yang menarik.

Namun jika pemerintah melalui kebijakan berorientasi untuk melindungi industri perkayuan maka kebijakan untuk mewajibkan integrasi vertikal hilir-hulu perlu dilakukan untuk memastikan aliran produksi dan konsumsi bahan baku. Namun skenario kebijakan tersebut menimbulkan banyak kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut disamping rentan terhadap fluktuasi makroekonomi sebagai faktor eksternal yang dapat berimbas pada sektor hulu juga investasi on-farm menjadi kurang dihargai. Dengan demikian maka investasi hutan tanaman (on-farm) menjadi profit center dalam sistem industri perkayuan menjadi penting untuk dipertahankan.

Keamanan Investasi (

Investment security)

Untuk mendukung aksi kebijakan tersebut pada poin 4.1. maka dukungan kebijakan berkaitan dengan kepastian hukum investasi sangat penting. Berbagai kendala atas lemahnya kepastian hukum selama ini telah menjadi momok calon investor masuk ke wilayah Indonesia. Kebijakan pencabutan unit hutan tanaman melalui keputusan nomor 8678, ancaman pencabutan atas ketidaklayakan teknis dan finansial SK Menhut nomor 43/Menhut-II/2004 sebenarnya tidak diperlukan mengingat ancaman justru disebabkan oleh kebijakan yang tidak kondusif. Demikian juga kebijakan berkaitan dengan penvabutan insentif pendanaan melalui Surat Edaran Menhutbun nomor 922/Menhutbun-VI/99 dan penghentian oleh SE Sekjen nomor 549/II-Keu/2000 perlu segera dicarikan solusinya. Hal tersebut penting mengingat secara kontekstual akses pendanaan pada lembaga keuangan masih sulit sementara LKA belum efektif.

Demikian juga kebijakan kontroversi dengan aksi kebijakan tersebut perlu dihilangkan untuk menghindari terjadinya efek divergentif seperti yang telah terjadi pada periode kebijakan sebelumnya yang menyebabkan inefisiensi dan upaya insentif yang diberikan jadi sia-sia. SK 101/Menhut-II/2001 yang diperbaiki dengan P.23/Menhut-II/2004 perlu evaluasi kembali berkaitan dengan peluang konversi hutan alam menjadi kawasan investasi hutan tanaman. Walaubagaimanapun, dalam tataran makro kebijakan tersebut akan menyebabkan aliran komoditas BBS masuk ke pasar domestik atau unit yang terintegrasi dengan industri justru akan memanfaatkan aliran ini untuk konsumsi industri dan menimbulkan perlambanan dalam progres investasi unit hutan tanamannya.

Debirokratisasi

Mengingat nature investasi hutan tanaman sangat berbeda dengan nature pengelolaan hutan alam, dimana sejumlah biaya pada awal investasi diperlukan dalam jumlah yang besar dengan resiko yang tinggi, maka skenario komersial sudah merupakan pertimbangan utama dalam investasi hutan tanaman. Hal ini berarti pola pengelolaan telah memiliki perencanaan yang lengkap meliputi baik skedul maupun biaya serta proyeksi keuntungan sejak pembukaan lahan sampai dengan distribusi pemasaran. Dengan demikian maka tidak lagi diperlukan pengaturan-pengaturan kebijakan yang merupakan domain kebijakan internal manajemen hutan tanaman serta tidak diperlukan lagi kebijakan administratif lainnya yang mengikat yang dapat menimbulkan disinsentif proses percepatan investasi hutan tanaman itu sendiri.

Kebijakan mengenai studi kelayakan (feaseability study, FS) disamping membutuhkan waktu lama, juga bukan merupakan sesuatu yang harus diatur oleh pemerintah, mengingat FS adalah bagian integral dari proses pengelolaan usaha komersial yang merupakan domain manajemen perusahaan. Perusahaan lebih tahu apa yang harus dilakukan untuk mengamankan investasi serta membuat investasinya menguntungkan dengan mempertimbangkan potensi resiko-resiko yang akan dihadapi. Demikian juga dalam proses pengesahan RKT yang membutuhkan waktu lama serta menimbulkan high cost economy. Mengaitkan ijin pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan rescheduling pembayaran pinjaman DR dan lain-lain justru dapat menimbulkan kekacauan proses percepatan mengingat kedua subjek tersebut tidak terkait secara substansial. Di satu sisi RKT hutan tanaman, disamping merupakan aktifitas sejalan program kebijakan, juga membutuhkan likuiditas perusahaan untuk membiayai progres penanaman sehingga hambatan kebijakan dengan mengaitkan RKT dan resheduling kontroversi dengan semangat percepatan.

Oleh karena itu, dalam proses-proses perencanaan di atas yang perlu ditangani oleh Pemerintah hanya terkait Rencana Karya Umum (RKU) untuk masa 10 atau 20 tahun. Sedangkan Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) cukup menjadi bagian investor saja. Disamping itu berbagai perangkat birokrasi perlu di perbaiki berkaitan dengan proses pelayanan administrasi. Sejumlah proses administrasimasih dirasakan sulit yang disebabkan oleh panjangnya proses birokrasi.

(7)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman

Bagian I :

Pengantar

H

utan bisa dapat dimengerti sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pada umumnya para pihak telah sepakat bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa sudah seharusnya dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hutan harus bisa memberi manfaat secara lestari, bukan hanya bagi generasi sekarang akan tetapi juga untuk generasi mendatang.

Hutan harus bisa dinikmati manfaatnya bagi generasi mendatang, generasi anak, cucu, cicit dan seterusnya. Generasi yang mungkin tidak akan pernah dilihat oleh generasi sekarang namun ikut menanggung akibat perbuatan generasi sekarang dan generasi terdahulu. Dari kesadaran lintas generasi ini maka muncul jargon bahwa hutan bukan warisan nenek moyang akan tetapi titipan anak cucu.

Agar hutan lestari dan bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna untuk kemakmuran rakyat maka harus ada yang mengelola hutan dan membuat perencanaan . Pada tataran konsep hampir semua pihak setuju bahwa hutan harus dikelola dan sepakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan agar hutan bisa memberi manfaat lintas generasi. Namun perbedaan pendapat mulai muncul pada saat menjawab pertanyaan siapa yang mengelola, bagaimana mengelolanya. Bahkan pada tataran praktis perbedaan pendapat lebih banyak muncul lagi karena berbagai sebab.

Pendapat yang berbeda-beda tersebut bisa dimengerti sebagai akibat dari perbedaan latar belakang, perbedaan pemahaman, perbedaan persepsi dan perbedaan kepentingan. Berbagai perbedaan pendapat tersebut seyogyanya tidak menimbulkan perdebatan yang berlarut-larut yang justru kontraproduktif terhadap usaha pengelolaan hutan lestari. Perbedaan pendapat dapat dihilangkan atau setidaknya dikurangi apabila semua pihak secara bersama mengacu pada suatu hal yang disepakati bersama. Hal-hal yang disepakati bersama oleh para pihak terkait (stakeholders) dan ditetapkan oleh pihak yang mempunyai otoritas adalah peraturan perundangan.

Unit Pengelolaan Hutan dan Perencanaan Kehutanan dalam Peraturan Perundangan.

Peraturan perundangan terkait unit pengelolaan hutan atau yang dapat dijadikan acuan untuk bersepakat serta memahami Unit Pengelolaan Hutan adalah :

• UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

• Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (dalam proses revisi)

• Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah hal yang harus dilakukan dalam pengurusan hutan adalah melakukan perencanaan kehutanan dan melakukan pengelolaan. Dalam PP nomer 44 tahun 2004 diuraikan pengertian Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Unit Pengelolaan Hutan

Posisinya Dalam Perencanaan Kehutanan

1)
(8)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Selanjutnya UU 41 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dalam perencanaan kehutanan adalah pembentukan wilayah pengelolaan hutan. UU 41 juga memandatkan untuk membentuk wilayah pengelolaan hutan pada berbagai tingkat. Disebutkan pada pasal 17 bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan.

Menurut Pasal 3 PP 44 kegiatan Perencanaan Kehutanan meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Inventarisasihutan;

b. Pengukuhankawasanhutan; c. Penatagunaankawasanhutan;

d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan e. Penyusunan rencana kehutanan.

Dari pasal 3 PP44 diatas terlihat bahwa posisi kegiatan untuk mewujudkan wilayah pengelolaan yaitu Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan Perencanaan Kehutanan.

Pengertian masing-masing wilayah pengelolaan dalam menurut Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 adalah sebagai berikut:

Wilayah pengelolaan hutan tingkat Provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah Provinsi yang dikelola secara efisien dan lestari.

·

Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dikelola secara efisien dan lestari.

·

Unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

·

Terkait dengan pembentukan wilayah pengelolaan adalah kegiatan tata hutan. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Disebutkan bahwa dalam UU tentang Kehutanan tersebut bahwa Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.

Selanjutnya dalam UU 41 tahun 1999 digariskan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Unit pengelolaan dimaksud adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan terkecil yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah diatas telah mengamanatkan dan mengatur untuk membentuk unit pengelolaan hutan atau kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam berbagai fungsi hutan. Bahkan berbagai kegiatan kehutanan harus dilaksanakan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan. Pada tataran ini nampaknya banyak pihak telah sepakat, pertanyaan berikutnya adalah siapa, bagaimana dan kapan membentuk unit pengelolaan hutan adalah masalah yang harus dipikirkan dan dijawab bersama.

>>>>>>>>>0O0<<<<<<<<<<

(9)

Halaman

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

U

raian dibawah ini merupakan sumbangan penulis sebagai seorang Perencana madya terhadap rencana penyusunan rencana makro kegiatan kehutanan yang akan dilakukan oleh Badan Planologi Kehutanan (Cq. Pusat Rencana Statistik kehutanan).

Dalam menyusun rencana makro, sebaiknya disusun dahulu kerangkanya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi arahan/koridor bentuk/format rencana makro yang akan disusun. Kerangka rencana makro tersebut seyogyanya memuat: Pendahuluan, Landasan, Maksud Tujuan, Ruang Lingkup, Identifikasi penetapan kegiatan kehutanan, dan prinsip-prinsip. Berikut uraian konsep ringkas kerangka rencana makro kegiatan kehutanan versi penulis.

I. PENDAHULUAN

a. Indonesia memiliki kawasan hutan yang luas serta didalamnya mengandung kekayaan kenaeka ragaman alam hayati yang sangat tinggi, yang menempati kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.

b. Selama beberapa dekade sumberdaya hutan telah dijadikan sumber devisa bagi negara tapi belum dikelola secara lestari sehingga potensi hutannya saat ini sangat menurun.

c. Pada saat ini pembangunan sektor kehutanan menghadapi permasalahan yang sangat berat al: perambahan dan okupasi kawasan hutan, pencurian kayu (illegal Logging), pengelolaan hutan yang mengabaikan aspek kelestarian hutan, kesenjangan supply-demand kayu, perbedaan persepsi dalam pengelolaan hutan antara pusat-daerah, keinginan yang tinggi untuk mengkonversi hutan untuk kepentingan non kehutanan.

d. Potensi hasil hutan non kayu serta jasa lingkungan belum dimanfaatkan secara optimal, padahal diprediksi hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan mempunyai nilai yang tinggi.

e. Sampai saat ini belum disepakati kriteria dan standar baku untuk mengelola kawasan hutan yang bisa dapat dijadikan acuan bersama antara pihak yang terkait dalam pengelolaan hutan.

f. Salah satu upaya untuk mempersiapkan prakondisi bagi pembangunan dan pengelolaan hutan yang optimal adalah penyediaan rencana-rencana kehutanan yang akan dijadikan acuan untuk rencana tindak kegiatan.

g. Dasar untuk menyusun rencana-rencana kehutanan telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.28/Menhut-II/2006 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan.

h. Dalam implementasinya telah dilakukan penyusunan rencana-rencana pembangunan kehutanan sesuai dengan perintah sistem perencanaan kehutanan tersebut yaitu rencana jangka panjang, rencana strategis dan rencana tahunan. Namun demikian terdapat satu penyusunan rencana kehutanan yang belum sempat diwujudkan, rencana tersebut adalah rencana-rencana makro kegiatan kehutanan.

I. Berdasarkan sistem perencanaan kehutanan, kriteria rencana makro kegiatan kehutanan antara lain:

- Merupakan penjabaran rencana kehutanan jangka panjang dan atau rencana kehutanan jangka menengah dan atau kebijakan prioritas yang ditetapkan Menteri Kehutanan

- Merupakan arahan makro yang bersifat khusus dan strategis bagi pedoman pelaksanaan kegiatan kehutanan tertentu dan membutuhkan mobilisasi sumberdaya serta koordinasi lintas sektor

- Merupakan instrumen dasar untuk kerangka kerja, pembiayaan dan investasi pembangunan kehutanan - Merupakan determinasi potensi sumberdaya kehutanan

- Merupakan alokasi peran dan tata kerja diantara pelaku pembangunan kehutanan, termasuk lembaga pengelolaan sumberdaya kehutanan.

j. Mengacu pada kriteria rencana makro, maka sebelum kita menentukan rencana makro kegiatan kehutanan yang akan disusun perlu dilakukan langkah identifikasi kegiatan-kegiatan prioritas yang terdapat dalam rencana-rencana kehutanan maupun kebijakan yang telah disusun atau ditetapkan. Disamping itu perlu disepakati terlebih dahulu kerangka umum yang mendasari atau menjadi acuan bagi penyusunan rencana makro.

II. LANDASAN

R

UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

R

UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

R

UU. No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

R

UU. No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

R

PP. No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam

ALTERNATIF BENTUK KONSEP KERANGKA

RENCANA MAKRO KEGIATAN KEHUTANAN

1

(10)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

R

PP No. 34 tahun 2003 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

R

PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

R

Permenhut No. P.28/menhut-II/2006 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan.

III. MAKSUD DAN TUJUAN

¨

Mencari cara efektif untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan kehutanan yang perlu disusun rencana makronya.

¨

Mencari prinsip-prinsip dasar penyusunan rencana makro kegitan kehutanan.

¨

Menyusun kerangka umum untuk acuan pelaksanaan penyusunan rencana-rencana makro kegiatan kehutanan

IV. RUANG LINGKUP

ð

Kebijakan strategis pelaksanaan kegiatan kehutanan.

ð

Pengaturan umum pelaksanaan kegiatan kehutanan.

ð

Cakupan wilayahnya seluruh Hutan Konservasi (HSA, HPA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), termasuk luar kawasan hutan yang menjadi bidang garapan pembangunan kehutanan.

ð

Penyusunannya partisipatif dan melibatkan pihak-pihak terkait.

V. IDENTIFIKASI PENETAPAN KEGIATAN KEHUTANAN

°

Kegiatan strategis yang menjadi prioritas utama pembangunan kehutanan Nasional dan mempunyai dampak yang sangat significant terhadap pencapaian keberhasilan pembangunan secara Nasional.

°

Kegiatan strategis yang memerlukan koordinasi, sinergi, sinkronisasi dari berbagai stakeholder kehutanan.

°

Kegiatan strategis yang membutuhkan acuan/landasan/ persepsi yang sama dalam pelaksanaan kegiatannya.

VI. PRINSIP-PRINSIP

Prinsip-prinsip dalam rencana makro kegiatan kehutanan antara lain:

³

Memuat dasar dan tujuan dari penyusunan rencana makro.

³

Memuat isu-isu strategis terkait dengan kegiatan kehutanan yang akan disusun rencana makronya.

³

Memuat cakupan kawasan yang menjadi bidang garapan, termasuk batasan wilayah-wilayah dan justifikasi penetapan wilayahnya.

³

Memuat pola-pola penanangan alternatif dalam pelaksanaan kegiatan kehutanan.

³

Memuat gambaran kelembagaan pelaksananya termasuk analisa dan justifikasinya

³

Memuat data/informasi pendukung spatial maupun non spatial (al: data sekunder, data primer, peta-peta tematik)

>>>>>>0O0<<<<<<<

(11)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman

Regenerasi manajemen dan organisasi

Salah satu ilmu yang mengalami berkembangan pesat dewasa ini adalah ilmu manajemen. Sejak lepas dari ilmu induknya -ilmu ekonomi - telah berkembang hingga generasi ke lima.(Sadu Wasistiono,2001)

Manajemen generasi pertama disebut sebagai jungle management, dengan ciri pekerjaan lebih banyak dikerjakan sendiri. Manajemen generasi kedua disebut sebagai management by direction , yang menonjol dengan gejala-gejala kepemimpinan bercirikan: mengerjakan sesuatu melalui orag lain (doing thing trough by the other people ).Manajemen generasi ketiga, disebut sebagai management by targeting atau management by objectives (MBO) dengan ciri-ciri mengutamakan target-target kuantitatif tetapi kurang memperhatikan target kualitatif. Management generasi keempat , disebut sebagai total quality management (TQM) , dengan ciri mengutamakan target kualitatif seperti kepuasan pelangan, disamping target kuantitatif. Manajemen generasi kelima, disebut sebagai human nertworking management, dengan ciri mengutamakan jaringan kerja manusia profesional.

Manajemen generasi kelima umumnya digunakan pada organisasi-organisasi bisnis yang besar dan canggih yang memerlukan dukungan jaringan komputer. Sebagian lagi masuk pada manajemen generasi keempat. Tetapi manajemen di sektor pemerintah umumnya tertinggal dibanding sektor privat. Sadu Wasistiono mengidentifikasi organisasi pemerintah di Indonesia rata-rata baru menggunakan manajemen generasi kedua atau paling jauh generasi ketiga. Karena itu organisasi pemerintah cenderung menjadi penghambat kemajuan bangsa karena proses proses birokrasi yang memakan waktu dan biaya yang tidak proporsional. Kinerja birokrasi di Indonesia sangat menyedihkan , terlihat indeks good governance Indonesia berada diurutan paling bawah di antara negara-negara Asia.

Banyak penyebab ketertinggalan manajemen di sektor pemerintahan tersebut diantaranya yang paling menyolok adalah :1) tidak adanya iklim kompetisi yang cukup kuat untuk menggerakkan inovasi dan kreativitas anggota organisasi, 2) hambatan kultural untuk melakukan perubahan, terutama yang datang dari puncuk pimpinan, c) tidak adanya tolok ukur efektivitas dan efisiensi sehingga terjadi banyak pemborosan waktu, tenaga dan terutama biaya.

Kita terlalu sering menyaksikan perombakan struktur organisasi pemerintahan di level Departemen, karena tuntutan perkembangan zaman, tetapi mekanisme birokrasi tetap saja seperti sediakala, surat bergerak lambat, yang masuk daftar prioritas terbatas pada pelayanan kepada elit pimpinan atau elit politik di DPR.

Mungkin karena di tubuh organisasi fungsional tak ada keruwetan sedemikian itu, maka kotak-kotak fungsional itu - sebagaimana sarang lebah yang terdapat di bukit-bukit, di pohon-pohon, juga di tengah-tengah pemukiman manusia yang tak mudah dijangkau manusia - tak pernah terganggu. Penghuninya betah bertahan merasa aman dan nyaman sebagai orang-orang yang tepat pada “kotak” nya.

Muncul pertanyaan yang menggelitik. Bagaimana organisasi fungsional itu ke depan ? Apakah selamanya tak tersentuh dinamika perkembangan ilmu manajemen?

Bondan Winarno dalam bukunya “Seratus KIAT Jurus Sukses Kaum Bisnis (2) menyebut, sebuah organisasi menurut teori harus memenuhi empat kriteria : sederhana, lengkap-terpadu, pragmatis dan mempunyai komunikabilitas. Sebuah organisasi disebut sederhana bila tak terjadi tumpang tindih (redundancy) dalam sistem. Sebuah organisasi dikatakan lengkap dan terpadu bila semua pekerjaan yang harus diselenggarakan dapat diselesaikan. Tetapi semakin lengkap organisasi itu, semakin komplek juga jadinya. Organisasi sarang lebah telah memenuhi syarat “sederhana” sehingga kemungkinan menghadapi konflik lebih kecil. Lebih sederhana lagi karena disini tak perlu pendelegasian.

Lebah dan sarangnya juga dimuliakan di dalam Al Qur'an ( An Nahl ayat 68). Sarang lebah itu dengan segala jaringannya yang segi enam, geometris yang begitu sempurna, merupakan bangunan yang luar biasa. Lebah mencerna pelbagai macam sari bunga dan buah-buahan, dan dalam tubuhnya ia membentuk madu yang kemudian disimpan dalam jaringan-jaringan lilin. Bermacam makanan yang berbeda-beda yang kemudian dibuat madu memberikan warna madu yang beraneka pula, ada yang berwarna coklat tua, coklat muda, kuning, putih dan lain sebagainya. Rasa dan aromanya pun berbeda-beda, namun semuanya menjadi makanan yang manis dan sehat , dan dipakai juga sebagai obat.

Kita sangat berharap penggambaran kotak-kotak fungsional tersebut memang diilhami oleh lebah dan sarangnya. Lebah adalah makhluk yang hanya mengisap makanan yang baik dan menghasilkan produk yang baik dan bermanfaat. Jadi tak perlu merasa rendah diri mengambil pelajaran dari lebah yang hidup dilingkungan yang baik dan terpuji dan pebisnis yang terus membangun proses pembelajaran!

Pejabat fungsional seperti perencana adalah pebisnis dengan aset intelektual. Berpikir atau kerja otak diperlukan untuk mengatasi kesenjangan atau mendesain masa depan. Karena itu pengelolaan aset intelektual adalah sebuah keniscayaan, pantang dinafikan, harus terus diregenerasi mengiringi regenerasi ilmu manajemen.

Dalam kondisi yang diliputi ketidakpastian, Prof.Dr Wahyudi Prakarsa mengemukakan bahwa dalam kondisi yang diliputi ketidakpastian, perlu perubahan organisasi dari : hirarkis mekanistik otokratik konfrontatif menuju : jejaring organismik partisipatif koeksistensi. Kita dengan mudah dapat mengamati bahwa organisasi pemerintah lebih condong pada bentuk yang pertama sehingga menimbulkan inefisiensi sistem birokrasi yang berdampak pada kesenjangan dalam kepemilikan akses atas pembangunan. Ditambah dengan pembangunan ekonomi yang hanya mengutamakan pertumbuhan maka muncul ironi, pembangunan dibidang ekonomi tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Sebagian besar masyarakat, karena berada pada tingkat sosial ekonomi yang memprihatinkan, tidak mampu mengambil keputusan manfaat atas hasil-hasil pembangunan.

Mengingat organisasi dunia bisnis memang lebih dinamis, dan berada 3 step di depan organisasi pemerintahan, maka tak ada salahnya bagi organisasi fungsional yang berbasis aset intelektual personal, tidak terikat struktur mengambil pelajaran dari proses perkembangan organisasi bisnis ini karena lebih memiliki keluwesan untuk beradaptasi mengikuti dinamika pemutakhiran organisasi yang disebut terakhir : jejaring organismik partisipatif koeksistensi.

.Jejaring

Pekerjaan pejabatan fungsional, khususnya perencana pada dasarnya berbasiskan pengetahuan yang dalam melaksanakan pekerjaannya ia melibatkan kegiatan pengumpulan informasi, melakukan imajinasi, melakukan eksperimen (coba-coba), menemukan, dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang diperolehnya pada sistem yang lebih besar. Dengan perkembangan teknologi yang mengagumkan, maka pengumpulan informasi bisa diserahkan kepada mesin komputer, bahkan dengan tingkat konsistensi dan akurasi yang tidak mungkin dicapai manusia. Meskipun demikian manusia lebih unggul dibandingkan mesin dalam hal inovasi yaitu dalam hal melihat kemungkinan-kemungkinan dan inisiatif mewujudkannya.

Fisibilitas Organisasi Fungsional

(12)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Sementara itu pekerjaan yang berbasis pengetahuan telah beralih dari pekerjaan yang bersifat statis ke pemecahan serangkaian masalah atau upaya menemukan kemungkinan-kemungkinan baru yang biasanya membutuhkan kelompok multi disiplin. Tanpa jejaring, seorang perencana yang soliter tentu tak akan mampu tampil elegan. Jejaring akan memperkokoh pula hubungan internal dan eksternal Sikap inward looking perlu diimbangi dengan outward looking. Jejaring akan mampu mengembangkan rasa percaya diri dan mampu menolong diri sendiri dengan semangat kebersamaan. Organisasi akan lebih efektif lagi jika dibangun interaksi yang melembagakan kolaborasi atau partnership dalam even evaluasi personal dalam satu profesi. Dengan standar profesional yang telah dilembagakan tadi, setiap anggota kelompok bisa memberikan penilaian apakah suatu karya perencanaan yang telah dihasilkan masih perlu disempurnakan atau sudah memadai. Melalui munculnya tanggapan-tanggapan atau prakarsa-prakarsa secara tidak langsung akan terbangun mekanisme proses pembelajaran dan achievement yang lahir dari hubungan secara fungsional (net-working)

Organismik

Organismik dapat diartikan memiliki karakteristik seperti organisme, jasad hidup yang mandiri dengan sistem tertentu untuk suatu tujuan tertentu. Dalam pengertian sosial, atau pergaulan antar kelompok, komunitas, organismik identik dengan kemandirian (self-reliance) juga bermakna sebagai organisasi diri (self-orgnization) atau manajemen diri (self- management) Contoh organisasi yang organismik adalah LSM. Unsur-unsur organisasi saling berinteraksi dan melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan. Di dalamnya terus berlangsung proses pencarian pola yang tepat, agar interaksi antar unsur selalu mencapai keseimbangan. Setiap keseimbangan yang dicapai akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya. Proses kemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung. Melalui bangunan jejaring, proses pembelajaran dan peningkatan diri para anggota kelompok akan berlangsung, sehingga kesenjangan antara posisi dan kinerja dapat terkikis. Proses perkembangan kelompok semacam ini bisa dibantu dengan menyertakan pendamping yang memfasilitasi individu-individu dengan tujuan untuk mengintensifkan komunikasi dan proses pembelajaran untuk mengembangkan pengetahuan yang diperlukan, merangsang kemandirian dengan jalan menggalang potensi secara bersama-sama.

Mekanisme yang demikian tidak terlalu asing bagi pejabat fungsional, khususnya fungsional perencana yang berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan harus terlebih dulu mengikuti dan lulus diklat penjenjangan fungsional perencana. Dalam menyongsong pelaksanaan Jabatan Fungsional Perencana (JFP) Pusat Pembinaan Perencana (PUSBINREN) juga telah melakukan berbagai langkah persiapan, didahului dengan seminar, inventarisasi dari seluruh unit/lembaga perencanaan , Pre-Studi disain konsep kurikulum diklat fungsional perencana, Kajian kompetensi Tenaga Perencana Pemerintah, Workshop Kompetensi Perencana serta sosialisasi persiapan pelaksanaan JFP dan angka kreditnya. Hal ini membuktikan untuk meningkatkan kapasitas Instansi Perencanaan Pemerintah benar-benar diperlukan aset intelektual dan persiapan yang matang untuk memperoleh kinerja personal para perencana yang memuaskan

Pejabat fungsional/perencana kehutanan perlu mengambil pelajaran dari hutan sebagai suatu organisme hidup, sebagai subyek untuk tampil dengan sifat-sifat dan cirinya sendiri serta memiliki batas tolerasi yang memungkinkan tetap lestari. Kelompok fungsional perencana seperti halnya hutan, adalah entitas yang mampu memberikan aliran manfaat yang tak pernah kering.

Partisipatif

Pendekatan partisipatif lebih tepat disebut sebagai proses pembelajaran yang dialogik ketimbang suatu proses adopsi inovasi. Banyak tipologi partisipatif, tetapi yang paling aplikatif adalah partisipatif interaksi dan partisipasi konsultatif.

Pastisipasi interaktif dapat diterapkan dalam tahap analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan organisasi pelaksana kegiatan. Proses ini dilangsungkan terutama dalam menangani kegiatan yang melibatkan metodologi yang multi disiplin.

Bentuk partisipasi konsultatif melibatkan pejabat pembina dengan prinsip pembina memiliki hak untuk memberikan kontribusi: konsep, informasi, analisis, dan alternatif keputusan. Sedangkan anggota kelompok yang sederajat memberikan kontribusi : refleksi permasalahan, pertimbangan-pertimbangan, tatanilai, proses pengambilan penarikan kesimpulan.

Tipologi partisipatif yang lainnya adalah partisipasi manipulatif, contohnya ketika seorang anggota kelompok ditunjuk sebagai wakil kelompok dalam suatu forum. Partisipasi pasif dapat terjadi ketika menjalin hubungan/komunikasi dengan fihak manajemen proyek . Tipologi partisipatif yang terakhir adalah mobilisasi swakarsa. Contohnya ketika seorang pejabat fungsional mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem dengan membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang dibutuhkan.

Perlu diketahui bahwa tidak seluruh kegiatan perencanaan memerlukan biaya. Kalaupun memerlukan biaya maka tidak seluruhnya dapat dibiayai oleh Pemerintah. Sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi, alokasi dana yang bersumber dari pemerintah masih dapat dianggap justified (beralasan). Namun tidak tertutup kemungkinan bagi Perencana untuk mencari kemungkinan sumber dana lain yang dapat mendukung kegiatan pengembangan perencanaan, misalnya sumber dana swasta atau masyarakat untuk penerbitan majalah, buku atau penelitian pengembangan masyarakat lainnya.

Koeksistensi

Koeksistensi adalah keadaan hidup berdampingan secara damai antara dua fihak atau lebih yang berbeda atau bertentangan pandangan. Sikap ini layak diterapkan ketika seorang pejabat fungsional menghadapi tim penilai angka kredit. Pertemuan kedua fihak akan selalu diwarnai perbedaan cara pandang antara pejabat fungsional dengan pejabat penilai angka kreditnya. Masing-masing merasa memiliki intelectual judgement terhadap muatan produk intelektual yang tergolong abstrak, dan pihak yang dinilai mesti melakukan adaptasi. Contoh konkrit di lapangan adalah antara pengusaha HPH/IUPHHK dengan masyarakat pemegang hak ulayat. Masing-masing memiliki kepentingan. Ketika salah satu pihak ingin memuaskan kepentingannya maka pihak yang lain harus bersedia menurunkan derajat kepentingannya untuk dapat memuaskan pihak lain. Jika keduanya mempertahankan pendapatnya maka akan timbul konflik. Koeksistensi adalah strategi menghadapi resiko yang memang selalu muncul pada keadaan yang mana pun. Tak pernah ada sesuatu yang dapat dipilih tanpa risiko. Pilihan antara malas dan proaktif juga mengandung resiko.

Penutup

Kotak-kotak sarang lebah adalah bangunan yang kokoh. Yang diperlukan adalah masuknya inovasi ke dalam sistem melalui mekanisme jejaring organismik partisipatif koeksistensi. Alangkah indahnya, bila dari sarang lebah itu terdengar suara yang nyaring tetapi dari tubuhnya keluar madu, sebuah produk yang rasanya manis tetapi berkhasiat obat. Tidak seperti obat buatan manusia yang terasa pahit. Sungguh istimewa !....

(13)

---GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman Berangkat dari pernyataan keprihatinan dan kegemasan Gubernur KDH Tk.I Sumatera Selatan dalam beberapa

kesempatan forum koordinasi di satu pihak atas kekurang pedulian berbagai pihak atas kondisi degradasi luas, potensi dan fungsi sumberdaya hutan sampai dengan terbitnya usulan pencabutan HPH di Provinsi Sumatera Selatan dari Gubernur kepada Menteri Kehutanan RI dan di pihak lain kecemasan Menteri Kehutanan RI pada yang terlontar pada kesempatan lokakarya di Universitas Gajah Mada, bahwa akan meningkatnya eksploitasi sumberdaya hutan yang makin tidak terkendali di era otonomi karena berkembangnya secara cepat desakan kebutuhan kapitalisasi pembangunan setiap daerah otonom akan mengulangi pembagian lisensi kelola hanya pada pihak yang masih dipertanyakan, sebagaimana dilansir dalam surat kabar lokal (periode September-Oktober 1999) dan harian Republika (tanggal 15 Nopember 1999) sudah selayaknya menjadi bahan renungan semua pihak terkait.

Ditinjau dari kredibilitas kedua Pejabat (ulil amri minkum) yang kompeten dalam pengelolaan sumberdaya hutan bagi sebesar-besar kesejahteraan Rakyat tersebut, dapat diyakini bahwa ungkapan kepedulian yang mendalam tersebut bukanlah sekedar statement populis (lips service), namun lebih kepada ajakan dan peringatan (amar ma'ruf nahi munkar) bagi kita semua untuk sesegera mungkin memikirkan solusi minimalisasi dan atau menghentikan laju kerusakan (kemunkaran/kedholiman) seraya melakukan upaya rehabilitasi (ma'ruf/kebaikan).

Tidak dapat disangkal lagi, bahwa takdir desakan Reformasi telah membawa perubahan mendasar dari pendekatan kelola sumberdaya dalam bentuk kebijaksanaan politik, hukum dan ekonomi, yaitu sebagaimana diatur dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1999, Penyelenggaraan Otonomi dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah dalam UU no. 22 dan no. 25 tahun 1999 serta UU dan Ketentuan Pokok Kehutanan dalam UU no. 41 tahun 1999, dimana penekanan penyelenggaraan pembangunan sumberdaya pada pertumbuhan yang berimbang antar 3 (tiga) aspek pokok, yang boleh kita namakan Tri-Amanah, yaitu amanah

ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang didukung dengan penerapan supremasi hukum yang konsisten serta fungsi

birokrasi yang hanya terbatas pada perencanaan, pendorong/fasilitator pengembangan potensi Masyarakat serta

evaluasi pelaksanaannya dalam konteks penataan negara kesatuan secara menyeluruh (cuplikan jawaban Presiden RI

pada acara penjelasan kepada DPR-RI tentang pembubaran Deppen dan Depsos) umtuk menjamin kenyamanan dan keamanan pengembangan usaha kelola sumberdaya yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Paradigma kelola sumberdaya yang terakhir ini sangat berbeda nyata dengan pendekatan pembangunan era sebelumnya yang cenderung pada pertumbuhan ekonomi dahulu baru diikuti keadilan pemerataan hasilnya, namun terbukti sulit terlaksana khususnya pada giliran keberadilan pemerataan, dimana pihak tertentu karena alasan terganggunya kemapanan dan atau resistensi selalu mempunyai cara untuk mrnghambat proses pemerataan tersebut. Sementara rendahnya tanggung jawab dan kepedulian dari pihak yang berkompeten sekaligus penikmat nilai tambah kelola terhadap terjadinya kerusakan sumberdaya dan tatanan sosial budaya masyarakat sebagai suatu kesatuan ekosistem kehidupan yang merupakan akses negatif pembangunan, telah tumbuh dan berkembang dari kesenjangan menjadi konflik sosial yang terbukti bukan hanya bersifat lokal, regional dan Nasional saja bahkan juga mengglobal termasuk permasalahan Internasional.

Apabila kita cermati kedua pernyataan keprihatinan dan kecemasan sebagaimana pada awal tulisan, niscaya kita akan tiba pada paling tidak 2 (dua) kata kunci yang saling berkaitan, khususnya dalam rangka implementasi otonomi yaitu : Kondisi sumberdaya dan Kesiapan SDM otonom.

Kata kunci di atas mengandung informasi yang bersifat peringatan dan sekaligus tantangan yang harus bisa dijawab., melalui pemanfaatan momentum dukungan goodwill Pemerintah yang apiratif berupa reformasi kebijaksanaan mendasar pada kelola sumberdaya selain otonomi dan perimbangan keuangan hasil nilai tambah kelola sumberdaya, yaitu re-strukturisasi hak pengelolaan yang transparan serta lebih adil dalam arti memberi akses kelola yang jauh lebih berpihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat yang selama ini relatif kecil atau tertutup sama sekali.

Suka tidak suka, sudi tidak sudi harus diakui, bahwa berangkat dari kondisi obyektif perihal mengecilnya luas kawasan yang masih berhutan, menurunnya potensi ekonomis dan fungsi lindung di daerah aliran sungai (DAS) mulai dari hulu, tengah sampai dengan hilir yang diwariskan dari masa pola kebijaksanaan kelola sentralistik dan kurang terkendalinya operasionalisasinya di lapangan yang merupakan masalah jumlah dan mutu SDM, memang mutlak diperlukan prakondisi-prakondisi kelola manfaat sumberdaya yang lebih comprehensif ketika otonomi akan diimplementasikan.

Sesungguhnya sebagai tuntutan yang hakiki, Allah SWT melaui wahyu Al-Qur'an dan Sunatullah telah memberi tuntunan secara jelas 3 (tiga) langkah sistematis syari'at pengelolaan alam bagi orang-orang yang mau berfikir (ulil albab/SDM yang bermutu), yaitu : Kenali/pahami alam (sumberdaya) sebagai karunia sekaligus amanah-Nya bagio alam semesta ; Amankan dan Pelihara keseimbangan keberadaannya ; Manfaatkan secara bertaggung jawab bagi kesejahteraan dan kemaslahatan umat dunia akhirat. Apabila kita berpegang secara teguh (istiqamah) dan mengikuti sistematika tersebut secara konsisten (dawam) Insya Allah minimalisasi kemudharatan yang timbul akibat pengelolaan manfaat sumberdaya selama ini akan menjadi kenyataan.

TRI-AMANAH DAN PANCA SUKSES

SUATU UPAYA STRATEGI KONSEPTUAL

(14)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Mencermati kondisi obyektif khususnya di Provinsi Sumatera Selatan dan reformasi mendasar dari paradigma dan pendekatan kebijaksanaan pembangunan yang mengarah pada penerapan Tri-Amanah (ekonomi, ekologi dan sosial budaya) secara simultan dengan orientasi pemberdayaan Rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan serta mengacu pada tuntunan syari'at kelola alam sebagaimana diuraikan diatas, kami menggagas strategi konseptual sistematis yang diberi nama Panca Sukses Pembangunan/Pengelolaan Sumberdaya Provinsi Sumatera Selatan sebagai berikut :

1. Sukses Pemberdayaan SDM aparat, yang akan dituntut untuk berfungsi lebih profesional dalam perencanaan, komunikasi pembangunan untuk memotivasi dan memfasilitasi pengembangan potensi masyarakat dalam optimalisasi manfaat kelola sumberdaya dapat dengan segera diberdayakan kemampuannya melalui pelatihan secara on the job trainning sekaligus penyebaran penempatannya sampai ke atau di tengah-tengah/bersama masyarakat, misal : sampai dengan Tingkat Kwecamatan (Sukses ini merupakan Prakondisi bagi sukses Pemberdayaan Masyarakat/Rakyat).

2. Sukses Pemberdayaan MAsyarakat/Rakyat, dlam konteks pengembangan peluang akses masyarakat secara proporsional ke kesempatan kelola manfaat/nilai tambah melalui rektrukturisasi HPH dan atau re-distribusi lahan hutan dengan prioritas hutan marga/adapt, akses k teknologi optimalisasi kelola nilai tambah sumberdaya, akses ke permodalan yang secara bertahap menuju kemandirian uasaha ekonomi rakyat serta akses ke manajemen yang secara bertahap mengurangi pola sikap subsistem (Sukses ini merupakan Prakondisi bagi Sukses Peningkatan Produksi dan Produktifitas).

3. Sukses Peningkatan Produksi dan Produktifitas yang diawali dengan penataan lahan produksi,idealnya dilakukan setelah redistribusu sumberdaya lahan hutan bagi hak kelola untuk pemenuhan kebutuhan komunitas desa (marga/adapt) sekitar hutan terpenuhi. Input teknologi, modal dan manajemen sangat berperan dalam sukses ini, mulai dari teknik pembibitan, pembukaan lahan, penanaman, pengawetan tanah, sampai dengan teknik pemanenan serta pasca panen dalam rangka menjamin tingkat produktifitas dan mutu produksi (Sukses ini merupakan prakondisi sukses peningkatan penerimaan Negara dan Kesejahteraan Rakyat).

4. Sukses Pengamana Hasil Produksi dan Pemasaran Hasil yang dimulai dari pengembangan Lembaga Usaha Ekonomi Rakyat dan Peningkatan kinerja manajemennya sehingga mampu memasuki akses-akses pasar dalam dan luar negeri dan diikuti jaminan kepastian hukum usaha serta ikatan kerjasama dan bagi hasil yang adil dan proporsional (perlindungan posisi tawar menawar Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi). Pengamanan secara fisik ata tanaman dan hasil produksi dikembangkan agar timbul dari MAsyarakat sendiri dengan memanfaatkan tumbuhnya rasa memiliki manfaat kelola, dalam hal ini Pemerintah tinggal memberi dukungan penerapan sanksi hokum yang yang konsisten (Sukses ini merupakan prakondisi sukses peningkatan penerimaan Negara dan Kesejahteraan Rakyat).

5. Sukses Peningkatan Penerimaan Negara (sebagai modal pembinaan pembangunan) dan Kesejahteraan Rakyat (Berdasarkan Peningkatan income per kapita yang riel langsung dirasakan rakyat banyak yang usaha ekonominya tumbuh berkembang dan berkelanjutan), dalam hal ini rolling nilai tambah yang diterima Pemerintah melalui Pajak, iuran maupun Zakat dan Infak akan kembali ke Masyarakat dalam bentuk fasilitas perlindungan hokum, pendidikan, pengembangan hasil penelitian, fasilitas umum.

Outcome dan Panca Sukses bagi Provinsi Sumatera Selatan adalah makmurnya wilayah serta membesarnya nilai nominal bagian Pusat dalam kerangka perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, dan tingginya keunggulan komparatif dan kompetitif yang sangat strategis sebagai modal memasuki millenium ke 3/era globalisasi serta sekaligus juga meningkatkan kontribusi parsial propinsi terhadap minimilisasi ancaman dis-integrasi bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wallahu'alam bissawab.

<O >

(15)

GG

PP

LL

AA

NN

LL

OO

B

U

L

ET

IN

B

U

L

E

T

IN

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai pihak telah menyadari bahwa hutan memiliki peranan yang sangat penting bagi pembangunan nasional dan memerlukan penilaian yang lebih lengkap serta menyeluruh terhadap semua produk dan jasa yang dihasilkannya. Salah satu upaya dalam memberikan apresiasi pada Sektor Kehutanan adalah mengintegrasikan nilai deplisi dan degradasi lingkungan di sektor kehutanan ke dalam nilai kontribusi sektor kehutanan dalam arti luas (termasuk industri pengolah kayu dan hasil hutan lainnya) bagi Produk Domestik Bruto Hijau suatu daerah.

Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI No.7 Tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang menetapkan penyusunan PDB Hijau sebagai kegiatan dalam Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, penghitungan PDB Hijau sektor kehutanan perlu dilaksanakan dan disosialisasikan.

Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di negara maju dan kaya mereka sudah melampaui phase kerusakan hutan karena eksploitasi oleh para pelaku industri, kemudian diperbaharui dengan menanam ulang lahan-lahan hutan yang mengalami kerusakan. Di saat yang sama pula menanamkan pengetahuan pada masyarakat dan pemerintah agar tidak merusak hutan. Di negara berkembang jumlah penduduk terus bertambah, tingkat pendapatan per kapita juga meningkat, sehingga kebutuhan lahan untuk kehidupan rakyat terus meningkat pula. Akibatnya konversi lahan untuk perkebunan, pertambangan dan infrastruktur fisik maupun sosial , dan pemukiman tidak dapat dihindari.

Kesadaran nasional tentang pentingnya pengelolaan dan perlindungan sumber daya hutan baru muncul setelah timbul banyak bencana alam diberbagai tempat dalam dasa warsa terakhit ini. Di samping itu banyak disampaikan bahwa Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan di dunia yang paling banyak ditebang (2,5 - 3.0 juta hektar per tahun) pada tahun 2004.

Pemerintah telah menetapkan dan menentukan hutan sesuai dengan fungsinya yaitu hutan konservasi (hutan suaka dan pelestarian alam), hutan lindung dan hutan produksi. Data BPS tahun 2003 menyebutkan:

- Luas hutan lindung sebesar 29,1 juta ha atau 26,5% dari total luas hutan keseluruhan.

- Luas hutan konservasi tercatat sebesar 23,2 juta ha terdiri dari kawasan hutan daratan dan perairan. - Luas hutan produksi mencapai 57,6 juta ha yang terdiri dari

- hutan produksi terbatas 16

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan penelitian ini sebagai

Pada Hotel The City sesuai dengan data internal bahwa dalam pelaksanaan audit operasional yang dilanjutkan dengan adanya pengendalian internal dalam perusahaan,

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan

Strategi yang digunakan untuk kelayakan dan pengembangan Desa Burai sebagai desa wisata yaitu strategi SO dengan cara, Memanfaatkan lahan yang luas untuk pembangunan sarana

1 POTENSI WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN BANTUL PADA BULAN APRIL 2014.. DESA PKB DU SUN PPKBD RT SUB PPKBD KKB DPS BPS RS KKB

Lanskap ekologi adalah keserasian lingkungan berupa komponen sosial (kependudukan) dan lingkungan alami (fisik) keduanya merupakan gambaran kondisi yang mengacu pada potensi daya

keselamatan pasien yang termasuk patient safety attitudes rendah atau faktor yang menghambat patient safety attitudes yaitu pada iklim kerja tim peningkatan

Karena, selain untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai, kegiatan patroli laut juga memiliki fungsi pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran